Kelompok : 1 Anggota : Syahdan Syam R Fadli Saputra Siti Barokahah Ismi Dwi R Bunga Okta M Akbar Faturochman
Kasus yang Diangkat :
Kasus Penembakan Brigadir J atau
Kasus Ferdy Sambo Kasus, dan Pasal yang Dilanggar
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal
Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan, keempatnya dikenakan Pasal 340 subsider 338 juncto Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Isi Pasal 55 KUHP ayat (1):
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Isi Pasal 55 KUHP ayat (2):
Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Isi Pasal 340 KUHP:
"Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun."
Isi Pasal 338 KUHP:
Kemudian, Pasal 338 juga tertuang dalam Bab XIX. Berikut bunyinya:
"Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun."
Isi Pasal 56 KUHP:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Penetapan tersebut disampaikan oleh Irwasum Polri Komjen
Agung Budi Maryoto pada Jumat (19/8/2022).
"Penyidik juga telah melaksanakan pemeriksaan mendalam
dengan scientific investigasi, maka penyidik telah menetapkan Saudari PC sebagai tersangka," kata Agung dikutip dari Kompas.com, Jumat (19/8/2022) Jakarta - Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan proses penegakan hukum dan etik dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat telah mengesankan hukum tak pandang bulu dalam tubuh Polri. Dia pun mengingatkan agar proses benar-benar adil, akuntabel, dan terbuka. "Secara umum penetapan status tersangka untuk FS (Irjen Ferdy Sambo) serta beberapa personel lain dan pemeriksaan dugaan pelanggaran etik oleh Tim Khusus bentukan Kapolri (Jenderal Listyo Sigit Prabowo) bisa dikatakan telah mengesankan penegakan hukum yang lebih tegas dan tidak pandang bulu di dalam Polri," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Selasa (16/8/2022).
"Namun penerapan status tersangka maupun dugaan pelanggaran
kode etik terhadap puluhan personel baik dari Polres Jaksel, Polda Metro Jaya (PMJ) maupun Mabes Polri mesti benar-benar fair, akuntabel, dan terbuka dalam prosesnya," sambung Hendardi.
Jangan sampai, imbuhnya, terjadi keputusan-keputusan yang
mencederai rasa keadilan. "Juga kecenderungan penerapan dugaan dan sanksi etik ini secara tidak transparan dapat menuai prasangka pemanfaatan untuk interest tertentu maupun upaya menyudutkan pihak-pihak tertentu secara unfair," lanjut Hendardi.
Terakhir, Hendardi berharap proses pemeriksaan etik dan pidana
terkait kasus Brigadir J dapat disampaikan ke publik secara bertahap dan transparan. Termasuk melibatkan pengawas eksternal Polri, contohnya Kompolnas.
Masih kata Hendardi, sangkaan yang dikenakan pada anggota
yang melanggar aturan juga harus dipertimbangkan matang. Dia mengingatkan, jangan sampai terjadi ketidakadilan. "Dugaan sangkaan atau menyatakan ketidakprofesionalan anggota mesti dengan pertimbangan matang menyangkut apakah seluruh personel dalam tiga jenjang proses penyelidikan dan penyidikan dimulai di Polres Jakarta Selatan, lalu PMJ, maupun terakhir di Bareskrim Mabes Polri memiliki dasar fakta-fakta awal yang sama dan transparan untuk dianalisis," jelas Hendardi. "Untuk anggota yang diduga melanggar etik tentu dapat dijerat pidana apabila dapat dibuktikan yang bersangkutan memang terkait langsung dengan peristiwa pidananya atau turut serta membantu tindak pidana," ucap Hendardi.
Dia pun mengingatkan agar proses pidana kepada para terduga
pelaku diterapkan secara hati-hati dan dengan tanggung jawab. Hendardi menilai banyaknya anggota Polri yang terlibat sebenarnya hanya korban skenario awal yang dikarang Irjen Ferdy Sambo.
"Namun penetapan jerat pidana tersebut mesti dilakukan secara
berhati-hati dan bertanggung jawab, serta harus cukup terbuka tentang tindak pidana apa yang dilakukan yang bersangkutan. Banyak anggota yang sebenarnya hanyalah korban skenario di awal kasus ini muncul," tutur Hendardi.
Hendardi kemudian beranggapan pentingnya mempertimbangkan
kondisi mental dan moral anggota, juga kewibawaan institusi Polri dalam proses pemeriksaan etik serta dugaan tindak pidana. "Melihat cukup banyak personel Polri yang diperiksa berkaitan dengan pelanggaran etik dan pidana, sangat penting dipertimbangkan tentang kondisi mental dan moral anggota serta kewibawaan institusi," lanjut Hendardi. "Seyogianya setiap proses pemeriksaan baik hukum maupun etik dapat diinfokan secara bertahap dan terbuka untuk menghindari prasangka-prasangka dan menunjukkan proses yang akuntabel. Termasuk di dalamnya melibatkan Kompolnas dalam pengawasan proses sesuai kewenangannya sebagaimana bunyi Pasal 9 ayat g dan f Perpres 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional," pungkas Hendardi.