Anda di halaman 1dari 2

Kasus Manajemen Operasi

1. Catatan Kelam Persepakbolaan Indonesia. Menurut berita ANTARA - Gubernur Jawa Timur
Khofifah Indar Parawansa menyampaikan jumlah korban jiwa akibat tragedi Kanjuruhan,
Kabupaten Malang, bertambah enam orang sehingga totalnya mencapai 131 orang. Kericuhan
terjadi usai pertandingan pada Sabtu (1/10) malam yang hasil akhirnya 2-3 untuk tim tamu.
Kekalahan Arema FC menyebabkan sejumlah supporter tuan rumah turun dan masuk
lapangan. Kerusahan tersebut semakin membesar dan sejumlah flare dilemparkan termasuk
benda-benda lainnya. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha
menghalau para supporter tersebut. Petugas kemudian melakukan upaya pencegahan dengan
melakukan pengalihan agar para supporter tersebut tidak masuk ke dalam lapangan dan
mengejar pemain. Dalam prosesnya, akhirnya petugas melakukan tembakam gas air mata
(sumber:https://bali.antaranews.com/berita/294377/jumlah-korban-meninggal-tragedi-
kanjuruhan-malang-jadi-131-orang)

Silakan berikan analisis kritis anda terhadap Tragedi Kanjuruhan tersebut dengan
pendekatan Manajemen Operasi.

Menurut saya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tragedi Kanjuruhan, salah
satunya adalah beberapa pihak manajemen yang terlibat beroperasi dalam jalannya
pertandingan antara Arema FC dan Persebaya pada 1 Oktober 2022 kemarin, jika mengacu
pada kasus diatas ada petugas keamanan gabungan TNI POLRI dan para supporter
pendukung dari Arema FC.

Menyikapi manajemen dari pihak keamanan yang memutuskan melakukan tembakan gas air
mata untuk membubarkan kerusuhan menurut saya itu bukan hal yang dibenarkan, Gas air
mata sendiri umum digunakan dalam mengendalikan massa yang berubah anarkis di mana
pun didunia ini.

Namun, menurut sejumlah kalangan, salah satunya organisasi nirlaba perlindungan hak asasi
manusia Physicians for Human Rights, penggunaan gas air mata haruslah terukur karena
"gejala fisik iritasi kimia (akibat gas air mata) sering mengakibatkan disorientasi yang
memicu keadaan takut, cemas, dan panik."

Serangan panik bisa berjalan bersamaan dengan timbulnya rasa sakit fisik akibat gas air mata.
Adalah naluri semua orang untuk secepat mungkin menjauhi paparan gas air mata, apalagi
jika terjadi malam hari di ruang terbatas seperti stadion sepak bola.

Berbeda dengan saat demonstrasi di jalanan di mana orang dengan mudah mencari tempat tak
terpapar gas air mata, tidak demikian halnya jika di tempat seperti stadion sepak bola, apalagi
yang panik ribuan orang dan jalan keluar juga terbatas.

Gas air mata memang normal dan legal untuk mengendalikan massa, tapi tetap harus terukur,
apalagi menghadapi massa yang rata-rata berusia sangat muda yang mudah terpancing
emosinya.

Sejumlah pakar menilai karena berisiko termasuk cedera, hampir tak ada situasi yang
membenarkan penggunaan gas air mata dalam mengendalikan massa.
"Satu hal yang pasti gas air mata menyebabkan kepanikan dan kekacauan. Kematian massal
akibat terinjak-injak bisa terjadi setelah gas air mata digunakan," kata Ashley Parks dari Bull
City Psychotherapy.

Mungkin karena kejadian seperti itu sering terjadi, badan pengelola sepak bola dunia (FIFA)
melarang gas air mata digunakan di dalam stadion.

Oleh karena itu, terlepas anarkisme dari sebagian suporter sepak bola Indonesia yang banyak
di antaranya remaja yang masih memerlukan pendampingan termasuk dari orang tuanya,
situasi panik akibat penggunaan gas air mata haruslah menjadi perhatian.

Untuk itu pula penyebab pasti tragedi ini harus diungkapkan kepada publik, selain mesti ada
yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini.

Langkah ini ditempuh demi mencegah peristiwa buruk itu terulang di kemudian hari sehingga
semua orang lebih siap dan lebih berhati-hati lagi dalam bertindak, termasuk dalam
memastikan stadion diisi tidak melebihi kapasitasnya.

Yang kedua mengenai supporter yang turun dan masuk ke lapangan apapun tuuannya
melakukan hal tersesbut menurut saya juga tidak diperbolehkan apapun alasannya karena
dapat memicu berbagai efek negative seperti yang terjadi di Kanjuruhan lalu, walaupun ada
pihak keamanan namun mereka tidak bisa menjamin keselamatan para supporter 100%,
tentunya harus ada kerjasama anatar dua belah pihak untuk menaati aturan yang berlaku.

Upaya mengendalikan suporter yang beringas mestinya juga dipahami sebagai tugas semua
pihak yang berkaitan dengan sepak bola.

Dalam soal ini, membuat dan kemudian konsisten menerapkan aturan yang tegas untuk
suporter sepak bola dan semua pihak yang berkaitan dengan suporter, termasuk klub,
perkumpulan suporter dan penyelenggara liga, adalah keharusan.

FIFA dan badan-badan sepak bola sendiri umum menjatuhkan sanksi kepada negara, klub
atau asosiasi sepak bola untuk peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan perilaku penonton.

Dengan cara ini, FIFA memaksa klub, asosiasi sepak bola nasional atau negara untuk tegas
meredam massa berbuat beringas atau tidak terpuji, entah dengan membuat aturan sama
kerasnya kepada orang yang berbuat onar maupun dengan membuat sistem dan lingkungan
stadion yang ramah dengan keselamatan fisik dan psikis.

Dalam perspektif ini, otoritas publik dan sepak bola Indonesia mesti juga konsisten
menerapkan aturan yang ada guna menekan anarkisme tak saja di dalam stadion tapi juga di
luar stadion, termasuk konvoi suporter yang merusak fasilitas publik dan mengganggu
masyarakat yang tak ada kaitannya dengan situasi di stadion.

Suporter sepak bola Indonesia jelas masih sangat butuh edukasi. Kendati demikian, fokus
tentu bukan kepada suporter semata, karena suporter cuma salah satu bagian dari sistem besar
kompetisi sepak bola.

Anda mungkin juga menyukai