BUDAYA MELAYU
“Wilayah Adat”
Disusun Oleh :
1. Aisyah Nurfakhirah Sandyna (1907113268)
2. Ayu Annisa (1907113004)
3. Ayu Elfichra (1907155663)
4. Azzahra Aqilla (1907155553)
5. Khoirunnisa Ritonga (1907111568)
6. Salsabilla Rahmadia Khoiri (1907156218)
7. Siti Arsila Khoirunnisa (1907110084)
8. Taufik Hatta Arrasyid (1907111903)
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah
mata kuliah Budaya Melayu tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah
kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulisan makalah berjudul “Wilayah Adat” dapat diselesaikan karena
bantuan banyak pihak. Kami berharap makalah tentang wilayah adat dapat
menjadi referensi bagi pihak yang tertarik pada kebudayaan Melayu. Selain itu,
kami juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah
membaca makalah ini.
Penulis menyadari makalah bertema bahasa ini masih memerlukan
penyempurnaan, terutama pada bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik
dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah
budaya Melayu ini dapat bermanfaat.
Pekanbaru, 28 Oktober 2020
Penulis
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Sejarah Riau...................................................................................................1
1.2 Adat Riau........................................................................................................4
BAB 2 ISI...............................................................................................................19
2.1 Sosial Budaya Wilayah Adat Riau...............................................................19
2.2 Sosial Ekonomi Wilayah Adat Riau............................................................20
2.3 Sosial Keagamaan Wilayah Riau.................................................................21
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
LAMPIRAN...........................................................................................................25
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Riau
Provinsi Riau merupakan salah satu dari 33 provinsi di Indonesia yang
membentang dari lereng Timur Bukit Barisan sampai ke laut Cina Selatan,
terletak di antara 1005’ Lintang Selatan sampai 2025’ Lintang Utara atau antara
1000 sampai 1050 Bujur Timur Greenwich dan 6050 - 1 045 Bujur Barat1 .
Dari daerah ini mengalir beberapa sungai dari dataran tinggi Bukit Barisan
dan bermuara di Selat Malaka dan lautan Cina Selatan. Posisi Riau yang strategis
dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan, telah membuat penduduk Riau sejak
lama menerima dan bergaul dengan berbagai suku bangsa lain yang datang
merantau.
Asal nama Riau ada beberapa penafsiran. Pertama toponomi Riau berasal dari
penamaan orang Portugis dengan kata “rio” yang berarti sungai. Kedua mungkin
berasal dari tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila Wa Laila (Seribu Satu
Malam) yang menyebut “riahi”, yang berarti air atau laut, dan yang ketiga berasal
dari penuturan masyarakat setempat, diangkat dari kata “rioh” atau “riuh”, yang
berarti ramai, hiruk pikuk orang bekerja. Berdasarkan beberapa keterangan di atas,
maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat
setempat, yaitu orang Melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar
kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan pusat
kerajaan Melayu dari Johor ke Hulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu, nama ini
dipakai sebagai salah satu negeri dari empat negeri utama yang membentuk
kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang.
Suku Melayu merupakan penduduk yang terbanyak mendiami daerah- daerah
Riau yang tersebar di seluruh Provinsi Riau . Kedatangan ras rumpun Melayu ke
daerah-daerah Riau ini dapat dibagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama
yaitu Proto Melayu, kedatangannya diperkirakan 2.500 – 1.500 tahun Sebelum
Masehi. Kedatangan mereka dari Asia menuju ke arah Selatan dan menyebar ke
Semenanjung Tanah Melayu dan di bagian Barat Pulau Sumatera. Pada
gelombang kedua 300 tahun Sebelum Masehi (Deutro Melayu ) kedatangan
gelombang kedua ini mendesak Proto Melayu ke arah pedelaman dan banyak pula
1
yang mengadakan pembauran dengan masyarakat setempat. Pembauran dari
kedua Proto Melayu inilah yang sampai sekarang masih mendiami tanah
Semenanjung Melayu dan daerah-daerah Kepulauan Riau dan Riau daratan.
