Anda di halaman 1dari 8

Risalah Hukum, Volume XX, Nomor X, Oktober 2022, 1-8

PELANGGARAN HAM BERAT PADA TRAGEDI


KANJURUHAN
Muh. Fajrul Karnivan

Universitas Mulawarman/Fakultas Hukum


E-mail: muhfajrulkarnivan@gmail.com

ABSTRACT
Allegations of Gross Human Rights Violations in the Kanjuruhan Tragedy have come to the public's
attention. The destruction that occurred on October 1, 2022 at the Kanjuruhan Stadium in Malang
resulted in hundreds of casualties, the trigger being tear gas fire carried out by police officers. Based on
article 7 of Law Number 26 of 2000, there are two types of gross human rights violations, namely the
crime of genocide and crimes against humanity. Obviously the case includes crimes against humanity. As
a country of law, Indonesia has a state responsibility to resolve gross human rights violations This
research aims to find out how the mechanism for investigating gross human rights violations is. Based
on the results of the study, it is stated that the events that occurred at the Kanjuruhan Malang Stadium
included gross human rights violations.

Keywords: Gross human rights violations; Crimes against humanity; Kanjuruhan tragedy

ABSTRAK
Dugaan Pelanggaran HAM Berat pada Tragedi Kanjuruhan telah menjadi perhatian publik. Kerusahan
yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang mengakibatkan ratusan korban
jiwa, pemicunya adalah tembakan gas air mata yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Berdasarkan pasal
7 UU Nomor 26 Tahun 2000, ada dua jenis pelanggaran HAM berat, yakni kejahatan genosida serta
kejahatan terhadap kemanusiaan. Jelas kasus tersebut termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki tanggung jawab negara untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM berat Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaiamana mekanisme penyelidikan pelanggaran HAM
berat. Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan
Malang termasuk pelanggaran HAM berat.

Kata Kunci: Pelanggaran HAM berat; Kejahatan kemanusiaan; Tragedi Kanjuruhan

PENDAHULUAN
Kerusahan yang terjadi di Stadion Kanjurahan Malang pada tanggal 1 Oktober pasca
laga Arema FC vs Persebaya menewaskan 132 orang dan ratusan lainya luka-luka. Awal
mula kerusahan tersebut terjadi setelah pertandingan usai, sejumlah pendukung
Arema turun ke lapangan dengan maksud memberikan semangat kepada pemain idola
mereka yang pada saat itu mengalami kekelahan. Namun, beberapa di antaranya ada
juga yang diduga melakukan provokasi. Hal itu membuat aparat kepolisian keamanan
yang terdiri dari Polisi dan TNI berupaya menghalau massa Aremania yang mulai
menedekati lorong pemain. Saat itulah kericuhan mulai terjadi, sejumlah aparat

7
Pelanggaran HAM Berat pada Tragedi Kanjuruhan (Muh Fajrul Karnivan)

kepolisian kemudian melepaskan beberapa tembakan gas air mata dengan maksud
membubarkan penonton.1
Dalam peraturan FIFA Stadium Safety and Security Regulations pada Pasal 19 b tertulis:
no fireams or crowd control gas shall be carried or used.2 Di situ sangat jelas tidak
membolehkan aparat keamanan membawa senjata seperti gas pengendali massa.
Bukan hanya itu, dari rekaman terlihat aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke
tribun yang masih penuh penonton untuk menunggu giliran keluar. Oleh karena itu,
banyak pihak menilai adanya indikasi pelanggaran HAM berat.
Polri telah menetapkan 6 orang tersangka dengan pasal 359 dan 360 KUHP dan atau
103 jo 52 Undag-Undang RI Nomor 11 tahun 2022 tentang keolahragaan. Adapun para
tersangka ialah: Akhmad Hadian Lukita (Dirut PT LIB), Abdul Haris (Ketua Panitia
Pelaksana), Suko Sutrisno (Security Officer), Wahyu Setyo Pranoto (Kabag Ops Polres
Malang), Hasdarman (Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim), Bambang Sidik
Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang). 3 Namun, hal tersebut masih belum
memberikan keadilan kepada korban.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Surabaya, LBH Surabaya Pos
Malang, KontraS, dan Lokataru menilai peristiwa ini terjadi secara sistematis dan
pertanggungjawabannya harus dilakukan secara terstruktur. TGIPF (Tim Gabungan
Investigasi Pencari Fakta) yang dibentuk Komnas HAM juga menilai adanya indikasi
pelanggaran HAM berat. Untuk itu, tulisan ini berupaya menguraikan bahwa peristiwa
yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang termasuk pelanggaran HAM berat yaitu
kejahatan kemanusiaan. Oleh karena itu, negara seharusnya bertanggung jawab
menyelesaikan kasus tersebut dan memberikan keadilan kepada korban.

