Anda di halaman 1dari 17

TRAGEDI STADION KANJURUHAN MALANG

Nama Lengkap
e-mail@mail.com
Abstrak
Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang pada 1 Oktober 2022 diwarnai
dengan aksi massa yang mematikan usai pertandingan sepak bola antara Arema
dan Persebaya Surabaya. Insiden itu membuat sekitar 3.000 suporter Arema turun
ke lapangan dan kerusuhan pun terjadi, berujung pada penyerangan terhadap
pemain dan staf tim. Polisi menggunakan gas air mata untuk memadamkan
kerusuhan tersebut, namun hal ini malah membuat massa berkumpul di pintu
keluar stadion, mengakibatkan banyak korban meninggal dan luka-luka.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif,
dengan menggunakan skor Pancasila sebagai dasar analisis. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menganalisis penyebab tragedi tersebut, memahami konsekuensi
hukum dari peristiwa tersebut dan mengevaluasi praktik keamanan yang
digunakan di stadion. Hasil penelitian ini menyajikan fakta-fakta terkait tragedi
Stadion Kanjuruhan, termasuk jumlah korban tewas dan cedera, proses
persidangan terhadap para tersangka, serta tanggapan dari pemerintah dan otoritas
sepak bola Indonesia. Penelitian ini juga menyoroti masalah hooliganisme sepak
bola di Indonesia dan penggunaan gas air mata oleh polisi dalam pengamanan
pertandingan.
Kata Kunci : Tragedi, Stadion Kanjuruhan, Malang.

PENDAHULUAN
Hooliganisme sepak bola di Indonesia telah menjadi masalah serius selama
beberapa dekade terakhir. Tragisnya, puluhan suporter telah kehilangan nyawa
mereka dalam kerusuhan yang terjadi seputar pertandingan sepak bola sejak tahun
1990-an. Fenomena ini memunculkan keprihatinan yang mendalam terhadap
keamanan dan keselamatan di dunia sepak bola Indonesia.
Hooliganisme dapat didefinisikan sebagai tindakan kekerasan, kerusuhan,
dan perilaku merusak yang dilakukan oleh sekelompok suporter sepak bola yang
fanatik dan ekstrem. Di Indonesia, beberapa klub memiliki apa yang disebut
"komandan" atau pemimpin kelompok suporter. Mereka memiliki peran sentral
dalam mengorganisir aksi-aksi hooliganisme, dan sering kali memobilisasi
suporter untuk melakukan tindakan yang merusak dan berpotensi berbahaya.
Dalam upaya untuk mengatasi masalah ini, unit polisi anti huru-hara
sering hadir dalam pertandingan sepak bola. Mereka dilengkapi dengan peralatan
dan taktik khusus untuk mengendalikan dan membubarkan kerusuhan yang
mungkin terjadi di lapangan. Sayangnya, penggunaan kekerasan dan gas air mata
oleh aparat keamanan dalam menangani kerusuhan juga telah mengakibatkan
korban jiwa.
Di Indonesia, beberapa tragedi kericuhan olahraga yang terjadi selama
beberapa tahun terakhir telah mengejutkan dan menimbulkan keprihatinan di
masyarakat. Berikut adalah beberapa contoh tragedi kericuhan olahraga yang
tercatat di Indonesia:
a). Tragedi Kanjuruhan, Malang (2018).
