Anda di halaman 1dari 24

H

Vol. VII, No. 05/I/P3DI/Maret 2015

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI DALAM


KASUS BEGAL
Lidya Suryani Widayati*)

Abstrak
Tindakan main hakim sendiri merupakan wujud dari kemarahan masyarakat
terhadap maraknya kasus begal dan lemahnya penegakan hukum terhadap kasus
tersebut sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat
penegak hukum dan penegakan hukumnya. Salah satu strategi penanggulangan
tindakan main hakim sendiri adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum. Aparat penegak hukum juga harus bertindak tegas
terhadap pelaku yang melakukan tindakan main hakim sendiri. Tindakan tersebut
tidak hanya bertentangan dengan aturan hukum tapi juga melanggar asas praduga
tidak bersalah.

Pendahuluan

Memasuki tahun 2015, masyarakat


dikejutkan dengan tindakan main hakim
sendiri terhadap pelaku begal. Pelaku begal
dibakar hidup-hidup
sampai tewas oleh
warga di Pondok Aren, Tangerang Selatan
(24/2/2015). Kejadian yang nyaris serupa
terjadi di Makasar (28/2/2015). Dua pelaku
jambret nyaris tewas dihakimi massa saat
tertangkap tangan. Tindakan main hakim
sendiri juga terjadi ketika seorang begal yang
beraksi di Pasar Minggu (1/3/2015) dihakimi
warga setempat dan akhirnya tewas di rumah
sakit.
Tindakan main hakim sendiri dalam
kasus begal memang bukan fenomena baru.
Harian KOMPAS (16/6/2000) mencatat
selama tahun 1999 s/d Mei 2000 hanya
di wilayah Jabotabek saja telah terjadi 46
tindakan main hakim sendiri dengan korban
dibakar dan tewas sebanyak 57 orang. Korban

tersebut semuanya adalah pelaku kriminal,


seperti pencurian/perampasan kendaraan
bermotor, pencurian ternak, dan sebagainya
(Setyoko, 2000).
Tindakan
main
hakim
sendiri
(eigenrechting)
dapat
dilakukan
oleh
perseorangan, masyarakat, oknum pejabat
sipil, atau oknum penegak hukum. Sebelum
tumbangnya Orde Baru, tindakan tersebut
lebih didominasi oleh oknum aparat terhadap
lawan politik Negara. Menjelang akhir Orde
Baru, muncul fenomena tindakan main hakim
sendiri yang dilakukan oleh masyarakat sipil,
seperti dipicu oleh kebijakan aparat melalui
penembakan misterius (petrus), hingga
pembunuhan antar preman, pembunuhan
terhadap orang-orang yang dituduh tukang
santet (Nur Ismanto, 2000).
Mencermati tindakan main hakim
sendiri terhadap pelaku begal, pertanyaan

*) Peneliti Madya Hukum Pidana pada Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal
DPR RI. E-mail: lidyadhi@yahoo.com.
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-1-

yang muncul adalah bagaimana hukum pidana


mengatur tindakan tersebut?

antara penjahat dan korban yang tidak segera


diselesaikan atau diselesaikan dengan hasil
yang dirasakan tidak adil bagi korban. Korban
merasa kepentingan dan hak-haknya diinjakinjak bahkan dihancurkan oleh penjahat maka
korban berkewajiban untuk mempertahankan
kepentingannya dan hak-haknya terhadap
penjahat secara langsung dengan jalan
kekerasan bahkan mungkin lebih keras dan
lebih kejam dari cara yang digunakan oleh
pelaku (Iswanto, 2000).

Faktor Penyebab Terjadinya


Tindakan Main Hakim Sendiri

Donald Black dalam The Behavior, 1976,


merumuskan bahwa ketika pengendalian sosial
melalui upaya hukum tidak jalan, maka bentuk
lain dari pengendalian sosial secara otomatis
akan muncul. Tindakan yang dilakukan oleh
individu dan kelompok yang dari perspektif
hukum dapat digolongkan sebagai tindakan
main hakim sendiri, pada hakikatnya
merupakan wujud pengendalian sosial yang
dilakukan masyarakat (Zainuddin Ali, 2008).
Tindakan
main
hakim
sendiri
merupakan perwujudan dari apa yang
diistilahkan oleh Smelser sebagai a hostile
outburst atau a hostile frustration. Tingkat
kepercayaan masyarakat pada pranata formal
termasuk terhadap law enforcement sudah
teramat buruk. Sudah menjadi adagium: ketika
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum memburuk, maka tingkat
tindakan main hakim sendiri akan meningkat.
Oleh karena itu, harus ada strategi raksasa
dalam upaya penanggulangan tindakan
tersebut. Dalam hal ini, strategi raksasa
adalah pengembalian kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dan penegakan hukum
(Zainuddin Ali, 2008).
Fungsi hukum adalah memelihara
kepentingan
umum,
menjaga
hak-hak
manusia, mewujudkan keadilan (Huijbers,
1982)
dan
menciptakan
ketertiban.
Kusumaatmadja menyatakan bahwa ketertiban
sebagai tujuan utama hukum merupakan
suatu fakta objektif yang berlaku bagi
masyarakat. Kebutuhan terhadap ketertiban
ini, syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat
yang teratur. Untuk mencapai ketertiban,
diperlukan adanya kepastian hukum dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat
(Kusumaatmadja, 2002).
Mengkaji apa yang menjadi fungsi
hukum
tersebut
maka
ketika
negara
melalui aparat penegak hukumnya tidak
dapat memenuhi dan melindungi hakhak setiap warga negara atas kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, dan harta benda, serta
tidak dapat memberikan rasa aman maka akan
menimbulkan tindakan main hakim sendiri.
Tindakan main hakim sendiri juga dapat
terjadi karena penegakan hukum yang tidak
memberikan efek jera bagi pelaku dan tidak
menimbulkan rasa takut bagi yang lain.
Menurut Iswanto tindakan main hakim
sendiri terjadi karena keretakan hubungan

Tindakan Main Hakim Sendiri


Dalam Perspektif Hukum Pidana

Ketentuan dari zaman kuno vim vi


repellere licet (kekerasan tidak boleh dibalas
dengan kekerasan) kiranya tidak berlaku
lagi. Ketentuan itu sekarang digantikan oleh
upaya penegakan hukum oleh penguasa
(demi ketertiban umum). Hanya jika negara
dan organ-organnya tidak mampu lagi
memberikan perlindungan, padahal jelas ada
kebutuhan mendesak untuk melindungi diri,
maka tindakan main hakim sendiri diakui
keabsahannya. Negara tidak layak menuntut
warga negaranya untuk pasrah membiarkan
ketidakadilan
menimpa
mereka
(Jan
Remmelink, 2003).
Oleh karena itu, pelaksanaan sanksi
adalah monopoli negara. Perorangan tidak
diperkenankan melaksanakan sanksi untuk
menegakkan hukum. Memukul orang yang
telah menipu kita, menyekap orang yang
tidak mau melunasi hutang, mencuri
sepeda motor milik sendiri dari pencurinya,
semuanya merupakan tindakan main hakim
sendiri. Tindakan tersebut dilarang dan pada
umumnya merupakan tindak pidana, tetapi
tidak selalu demikian. Setiap pelanggar aturan
hukum pada dasarnya harus dikenakan sanksi.
Namun ada perbuatan-perbuatan tertentu
yang tidak dikenakan sanksi (Mertokesumo,
1996), karena adanya alasan penghapus
pidana.
Buku I Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) menentukan mengenai
sejumlah
alasan
penghapus
pidana.
Berdasarkan Pasal 103 KUHP, ketentuan
tersebut juga meliputi semua delik (tindak
pidana) di luar KUHP. Alasan penghapus
pidana tersebut adalah: tidak mampu
bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP), daya
paksa dan keadaan darurat (Pasal 48 KUHP),
pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa
melampaui batas (Pasal 49 KUHP), untuk
melaksanakan
ketentuan
undang-undang
(Pasal 50 KUHP), untuk melaksanakan
perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).

-2-

Dari beberapa Pasal tersebut, ketentuan


yang paling terkait dengan tindakan main
hakim sendiri adalah Pasal 49 KUHP
mengenai pembelaan terpaksa dan pembelaan
terpaksa melampaui batas. Dalam konteks
ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah
tindakan main hakim sendiri dapat dipandang
sebagai pembelaan diri karena pembelaan
terpaksa atau pembelaan terpaksa melampaui
batas seseorang atau masyarakat ketika
menghadapi kejahatan yang menimpanya.
Pasal 49 ayat (1) menentukan bahwa
tidak dipidana, barang siapa melakukan
perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri atau kepunyaan
orang lain, karena ada serangan atau ancaman
serangan yang sangat dekat pada saat itu yang
melawan hukum. Berdasarkan rumusan
Pasal 49 Ayat (1), pembelaan diri tidak boleh
melampaui batas yang ditentukan, kecuali
apa yang ditetapkan dalam Ayat (2) dari Pasal
tersebut yang menentukan bahwa pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat
karena serangan atau ancaman serangan,
tidak dipidana. Dengan menggunakan dasar
penghapus pidana dalam Pasal 49, orang yang
terpaksa melakukan pembelaan dengan main
hakim sendiri, dapat tidak dipidana sepanjang
tindakan tersebut sesuai dengan unsur-unsur
pembelaan terpaksa atau pembelaan terpaksa
melampaui batas.
Dengan demikian, hukum pidana telah
menentukan batasan kebolehan seseorang
membela diri dari suatu serangan yang
melawan hukum atas suatu tindak pidana.
Oleh karena itu, tindakan main hakim sendiri
yang tidak jarang mengakibatkan hilangnya
nyawa seseorang sudah tidak memenuhi
ketentuan Pasal 49 KUHP. Dalam hal ini,
aparat penegak hukum dapat menindak pelaku
yang melakukan tindakan main hakim sendiri.
Namun menurut Marwan Mas, telah
terjadi pergeseran nilai masyarakat bahwa
tindakan main hakim sendiri bukan lagi
perbuatan melawan hukum yang dapat
dipidana. Dalam teori hukum pidana dikenal
sifat melawan hukum materiil dalam fungsi
negatif. Teori ini menyebutkan, meskipun
suatu perbuatan secara tegas dinyatakan
melawan hukum dalam hukum tertulis,
menurut nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
masyarakat perbuatan itu tidak perlu dipidana.
Sebaliknya dalam teori sifat melawan hukum
materiil dalam fungsi positif, meskipun
suatu perbuatan tidak dirumuskan sebagai
perbuatan melawan hukum dalam hukum