Semenjak akhir abad XVIII istilah Melayu sudah hampir sinonim dengan
Islam. Bila penduduk pribumi dari satu daerah belajar hal-hal yang berhubungan
dengan Arab (Islam), berkhitan serta melakukan upacara-upacara keagamaan,
maka selalu disebut “menjadi Melayu” sebagai ganti dari istilah yang lebih tepat,
yaitu sudah masuk Islam.
Pada saat ini, Provinsi Riau memiliki 10 kabupaten dan 2 kota. Tiap
Kabupaten dikepalai oleh seorang Bupati dan Kota oleh seorang Walikota. Dari
12 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau pada akhir tahun 2010 terdapat 151
kecamatan yang dikepalai oleh seorang camat dan 1.643 kelurahan/desa yang
dikepalai oleh seorang lurah/kepala desa Provinsi Riau dengan luas wilayah
masing-masing kabupaten/ kota dan jumlah kecamatan dan kelurahan/ desa dapat
dilihat pada tabel berikut.
Pada tabel 1.1 menunjukkan bahwa Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten
Kampar memiliki kecamatan yang paling banyak yaitu 20 (dua puluh) kecamatan,
sedangkan Kabupaten yang memiliki luas wilayah paling besar adalah Kabupaten
Indragiri Hilir sebesar 1.379.837 Ha atau 15,48 persen dari seluruh wilayah Riau.
Sementara Kabupaten/ Kota yang memiliki wilayah terkecil adalah Pekanbaru
sebesar 63.301 Ha atau 0,71 persen dari seluruh wilayah Riau. Selain itu
kabupaten/ kota yang memiliki desa/ kelurahan terbanyak adalah Kabupaten
Kampar yaitu 245 desa.
3
08. Bengkalis 472.861 486.046 498.336
09. Rokan Hilir 512.137 533.240 553.216
10.Kepulauan Meranti 174.692 175.546 176.290
11. Pekanbaru 834.902 867.239 897.767
12. Dumai 238.110 246.203 253.803
Jumlah 5.182.337 5.365.358 5.538.367
Sumber : Sensus Penduduk
Pada tabel 1.2, menunjukkan jumlah penduduk Provinsi Riau dari tahun
ketahun terdapat peningkatan. Penduduk Provinsi Riau menurut hasil Sensus
Penduduk 2010 adalah 5.538.367 jiwa. Distribusi penduduk menurut
kabupaten/kota menunjukkan bahwa penduduk Riau terkonsentrasi di Kota
Pekanbaru sebagai ibukota provinsi dengan jumlah penduduk 897.767 jiwa atau
sekitar 16,21 persen dari seluruh penduduk Riau. Sedangkan kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar
176.290 jiwa atau 3,18 persen dari seluruh penduduk Riau.
4
Suku Sakai memiliki kebudayaan asli sendiri yang berbeda dengan Suku
bangsa Melayu lainnya di Riau. Orang Sakai yang kita temui di Riau adalah
Sakai dengan kebudayaan yang telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan
lainnya. Menurut catatan naskah bahwa sebelum dibentuknya budaya sekarang
dalam satu Dasawarsa terakhir, mereka selalu hidup menyendiri didalam hutan
belantara ”Batin Selapan” yang sukar dicapai oleh orang luar dan hanya
dikunjungi oleh segelintir orang Melayu.
Sebagai ras veddoid asli, maka wilayah Hukum Adat Perbatinan Sakai
telah lama diakui jauh sebelum kemaharajaan Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Oleh karena itu, dalam budaya Sakai mereka mengenal “Hak Ulayat”
(Beschikkingsrech) yang kekuasaannya berada ditangan persekutuan hukum
komunitas Sakai. Namun karena sejak dahulu keberadaan Sakai ini telah
terdesak oleh kebudayaan Melayu Siak, Rokan dan Tapung hingga sekarang
oleh berbagai kepentingan pembangunan (pertambangan, kehutanan dan
perkebunan), maka lambat laun eksistensi Hak Ulayat Suku Sakai semakin
memudar.
Sejarah telah membuktikan bahwa dalam “Sakai Gebeit” jelas terlihat
pembagian wilayah perbatinan Suku Sakai Batin Selapan dan Batin Lima,
kemudian diperkuat lagi dengan “Besluit” Kerajaan Siak Sri Indrapura yang
mengakui keberadaan hukum adat Sakai di Kecamatan Mandau sekarang.