Pada pertandingan antara Arema Malang dan Persib Bandung di Stadion
Kanjuruhan, kerusuhan pecah antara suporter kedua tim. Kerumunan massa
melintasi pagar pemisah dan masuk ke lapangan, yang mengakibatkan bentrokan
dengan aparat keamanan. Gas air mata digunakan polisi untuk membubarkan
kerumunan, dan menyebabkan beberapa korban jiwa.
b). Tragedi Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta (2015)
Saat pertandingan final Piala Presiden antara Persib Bandung dan
Sriwijaya FC di Stadion Gelora Bung Karno, kerusuhan pecah di antara suporter
kedua tim. Bentrokan fisik terjadi di dalam dan di sekitar stadion, menyebabkan
kekacauan dan cedera serius. Aparat keamanan terpaksa menggunakan kekerasan
untuk mengendalikan situasi.
c). Tragedi Trunojoyo, Madura (2012)
Pertandingan sepak bola antara Persela Lamongan dan Persebaya
Surabaya di Stadion Trunojoyo, Madura, berakhir dengan kerusuhan yang
melibatkan suporter kedua tim. Massa suporter melemparkan batu dan benda-
benda berbahaya lainnya, dan bentrokan pecah di dalam dan di luar stadion.
Beberapa suporter dan petugas keamanan mengalami luka-luka.
d). Tragedi Brawijaya, Kediri (2006)
Pertandingan sepak bola antara Persik Kediri dan PSIM Yogyakarta di
Stadion Brawijaya, Kediri, berakhir dengan kerusuhan yang mengakibatkan
korban jiwa. Bentrokan fisik terjadi antara suporter kedua tim di dalam stadion
dan lanjut di luar stadion setelah pertandingan. Tragedi ini menimbulkan kecaman
dan keprihatinan dalam masyarakat.
Pada tanggal 1 Oktober 2022, terjadi sebuah insiden tragis di Stadion
Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang melibatkan kerumunan setelah
pertandingan sepak bola. Setelah Arema kalah dari rivalnya Persebaya Surabaya,
sekitar 3.000 pendukung Arema memasuki lapangan. Dalam kejadian tersebut,
terjadi kerusuhan dan serangan terhadap para pemain dan official tim oleh para
pendukung, yang kemudian menyebabkan aparat keamanan berusaha untuk
melindungi pemain serta menghentikan kerusuhan tersebut. Namun, situasi
semakin memanas ketika massa pendukung bentrok dengan aparat keamanan
(Hayat, 2022).
Polisi menggunakan gas air mata untuk mengendalikan kerusuhan.
Sayangnya, beberapa gas air mata dilemparkan ke tribun selatan yang tidak
terlibat kerusuhan, sehingga penonton harus lari menghindari tribun. Situasi ini
menyebabkan kerumunan orang berkumpul di pintu keluar, yang akhirnya
mengakibatkan beberapa pengikut tercekik atau menderita kelaparan oksigen
(Delyarahmi, 2023).
Hingga 24 Oktober, tragedi tersebut telah menewaskan 135 orang dan
melukai 583 orang. Kejadian ini merupakan salah satu bencana sepak bola
terburuk dalam sejarah dunia sejak tragedi di Estadio Nacional di Peru pada tahun
1964 yang menewaskan 328 orang. Oleh karena itu, peristiwa ini dianggap
sebagai bencana sepak bola terparah di kawasan Asia, khususnya di Indonesia dan
belahan bumi bagian timur.  
Insiden ini menggambarkan dampak yang tragis dari kerusuhan sepak bola
dan menyoroti perlunya tindakan yang serius untuk mengatasi hooliganisme serta
meningkatkan keamanan dan pengawasan selama pertandingan. Hal ini juga
menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah, klub
sepak bola, dan suporter, dalam menciptakan lingkungan sepak bola yang aman,
santun, dan bebas dari kekerasan. Stadion Kanjuruhan di Malang menjadi saksi
dari kerusuhan yang mengerikan saat pertandingan sepak bola antara dua klub
terkenal di Indonesia. Dalam pertandingan tersebut, terjadi bentrok antara
kelompok suporter yang diduga terkait dengan kedua tim. Bentrokan tersebut
semakin memanas dan berubah menjadi kerusuhan massal yang melibatkan ribuan
penonton.
