Delapan kejadian itu adalah di Peru pada 1964 yang menewaskan 318
orang, Tripoli pada 1968 yang menewaskan 30 orang, Haiti pada 1976
yang menewaskan enam orang, Brazil pada 1985 yang menewaskan
tiga orang, Zimbabwe pada 2000 yang menewaskan 13 orang.
Lalu tiga tragedi lain di Afrika Selatan, Kongo dan Ghana yang
semuanya terjadi pada 2001 dengan terparah di Ghana dengan 126
orang tewas.
Dalam kasus Ghana, ketika dua tim terkuat Accra Hearts of Oak dan
Asante Kotoko berhadapan, pihak keamanan sebenarnya sudah
mengantisipasi potensi rusuh dengan memperketat pengamanan.
126 orang tewas pun karena asfiksia, yakni kondisi ketika kadar
oksigen dalam tubuh berkurang dengan salah satu
penyebabnya adalah paparan asap atau zat kimia.
Korban tewas yang demikian banyak juga karena tiadanya tenaga medis
yang merawat langsung korban karena ternyata mereka meninggalkan
stadion begitu kerusuhan terjadi.
Mencari penyebab kejadian ini pun menjadi bagian sangat penting, dan
salah satu faktor yang tak bisa dikesampingkan adalah penggunaan gas
air mata.
FIFA melarang gas air mata digunakan di stadion
Mungkin karena kejadian seperti itu sering terjadi, badan pengelola
sepak bola dunia (FIFA) melarang gas air mata digunakan di dalam
stadion.
Oleh karena itu, terlepas anarkisme dari sebagian suporter sepak bola
Indonesia yang banyak di antaranya remaja yang masih memerlukan
pendampingan termasuk dari orang tuanya, situasi panik akibat
penggunaan gas air mata haruslah menjadi perhatian.
Untuk itu pula penyebab pasti tragedi ini harus diungkapkan kepada
publik, selain mesti ada yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini.
Langkah ini ditempuh demi mencegah peristiwa buruk itu terulang di
kemudian hari sehingga semua orang lebih siap dan lebih berhati-hati
lagi dalam bertindak, termasuk dalam memastikan stadion diisi tidak
melebihi kapasitasnya.
Dengan cara ini, FIFA memaksa klub, asosiasi sepak bola nasional atau
negara untuk tegas meredam massa berbuat beringas atau tidak
terpuji, entah dengan membuat aturan sama kerasnya kepada orang
yang berbuat onar maupun dengan membuat sistem dan lingkungan
stadion yang ramah dengan keselamatan fisik dan psikis.
Dalam perspektif ini, otoritas publik dan sepak bola Indonesia mesti
juga konsisten menerapkan aturan yang ada guna menekan
anarkisme tak saja di dalam stadion tapi juga di luar stadion,
termasuk konvoi suporter yang merusak fasilitas publik dan
mengganggu masyarakat yang tak ada kaitannya dengan situasi di
stadion.