Dengan demikian sudah barang tentu “Hak Ulayat” Sakai harus diakui
keberadaannya. Menurut pasal 3 UUPA 1960 dijelaskan bahwa : “Hak Ulayat
dan hak-hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataan masih ada, masih terus dapat dilaksanakan, tetapi harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
2. Unsur-unsur Kebudayaan
a. Pranata Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Garis keturunan Suku Sakai yang asli adalah “Matrilineal” artinya
mengikuti keturunan kaum perempuan, seperti yang berlaku dalam budaya
5
Minangkabau. Dalam budaya Sakai hak wanita sangatlah besar. Semua harta
benda, baik yang bergerak maupun tidak bergerak adalah milik perempuan.
Kedudukan Kepala Suku diwariskan melalui perempuan. Anak-anak mengikuti
ibunya bukan ayahnya.
Harta warisan secara umum ditetapkan bahwa pada kematian istri, warisan
dibagi tiga: sepertiga untuk suami, sepertiga untuk keluarga istri dan sepertiga
dibawa kedalam kubur. Pada kematian suami, semua harta yang diperoleh
selama perkawinan akan dibagi antara istri dan keluarga suami. Kasus poligami
dan poliandri tidak terdapat dalam Suku Sakai ini. Secara umum kesetiaan
perkawinan dalam budaya Suku Sakai bernilai tinggi.
Akibat pengaruh budaya Melayu dengan warna Islami yang telah
berlangsung lama, maka sistem kekerabatan asli Suku Sakai banyak mengalami
perubahan. Dalam arti kata Suku Sakai sekarang merupakan sistem
kekerabatan Bilineal (menggunakan kedua-duanya sistem kekerabatan
matrilineal dan patrilineal). Misalnya, perkawinan seketurunan ibu dilarang,
begitu juga dengan seketurunan ayah. Peran Kepala Suku dan Paman dalam
perkawinan telah digantikan oleh Ayah kandung. Pembagian harta warisan
mengacu pada Hukum Islam yaitu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian
untuk perempuan.
b. Pranata Politik dan Kepemimpinan.
Sistem kepemimpinan tradisional suku Sakai adalah ” Sistem Perbatinan”
sejenis kepala suku atau penghulu dalam budaya Melayu. Perbatinan sakai
terdiri ” Batin Selapan” dan ” Batin Limo” yang menempati beberapa wilayah
di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan informasi yang
diperoleh bahwa asal usul perbatinan tersebut merupakan 13 keluarga, 1 yang
membuat banjar panjang di kawasan hutan Mandau sebagai tempat tinggalnya.
Bantin selapan terdiri atas : Batin Bombam Petani, Batin Sebangar Sungai
Jeneh, Batin Betuah, Batin Bumbung, Batin Sembunai, Batin Jalelo, Batin
Beringin dan Batin Bomban Seri Pauh. Batin Limo terdiri atas Batin
Tengganau, Batin Beromban Minas, Batin Belitu, Batin Singameraja dan Batin
Meraso. Masing-masing kelompok kerabat mempunyai induk, yaitu Batin
6
Selapan induknya adalah Batin Jalelo, Batin Delimo induknya adalah Batin
Tengganau.
c. Pranata Ekonomi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Mata pencaharian pokok Suku Sakai pada dasarnya petani dan pengumpul
hasil hutan yang sangat tergantung pada kebaikan alam. Mayoritas Suku Sakai
tidak memiliki mata pencaharian yang tetap, Suku Sakai pada umumnya
bekerja ”serabutan” dan ”musiman” yang istilah mereka sehari-hari disebut
bekerja mocok-mocok artinya jika sedang ada pekerjaan yang dapat
menghasilkan uang, mereka akan bekerja. Sebaliknya jika tidak ada pekerjaan
mereka akan menganggur.
Mata pencaharian lain Suku Sakai adalah berkebun yang dilakukan secara
sub sistem, khususnya menanam ubi lambau dan ubi menggalau dan
menangkap ikan yang kebanyakan untuk konsumsi sendiri.