PEMBAHASAN
Tragedi Kanjuruhan dan Hasil Penyelidikan TGIPF
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk oleh Komnas HAM
untuk menyelidiki kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan merilis hasil
investigasi pada tanggal 14 Oktober 2022. Ada 9 poin dalam laporan hasil investigasi
TGIPF yang diketuai langsung oleh Menkopolhukam Mahfud MD dan beranggotakan
mulai dari unsur pemerintah, aktivis, peneliti, jurnalis hingga tokoh masyarakat.
Berikut 9 poin hasil investigasi TGIPF Tragedi Kanjuruhan:
1. Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, dimana terjadi kerusahan pasca
pertandingan sepakbola antara Arema vs Persebaya pada tanggal 1 Oktober
2022, terjadi karena PSSI dan para pemangku kepentingan liga sepakbola
Indonesia tidak professional, tidak memahami tugas dan peran masing-masing,
cenderung mengabaikan berbagai peraturan dan standar yang sudah dibuat
1
https://nasional.tempo.co/amp/1642553/kronologi-tragedi-kanjuruhan-malang-yang-dipaparkan-
kapolri
2
FIFA Stadium Safety and Security Regulations, Federation Internationale de Football Association
(Pithcside stewards), hlm. 32
3
https://nasional.tempo.co/amp/1648878/6-tersangka-tragedi-kanjuruhan-akan-ditahan-hari-ini

8
Risalah Hukum, Volume XX, Nomor X, Oktober 2022, 1-8

sebelumnya, serta saling melempar tanggungjawab pada pihak lain. Sikap dan
praktik seperti ini merupakan akar masalah yang sudah berlangsung selama
bertahun-tahun dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola nasional.
2. Langkah pimpinan Polri yang telah melakukan proses pidana dan Tindakan
administrasi dengan melakukan demosi sejumlah pejabat, sudah menjawab
sebagian harapan masyarakat dan patut diapresiasi. Namun demikian,
Tindakan itu juga perlu ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidakan
lanjutan terhadap pejabat Polri yang menandatangani surat rekomendasi izin
keramaian No: Rek/000089/IX/YAN.2.1/2022/DITINTELKAM tanggal 29
September 2022 yang dilakukan oleh Dirintelkam atas nama Kapolda Jawa
Timur.
3. Polri dan TNI juga perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap aparat
Polri dan TNI serta pihak-pihak yang melakukan Tindakan berlebihan pada
kerusuhan pasca pertandingan Arema vs Persebaya tanggal 1 Oktober 2022
seperti menyediakan gas air mata, menembakkan gas air mata ke arah
penonton (tribun) yang diduga dilakukan di luar komando, pengelola Stadion
Kanjuruhan yang tidak memastikan semua daun pintu terbuka, pihak Arema FC,
dan pihak PSSI yang tidak melakukan pengawasan atas keamanan dan
kelancaran penyelenggaran pertandingan.
4. Polri juga perlu segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap supporter yang
melakukan provokasi, seperti yang awal mula memasuki lapangan sehingga 124
diikuti oleh supporter yang lain, supporter yang melakukan pelemparan flare,
melakukan perusakan mobil di dalam stadion, dan melakukan pembakaran
mobil di luar stadion.
5. Secara normatif, pemerintah tidak bisa mengintervensi PSSI, namun dalam
negara yang memiliki dasar moral dan etik serta budaya adiluhung, sudah
sepatutnya Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif
mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas jatuhnya
korban sebanyak 712 orang, dimana saat laporan ini disusun sudah mencapai
132 orang meninggal dunia, 96 orang luka berat, 484 orang luka sedang/ringan
yang sebagian bisa saja mengalami dampak panjang.
6. Untuk menjaga keberlangsungan kepengurusan PSSI dan menyelamatkan
persepakbolaan nasional, pemangku kepentingan PSSI diminta untuk
melakukan percepatan Kongres atau menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) untuk
menghasilkan kepemimpinan dan kepengurusan PSSI yang berintegritas,
professional, bertanggungjawab, dan bebas dari konflik kepentingan.
Pemerintah tidak akan memberikan izin pertandingan liga sepakbola
professional di bawah PSSI yaitu Liga 1, Liga 2, dan Liga 3, sampai dengan
terjadinya perubahan dan kesiapan yang signifikan oleh PSSI dalam mengelola
dan menjalankan kompetisi sepakbola tanah air. Adapun pertandingan
sepakbola di luar Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 tetap berlangsung dengan
memperhatikan ketertiban umum dan berkkoordinasi dengan aparat
keamanan.
7. Dalam rangka pelaksanaan prinsip tata Kelola organisasi yang baik (good
organization governance) perlu segera bagi PSSI untuk merevisi statuta dan