tertulis,
jika
masyarakat
menganggap
perbuatan itu tercela karena bertentangan
dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
masyarakat, perbuatan itu dapat dipidana.
Ukuran pembenaran teori hukum pidana
tentang sifat melawan hukum materiil dalam
fungsi negatif akan terlihat pada tindakan
polisi. Apabila polisi membiarkan atau tidak
menangkap dan memproses warga masyarakat
yang melakukan tindakan main hakim sendiri,
teori itu memiliki penguatan dan pembenaran.
Aparat penegak hukumlah yang memiliki
dibenarkan dengan tidak memproses warga
masyarakat atau tetap memprosesnya sesuai
hukum yang berlaku.
keamanan dan ketertiban masyarakat
berdasarkan UU No 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian, tindakan main hakim sendiri dapat
menimbulkan penafsiran
sebagai potensi
dan kekuatan masyarakat dalam menangkal,
mencegah, dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hukum.
Selain itu, peraturan perundangundangan, terutama KUHP tidak mengatur
secara khusus mengenai tindakan main hakim
sendiri. Menurut Wirjono Prodjodikoro,
tindakan main hakim sendiri tidak dilarang
sepanjang tidak memenuhi perumusan tindak
pidana lain (Prodjodikoro: 2002). Mencermati
tindakan main hakim sendiri dalam kasus
begal maka tindakan tersebut telah memenuhi
perumusan tindak pidana lain. Tindakan main
hakim sendiri, seperti: merusak kendaraan
pelaku, menganiaya, membakar pelaku
hingga mengalami luka-luka atau bahkan
mengakibatkan hilangnya nyawa pelaku
telah memenuhi perumusan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam KUHP. Beberapa
ketentuan tindak pidana dalam KUHP
dapat diberlakukan terhadap tindakan main
hakim sendiri, antara lain Pasal 351 tentang
penganiayaan, Pasal 170 tentang kekerasan,
dan Pasal 406 tentang perusakan.
Jika tindakan main hakim sendiri sudah
memenuhi rumusan tindak pidana seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dikaji mengenai keharusan tindakan main
hakim sendiri sebagai pembelaan diri dan
kepatutan akan tindakan main hakim sendiri
dengan menggunakan alasan penghapus
pidana karena pembelaan terpaksa.
Jika kasus begal dikaitkan dengan
Asas subsidiaritas dalam hukum pidana
yang
menyatakan
bahwa
seseorang
melanggar
kepentingan
hukum
untuk
melindungi kepentingan hukum orang lain
-3-

Di pihak lain, aparat penegak hukum


juga harus bertindak tegas terhadap pelaku
yang melakukan tindakan main hakim sendiri.
Tindakan tersebut tidak hanya bertentangan
dengan aturan hukum tapi juga melanggar
asas praduga tidak bersalah. Setiap warga
negara atau masyarakat tidak boleh dibiarkan
untuk mengambil alih kewenangan dan tugas
aparat penegak hukum untuk menanggulangi
atau memberantas kejahatan karena apabila
dibiarkan akan berlaku hukum rimba.
Tulisan ini juga merekomendasikan
agar RUU tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia (yang
sudah masuk dalam Program Legislasi
Nasional) antara lain dapat merevisi
pengertian
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat
agar
tidak
menimbulkan
penafsiran yang negatif.

tidak diperkenankan, jika perhitungan itu


dapat dilakukan tanpa atau dengan kurang
merugikan. Dengan kata lain, tidak ada
kemungkinan yang lebih baik atau jalan yang
lain. Dalam kasus begal, pembelaan (seperti:
memukul, menghajar pelaku begal, dan
sebagainya) tidak menjadi keharusan (jadi,
tidak akan dibenarkan) selama orang (korban)
masih bisa melarikan diri.
Selain itu, dapat dikaitkan dengan Asas
proporsionalitas, yaitu dimana pelanggaran
kepentingan
hukum
untuk
melindungi
kepentingan hukum orang lain dilarang,
jika kepentingan hukum yang dilindungi
tidak seimbang dengan pelanggarannya.
Sehubungan dengan pembelaan terpaksa, ini
berarti bahwa tindak pidana yang dilakukan
untuk pembelaan tidak boleh demikian
beratnya sehingga tidak seimbang dengan
beratnya tindak pidana yang dilakukan
pelaku. Dalam kasus begal, tindakan main
hakim sendiri seperti menganiaya, melakukan
kekerasan, membakar pelaku begal bahkan
hingga tewas adalah tidak dibenarkan karena
tidak seimbang dengan apa yang dilakukan
pelaku.
Selain memenuhi perumusan tindak
pidana dalam KUHP dan melanggar asasasas terkait dengan alasan penghapus
pidana, tindakan main hakim sendiri juga
bertentangan dengan asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocence). Oleh
karena itu, tindakan main hakim sendiri
seharusnya dapat dicegah atau diproses hukum
oleh aparat penegak hukum.

Referensi

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta:


Jan Remmelink, Hukum Pidana, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep
Hukum Dalam Pembangunan, Bandung:
Alumni, 2002
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana
Aditama, 2002.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam
Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1982.
Nur
Ismanto,
Tinjauan
Yuridis
Eigenrichting:
Declinatoisme
Penegakan Hukum Oleh Masyarakat,
Makalah Dalam Seminar Main Hakim
Sendiri Oleh Masyarakat, Kerjasama
Unsoed-Polwil-PWI, 5 Agustus 2000.
Iswanto, Kecenderungan Masyarakat Main
Hakim Sendiri, Makalah Dalam Seminar
Main Hakim Sendiri Oleh Masyarakat,
Kerjasama Unsoed-Polwil-PWI, 5 Agustus
2000
TB Ronny Rachman Nitibaskara Fenomena
Begal, KOMPAS, Sabtu, 28 Februari 2015.
Marwan
Mas
Ketika
Begal
Diadili
Masyarakat, Media Indonesia, Rabu 4
Maret 2015.

Penutup

Tindakan
main
hakim
sendiri
merupakan perwujudan dari tumpukan
kemarahan atau kekecewaan masyarakat
terhadap semakin maraknya kasus begal
dan lemahnya penegakan hukum terhadap
kasus
tersebut
sehingga
menimbulkan
ketidakpercayaan
masyarakat
terhadap
aparat penegak hukum dan penegakan
hukumnya. Oleh karena itu, salah satu strategi
penanggulangan tindakan main hakim sendiri
adalah pengembalian kepercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum. Aparat penegak
hukum
harus
dapat
mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum atas terjadinya segala bentuk kejahatan
termasuk kasus begal. Upaya ini dilakukan
guna memenuhi dan melindungi hakhak setiap warga negara atas kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, dan harta benda, serta
memberikan rasa aman bagi setiap warga
Negara.
-4-

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Vol. VII, No. 05/I/P3DI/Maret 2015

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

DIPLOMASI ANTI-NARKOBA
Simela Victor Muhamad*)

Abstrak
Kejahatan narkoba lintas batas negara merupakan sebuah kejahatan transnasional
yang memberikan ancaman terhadap negara dan masyarakat. Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional tidak lepas dari kejahatan transnasional
ini. Tingkat kejahatan narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami
kenaikan diikuti dengan jenis narkoba yang terus bervariasi dan modus operandi yang
berubah-ubah. Indonesia telah menjadi negara target sindikat narkoba internasional.
Pemerintahan Presiden Jokowi menetapkan hukuman mati terhadap kasus narkoba.
Kebijakan tersebut menimbulkan pro dan kontra, terutama di negara asal terpidana.
Pemberlakuan hukuman mati terhadap kasus narkoba merupakan tantangan tersendiri
bagi Indonesia untuk mampu menjelaskan hal tersebut kepada masyarakat internasional
melalui diplomasi anti-narkoba..

Pendahuluan

narkoba di Indonesia.
Reaksi dari beberapa negara, seperti
Brasil, Belanda, dan kemudian juga Australia
harus
diletakkan
secara
proporsional
sebagai hak dari setiap negara tersebut,
sejauh sifatnya tidak mengganggu hubungan
bilateral. Masalah menjadi lain ketika negaranegara tersebut terus mempersoalkan dan
mencoba
mengintervensi
pelaksanaan
hukuman mati yang akan menimpa
warga mereka karena kasus narkoba di
Indonesia. Di sinilah hubungan bilateral dan
diplomatik Indonesia dengan negara-negara
tersebut mengalami ujian, bahkan cukup
terganggu. Hal tersebut terlihat dalam kasus
dibatalkannya secara mendadak penyerahan
credential letter (surat kepercayaan) Toto
Riyanto sebagai Duta Besar RI untuk Brasil
pada 20 Februari 2015 lalu oleh pihak Brasil.

Salah satu bukti bahwa Indonesia


menjadi target sindikat narkoba internasional
adalah banyaknya warga negara asing
(WNA) yang tertangkap dan diproses secara
hukum di Indonesia karena berusaha
menyelundupkan
narkoba.
Beberapa
diantaranya bahkan telah divonis sebagai
terpidana mati oleh pengadilan. Berdasarkan
data yang didapat dari Badan Narkotika
Nasional (BNN) per Januari 2015, dari 66
terpidana mati kasus narkoba yang sedang
menunggu untuk dieksekusi, diketahui
jumlah terpidana mati yang merupakan
WNA berjumlah 39 orang. Reaksi keras
pun muncul dari beberapa negara atas
pelaksanaan hukuman mati terhadap warga
negara mereka yang sudah dan akan dijatuhi
hukuman mati karena kasus kejahatan

*) Peneliti Madya Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Bidang Hubungan Internasional, Pusat Pengkajian, Pengolahan
Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Email: victorsimela@yahoo.co.id.
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-5-

tersangka pada tahun 2013, meningkat


menjadi 18.788 kasus dan melibatkan
sebanyak 25.151 tersangka di tahun 2014.
Jumlah orang meninggal rata-rata per hari
akibat penyalahgunaan narkoba dan pengguna
narkoba yang direhabilitasi pun meningkat
jumlahnya di Indonesia. Angka yang pasti
mengenai jumlah orang yang meninggal ratarata per hari akibat penyalahgunaan narkoba
masih diperdebatkan di kalangan LSM, tetapi
BNN pernah menyebutkan bahwa pada 2014
rata-rata sekitar 33 orang yang meninggal per
hari. Data ini setidaknya menunjukkan bahwa
peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba
di Indonesia sudah semakin parah, bahkan
Presiden Jokowi pernah menyebutkan bahwa
Indonesia sudah berada pada tingkat negara
darurat narkoba
Ini artinya, langkah tegas memang
perlu
diambil
oleh
Indonesia
untuk
mengatasi masalah narkoba yang sudah
sangat mengancam kehidupan masyarakat
Indonesia. Langkah tegas tersebut, antara
lain, adalah dengan membuat kebijakan
hukum yang tegas, seperti tercermin dalam
ketentuan pidana Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UndangUndang Narkotika), yang antara lain memuat
ketentuan hukuman mati bagi pelanggarnya,
terutama
yang
dikategorikan
sebagai
pengedar dan bandar narkoba. Situasi dan
kondisi Indonesia yang darurat narkoba serta
ketentuan hukum Indonesia yang tegas terkait
narkoba inilah yang perlu dikomunikasikan
oleh Indonesia melalui jalur diplomasi,
terutama terhadap negara-negara yang
warganya menjadi terpidana kasus narkoba di
Indonesia.