Akibat kerusuhan tersebut, puluhan orang tewas dan ratusan lainnya
mengalami luka-luka. Korban jiwa termasuk para suporter sepak bola yang datang
untuk mendukung tim kesayangan mereka. Selain itu, kerusuhan ini juga
menyebabkan kerusakan properti, kepanikan di antara penonton, dan
ketidakstabilan di dalam stadion.
Tragedi ini mencerminkan beberapa masalah serius yang ada dalam
pengelolaan stadion olahraga di Indonesia. Salah satu masalah utamanya adalah
kurangnya keamanan dan pengawasan yang memadai di dalam stadion. Tidak
adanya sistem pengawasan yang efektif dan ketidaksiapan aparat keamanan dalam
menghadapi kerusuhan massal menjadi faktor penyebab tragedi ini.
Selain itu, kurangnya koordinasi antara pihak-pihak terkait seperti
kepolisian, pihak stadion, dan otoritas olahraga juga menjadi masalah yang perlu
diperhatikan. Koordinasi yang baik antara semua pihak terkait sangat penting
dalam menjaga keamanan dan keselamatan di dalam stadion olahraga.
Selain faktor-faktor internal, tragedi ini juga mengungkapkan beberapa
masalah sosial yang ada dalam budaya suporter sepak bola di Indonesia.
Bentrokan antara suporter yang terlibat dalam kerusuhan menunjukkan adanya
rivalitas yang berlebihan dan ketegangan antara kelompok-kelompok suporter.
Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam mengatasi
permasalahan sosial yang mendasari kerusuhan olahraga.
Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang bukanlah satu-satunya insiden
kerusuhan olahraga yang menimbulkan korban jiwa di Indonesia. Sebelumnya,
terdapat beberapa peristiwa serupa seperti Tragedi Gelora Bung Karno pada tahun
1996 yang juga menimbulkan korban jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut
mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keamanan dan keselamatan di dalam
stadion olahraga.
Dampak tragedi kerusuhan olahraga yang menimbulkan korban jiwa
sangat luas. Selain kehilangan nyawa yang tak tergantikan, keluarga korban juga
mengalami penderitaan yang mendalam. Tragedi ini juga mempengaruhi citra
sepak bola Indonesia di mata internasional dan memicu diskusi yang lebih luas
tentang keamanan stadion olahraga.
Dalam menghadapi masalah ini, penting bagi pemerintah, otoritas
olahraga, klub sepak bola, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam
meningkatkan keamanan dan pengelolaan stadion olahraga di Indonesia.
Peningkatan pengawasan, pelatihan aparat keamanan, koordinasi yang lebih baik,
dan pendekatan sosial yang holistik dapat menjadi langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.
Penelitian ini akan mendalami tragedi Stadion Kanjuruhan Malang dan
masalah yang berkaitan dengan keamanan dan pengelolaan stadion olahraga di
Indonesia. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang peristiwa ini, diharapkan
dapat ditemukan solusi yang efektif untuk mencegah kejadian serupa terjadi
kembali dimasa depan dan menjaga keselamatan penonton di dalam stadion
olahraga
Peraturan internasional seperti yang ditetapkan oleh FIFA menyatakan
bahwa polisi atau petugas pinggir lapangan tidak diperbolehkan menggunakan gas
air mata di dalam stadion. Namun, di Indonesia, penggunaan gas air mata oleh
polisi masih terjadi sebagai upaya untuk menjaga keamanan dalam pertandingan
sepak bola. Peraturan FIFA dalam hal ini bersifat opsional dan dapat disesuaikan
oleh asosiasi sepak bola setempat, sehingga seringkali hanya berfungsi sebagai
pedoman tanpa konsekuensi yang tegas.

METODOLOGI
Objek kajian dalam penelitian ini adalah tragedi kericuhan sepak bola
yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada tanggal
1 Oktober 2022. Fokus penelitian adalah pada insiden penghimpitan kerumunan
yang menyebabkan korban jiwa dan cedera. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis penyebab terjadinya kericuhan, respons aparat keamanan, dan
dampaknya terhadap masyarakat dan dunia sepak bola di Indonesia.