7
Pelanggaran HAM Berat pada Tragedi Kanjuruhan (Muh Fajrul Karnivan)

peraturan PSSI. PSSI juga mendesak untuk menjalankan prinsip keterbukaan


informasi publik terhadap berbagai sumber dan penggunaan finansial, serta
berbagai lembaga kegiatan usaha dibawah PSSI.
8. Dalam rangka membangun persepakbolaan nasional yang berperadaban dan
bermakna bagi kepentingan publik, penyelamatan PSSI tidak cukup hanya
berpedoman pada Regulasi PSSI yang isinya banyak bertentangan dengan
prinsip-prinsip tata Kelola organisasi yang baik, namun perlu pula didasarkan
pada prinsip menyelamatkan kepentingan publik/keselamatan rakyat (salus
populi suprema lex esto). Dasar dari ketaatan pada aturan resmi dan dalil
keselamatan publik ini adalah aturan moral dan nilai-nilai etik yang sudah
menjadi budaya dalam kehidupan kita berbudaya.
9. Untuk menjamin kesejahteraan pemain, PSSI perlu segera memastikan
penerapan UU No. 11 tahun 2022 tentang keolahragaan terkait jaminan
ketenagakerjaan, dimana pemain berhak mendapatkan BPJS sebanyak 4
program jaminan sosial yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian,
Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun.4
Dapat disimpulkan bahwa pemicu utama kematian massal pada kejadian tersebut
adalah tembakan gas air mata yang dilakukan oleh oknum Polri. Oleh karena itu,
Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila seharusnya
menindaklanjuti kejadian tersebut. Aparat Polri seharusnya tidak seharusnya bertindak
repsresif sebagaimana yang tertuang dalam sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang adil
dan beradab.”
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2019 tentang
Penindakan Huru-Hura dalam Pasal 1 (1) berbunyi: “Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut Polri adalah alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Selain itu, dalam Pasal 10 ayat 1 huruf
b yang berbunyi “Melakukan Tindakan kekerasan.”
Adapun fakta yang terjadi di lapangan bahwa banyak beredar video yang
memeperlihatkan aparat Polri bertindak represif kepada massa, dan menembakkan
gas air mata ke tribun yang masih dipenuhi penonton untuk menunggu giliran. Hal
itulah yang kemudian membuat situasi menjadi tidak kondusif dan membuat
kepanikan pada massa. Apalagi pintu keluar semua nya tertutup. Maka dari itu
kejadian tersebut dinilai melanggar Hak Asasi Manusia yang seharusnya negara
memberikan perlindungan terhadap seluruhnya rakyat nya.

Pelanggaran HAM Berat


Menurut HAM internasional, ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang diatur
dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional atau Rome Statute of the
Internasional Criminal Court (ICC)

4
https://www.kompas.tv/article/338219/9-poiin-hasil-investigasi-tgipf-tragedi-kanjuruhan

8
Risalah Hukum, Volume XX, Nomor X, Oktober 2022, 1-8

Empat kategori pelanggaran HAM berat tersebut yaitu:


 Kejahatan terhadap kemanusiaan
Yaitu kejahatan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada warga sipil, yang
tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan fisik dan mental. Bentuk
perbuatannya dapat berupa: Pembunuhan di luar hukum; Penyiksaan dan
hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; Penghilangan
paksa; Perbudakan dan praktik serupa perbudakan; Deportasi atau
pemindahan penduduk secara paksa; Perkosaan, perbudakan seksual,
pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, atau
bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot setara; Dan diskriminasi
sistematis khususnya berdasarkan ras, etnis, atau jenis kelamin, melalui aturan
hukum dan kebijakan yang bertujuan mempertahankan subordinasi suatu
kelompok.
 Genosida
Yaitu pembantaian brutal dan sistematis terhadap sekelompok suku bangsa
dengan tujuan memusnahkan seluruh atau Sebagian bangsa tersebut.
Bentuknya dapat berupa: Pembunuhan anggota kelompok; Penyiksaan dan
hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; Sengaja
menciptakan kondisi hidup yang memusnahkan; Mencegah kelahiran; dan
memindahkan anak-anak secara paksa
 Kejahatan perang
Yaitu pelanggaran terhadap hukum perang, baik oleh militer maupun sipil.
Bentuknya dapat berupa: Menyerang warga sipil dan tenaga medis; Perkosaan,
perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan
sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot yang setara;
Menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah.
 Agresi
Yaitu perilaku yang bertujuan menyebabkan bahaya atau kesakitan terhadap
target serangan.
Dalam aturan hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia menetapkan kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat. Dengan begitu, kejadian
tersebut dinilai termasuk pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan kemanusiaan.
Adapun hak yang harus diberikan kepada korban pelanggaran HAM yaitu:
 Hak atas kebenaran
Negara wajib memberi informasi kepada para korban, keluarga korban, dan
masyarakat umum tentang penyebab peristiwa pelanggaran HAM. Informasi ini
harus mencakup alas an, situasi pelanggaran, kemajuan hasil investigasi dan
proses hukum, serta identitas pelaku. Misalnya, dalam kasus penghilangan
paksa, negara wajib menginformasikan keberadaan dan keadaan korban.
Hak atas kebenaran penting bagi korban serta keluarga korban pelanggaran
HAM untuk memastikan akurasi fakta dan mencegah hilangnya bukti.
Masyarakat juga memiliki ha katas informasi tentang sejarahnya sendiri
sehingga mereka memahami dampak pelanggaran HAM.

7
Pelanggaran HAM Berat pada Tragedi Kanjuruhan (Muh Fajrul Karnivan)

 Hak untuk mengakses keadilan


Negara bertanggung jawan menjamin hak korban untuk mengakses keadilan
dengan proses yang transparan, adil, dan tidak memihak. Negara harus
melindungi korban dari gangguan terhadap privasi mereka dan memastikan
mereka aman dari intimidasi dan pembalasan sebelum, selama, dan setelah
proses pengusutan peristiwa pelanggaran HAM berat. Kepastian hukum
penting untuk memutus rantai impunitas dan menjamin ha katas kebenaran
dan pemulihan bagi korban dan keluarga korban.
 Hak reparasi atas kerugian yang diderita
Negara wajib memenuhi ha katas reparasi bagi korban pelanggaran HAM dan
kerugian yang diderita korban. Reparasi termasuk: Restitusi, yaitu upaya
mengembalikan korban ke situasi sebelum pelanggaran HAM berat terjadi;
Kompensasi, yaitu upaya mengembalikan kerusakan secara ekonomi;
Rehabilitasi, mencakup perawatan medis dan psikologis serta layanan hukum
dan sosial.
 Hak atas pemulihan, termasuk informasi yang releven tentang mekanisme
reparasi yang jelas
Negara wajib mengusahakan pengembalian situasi seperti sebelum
pelanggaran HAM terjadi dengan bertanggung jawab atas kerugian seperti
hilangnya kesempatan pekerjaan, Pendidikan dan tunjangan bantuan sosial
hingga bantuan psikologis.
Hak atas pemulihan termasuk langkah-langkah selain penggantian uang, seperti
permintaan maaf kepada publik serta korban dan keluarga korban pelanggaran
HAM, termasuk pengakuan di depan umum mengenai fakta-fakta yang benar.
Negara juga harus menginformasikan kepada masyarakat umum dan,
khususnya, korban pelanggaran HAM berat, tentang hak dan pemulihan medis,
psikologis, sosial, administrasi, dan semua layanan lainnya yang berhak diakses
oleh korban.
Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat
Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM akan
melakukan penyelidikan dan menentukan unsur pelanggaran HAM dalam suatu kasus.
Jaksa Agung selaku penyidik menentukan tersangka, membuat tuntutan, dan
memproses kasus di pengadilan. Kasus kemudian disidang di pengadilan HAM oleh 5
orang Majelis Hakim, 3 di antaranya dari tim Ad-Hoc dibentuk atas usul DPR dan
disahkan melalui Keputusan Presiden.
Tapi, pada praktiknya, pengadilan HAM belum dilaksanakan secara efektif di Indonesia.
Misalnya, pada kasus Tanjung Priok (1984), pengadilan HAM ad-hoc tingkat pertama
memutus bersalah terdakwa pelaku pelanggar HAM. Tapi, para terdakwa melakukan
banding ke Pengadilan Tinggi dan diputus bebas oleh pengadilan. Putusan bebas itu
juga menggugurkan kewajiban negara untuk memberi gantu rugi dan pemulihan
kepada korban.