Pelaksanaan hukuman mati terhadap


pelaku kasus narkoba, sebagai bagian dari
penegakan hukum positif yang masih berlaku
di Indonesia, dan pelaksanaan hubungan
bilateral antara Indonesia dengan negaranegara sahabat sesungguhnya tidak ada
kaitannya satu sama lain. Kedaulatan hukum
suatu negara harus dihormati, sedangkan
hubungan bilateral antarnegara merupakan
bagian dari pergaulan antarbangsa yang sudah
seharusnya dikembangkan dan ditingkatkan
oleh negara-negara di dunia. Kajian singkat
ini mencoba mengulas perihal diplomasi antinarkoba yang sudah seharusnya diintensifkan
oleh Indonesia, baik secara bilateral maupun
multilateral. Diplomasi anti narkoba bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang utuh
kepada masyarakat internasional tentang
bahaya ancaman narkoba di Indonesia dan
upaya serius Indonesia untuk mengatasinya.

Indonesia Darurat Narkoba


Diplomasi anti narkoba yang dilakukan
oleh Indonesia sudah tentu tidak dapat
dipisahkan dari adanya kebijakan Indonesia
yang tegas dalam memerangi peredaran gelap
narkoba. Narkoba telah menjadi ancaman
serius bagi bangsa Indonesia, khususnya
keamanan manusia (human security) bangsa
Indonesia. Ancaman itu nyata, karena sindikat
internasional telah menjadikan Indonesia
sebagai pasar potensial bagi peredaran gelap
narkoba.
Tidak
dapat
dipungkiri
bahwa
dengan jumlah penduduk terbesar di Asia
Tenggara (separuh dari penduduk ASEAN
yang berjumlah lebih dari 500 juta jiwa),
ditambah dengan pengguna narkoba yang
cenderung meningkat jumlahnya, Indonesia
menjadi pasar yang menarik bagi sindikat
narkoba internasional. Oleh karena itu tidak
mengherankan, berbagai upaya dilakukan
oleh para sindikat narkoba internasional
untuk memasukkan barang dagangannya
ke Indonesia dengan cara diselundupkan.
Modus operandi penyelundupan sudah
tentu dilakukan dengan berbagai cara untuk
mengelabui petugas agar narkoba yang
dibawa atau dikirim sindikat internasional ke
Indonesia lolos dari penyitaan.
Berdasarkan hasil temuan Direktorat
Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri,
terungkap bahwa kasus narkoba di Indonesia

Diplomasi Bilateral
Dalam kerangka bilateral, diplomasi
anti-narkoba yang dilakukan oleh Indonesia
adalah
melakukan
komunikasi
secara
intensif dengan negara-negara sahabat
secara bilateral guna menyampaikan perihal
ancaman narkoba yang semakin masif dan
nyata di Indonesia, dan oleh karena itu perlu
suatu pengertian yang bisa dipahami oleh
negara-negara sahabat. Bahaya ancaman
narkoba yang sudah menjadi keprihatinan
masyarakat internasional, termasuk badan
dunia PBB melalui UNODC (United Nations
), harus menjadi
dasar bagi upaya bersama negara-negara
di dunia untuk memerangi peredaran gelap

yang semula 17.539 kasus dengan 23.000


-6-

dan penyalahgunaan narkoba. Ini artinya,


diplomasi yang dilakukan secara bilateral oleh
Indonesia pada dasarnya, selain merupakan
kepentingan nasional, juga merupakan
bagian dari bentuk keprihatinan masyarakat
internasional akan bahaya ancaman narkoba.
Negara-negara di dunia pada dasarnya
menaruh perhatian yang besar terhadap
bahaya ancaman narkoba, dan oleh karena
itu diplomasi anti-narkoba secara bilateral
sesungguhnya hanya menegaskan komitmen
bersama antarnegara agar bisa lebih tegas lagi
mengatasi masalah tersebut. Salah satu bentuk
ketegasan suatu negara dalam mengatasi
masalah narkoba adalah melalui ketentuan
pidana
dalam
peraturan
perundangundangannya yang berkaitan dengan narkoba.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas,
melalui Undang-Undang Narkotika, Indonesia
memberlakukan hukuman mati bagi pelanggar
berat undang-undang tersebut. Berbagi
informasi terkait ketentuan pidana bagi
pelanggar undang-undang terkait narkoba di
masing-masing negara sudah tentu juga harus
menjadi bagian yang dikomunikasikan dalam
diplomasi bilateral anti-narkoba.
Ketentuan pidana yang tegas bagi
pelanggar peraturan perundang-undangan
tentang narkoba merupakan sesuatu yang
penting untuk diketahui dan dipahami oleh
negara-negara yang sedang membangun
kesepahaman
secara
bilateral
dalam
memberantas
narkoba.
Terbangunnya
pemahaman sejak awal di antara negaranegara dapat membantu negara-negara
tersebut dalam menjelaskan kepada publiknya
bahwa mereka harus menghormati kedaulatan
hukum negara lain jika ada warga dari negara
mereka yang dijatuhi hukuman karena
kasus narkoba. Diplomasi anti-narkoba
seperti inilah, selain membangun kerja
sama bilateral lainnya terkait pencegahan
dan pemberantasan narkoba, yang perlu
dilakukan dan diintensifkan oleh Indonesia.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas,
yakni diplomasi yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang utuh kepada
masyarakat internasional tentang bahaya
ancaman narkoba dan upaya serius untuk
mengatasinya, termasuk melalui penegakan
hukum yang tegas.
Sejauh ini negara-negara di dunia
memiliki komitmen yang sama dan tinggi
dalam pemberantasan peredaran gelap
narkoba. Mereka pun sepertinya sepakat

untuk menjatuhkan hukuman yang berat


terhadap pelaku peredaran gelap narkoba.
Sejumlah negara ASEAN, selain Indonesia,
memberlakukan hukuman mati bagi pelaku
peredaran gelap narkoba, seperti Singapura,
Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Tidak
semua negara menerapkan hukuman mati
bagi pelaku peredaran gelap narkoba. Dalam
hal penegakan hukum, termasuk penegakan
hukum terkait kasus narkoba, setiap negara
memiliki ketentuan hukumnya masingmasing dan hal ini merupakan kedaulatan
hukum yang tidak bisa diintervensi. Jika
dalam diplomasi bilateral hal tersebut bisa
dipahami oleh masing-masing negara, maka
tidak ada alasan bagi suatu negara untuk
mengintervensi putusan hukum yang telah
dijatuhkan terhadap warga negara mereka
yang terlibat kasus narkoba.
Mengingat aktor diplomasi dalam
hubungan internasional kini tidak saja
semata-mata hanya diplomat dari unsur
kementerian luar negeri, maka dalam
pelaksanaan diplomasi anti-narkoba ini
sudah selayaknya melibatkan pemangku
kepentingan terkait, seperti unsur kepolisian,
BNN, bahkan LSM anti-narkoba. Kerja sama
antarkepolisian di antara negara-negara
di kawasan yang selama ini sudah terjalin,
kiranya dapat digunakan untuk meningkatkan
kerja sama di bidang pemberantasan narkoba,
seperti halnya antara kepolisian Indonesia dan
Polis Diraja Malaysia, atau antara kepolisian
Indonesia dan kepolisian Australia. Forum
bilateral khusus antarnegara yang melibatkan
seluruh pemangku kepentingan terkait kiranya
juga perlu dikembangkan ke depan guna
membahas upaya pemberantasan narkoba.

Diplomasi Multilateral
Upaya
pemberantasan
narkoba
sudah tentu juga perlu ditingkatkan
melalui diplomasi multilateral. Di sini, titik
tekannya pada membangun kerja sama
antarnegara secara multilateral, terutama
melalui kerja sama antar-institusi atau
pemangku
kepentingan
terkait,
dalam
pemberantasan peredaran gelap narkoba,
karena tidak mungkin suatu negara dapat
memberantas peredaran gelap narkoba
yang sudah mendunia ini sendirian. Dalam
pemberantasan peredaran gelap narkoba
internasional,
masyarakat
internasional
telah banyak membentuk kerja sama
internasional, seperti melalui Interpol,
-7-

Europol,

ASEANAPOL,

ASOD (ASEAN
), dan lainlain. Selain tentunya melalui wadah Badan
Anti-Narkoba PBB (UNODC). Dalam wadah
atau forum multilateral tersebut biasanya
dibahas berbagai upaya kerja sama untuk
memberantas peredaran gelap narkoba
dalam lingkup yang lebih luas, baik di suatu
kawasan maupun tingkat global.
Khusus ASEAN, saat ini negara-negara
perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara
ini tengah berupaya keras melakukan upaya
memerangi peredaran narkoba, termasuk
diantaranya memberlakukan hukuman mati
bagi pelaku peredaran gelap narkoba. Hal
ini sejalan dengan visi yang diusung bersama
untuk membebaskan kawasan Asia Tenggara
dari peredaran narkoba pada tahun 2015,
meskipun hal itu tidak mudah dilakukan.
Wadah atau forum multilateral
sudah tentu juga harus dimanfaatkan oleh
Indonesia untuk membangun komunikasi
yang intensif, selain bertukar pengalaman
dan informasi, seputar upaya pemberantasan
narkoba. Suatu forum yang juga tidak
kalah penting yang dapat dilakukan oleh
Indonesia adalah melalui jalur diplomasi
antarparlemen. Memperhatikan aktivitas
pertemuan fora antarparlemen selama
ini, isu pemberantasan narkoba juga
kerap menjadi bagian dari agenda yang
dibahas. Bahkan untuk tingkat ASEAN,
melalui AIFOCOM (AIPA Fact Finding
),
parlemen negara-negara anggota ASEAN
yang tergabung dalam AIPA secara khusus
membahas upaya pemberantasan narkoba
di kawasan Asia Tenggara, yang hasil
rekomendasinya nanti disampaikan kepada
pemerintah masing-masing. APPF (Asia
), APA (Asian
Parliamentary Assembly), dan berbagai
forum antarparlemen lainnya, termasuk IPU
(Inter-Parliamentary Union) juga kerap
membahas isu pemberantasan narkoba.
Diplomasi
anti-narkoba
yang
dilakukan oleh Indonesia, sekali lagi, harus
memanfaatkan berbagai forum multilateral
tersebut bagi penyampaian informasi yang
utuh tentang ancaman bahaya narkoba
di Indonesia dan upaya serius Indonesia
untuk mengatasinya. Indonesia harus terus
berusaha
mengkomunikasikan
kepada
masyarakat internasional bahwa bahaya
ancaman narkoba merupakan salah satu

musuh bersama yang harus diperangi secara


bersama-sama.