Langkah pertama dalam penelitian ini adalah mengumpulkan sumber-
sumber yang relevan dan terpercaya. Sumber-sumber ini dapat berupa laporan
berita, artikel, publikasi ilmiah, laporan investigasi, dan sumber informasi lainnya
yang berkaitan dengan tragedi kericuhan tersebut. Pengumpulan sumber
dilakukan melalui pencarian daring, konsultasi dengan ahli, dan pengumpulan
data primer jika memungkinkan.
Setelah sumber-sumber terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan
verifikasi terhadap keabsahan dan keandalan sumber tersebut. Hal ini dilakukan
dengan memeriksa kredibilitas sumber, reputasi penerbit, dan mengecek apakah
sumber tersebut memiliki dukungan data atau bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan. Verifikasi sumber dilakukan untuk memastikan bahwa
data yang digunakan dalam penelitian ini dapat diandalkan dan valid.
Setelah sumber-sumber terverifikasi, langkah berikutnya adalah
melakukan analisis terhadap data yang terdapat dalam sumber-sumber tersebut.
Data yang diperoleh akan dianalisis secara kritis dan komprehensif untuk
mengidentifikasi penyebab terjadinya kericuhan, faktor-faktor yang
mempengaruhi respons aparat keamanan, dan dampaknya terhadap masyarakat
dan dunia sepak bola di Indonesia. Analisis ini akan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yang relevan dan alat analisis yang sesuai.
Setelah dilakukan analisis terhadap sumber-sumber yang dikumpulkan,
langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi temuan. Hasil analisis akan
digunakan untuk memahami secara mendalam penyebab terjadinya kericuhan,
respons aparat keamanan, dan dampaknya terhadap masyarakat dan dunia sepak
bola di Indonesia. Interpretasi temuan akan melibatkan penghubungan antara data
yang ditemukan dengan teori-teori terkait dan konteks sosial yang relevan.
Berdasarkan interpretasi temuan, penelitian ini akan menghasilkan
kesimpulan yang menyajikan ringkasan temuan utama yang relevan dengan objek
kajian. Kesimpulan ini akan memberikan gambaran menyeluruh tentang faktor-
faktor penyebab kericuhan, efektivitas respons aparat keamanan, serta dampak
sosial dan sepak bola dari tragedi tersebut.
Kajian ini menggunakan pendekatan kombinasi antara analisis kualitatif
dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami konteks sosial,
politik, dan budaya yang melingkupi tragedi kericuhan tersebut. Melalui
pendekatan ini, peneliti akan menganalisis narasi-narasi yang muncul dalam
sumber-sumber yang dikumpulkan, mengidentifikasi pola perilaku suporter, dan
menganalisis faktor-faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya kericuhan.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis data statistik yang
terkait dengan korban jiwa, cedera, dan dampak sosial ekonomi dari tragedi
kericuhan tersebut. Dengan menggunakan pendekatan ini, peneliti akan
mengumpulkan dan menganalisis data-data numerik yang tersedia, seperti jumlah
korban, tingkat keparahan cedera, dan dampak ekonomi yang ditimbulkan.
Pendekatan kombinasi antara analisis kualitatif dan kuantitatif diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang tragedi
kericuhan sepak bola di Stadion Kanjuruhan. Pendekatan ini akan memungkinkan
peneliti untuk melihat gambaran yang lebih lengkap tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya kericuhan, respons aparat keamanan, dan dampaknya
terhadap masyarakat dan dunia sepak bola di Indonesia.