B. SUKU AKIT
1. Riwayat singkat
Mengenai sejarah perkembangan Suku Akit bermula dari suku laut, jika
dilihat dari asal muasal dari Suku Melayu Riau saat ini sama halnya dengan
suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia, yaitu berbagai percampuran
genetika ras yang berasal dari pusat-pusat penyebaran di segala penjuru dunia.
Menurut perkembangan sejarah suku asli Akit yang ada di Pulau Rupat
Kabupaten Bengkalis khususnya di Desa Titi Akar dahulunya termasuk dari
Siak Sri Indrapura yang termasuk kerajaan Melayu Riau. Kerajaan ini didirikan
sekitar abad 17 oleh Raja Kecik yang digelari Sultan Siak yang berada di
pinggir Sungai Siak. Kelompok ini mengungsi ke daerah lain atas permintaan
suku tersebut pindah ke tempat yang lebih aman menuju ke Pulau Padang yang
dibatasi oleh selat. Suku tersebut kembali melanjutkan perjalanan ke lautan
yang luas yang ada dibagian utara kemudian kembali ke bagian barat disanalah
suku tersebut berlabuh dan diterima oleh Datuk Empang Kelapahan. Mereka
dapat mendiami pulau atas izin dengan syarat SEKERAT MATA BERAS –
SEKERAT TAMPING SAGU – SEBATANG DAYUNG EMAS, jika mereka
dapat memenuhi syarat tersebut mereka boleh tinggal dipulau itu. Kelompok
7
suku merasa keberatan, kemudian mengadakan perundingan dan mendapatkan
kesepakatan untuk pindah ke Pulau Tujuh.
2. Unsur-unsur Kebudayaan
a. Religi/Kepercayaan
Agama, religi atau kepercayaan suatu hal yang bersifat Universal yang
selalu ada dalam setiap masyarakat dimanapun. Berbagai bentuk agama, religi
atau kebudayaan dapat kita jumpai pada seluruh masyarakat yang kadang
memiliki perbedaan dan cara-cara tersendiri dalam bentuk pelaksanaan
ritualnya.
Terkait dengan hal tersebut diatas, agama yang ada di Desa Titi Akar
Kecamatan Rupat Utara antara lain adalah : Islam, Kristen dan Budha serta
masih adanya Animisme (kepercayaan leluhur). Agama / Religi bagi mereka
merupakan warisan dari leluhur yang harus dipertahankan. Masyarakat Suku
Akit sudah lama menganut agama Budha sesuai dengan sejarah dan legenda
yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun demikian saat ini pelaksanaan
ritual agama dalam kehidupan mereka sehari-hari dipengaruhi oleh
kebudayaan etnis Cina. Sementara itu acara-acara ritual seperti mantera –
mantera dan pemujaan – pemujaan terhadap para leluhur juga masih terdapat
disana. Salah satu contohnya adalah upacara dalam pemujaan pohon yang
dikeramat (ketau), yaitu penyembahan berupa pemberian sesajen.
b. Mata Pencaharian
Sektor pertanian, perladangan, peternakan dan juga industri rumah tangga
seperti pembuatan tikar dari daun rumbia, disamping itu juga pada umumnya
masyarakat Suku Akit bergerak di sektor laut sebagai nelayan, baik
menggunakan kapal motor maupun sampan.
Kemudian disektor perladangan, pada umumnya telah dikelola dengan
penanaman padi, rata-rata kepemilikan ladang, berkisar 1 - 4 jalur padi yang
sudah dipanen pada umumnya untuk dikonsumsi sendiri, bahwa hasil panen
tersebut tidak cukup sampai pada musim panen berikutnya, sehingga petani
harus membeli beras hingga musim panen tiba.
8
c. Pranata Hubungan Sosial
Ciri masyarakat Suku Akit yang mudah beradaptasi dengan masyarakat
sekitarnya, sebenarnya modal utama dalam mengembangkan kehidupannya.
Sifat dan sistem kekerabatan yang longgar telah membawa dampak yang cukup
baik bagi proses adaptasi yang berhubungan dengan sistem perekonomian.
Secara spesifik pranata yang mengatur hubungan sosial di Desa Titi Akar
belum ada, namun komunitas Suku Akit tersebut dalam segala aktivitas
mempunyai nilai gotong royong dan kerjasama yang sangat tinggi, walaupun
berbeda etnis dan berbeda kepercayaan. Seperti dalam pekerjaan sehari-hari,
mereka saling bantu membantu misalnya dalam mengelola hasil alam seperti
buah kelapa dan durian.