Penutup
Bahaya ancaman narkoba tidak saja
merupakan permasalahan Indonesia semata.
Hampir semua negara di dunia menghadapi
permasalahan tersebut, dan oleh karena itu
upaya untuk mengatasinya harus menjadi
kepedulian dan perhatian masyarakat
internasional. Masih adanya pro dan kontra
di antara negara-negara di dunia terkait
pemberlakuan hukuman mati terhadap
kasus narkoba merupakan tantangan
tersendiri bagi Indonesia, yang harus
mampu menjelaskan bahwa hal tersebut
merupakan hukum positif yang masih
berlaku dan ditegakkan oleh Indonesia,
dan tidak ada kaitannya dengan hubungan
antarnegara. Oleh karena itu, berbagi
informasi terkait ketentuan pidana bagi
pelanggar undang-undang terkait narkoba
di antara negara-negara di dunia harus
menjadi bagian yang dikomunikasikan oleh
Indonesia dalam diplomasi anti-narkoba.

Referensi

William B. McAllister, Drug Diplomacy in


the Twentieth Century: An International
History, Routledge, 2000.
Text your say: Diplomatic tension, The Jakarta
Post, 28 Februari 2015.
Text your say: Heating up diplomacy, The
Jakarta Post, 27 Februari 2015.
Jokowi Sebut Indonesia Negara Darurat
Narkoba,
Tribunnwes.com.
4
Feb
2015,
http://www.tribunnews.com/
nasional/2015/02/04/jokowi-sebutindonesia-negara-darurat-narkoba - diakses
7 Maret 2015.
Ronny Noor, 90 Warga Australia Terancam
Hukuman
Mati
di
Luar
Negeri,
Kompasiana, 26 Januari 2015, http://luarnegeri.kompasiana.com/2015/01/26/90warga-australia-terancam-hukuman-matidi-luar-negeri-719551.html - diakses 7 Maret
2015.
8 Negara ASEAN Yang Terapkan Hukuman
Mati, Liputan6.com. 22 Feb 2015 http://
news.liputan6.com/read/2179609/8-negaraasean-yang-terapkan-hukuman-mati
diakses 7 Maret 2015.

-8-

KESEJAHTERAAN SOSIAL

Vol. VII, No. 05/I/P3DI/Maret 2015

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

RENCANA PENGHENTIAN PENGIRIMAN


TENAGA KERJA INDONESIA SEKTOR INFORMAL
Sali Susiana*)

Abstrak
Bekerja merupakan hak setiap warga negara, termasuk bekerja di luar negeri. Oleh
karena itu rencana penghentian pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sektor
informal perlu diiringi dengan penyediaan lapangan kerja di dalam negeri dan
pembenahan mekanisme rekrutmen serta peningkatan kualitas calon TKI. Apabila
hal itu tidak dilakukan, maka dikhawatirkan jumlah TKI tidak berdokumen (ilegal)
akan semakin bertambah, mengingat terbatasnya lapangan kerja di dalam negeri
mengakomodasi rencana penghentian pengiriman TKI sektor informal ini dalam
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Pendahuluan

Ruyati (TKI yang dihukum pancung di Arab


Saudi karena terbukti membunuh majikannya
dengan alasan untuk membela diri); kasus
penganiayaan oleh majikan terhadap TKI
bernama Sumiati binti Salam Mustapa
asal Dompu, Nusa Tenggara Barat; dan
pembunuhan terhadap Kikim Komalasari,
TKW asal Jawa Barat yang bekerja di Arab
Saudi (Sali Susiana, 2012).
Banyaknya permasalahan yang terjadi
pada TKI, terutama tenaga kerja wanita
(TKW) yang bekerja sebagai pekerja rumah
tangga (PRT) menjadi salah satu alasan
Pemerintah untuk melakukan moratorium
(penghentian
sementara)
penempatan
TKI yang bekerja sebagai PRT ke negaranegara penerima TKI. Untuk negara Arab

Pengadilan Hongkong tanggal 27


Februari 2015 memvonis Law Wan Tung enam
tahun penjara dan membayar denda 15.000
dollar Hongkong (Rp25 juta). Ia dihukum
karena terbukti menyiksa dan menahan
pramuwismanya yang berasal dari Indonesia,
Erwiana Sulistyaningsih, dengan 18 dakwaan,
termasuk mencederai berat, menyerang,
melakukan intimidasi kriminal, dan tidak
membayar upah.
Kasus Erwiana hanyalah satu dari sekian
banyak potret buram yang dialami oleh pekerja
migran atau lebih sering disebut sebagai
Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Selain Erwiana,
kasus yang pernah mendapat perhatian
masyarakat luas antara lain: eksekusi terhadap

*) Peneliti Madya Studi Kemasyarakatan Studi Khusus Gender pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian Pengolahan Data
dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail:sali_susiana@yahoo.com.
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

-9-

Saudi, moratorium mulai diberlakukan pada


tanggal 1 Agustus 2011, tidak lama berselang
setelah terjadi kasus eksekusi hukuman mati
terhadap Ruyati. Tindakan ini merupakan
respons Pemerintah terhadap desakan untuk
melakukan moratorium yang berasal dari
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) dan berbagai pihak lainnya, terutama
organisasi masyarakat sipil dan aktivis pekerja
migran.
Sebelumnya Pemerintah juga telah
melakukan moratorium dengan Malaysia
(25 Juni 2009),
Kuwait (1 September
2009), dan Yordania (30 Juli 2010). Selain
tindakan moratorium, untuk melindungi TKI,
Pemerintah melalui Satgas TKI juga menunjuk
kuasa hukum tetap secara jangka panjang
untuk ditempatkan di di Arab Saudi dan di
Malaysia. Dengan demikian setiap saat ada
pengacara yang siap mendampingi TKI yang
bermasalah di kedua negara tersebut.
Pada
era
pemerintahan
Presiden
Joko Widodo, berkembang wacana untuk
melakukan penghentian pengiriman TKI
sektor informal. Presiden menegaskan hal
tersebut sesaat setelah bertemu dengan
Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak.
Menanggapi
permintaan
itu,
Menteri
Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri menyatakan
kesiapannya untuk melaksanakan rencana
tersebut, yang diikuti dengan pembuatan peta
jalan/road map dengan target Indonesia tidak
lagi mengirim PRT ke luar negeri pada tahun
2017. Menjadi pertanyaan kemudian, apakah
rencana pemerintah untuk menghentikan
pengiriman TKI sektor informal tersebut
merupakan langkah yang tepat, mengingat
keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri
dan animo masyarakat yang besar untuk
menjadi TKI, termasuk yang bekerja di sektor
informal?

lebih kecil dibandingkan dengan TKI yang


tidak tercatat. KemNaker memperkirakan
total ada sekitar 6,2 juta orang TKI. Data
lain dari Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan
Tenaga
Kerja
Indonesia
(BNP2TKI) menunjukkan, hingga Maret 2013
jumlah TKI mencapai 6,5 juta orang yang
bekerja di 42 negara. TKI tersebut berasal
dari 392 kabupaten/kota di Indonesia (Tim
Pengawas DPR RI terhadap Perlindungan TKI,
2014). BNP2TKI juga mencatat bahwa jumlah
TKI yang dilayani oleh BNP2TKI lebih banyak
didominasi oleh TKI sektor formal. Pada tahun
2014 dari total 429.872 orang yang dilayani,
lebih dari setengahnya adalah TKI sektor
formal, yaitu sebanyak 247.610 orang atau 58%
(BNP2TKI, 2015).
Akan tetapi, lebih banyak TKI yang
bekerja di luar negeri yang tidak terdaftar oleh
BNP2TKI atau Kemnaker. Diperkirakan saat
ini sekitar 65% TKI masih didominasi oleh
pekerja sektor informal. Mereka berprofesi
sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan,
dan PRT. Sejak krisis ekonomi yang terjadi
tahun 1998, terdapat sekitar 400.000 orang
yang secara resmi tercatat sebagai TKI
setiap tahunnya.
Data dari Bank Dunia
menunjukkan, pada tahun 2004, jumlah
TKI yang terdaftar mencapai 380.688 orang,
sekitar 83% dari TKI adalah TKW, dan 95% di
antaranya bekerja di sektor informal sebagai
pembantu rumah tangga atau profesi lain yang
sejenis, seperti perawat bayi/babysitter atau
orang lanjut usia/pramurukti (Sali Susiana,
2012).
Bagi banyak orang, bekerja di luar
negeri sebagai TKI telah menjadi salah satu
alternatif yang dapat dipilih di tengah segala
keterbatasan yang mereka hadapi, tidak
terkecuali bagi banyak perempuan miskin
yang memilih untuk bekerja di luar negeri
sebagai TKW. Tidak mengherankan jika setiap
tahun terjadi peningkatan jumlah TKI yang
bekerja ke luar negeri, termasuk perempuan
yang menjadi TKW. Terlebih bila dikaitkan
dengan jumlah pengangguran yang relatif
meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Hal ini dibuktikan dengan data Badan Pusat
Statistik tahun 2014 yang menunjukkan bahwa
sepanjang bulan Februari hingga Agustus
2014, jumlah pengangguran di Indonesia
bertambah 0,09 juta orang dari 7,15 juta orang
meningkat menjadi 7,24 juta orang. Tingkat
pengangguran ini diprediksi akan bertambah
karena pertumbuhan ekonomi yang melambat
pada angka 5,01%.
Sejalan dengan hal itu, World Bank juga
menyatakan bahwa angka penggangguran
yang tinggi merupakan salah satu masalah