Melalui langkah-langkah penelitian ini, diharapkan peneliti dapat
mengidentifikasi penyebab terjadinya kericuhan, menganalisis respons aparat
keamanan, serta memahami dampaknya terhadap masyarakat dan dunia sepak
bola di Indonesia. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk mengembangkan
langkah-langkah pencegahan dan penanganan kericuhan di masa depan, serta
memberikan wawasan yang berharga dalam upaya mempromosikan keamanan
dan kedamaian dalam pertandingan sepak bola.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Hooliganisme sepak bola telah menjadi permasalahan berkepanjangan
selama sejarah sepak bola di Indonesia, menyebabkan banyaknya suporter
kehilangan nyawa, hal ini terjadi sejak tahun 1990. Beberapa sepak bola memiliki
pemimpin kelompok suporter yang dikenal sebagai "komandan", sementara aparat
kepolisian hadir disetiap pertandingan untuk mengatasi kerusuhan yang terjadi di
lapangan. Terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan pada tahun 2018 setelah
pertandingan antara Persib Bandung dan Arema Malang yang mengakibatkan
banyaknya korban, di mana aparat kepolisian menggunakan gas air mata untuk
menenangkan kerusuhan yang terjadi ditribun.
Menurut peraturan yang terdapat pada FIFA 19b menyatakan larangan
penggunaan gas air mata oleh petugas lapangan maupun polisi di stadion, tetapi di
Indonesia, peraturan mengenai gas air mata masih digunakan oleh apparat
kepolisian dalam rangka menjaga keamanan pertandingan sepak bola. Meskipun
peraturan yang dibuat FIFA tersebut bersifat opsional tergantung pada peraturan
kompetisi yang ditetapkan oleh masing-masing asosiasi atau konfederasi. Oleh
sebab itu, peraturan FIFA hanya berfungsi sebagai panduan dan tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam rangka menangani masalah hooliganisme sepak bola, perlu
dilakukan langkah-langkah lebih lanjut. Selain mengacu pada peraturan FIFA,
diperlukan juga upaya yang lebih komprehensif dari pihak berwenang, klub sepak
bola, dan suporter untuk mencegah dan mengatasi kerusuhan. Ini dapat
melibatkan pengawasan yang ketat di stadion, penegakan hukum yang tegas
terhadap pelaku kekerasan, dan pendidikan yang lebih baik tentang etika dan
sikap sportif dalam olahraga. (Hamid, dkk., 2022).
Selain itu, perlu adanya kolaborasi yang erat antara pihak kepolisian, klub
sepak bola, dan suporter untuk memberikan keamanan dan kondusifnya selama
pertandingan. Komunikasi yang baik dan koordinasi yang efektif antara semua
pihak dapat membantu mengantisipasi dan menangani kerusuhan dengan lebih
efisien.
Tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, antara Arema dan Persebaya
Surabaya, berlangsung dalam konteks persaingan sengit antara kedua klub dalam
Derbi Super Jawa Timur. Pertandingan tersebut pada tanggal 1 Oktober dengan
beberapa masalam kemanan yang terjadi. Polisi telah memberikan himbauan agar
pertandingan diubah menjadi sore hari dan membatasi jumlahnya penonton,
namun permintaan tersebut tidak diindahkan oleh pihak penyelenggara
pertandingan. Meskipun demikian, situasi pengamanan selama pertandingan
berjalan lancar tanpa insiden yang signifikan.
Namun, setelah pertandingan usai, empat penonton dari peringkat 9 dan 10
datang ke lapangan untuk berfoto bersama para pemain tim Arema. Tindakan ini
mengakibatkan penjaga dan anggota polisi dikejar, diseret, dan dipukuli. Sekitar
3.000 suporter Arema alias Aremania memasuki lapangan dari stand 12 dan
menciptakan suasana yang luar biasa.
Aparat keamanan dan polisi berusaha mengambil Areman dari lapangan,
namun upaya itu gagal. Aremania mulai melempar benda, merusak kendaraan
polisi, dan menyalakan api di stadion. Para pemain Persebaya harus menutupi diri
di ruang ganti dan kemudian dievakuasi ke mobil yang dilindungi polisi.