Kepemilikan lahan tidak mengenal tanah ulayat, melainkan tanah milik
pribadi walaupun belum bisa dibuktikan hak kepemilikannya. Bagi warga
untuk memiliki lahan bisa dengan cara membuka hutan, pemberian / warisan
atau dengan cara dibeli. Bagi siapa yang dapat membuka lahan secara luas,
mereka itulah dianggap memiliki kekuasaan besar atas tanah tersebut.
D. SUKU BONAI
1. Sejarah Singkat
Asal kata Bonai sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun dalam
masyarakat Suku Bonai berkembang 2 versi tentang asal usul mereka. Pertama
menerangkan bahwa nenek moyang mereka adalah berasal dari Borneo
(Kalimantan) yang datang menyusuri muara Sungai Rokan ke arah hulu, dan
sampailah mereka ketempat pemukiman sekarang. Menurut sejarah nenek
moyang suku Bonai dipimpin oleh 2 orang bersaudara, yaitu Sultan Janggut
yang menjadi cikal bakal orang Sakai dibagian hilir Sungai Rokan dan Sultan
Harimau yang menjadi cikal bakal orang Bonai.
12
Menurut cerita singkat setelah mereka bertemu diantara Rokan Kiri dan
Rokan Kanan (kuala sako). Kedua beradik tersebut berpisah mencari
pemukiman masing –masing. Sultan Janggut menyusuri sungai Rokan Kanan
dan Sultan Harimau menyusuri sungai Rokan Kiri kearah hulu sungai diyakini
oleh mereka bahwa Sultan Harimau berasal dari Borneo, sehingga kata Bonai
dianggap berasal dari kata tersebut.
Cerita versi ini sulit diterima kebenarannya, karena secara Geohistoris
tidak ditemukan bukti-bukti tentang adanya migrasi orang “Borneo atau
selebes” kewilayah pedalaman Sumatera bahkan bahkan menurut Alimandan
(P3-S, 1989), bahwa nama Sultan Harimau yang dipercayai sebagai nenek
moyang orang Bonai berasal dari Borneo (Kalimantan) yang dengan jelas tidak
ada harimaunya.
Versi kedua, menerangkan asal usul nenek moyang orang Bonai adalah
berasal dari kerajaan Pagaruyung. Terlepas dari mitos misi “Rakit Kulim”
Datuk Papatih Nan Sebatang yang juga berkembang dalam masyarakat Bonai,
seperti yang terjadi dalam orang Talang Mamak. Cerita ini cukup masuk akal
dan mudah diterima jika dikaitkan dengan kebudayaan dan sistem
kekerabatannya yang ada pada suku Bonai. Bukti konkritnya adalah orang
Bonai mengenal sistem kekerabatan seperti orang minang kabau. Mereka
mengenal Ninik Mamak dan hubungan dengan pihak keluarga ibu sangat dekat
(matrilineal) selain itu mereka juga mengenal suku-suku sebagai cerminan
keluarga dan garis keturunanya.
Dari kedua versi diatas tentu sangat sulit menyebutkan secara pasti dari
asal usul mereka. Tidak ada bukti sejarah yang kuat menyebutkan mereka
berasal dari salah satu versi tersebut. Namun bila pendekatan sosial budaya
yang dilakukan, maka kecenderungan kesimpulan lebih memberatkan asal usul
mereka kepada Minang Kabau yaitu berasal dari kerajaan Pagaruyung.
15
E. SUKU LAUT (DUANO)
1. Sejarah singkat
Propinsi Riau mempunyai ciri khas yang berbeda dengan propinsi lain
(daerah), ciri khas tersebut termasuk geografis dan kondisi pulau yang terpisah-
pisah serta mempunyai komunitas terpencil paling banyak dibandingkan
dengan daerah yang lain, seperti suku Talang Mamak yang ada di Kabupaten
Indragiri Hulu, Suku Sakai yang ada di Kembang Luar di Kabupaten
Bengkalis, Suku Akit yang ada di Rupat Utara Kabupaten Bengkalis, Suku
Bonai, dan Suku Kuala (Duano) yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir.