Penyediaan Lapangan Kerja dan


Tingkat Pengangguran

Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D ayat
(2) menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Keterbatasan lapangan kerja di dalam
negeri membuat sebagian orang memilih
untuk bekerja di luar negeri dengan menjadi
TKI. Hal ini telah berlangsung sejak tahun
1980-an atau pada masa pemerintahan Orde
Baru.
Berdasarkan
data
Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemnaker), saat ini terdapat
2,5 juta orang TKI yang bekerja di luar negeri.
Namun diperkirakan angka tersebut jauh
- 10 -

bidang ketenagakerjaan yang masih harus


dihadapi Indonesia. Pengangguran meningkat
secara pesat sejak tahun 1997 dan mencapai
puncaknya pada tahun 2003. Angka yang
ada berkisar sekitar 9,5% atau sama dengan
9,5 juta orang. Selain itu terdapat lebih dari
30 juta orang yang berada dalam kategori
setengah pengangguran karena bekerja kurang
dari 35 jam per minggu. Angka pengangguran
ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan
negara Asia lainnya yang juga terkena krisis
seperti Korea (3,7%), Thailand (1,5%) dan
Malaysia sebesar 3,4%.
Kaum muda dan perempuan merupakan
penyumbang terbesar angka pengangguran
nasional. Hampir tiga dari sepuluh orang yang
berusia 15-24 tahun, sedang berusaha mencari
pekerjaan, sementara saat ini dua pertiga dari
orang yang menganggur adalah kaum usia
muda. Angka yang cenderung meningkat ini,
menunjukkan bahwa perekonomian tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk
menyerap pendatang baru dan lulusan sekolah
yang masuk ke dalam angkatan kerja. Di
samping itu, sejak krisis terjadi, lebih banyak
perempuan yang kehilangan pekerjaannya
dibandingkan dengan laki-laki. Saat ini,
perempuan yang menganggur telah mencapai
angka 13%.
Selain
itu,
pengangguran
juga
dipengaruhi penurunan jumlah pekerja sektor
formal. Sejak tahun 2000 serapan pekerja
sektor formal hingga lebih dari 1 juta lapangan
kerja yang hilang di tahun 2003. Kondisi ini
terutama terlihat sekali pada kelompok pekerja
kasar. Di lain pihak, pekerja di sektor informal
menunjukkan gejala yang terus meningkat.
Kecenderungan ini merupakan gambaran
bahwa pekerjaan yang lebih produktif, dengan
sistem jaminan sosial yang memadai sedang
mengalami penurunan, digantikan dengan
pekerjaan yang kurang produktif dan tanpa
proteksi sosial.
Akan tetapi, tidak mudah bagi
pemerintah untuk menyediakan lapangan
kerja yang cukup bagi seluruh angkatan kerja
yang ada. Menurut World Bank, penciptaan
lapangan kerja yang mengecewakan saat
ini amat berbeda jauh dengan pengalaman
Indonesia di masa lalu.
Sebelum krisis,
pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh
ekspor dengan investasi tinggi merupakan
sumber utama penyerapan tenaga kerja.
Antara tahun 1990 hingga 1995, industri
berorientasi
ekspor
beserta
berbagai
industri pendukungnya diperkirakan telah
menyediakan setengah dari total pekerjaan
yang ada. Masyarakat miskin merupakan pihak
yang paling diuntungkan dari pertumbuhan

yang pesat pada berbagai industri berorientasi


ekspor, terutama yang berasal dari investasi
asing. Industri tersebut yang telah banyak
menyediakan pekerjaan untuk para pekerja
kasar.

Pembenahan Sistem Rekrutmen


dan Pembekalan Calon TKI

Permasalahan lain yang akan dihadapi


oleh pemerintah terkait dengan rencana
penghentian pengiriman TKI informal adalah
meningkatnya jumlah TKI tidak berdokumen
atau lebih sering disebut sebagai TKI ilegal.
Sebagai gambaran, saat ini saja sekitar 43%
TKI adalah TKI tidak berdokumen. Apabila
kebijakan pengiriman TKI informal ini
dihentikan, jumlah TKI ilegal dikhawatirkan
akan meningkat, karena orang tetap akan
berupaya agar dapat bekerja ke luar negeri
melalui berbagai cara, meskipun harus
menempuh jalur yang tidak resmi/ilegal.
Tingginya jumlah TKI ilegal pada
gilirannya akan meningkatkan jumlah kasus
yang terkait dengan TKI karena TKI ilegal relatif
lebih tidak terlindungi hak-haknya, sehingga
memungkinkan terjadinya berbagai jenis
pelanggaran hak TKI. Masalah yang terjadi pada
saat TKI bekerja di negara tujuan selama ini
bermacam-macam, baik yang berkaitan dengan
masalah hubungan kerja seperti pelanggaran
kontrak atau perjanjian kerja (misalnya gaji
tidak dibayar atau dibayar tetapi jumlahnya
tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya,
jumlah jam kerja yang melebihi batas, jenis
pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak, dan
pemutusan hubungan kerja), hingga kasuskasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi
manusia
(HAM),
seperti
penganiayaan,
perlakuan majikan yang tidak manusiawi,
hingga pembunuhan.
Khusus bagi TKW,
masalah yang dihadapi di negara tujuan juga
berkaitan dengan seksualitasnya sebagai
dan seksual (Irianto, 2011).
Untuk
menghindari
terjadinya
peningkatan jumlah TKI ilegal, pemerintah
perlu membenahi sistem rekrutmen yang
selama ini masih belum tertata dengan baik.
Pemerintah daerah harus mampu mengambil
alih peran para calo yang selama ini masih
mendominasi proses rekrutmen di tingkat
desa. Upaya lain adalah meningkatkan kualitas
calon TKI. Sebelum ditempatkan, calon TKI
harus mengikuti pendidikan dan pelatihan
kompetensi

kerja

yang

diakreditasi

oleh

Untuk itu Kementerian Ketenagakerjaan perlu


merevitalisasi Balai Latihan Kerja TKI yang ada
- 11 -

di daerah, mengingat selama ini peran lembaga


tersebut belum optimal dalam meningkatkan
kompetensi calon TKI. Selain itu, dari total
276 BLK yang ada di Indonesia, sebagian besar
(88,04%) di antaranya belum terakreditasi
(Kementerian Ketenagakerjaan, 2015).
Dalam konteks yang lebih luas, juga
diperlukan koordinasi yang baik antarstakeholder yang terlibat dalam kebijakan
penempatan dan perlindungan TKI, mengingat
kebijakan ini melibatkan 21 kementerian/
lembaga, dan badan. Dalam pelaksanaan
di lapangan, masing-masing kementerian/
lembaga, dan badan masih cenderung
mengedepankan ego sektoral serta berjalan
sendiri-sendiri. Terlebih bila melihat bahwa
sebagian besar (80%) permasalahan dalam
kebijakan penempatan dan perlindungan TKI
bersumber di dalam negeri, seperti terbatasnya
lapangan kerja, data TKI yang tidak akurat,
rendahnya tingkat pendidikan dan kompetensi
yang dimiliki oleh TKI, serta sistem
perekrutan, pendaftaran, pemberangkatan,
dan penempatan TKI yang belum tertata
dengan baik.

Referensi

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014.


http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/SI_2014/
index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%20
2014, diakses 5 Maret 2015.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia. 2015. Bahan Rapat Dengar
Pendapat Kepala Badan Nasional Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dengan
Komisi IX DPR RI tanggal 22 Januari 2015.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2014.
Laporan Akhir Pelaksanaan Tugas Tim Pengawas
DPR RI terhadap Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia.
Irianto, Sulistyowati. 2011. Akses Keadilan dan Migrasi
Global, Kisah Perempuan Indonesia Pekerja
Domestik di Uni Emirat Arab, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Kementerian Ketenagakerjaan. 2015. Jawaban Tertulis
atas Pertanyaan Anggota Komisi IX DPR RI pada
Rapat Kerja Menaker dengan Komisi IX DPR RI
Tanggal 22 Januari 2015.
Susiana, Sali. 2012. Perlindungan Pekerja Migran
Perempuan. Bagian buku Tenaga Kerja
Indonesia: antara Kesempatan Kerja, Kualitas,
dan Perlindungan. Penyunting: Sali Susiana.
Jakarta: Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
World Bank. Tanpa tahun. Menciptakan Lapangan
Kerja, Indonesia Policy Briefs - Ide-Ide Program
100 Hari, World Bank, http://siteresources.
worldbank.org/
Tenaga Kerja Indonesia: Korban Kekerasan Berbalik
Jadi Pejuang, Kompas, 4 Maret 2015.
Majikan Erwiana Divonis, Hakim Dorong Perbaikan
Undang-Undang
Lindungi
Pramuwisma,
Kompas, 28 Februari 2015
Bekas Majikan TKI Divonis Penjara Enam Tahun,
Media Indonesia, 28 Februari 2015.
Pengiriman TKI Disetop Bertahap, Media Indonesia,
24 Februari 2015.
Buruh Migran: Pulang untuk Berwirausaha, Kompas,
23 Februari 2015.
Menaker Siapkan Langkap Setop Kirim PRT,
Republika, 17 Februari 2015.
Perlindungan Terbatas pada Wacana, Kompas, 16
Februari 2015.
7,24 juta orang Indonesia adalah pengangguran,
http://nasional.kontan.co.id/news/724-jutaorang-indonesia-adalah-pengangguran, diakses 5
Maret 2015.

Penutup
Melihat kondisi ketenagakerjaan saat
ini, merupakan hal yang tidak mudah bagi
pemerintah untuk dapat melaksanakan
road map yang telah disusun oleh
Kemnaker. Diperlukan upaya maksimal
dari seluruh stake holder, termasuk
pemerintah daerah, baik pemerintah
daerah provinsi maupun kabupaten/
kota. Dalam hal ini DPR RI juga dapat
memaksimalkan perannya melalui fungsi
legislasi, yaitu dengan mengakomodasi
rencana penghentian pengiriman TKI
sektor informal ini ke dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang
telah menjadi RUU Prioritas Tahun 2015
dalam Program Legislasi Nasional, maupun
melalui pelaksanaan fungsi pengawasan
terhadap kebijakan penempatan TKI yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan
berbagai upaya tersebut diharapkan ke
depan hanya TKI terdidik dan terlatih
yang bekerja di sektor formal saja yang
ditempatkan di luar negeri, sehingga dapat
meminimalisasi terjadinya kasus yang
dihadapi oleh TKI, baik yang berkaitan
dengan hubungan kerja maupun tindak
kekerasan terhadap TKI.
- 12 -

EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Vol. VII, No. 05/I/P3DI/Maret 2015

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

KUPAS TUNTAS
KENAIKAN HARGA BERAS
Iwan Hermawan*)

Abstrak
Kenaikan harga beras merupakan fenomena ekonomi dalam mencapai
keseimbangannya. Namun demikian, kenaikan yang tidak wajar perlu diwaspadai
karena akan berdampak negatif terhadap daya beli dan konsumsi beras, khususnya
bagi pedagang dan sekaligus insentif bagi petani dalam memproduksi padi. Oleh
sebab itu peran pemerintah untuk menjaga stabilitas harga beras dalam jangka
semua pihak. Kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi keamanan penawaran
beras menstimulasi kenaikan harga beras akhir-akhir ini. Bahkan mundurnya musim
tanam dan wacana penghentian raskin dengan uang elektronik menambah besaran
kenaikan harga beras dari hari ke hari.