8
Risalah Hukum, Volume XX, Nomor X, Oktober 2022, 1-8

Meski Indonesia kerap gagal menuntuskan pelanggaran HAM dan membawa semua
aktor pelanggaran HAM untuk diadili di dalam negeri, Indonesia juga belum
meratifikasi Statuta Roma.
Tapi, sebenarnya ada situasi terbatas ketika ICC memiliki kewenangan mengadili
kejahatan yang dilakukan oleh warga negara dari negara-negara yang belum
bergabung dengan Statuta Roma. Ini termasuk saat seorang warga negara dari negara
non-anggota perjanjian melakukan pelanggaran HAM berat di wilayah negara anggota
ICC.
Data Korban Tragedi Kanjuruhan
Data berikut ini bersumber dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malng dan telah dikonfirmasi
kepada Wakil Bupati Malang, Didik Gatot Subroto. Data tersebut berasal dari beberapa rumah
sakit (RS) yang merawat korban, di antaranya RS Wafa Husada, RSB Hasta Brata Batu, RSUD
Kanjuruhan, RSUD Saiful Anwar, RS Teja Husada Kepanjen, RS Ben Mari Pakisaji, RS Hasta
Husada, RSI Gondang Legi, RS Salsabila, RST Soepraon serta informasi dari keluarga korban.

Tabel 1. Data Korban Jiwa pada Tragedi Kanjuruhan5

No Korban Jiwa Laki-laki Perempuan


1 131 Orang 90 Orang 41 Orang

SIMPULAN
Peristiwa kematian massal yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang telah
menggugah rasa kemanusiaan banyak pihak. Penembakan gas air mata dan tindakan
represif dari aparat keamanan merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai
yang terkandung pada Pancasila dalam sila kedua yaitu ‘kemanusiaan yang adil dan
beradab’. Bahkan, tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan terjadi secara
sistematis dan terstruktur. Oleh karena itu, kejadian tersebut bukan pelanggaran
tindak pidana biasa, melainkan pelanggaran HAM berat sebagaimana yang tertuang
pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjelaskan
pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu kejahatan meluas dan tersistematis yang
ditujukan kepada masyarakat sipil, yang tidak manusiawi dan mengakibatkan
penderitaan secara fisik dan mental. Indonesia sebagai negara hukum seharusnya
bertanggung jawab atas kejadian tersebut untuk memberikan rasa keadilan kepada
para korban maupun keluarga korban sesuai dengan hukum yang berlaku. Menurut
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 1 ayat 6 “Pelanggaran HAM
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut HAM seorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau

5
Kemenkopmk.go.id/data-terbaru-korban-meninggal-tragedi-kanjuruhan-131-orang

7
Pelanggaran HAM Berat pada Tragedi Kanjuruhan (Muh Fajrul Karnivan)

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

REFERENSI

BUKU
Nalom Kurniawan, “Kasus Rohingya dan Tanggung Jawab Negara dalam Penegakan
Hak Asasi Manusia” (Jurnal Konstitusi, 2017).
Andrey Sujatmoko, 2004, Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran
Berat Hak Asasi Manusia Menurut Hukum Internasional, Tesis, Universitas
Padjajaran.
RB Sularto, “Pengadilan HAM (ad-hoc): Telaah Kelembagaan dan Kebijakan Hukum.”
Jakarta: Sinar Grafika (2014).
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, “Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu
Rekomendasi Jilid II." Jakarta: KHN RI (2007).
Mappi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, "Sinkronisasi Hukum Acara Pengadilan
Hak Asasi Manusia." Excecutive Summary, Penelitian September 2003.
F. Sugeng Istanto, “Hukum Internasional.” Yogyakarta: Universitas Atma Jaya (1994)

INTERNET
https://nasional.tempo.co/amp/1642553/kronologi-tragedi-kanjuruhan-malang-yang-
dipaparkan-kapolri
https://nasional.tempo.co/amp/1648878/6-tersangka-tragedi-kanjuruhan-akan-
ditahan-hari-ini
https://www.kompas.tv/article/338219/9-poiin-hasil-investigasi-tgipf-tragedi-
kanjuruhan
Kemenkopmk.go.id/data-terbaru-korban-meninggal-tragedi-kanjuruhan-131-orang
https://www.amnesty.id/apa-itu-pelanggaran-ham-berat/

Anda mungkin juga menyukai