Beberapa permasalahan yang timbul pada Komunitas Adat Terpencil
adalah masalah kemiskinan, relatif tertinggal dari kehidupan komunitas yang
lain, pada umumnya hidup dipedalaman, perairan, pulau-pulau atau daerah-
daerah perbatasan Negara tetangga dan kawasan industri. Asal usul tau
perkembangan Suku Kuala bermula dari Suku Laut. Yang bisa dikatakan
sebagai Suku Asli Suku Melayu yang ada di Propinsi Riau dan sama halnya
dengan suku bangsa lainya yang ada di Indonesia, yaitu berbagai percampuran
Genetika Ras, yang berasal dari pusat-pusat penyebaran disegala penjuru
dunia.
Gelombang migrasi kedua Ras Mongoloid sesudah Tahun 1500 SM, yaitu
Ras Nelayan Mongoloid yang disebut “Deutro – Melayu” berasal dari daratan
Asia Tenggara datang kepulau Indonesia, Malaysia dan Filipina. Kedatangan
Ras ini yang menyebabkan golongan Migrasi Ras pertama dan kedua
menyingkir kepedalaman dan sisanya berbaur dengan pendatang baru tersebut.
Dan hasil pencampuran inilah yang akhirnya menurunkan orang Melayu Riau
sekarang ini.
Dengan mengacu pada teori gelombang perpindahan ini, maka dapatlah
disimpulkan, bahwa asal usul nenek moyang penduduk asli Suku-suku
terbelakang di Provinsi Riau semuanya hasil pencampuran dari Ras Veddoit
dengan Asiattie Mongoloid yang telah melahirkan puak-puak asli Suku
terasing di Riau. Menurut perkembangan sejarah suku Asli yang ada di
Propinsi Riau, baik yang ada di Rupat Utara maupun di Indragiri Hilir
dahulunya termasuk dari Siak Sri Indrapura yang termasuk Kerajaan Melayu
16
Riau. Kerajaan ini didirikan sejak abad ke-17 oleh Raja Kecil yang diberikan
gelar Sultan Siak yang berada dipinggiran Sungai Siak.
18
BAB 2
ISI
19
2.2 Sosial Ekonomi Wilayah Adat Riau
Provinsi Riau mempunyai potensi pertambangan yang besar. Lipatan
buminya banyak mengandung bahan mineral, seperti minyak bumi, gas bumi,
batu bara, timah, bauksit, batu granit, gas alam, pasir uruk, pasir bangunan, pasir
kuarsa dan lain-lain. Selain potensi pertambangan, Riau juga kaya akan potensi
sumber daya alam berupa hasil hutan, pertanian, perkebunan, peternakan, dan
hasil laut (perikanan). Dengan demikian, mata pencaharian penduduk Riau cukup
beragam sejalan dengan perkembangan ekonomi daerah. Komposisi mata
pencaharian terbesar dari bidang usaha penduduk setempat adalah sektor pertanian
dan perkebunan.
Kebijakan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan usaha tani dan
perkebunan di wilayah Riau cukup baik, akan tetapi etos kerja dan kemampuan
petani sendiri yang menjadi kendala dalam mengembangkan produktifitas
pertanian dan perkebunan itu, hal ini dapat dilihat, terdapat lahan pertanian/
perkebunan yang berkurang dari tahun ketahun. Lahan pertanian/ perkebunan
yang diolah oleh penduduk setempat pada umumnya adalah tanah warisan dari
nenek moyang dan orang tua mereka. Areal pertanian/perkebunan yang dikuasai
oleh penduduk setempat sangat terbatas, karena lahan pertanian/perkebunan yang
dapat diolah tidak seimbang dengan jumlah penduduk.
Perkebunan mempunyai kedudukan yang amat penting di dalam
pengembangan pertanian baik di tingkat nasional maupun regional. Tanaman
perkebunan yang merupakan tanaman perdagangan yang cukup potensial di
daerah ini ialah kelapa sawit, kelapa, karet,dan kopi. Areal perkebunan kelapa
sawit setiap tahunnya terdapat penambahan dari 1.612.382 Ha pada tahun 2007
menjadi 2.256.538 Ha pada tahun 2011. Sementara areal perkebunan karet,
kelapa, kopi, cengkeh, enau, lada dan tanaman lainnya terdapat pengurangan areal
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu dapat pula diketahui
bahwa minat masyarakat menanam kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan
menanam karet dan tanaman lainnya.