Pendahuluan

harga beras yang wajar sangat diperlukan


guna mendorong petani mendapatkan harga
jual yang sesuai. Namun demikian, jika
kenaikan tersebut tidak wajar dan persistent,
pemerintah harus mulai waspada.
Kewaspadaan
tersebut
dilandasi
pertimbangan bahwa beras sebagai bahan
pangan utama yang dikonsumsi oleh hampir
semua masyarakat Indonesia, berkontribusi

Kenaikan harga beras merupakan gejala


ekonomi dalam menuju keseimbangan baru.
Penyesuaian penawaran dan permintaan
oleh konsumen dan yang diterima oleh
produsen. Oleh sebab itu pergerakan harga
beras akan berdampak langsung terhadap
daya beli masyarakat dan daya produksi
petani. Kecenderungan kenaikan harga
beras mempersempit opsi konsumen dalam
mengonsumsi beras dengan kuantitas dan
kualitas tertentu. Di sisi lain kenaikan harga
beras juga menjadi insentif bagi petani dalam
memproduksi padi. Menurut Gubernur Nusa
Tenggara Barat, TGH. Zainul Majdi, kenaikan

keterlibatan jumlah tenaga kerja usaha tani


padi yang besar (lebih dari 40 persen dari total
tenaga kerja). Karena perannya yang vital dan
strategis, pemerintah memiliki perhatian yang

*) Peneliti Muda Ekonomi Terapan pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: iwan.hermawan@dpr.go.id.
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 13 -

yang berbelit dan terhentinya penyaluran


raskin sejak November 2014-Januari 2015
mendorong masyarakat miskin membeli
beras di pasaran. Bahkan operasi pasar yang
dilakukan oleh pemerintah di beberapa daerah
juga belum mampu menstabilkan harga beras.
Hal ini kemudian dimanfaatkan para spekulan
beras.
Menurut ketua Persatuan Penggilingan
Padi dan Pengusaha Beras Indonesia
(Perpadi), Sutarto Alimoeso, kenaikan harga

lebih besar dibandingkan komoditas lainnya.


Perum Badan Urusan Logistik (Bulog)
sebagai garda terdepan pemerintah dalam
mengintervensi pasar beras mulai melakukan
operasi pasar selama seminggu terakhir.
Meskipun demikian harga beras relatif
tidak banyak berubah. Hal ini menunjukkan
jika operasi pasar tersebut belum banyak
memengaruhi pasar beras. Selain itu, kasus
penyelewengan operasi pasar beras banyak
ditemukan sporadis di daerah, seperti DKI
Jakarta dan DIY, di mana pembeli beras justru
didominasi oleh para pedagang beras dan
pengusaha rumah makan.

karena paceklik yang setiap tahunnya terjadi


pada Januari-Februari 2015. Faktor lain yang
diungkap oleh Khudori dari Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia adalah distribusi dan
terhentinya penyaluran raskin. Terhentinya
raskin dan digantinya dengan uang elektronik
justru menjadi pemicu kenaikan harga beras
itu sendiri, karena belum tentu fasilitas
tersebut digunakan untuk membeli beras
Bulog.

Konstelasi Alasan Kenaikan Harga


Beras
Berbagai pihak memberikan argumentasi
praktis terkait kenaikan harga beras 2 bulan
terakhir ini. Kementerian Pertanian menilai
bahwa melonjaknya harga beras sebagai
fenomena yang tidak wajar. Hal ini karena
harga gabah tidak mengalami peningkatan di
daerah lumbung padi dan panen padi sedang
berlangsung. Bahkan stok beras nasional di
salah satu sentranya, yaitu Makasar, dan juga
di pasar-pasar tradisional masih mencukupi.
Kenaikan harga gabah di tingkat petani
mencapai 0,3 persen atau di kisaran Rp4.500
per kg, sedangkan kenaikan beras mencapai 30
persen atau di kisaran Rp12.000 per kg. Harga
beras tersebut jauh di atas harga pembelian
pemerintah (HPP) beras oleh Bulog yang
sebesar Rp7.000 per kg.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Arya
Bima, melansir kenaikan harga beras terjadi
karena permainan kartel pada tatanan
distribusi. Indikasinya dapat dilihat dari
peningkatan harga beras walaupun stok beras
mencukupi. Oleh sebab itu tidak heran jika

Faktor-Faktor yang Memengaruhi


Kenaikan Harga Beras
Pergerakan harga beras dapat dijelaskan
dari sisi penawaran dan permintaan beras
dalam konteks teori Cobweb. Teori ini
menjelaskan bagaimana siklus harga dan
produksi terjadi pada komoditas beras.
Dengan melihat jumlah permintaan beras
yang relatif tidak banyak berubah, maka sisi
penawaran menjadi titik perhatian utama
dalam kenaikan harga beras.
Pola tanam dan panen padi di Indonesia
terjadi dalam siklus enam bulan masa
surplus dan enam bulan masa paceklik
(September sampai dengan Maret). Kondisi ini
berlangsung karena padi ditanam pada lahan
sawah yang banyak mengandalkan musim
hujan. Pada tahun 2014 musim tanam padi
mundur karena musim hujan juga mengalami
keterlambatan dan kondisi ini menjadikan
musim paceklik lebih lama.
Menurut data Kementerian Pertanian,
produksi padi pada Januari 2015 mencapai
3,23 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau
setara 2,03 juta ton beras, pada Februari 2015
mencapai 6,75 juta ton GKG atau setara 4,25
juta ton beras, dan pada Maret diperkirakan
mencapai 12,25 juta ton GKG atau setara
7,72 juta ton beras. Di sisi lain kebutuhan
beras nasional sebesar 5-6 juta ton selama
Januari-Februari 2015. Apabila petani masih
menyisihkan sekitar 30 persen atau 1,89 juta

Senada dengan itu, Presiden Joko Widodo


juga menegaskan adanya pihak-pihak yang
menginginkan impor beras kembali dibuka.
Komisioner
Komisi
Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), Muhammad
Syarkawi Rauf, berargumen jika kenaikan
harga
beras
kemungkinan
disebabkan
spekulan.
Struktur
pasar
oligopolistik
menyebabkan fungsi Bulog tidak maksimal.
Para pengusaha besar penggilingan padi
dan pedagang besar diduga melakukan price
setting beras. Fenomena ini terjadi karena ada
celah dari kebijakan perberasan. Contohnya
mekanisme penyaluran beras miskin (raskin)
- 14 -

ton padi untuk bekal persediaan tanam musim


panen berikutnya, maka kebutuhan tersebut
belum dapat terpenuhi dari pasokan petani
walaupun pasokan Bulog tersedia. Oleh sebab
itu ketika penawaran beras berkurang maka
harga beras terstimulasi meningkat.
Selain
itu
Bulog
belum
dapat
menyalurkan stok (kurang lebih 1,5 juta ton
beras) karena wacana penghentian raskin pada
Januari-Februari 2015 dan akan digantikan
dengan uang elektronik. Kebutuhan beras
nasional yang disalurkan Bulog dalam
program itu diperkirakan dapat menutup
kebutuhan beras nasional sebesar 10 persen.
Resultan kondisi ini membuat masyarakat
miskin membeli beras di pasaran, sehingga
permintaan
beras
semakin
meningkat.
Meskipun Januari-Februari 2015 terjadi
panen, namun sporadis. Penggilingan padi
yang berjumlah 182 ribu unit dengan kapasitas
optimal 25-35 juta ton padi per bulan berusaha
membeli gabah dengan harga tinggi untuk
dijual ke wilayah yang belum panen. Rantai
distribusi beras menjadi cukup panjang
karena panen yang belum merata, sehingga
biaya pemasarannya meningkat (transportasi,
kuli angkut, dan lain-lain). Kondisi-kondisi
tersebut semakin mempertinggi kenaikan
harga beras dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, pemerintah juga terlambat
melakukan intervensi pasar beras. Tindakan
ini seharusnya dapat diantisipasi dan
dipetakan dengan melihat potensi masalah
yang
ditunjukkan
dengan
penurunan
produksi beras tahun 2014 sebesar 0,9
persen dan informasi cuaca yang dirilis
oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan

yang tidak tepat

Alternatif Tindakan Pemerintah


dalam Stabilisasi Harga Beras
Intervensi pemerintah bertujuan untuk
mendistorsi pasar beras. Dalam jangka
pendek,
pemerintah
dapat
melakukan
(1) operasi pasar yang tepat volume dan
sasaran, dan (2) penyaluran raskin. Untuk
dapat memengaruhi harga beras maka
ketersediaan data perberasan yang valid
meliputi penawaran, permintaan, harga, dan
juga jumlah penduduk miskin menjadi syarat
utamanya. Di samping itu wacana penggantian
program raskin dengan uang elektronik
perlu diatur ulang waktunya, misalnya saat
panen raya atau adanya waktu transisi.
Tindakan pemerintah dalam jangka pendek ini
bersifat responsif dan belum menyelesaikan
permasalahan secara radikal.
Dalam jangka panjang, pemerintah
dapat melakukan tindakan yang lebih
fundamental pada sisi penawaran dan juga
permintaan beras guna mencapai stabilisasi
pangan, (2) memperkuat kelembagaan Bulog,
dan (3) pengawasan serta penegakan hukum.
konsumen lebih luas. Menurut Guru besar
Fakultas Ekonomi Pertanian Universitas
bahan pangan nasional cukup beragam untuk
menggantikan beras, seperti ubi, jagung,
kedelai, sagu, dan ketela rambat. Dalam
rangka untuk meningkatkan produktivitasnya
membutuhkan
komitmen
pemerintah,
khususnya terkait peningkatan anggaran
produksi pangan, membuka akses daerah
terisolasi, dan meningkatkan pendapatan
petani. Sementara itu untuk memperkuat
kelembagaan
Bulog,
pemerintah
harus
mengembalikan khitah Bulog sebagai operator
yang dinamis, mengelolanya dengan prinsip
good corporate governance, dan memperkuat
dukungan regulasi, termasuk dukungan
anggaran. Peran pentingnya dikembalikan
dalam menetapkan kebijakan
,
ceiling price, dan buffer stock. Hal ini sejalan
dengan semangat Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan. Terkait dengan

ini membawa konsekuensi luas terhadap


perberasan nasional.
juga perlu dipertimbangkan dengan bijak.
mendapatkan
jika beraksi pada saat
ini. Alasanya impor sedang tidak dibutuhkan
karena Indonesia akan memasuki panen
raya pada bulan-bulan berikutnya. Selain
dibuktikan

dengan

data

sehingga

dapat

spekulan beras tidak begitu saja ditampik. Isu


ini dapat dicermati sebagai bagian penting
untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah.