Selain pertanian dan perkebunan, Riau juga memiliki potensi ekonomi
lainnya dari hasil peternakan, perikanan, dan pertambangan. Sektor peternakan
20
tidak hanya untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak dalam usaha
memperbaiki gizi masyarakat, tetapi juga untuk meningkatkan pendapatan
peternak. Pada tahun 2011 tercatat sebanyak 164.707 ekor sapi, 38.300 ekor
kerbau, 180 ekor sapi perah, 196.115 ekor kambing, 3.985 ekor domba, dan
47.449 ekor babi. Informasi lain yang diperoleh dari tabel tersebut adalah jumlah
ayam ras petelur 141.258 ekor, ayam ras pedaging 38.043.692 ekor, ayam
kampung 2.848.075 ekor dan itik 274.033 ekor. Dari tabel tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa memelihara ayam ras pedaging dan kambing lebih disenangi oleh
masyarakat Riau. Pada Tahun 2011 tercatat jumlah ayam ras pedaging 38.043.692
ekor, dan kambing 196.115 ekor. Ayam ras pedaging lebih banyak terdapat di
Kabupaten Kampar sedangkan kambing lebih banyak terdapat di Kabupaten
Indragiri Hulu dan Kabupaten Kuantan Singingi. Selain itu, ternak babi terbanyak
terdapat di Pekanbaru. Dari 47.449 ekor babi di Riau, 15.145 ekor dipelihara di
Pekanbaru.
Produksi perikanan di Provinsi Riau, sebagian besar berasal dari perikanan
laut. Data yang bersumber dari Dinas Perikanan dan Kelautan yang dimuat dalam
Riau Dalam Angka 2012 menunjukkan bahwa pada tahun 2011, dari sejumlah
195.194,7 ton total produksi ikan, 46,4 persen merupakan hasil perikanan laut dan
budidaya.
22
BAB 3
KESIMPULAN
Posisi Riau yang strategis dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan,
telah membuat penduduk Riau sejak lama menerima dan bergaul dengan berbagai
suku bangsa lain yang datang merantau. Kelompok ini mengungsi ke daerah lain
atas permintaan suku tersebut pindah ke tempat yang lebih aman menuju ke Pulau
Padang yang dibatasi oleh selat. Agama, religi atau kepercayaan suatu hal yang
bersifat Universal yang selalu ada dalam setiap masyarakat dimanapun. Terkait
dengan hal tersebut diatas, agama yang ada di Desa Titi Akar Kecamatan Rupat
Utara antara lain adalah: Islam, Kristen dan Budha serta masih adanya Animisme .
Agama / Religi bagi mereka merupakan warisan dari leluhur yang harus
dipertahankan. Dari kedua versi diatas tentu sangat sulit menyebutkan secara pasti
dari asal usul mereka. Tidak ada bukti sejarah yang kuat menyebutkan mereka
berasal dari salah satu versi tersebut. Sumber mata pencaharian utama masyarakat
suku Bonai adalah sebagai nelayan penangkap ikan khususnya disepanjang sungai
Rokan Kanan. Teknologi yang digunakan masih tradisional seperti "siapang" ,
"kayo" , lukah dan jaring.
23
DAFTAR PUSTAKA
Kurtubi, D. A. (2017, September 5). Mengenal Suku Suku Asli di Provinsi Riau.
Retrieved from Dinas Sosial Provinsi Riau:
https://dinsos.riau.go.id/web/index.php?
option=com_content&view=article&id=410:mengenal-suku-suku-asli-
komunitas-adat-terpencil-di-provinsi-riau-oleh-dodi-ahmad-
kurtubi&catid=17&Itemid=117
Pemda Provinsi Riau. (1991). Adat Istiadat Melayu Riau di Bekas Kerajaan Siak
Sri Indrapura. Pekanbaru: Lembaga Adat Daerah Riau.
24
LAMPIRAN
25