pemerintah dapat melakukan tindakan kuratif


dengan memasukkannya ke dalam daftar
hitam untuk menghentikan bisnisnya dan
dikenai hukuman pidana. Sedangkan tindakan

memanfaatkan celah kebijakan pemerintah


- 15 -

Harga Beras Naik Karena Jokowi Telat Beri


Raskin Buat 15 Juta Rakyat, (http://
www.merdeka.com/uang/harga-berasnaik-karena-jokowi-telat-beri-raskinbuat-15-juta-rakyat.html, diakses 02
Maret 2015).
Ini Dia Faktor Penyebab Harga Beras Naik
Versi
Pengamat,
(http://nasional.
republika.co.id/berita/nasional/
umum/15/02/28/nkgzw0-ini-diafaktor-penyebab-harga-beras-naik-versipengamat, diakses 02 Maret 2015).
JK Sebut Stok Beras Nasional Aman,
(http://www.republika.co.id/berita
/
ekonomi/makro/15/02/28/nkhehk-jksebut-stok-beras-nasional-aman, diakses
02 Maret 2015).
Kebijakan Pemerintah Buka Peluang
Spekulan Beras, (http://www.republika.
co.id/berita/ekonomi/makro/15/02/28/
nkh6ms-kebijakan-pemerintah-bukapeluang-spekulan-beras,
diakses
02
Maret 2015).
Kuntadi, Diserbu Pedagang, Operasi Pasar
Beras Salah Sasaran, (http://ekbis.
sindonews.com/read/968740/34/
diserbu-pedagang-operasi-pasar-berassalah-sasaran-1424837580, diakses 03
Maret 2015).
Laut, R. dan D. A. Pitaloka. Menteri
Pertanian: Kenaikan Harga Beras Akibat
Penyelewengan,
(http://bisnis.news.
viva.co.id/news/read/594872-menteripertanian-kenaikan-harga-beras-akibatpenyelewengan, diakses 03 Maret 2015).
Menko Sofyan Akui Masih Butuh Impor
Beras, (http://economy.okezone. com/
read/2015/02/20/320/1108355/menkosofyan-akui-masih-butuh-impor-beras,
diakses 06 Maret 2015).
Sonia, U. F. Menteri Amran: Cuaca
Ekstrem
Tak
Pengaruhi
Panen
Padi,
(http://www.tempo.co/read/
news/2015/02/22/090644381/MenteriAmran-Cuaca-Ekstrem-Tak-PengaruhiPanen-Padi, diakses 04 Maret 2015).
Subandriyo, T. Mengembalikan Khitah
Bulog,
(http://nasional.sindonews.
com /read/970125/18/mengembalikankhitah-bulog-1425091421/1, diakses 10
Maret 2015).

preventif dapat dilakukan dengan melakukan


administrasi perdagangan beras di dalam dan
di luar negeri, dan mengaudit gudang serta
distribusi beras.

Penutup
Kenaikan harga beras dalam dua bulan
terakhir ini menjadi sinyal penting terhadap
manajemen perberasan nasional, khususnya
dari sisi penawaran. Kebijakan intervensi
terhadap pasar beras tidak hanya berkaitan
dengan kesiapan jumlah stok beras pada saat
masa paceklik, namun juga ketepatan waktu
kebijakan tersebut diimplementasikan. Belum
efektifnya operasi pasar dalam meredam
kenaikan harga beras menunjukkan lemahnya
dukungan perencanaan dan data perberasan
nasional. Hal ini dikhawatirkan dapat
beraksi.
Stabilisasi harga beras dapat diupayakan
oleh pemerintah melalui kebijakan jangka
pendek dan jangka panjang. Untuk jangka
pendek pemerintah dapat melakukan (1)
operasi pasar yang tepat volume dan sasaran
serta (2) penyaluran raskin. Sedangkan dalam
jangka panjang dapat dilakukan dengan
memperkuat kelembagaan Bulog, dan (3)
pengawasan serta penegakan hukum. DPR RI
sebagai mitra kerja pemerintah juga memiliki
andil esensial untuk mengawal kebijakan
perberasan nasional agar berjalan sesuai
koridor regulasi pangan dan bermanfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Referensi
Agustine, I. Antara Produksi, Raskin, dan
Bisnis Indonesia 2 Maret 2015.
Asril, S. Mantan Kabulog: Kenaikan
Harga
Beras
Seharusnya
Sudah
Diketahui
Pemerintah,
(http://
bisniskeuangan.kompas.com/
read/2015/03/03/171510526/
Mantan.
Kabulog.Kenaikan.Harga.Beras.
Seharusnya.Sudah.Diketahui.Pemerintah,
diakses 06 Maret 2015).
Berita Resmi Statistik, No. 10/02/Th. XVIII, 2
Februari 2015.
Gubernur NTB Nilai Kenaikan Harga Beras
Wajar, (http://nasional.republika. co.id/
berita/nasional/umum/15/03/02/nkkrpngubernur-ntb-nilai-kenaikan-harga-beraswajar, diakses 25 Maret 2015).
- 16 -

PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Vol. VII, No. 05/I/P3DI/Maret 2015

Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis

DINAMIKA POLITIK HUBUNGAN


DPRD-GUBERNUR DKI JAKARTA
Prayudi*)

Abstrak

sebagai Ibukota negara seharusnya menjadi contoh yang baik dalam tata kelola
tidak lagi sekedar tergantung pada karakter personal kepemimpinan daerah tetapi
lebih bergantung pada pola checks and balances secara tepat dengan pembatasan
kekuasaan masing-masing lembaga dari model legislatif yang dikembangkan.

Pendahuluan

Dengan intensitas kontroversi yang


tinggi, maka peluang bagi dinamika politik
hubungan DPRD dengan Gubernur DKI

Hubungan antara DPRD dengan


Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok berkembang sangat
dinamis.
Hubungan
kedua
pihak

demikian bukan hanya secara kelembagaan


atas isu tertentu, tetapi melibatkan juga
kalangan
masyarakat
dari
beragam
kelompok dengan isu yang beragam.
Masalahnya, bagaimana dinamika
politik semacam ini dapat berkembang
justru
pada
saat
demokratisasi
pemerintahan
daerah
sedang
dikonsolidasikan?
Selanjutnya,
solusi
kelembagaan seperti apa yang dapat
ditawarkan?

berkembang, bukan hanya sejak awal


pelantikan Ahok sebagai gubernur DKI
Jakarta, tetapi juga sudah berkembang
pada saat dirinya masih menjabat Wakil
telah mengakibatkan munculnya ancaman
terbengkalainya
berbagai
program
pembangunan
pelayanan
publik
dan
bahkan terhadap pemenuhan anggaran bagi
aparatnya.

*) Peneliti Utama Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan
Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail: prayudi_pr@yahoo.com.
Info Singkat
2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
www.dpr.go.id
ISSN 2088-2351

- 17 -

Model Legislatif dan Beragam Isu


Pemicu Konflik

Sejumlah kekuatan politik DPRD sempat


menganggap Ahok tidak dapat secara serta
merta diangkat sebagai Gubernur DKI

Menyikapi dinamika hubungan antara


DPRD-Gubernur DKI Jakarta terkait isu
digunakannya hak angket DPRD, Rapat
Paripurna DPRD DKI Jakarta mengambil
sikap atas proses penetapan APBD 2015.
Seluruh anggota DPRD DKI yang berjumlah
106 orang, semula dari 9 fraksi memberikan
tanda tangan persetujuan penggunaan hak
angket, walaupun kemudian Fraksi Nasdem
menarik diri. Sebanyak 33 anggota DPRD
juga telah tercatat dalam panitia angket.
Ketua DPRD DKI Prestyo Edi Marsudi
mengatakan, panitia angket berencana
menyelidiki langkah Pemprov menyerahkan
dokumen
APBD
yang
bukan
hasil
pembahasan bersama eksekutif-legislatif ke

mengundurkan diri sebelumnya karena


pencalonanya sebagai kandidat Presiden.
Catatan Koran Tempo menunjukkan
bahwa Ahok sejak menjabat sebagai Wagub
sampai sebagai Gubernur DKI Jakarta
selalu mewarnai beragam isu yang menjadi
Pertama, pada 1 Desember
2012 terkait sewa stan di PRJ. Kedua, pada
7 Desember 2012 terkait isu perlunya rapat
terbuka DPRD yang disiarkan televisi secara
langsung. Ketiga, pada 26 Juli 2013 terkait
kasus penertiban pedagang KL Tanah
Abang. Keempat, pada 17 Juli 2013 terkait
isu Pansus MRT untuk meminta keterangan
ihwal pengembalian pinjaman pemda DKI
Kelima, pada 9 Desember
2014 terkait ancaman interpelasi DPRD yang

menilai, hasil penyelidikan DPRD dapat


berujung laporan pada penegak hukum
dan dilakukan pemberhentian jabatan jika
ternyata ditemukan pelanggaran pidana oleh
Gubernur.
Secara teoritis, model legislatif yang
terbentuk dengan komposisi kekuatan
politik masing-masing yang mendukung
atau tidaknya agenda pemerintahan dapat
berjalan efektif. Model legislatif dari Cox dan
Morgenstern (2001 dan 2002) yang dikutip
Djajadi Hanan
(2014) menganalisisnya
dari sudut presidensialisme yang terbentuk,
Model
legislatif
demikian
membagi
model legislatif ke dalam tiga macam: (1)
originatif (menciptakan): mengangkat dan
memberhentikan eksekutif. (2) proaktif:
membuat dan meloloskan usulan legislatif
sendiri; (3) Reaktif: mengubah dan /atau
memveto usulan eksekutif. Dari model
legislatif demikian, maka tampaknya
kasus relasi DPRD dengan Pemprov DKI,
cenderung mengarah pada nomor 3 yang
bersifat reaktif dengan segala konsekuensi
politik upaya revisi atau bahkan vetonya
melalui campur tangan pemerintah pusat,
dalam hal ini Presiden yang diwakili
Mendagri. Harapan dukungan campur
tangan ini beralasan, karena DPRD
ditempatkan sebagai bagian dari rezim
pemda dari model legislatifnya.
Sejarah
menunjukkan
kasus
pengangkatan Plt Gubernur DKI Jakarta,
Ahok
sebagai Gubernur DKI Jakarta,
menjadi kontroversi politik tersendiri di
tengah-tengah panggung politik nasional.

mempertanyakan rendahnya penyerapan


anggaran yang baru mencapai 36 persen.
Keenam, pada 11 Desember 2014 terkait
tuduhan mengenai dugaan permainan
mengajukan pokok pikiran atau pokir. Pokir
dari DPRD menurut Ahok mempersulit
SKPD. Tuduhan ini dibantah oleh DPRD.
Ketujuh, pada 10 Februari 2015 terkait
isu mencoba menyuap DPRD, melalui apa
yang disebut DPRD melalui tim anggaran
bentukan Pemda DKI. Tuduhan suap dengan
sebutan adanya upaya agar anggota DPRD
dibiarkan mengisi anggaran yang jumlahnya
Rp 12 triliun. Kedelapan, pada 16 Februari
2015 terkait hak angket bagi Ahok dengan
dugaan pelanggaran pengajuan APBD.
Ahok dianggap melanggar UU Nomor 28
Tahun 1999, UU Nomor 17 Tahun 2003,
UU Nomor 23 Tahun 2014, dan UU Nomor
17 Tahun 2014. Selain itu, Ahok dinilai
melanggar PP No. 58 Tahun 2005, PP 79
Tahun 2005, Pemda, PP Nomor 16 Tahun
2010, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,
Permendagri Nomor 37 Tahun 2014, dan
Permenkeu No. 46/PMK.02/2006. Khusus
pada kasus dugaan pelanggaran pengajuan
APBD 2015, Ahok menilai dalam draft
APBD 2015 versi DPRD tiba-tiba tercantum
dana siluman sebesar Rp12,1 triliun.
Adapun jumlah keseluruhan APBD 2015
yang disetujui DPRD dan Pemda DKI adalah
Rp73,08 triliun. Menurutnya, modusnya
dianggap serupa dengan yang terjadi di
- 18 -

Tabel Silang Pendapat DPRD dan Gubernur DKI Jakarta


No

Versi DPRD DKI Jakarta

Versi Pemprov

1.

Komponen anggaran yang tidak dianggarkan oleh DPRD Memotong 10-15 persen anggaran
Pemprov DKI:
yang sudah disusun.
Komponen anggaran yang tidak dianggarkan oleh
Pemprov DKI:
Upah pungut untuk petugas pajak (insentif bagi
pegawai pajak agar bisa mencapai target);
Honor bagi guru honorer yang masih di bawah UMP;
Pengadaan truk sampah;

2.

Masih dianggarkan, padahal masih ada sengketa


hukum.
Anggaran untuk pembangunan Stadion BMW di
Jakarta Utara sebagai pengganti Stadion Lebak Bulus

3.

Penggunaan dana tanggung jawab sosial perusahaan


(CSR);

4.

Rincian pendanaan untuk Kartu Jakarta Pintar

5.

Anggaran untuk operasional Pelayanan Terpadu Satu


Pintu

DPRD memasukkan
rincian anggaran
yang totalnya
Rp 12,1 triliun, antara
lain untuk pembelian penyimpan listrik
cadangan (UPS) sebesar Rp4,2 miliar
dan alat percepatan peningkatan mutu
pembelajaran Rp4,9 miliar.

Sumber: Buka Draft APBD, Hindari Titipan, Kompas 26 Februari 2015.

menegaskan kewenangan legislatif hingga


pada tingkatan satuan tiga (kegiatan, jenis
belanja) adalah melanggar konstitusi. Posisi
checks and balances antara kekuasaan
lembaga negara, termasuk pelaksanaan
fungsi anggaran legislatif didasarkan
pada
kekuasaan yang dibatasi oleh
kekuasaan (power limited by power).
Hak angket DPRD menjadi salah satu hak
kelembagaan di samping dua hak lainnya,
yaitu hak interpelasi dan hak menyatakan
pendapat. Hak angket merupakan hak
untuk melakukan penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah yang dianggap
penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan masyarakat, daerah,
dan negara yang diduga bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Penggunaan hak angket dianggap
mengundang
kekhawatiran
tersendiri,
karena dianggap seolah-olah dapat menjadi
langkah awal DPRD untuk melakukan
politik impeachment (pemakzulan) terhadap
kepala daerah. Padahal, ketika lahir UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda sebagai
perubahan atas UU No. 22 Tahun 1999,
gencar dilakukan penataan atas euforia
politik desentralisasi pemerintahan agar
lebih terkendali proses politiknya. Penataan
semacam ini juga menyentuh pada regulasi
politik DPRD yang tidak lagi dapat secara
sepihak melakukan pemakzulan.

APBD 2014, ketika tidak menggunakan


e-budgeting, adalah muncul anggaran
uninterruptible power supply (UPS) yang
mencapai Rp6,2 miliar per sekolah.
Proses pembahasan APBD DKI 2015
dimulai sejak pertengahan tahun 2014. Pada
bulan Juni 2014, eksekutif mengajukan
draf KUA/PPAS ke DPRD sebesar Rp 85,1
triliun. Sayangnya, sampai akhir masa
jabatan DPRD 2009-2014 hingga pelantikan
anggota DPRD 2014-2019, pada Oktober
2014, KUA/PPAS itu tidak kunjung dibahas.
Pada 5 Desember 2014, eksekutif kembali
mengajukan KUA/PPAS dengan nilai yang
direvisi menjadi Rp 79,6 triliun. Namun,
kembali, pembahasan KUA/PPAS tetap
berlarut-larut hingga Desember 2014, karena
AKD belum terbentuk. Pada 10 Desember
2014, KUA/PPAS disetujui menjadi RAPBD
2015 dan dibahas oleh setiap komisi DPRD
dan berlanjut dibahas di tingkat masingmasing fraksi dan akhirnya di Banggar
DPRD. Persetujuan APBD DKI baru
dilakukanpada 27 Januari 2015, dengan nilai
Rp73,08 triliun.

Legislatif dan Politik Peralihan


Desentralisasi Pemerintahan
Dari sudut DPRD, putusan MK
No. 35/PUU-XI-2013 tentang pengujian
terhadap UU No. 17 Tahun 2003, kekuasaan
lembaga legislatif dibatasi. Putusan MK ini
- 19 -

Masalahnya adalah penataan politik


desentralisasi pemerintahan tampaknya
sangat tergantung pada kapasitas dan
karakter politik dari kepala daerah
serta konstelasi kekuatan politik DPRD
dalam tataran realitas pelaksanaannya.
Sebagaimana UU No. 22 Tahun 1999, UU
No. 32 Tahun 2004 juga tetap memberikan
status otonomi khusus (desentralisasi
asimetris) pada Jakarta, dan pengaturannya
dalam UU tersendiri. Sebagai pengganti
UU No. 34 Tahun 1999, maka lahir UU
No. 29 Tahun 2007 tentang Pemda Prov.
DKI Jakarta. Dalam UU ini tidak terdapat

legislatif yang tidak boleh melampaui sampai


satuan tiga, merupakan kerangka hukum
bagi pelaksanaan komunikasi pembahasan
RAPBD yang bersifat substansi secara
politik.

Penutup
Gubernur
DKI merupakan konsekuensi
atas
peralihan
politik
desentralisasi
pemerintahan yang menempatkan pada
kepemilikan
resources
politik
model
legislatif secara seimbang. Keseimbangan
demikian perlu didukung oleh penataan
kelembagaan
struktur
pemda
yang
diarahkan pada dinamika relasi DPRDKepala Daerah yang lebih menjamin
stabilitas. Langkah kongkrit atas pola relasi
semacam ini adalah penegasan atas DPRD
dan Gubernur sebagai wakil pusat di daerah
harus mampu secara konsisten dijalankan
dalam wadah bangunan Pemda sesuai
ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemda. Melalui penegasan kedua pihak
hanya sebagai kepanjangan tangan dari
birokrasi pusat, maka dukungan stabilitas
hubungan antara DPRD-Kepala Daerah
tidak lagi tergantung pada sekedar karakter
kepemimpinan daerah secara personal.

sebelumnya, baik mengenai


bentuk,
susunan, dan komposisi pembiayaannya,
kecuali dibentuknya Deputi Gubernur.
Sebagai daerah khusus Ibukota negara RI,
maka kisruh hubungan DPRD terhadap
Gubernur Ahok menjadi contoh buruk bagi
daerah lain justru pada saat desentralisasi
pemerintahan
dikembangkan
secara
demokratis.

Solusi Yang Perlu Dibangun


dan Gubernur DKI Jakarta, Ahok, menjadi
pelajaran berharga bagi perlunya dibangun
komunikasi politik yang lebih konstruktif
antar kedua belah pihak. Model legislatif
yang memungkinkan terjadinya revisi
atau bahkan veto atas kebijakan eksekutif
dari relasi antar kedua lembaga ini, tidak
dapat dibangun sekedar secara formal
prosedural atau apalagi melalui ego politik.
Kongkritnya, debat publik politik substansi
pembahasan dari rancangan kebijakan
pemda hingga tuntas secara substantif, lebih
penting dikembangkan terlebih dahulu di
antara Kepala Daerah dan DPRD. Debat

Referensi
Kegaduhan Politik Rugikan Masyarakat,
Kompas, 27 Februari 2015
Gerakan Lengserkan Ahok, Koran Tempo,
27 Februari 2015;
Ahok Melawan, Media Indonesia, 27
Februari 2015.
Buka Draft APBD, Hindari Titipan,
Kompas, 26 Februari 2015.
Jalan Berliku APBD DKI, Kompas, 28
Februari 2015.a
Reza
Syawawi,
Menumpas
Begal
Anggaran, Koran Tempo, 5 Maret 2015.
Djajadi Hanan,

temuan alokasi tertentu bagi pemenuhan riil


kebutuhan publik atau sebaliknya berupa
delegitimasi atas dugaan penyimpangan
untuk sekedar kepentingan segelintir pihak.
Langkah ini penting ditempuh sebelum
kemudian dokumen kebijakan yang sudah
dibahas disampaikan kepada pusat, seperti
halnya RAPBD pada Mendagri.
Dalam kerangka komunikasi politik
semacam ini, khusus pada masalah RAPBD
DKI 2015, dengan penegasan atas putusan
MK terhadap hak budget DPR, maka
batasannya menjadi jelas. Kewenangan

,
Mizan, Bandung, 2004.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang N0. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.

- 20 -

Anda mungkin juga menyukai