Aremania mulai melempar benda, merusak kendaraan polisi dan membakar
stadion. Para pemain Persebaya harus menutupi diri di ruang ganti dan kemudian
dievakuasi ke mobil yang dilindungi polisi. Tindakan pencegahan yang dilakukan
aparat keamanan tidak berhasil, sehingga polisi menggunakan gas air mata untuk
membubarkan massa yang muncul di lapangan.  
Awalnya, polisi menggunakan gas air mata di tribun 12, dan kemudian
mengarahkannya ke tribun 10, 11, dan 14. Tribun selatan dan utara juga menjadi
target selanjutnya. Aremania yang berada di tribun berlarian menuju pintu keluar
karena upaya tersebut, keadaan menjadi semakin kacau karena gerbang-gerbang
terkunci kecuali gerbang 14. Hal ini menyebabkan penumpukan kerumunan di
gerbang 13 dan 14, yang mengakibatkan asfiksia dan sejumlah korban jiwa.
Dalam kejadian tragis di Stadion Kanjuruhan, gas air digunakan di dalam
dan di luar stadion. Menurut laporan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, hingga 11
tembakan gas air mata ditembakkan dalam insiden tersebut, tujuh di selatan, satu
di utara dan tiga tembakan di lapangan. . Menurut laporan Washington Post, polisi
menembakkan setidaknya 40 putaran gas air mata ke kerumunan dalam waktu 10
menit. Selain itu, Armania dikabarkan merusak sepuluh kendaraan polisi dan tiga
kendaraan pribadi.
Pasca huru-hara, ruang ganti dan lobi para pemain digunakan sebagai titik
evakuasi darurat. Para pemain dan staf Arema ikut serta dalam upaya membantu
mengevakuasi mereka yang masih berada di dalam stadion. Para korban kemudian
diangkut ke rumah sakit dengan ambulans dan truk dari Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Banyak korban meninggal baik dalam perjalanan ke rumah sakit
maupun saat menerima perawatan. 
Pihak Kepolisian RI mengonfirmasi bahwa ada 131 korban akibat tragedi
pada tanggal 5 Oktober 2022. Laporan sebelumnya sejalan dengan data dari
Dinkes Kabupaten Malang yang mencatat jumlah korban jiwa sebanyak 131
orang. Namun, Posko Pusat Krisis Postmortem yang telah didirikan oleh
pemerintah Kabupaten Malang melaporkan terdapat 133 kematian. Angka
kematian yang dilaporkan Posko Postmortem dibantah oleh Aremania dan
Aremania menyatakan bahwa lebih dari 200 korban mungkin kehilangan nyawa,
karena jenazah korban tidak dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke
rumahnya. Jumlah korban jiwa 39 korban yang berusia mulai dari 3 – 17 tahun
termasuk dalam jumlah korban jiwa. Jumlah korban diperkirakan akan terus
bertambah karena kondisi beberapa korban yang semakin memburuk. Laporan
pada tanggal 18 Oktober 2022 menyebutkan terdapat 133 orang meninggal dunia
dan 583 orang terluka. Pada tanggal 24 Oktober 2022, korban meninggal dunia
mencapai angka 135. (Tim Gabungan Pencari Fakta, 2022).
Pemkot Malang menanggung biaya pengobatan para korban. RS Kepanjen
dan RS Wava melaporkan kelebihan pasien akibat tragedi ini, menyebabkan
beberapa korban dirujuk ke rumah sakit lain di kota tersebut. Gubernur Jawa
Timur Khofifah Indar Parawansa mengumumkan bahwa pemerintah Jawa Timur
akan membayarkan santunan kepada keluarga korban. Kerabat korban meninggal
akan menerima 10 juta dan terluka 5 juta. Pada 4 Oktober 2022, Presiden Jokowi
mengumumkan tambahan santunan dari pemerintah pusat sebesar Rp 50 juta
untuk keluarga almarhum..
Kejadian ini merupakan bencana terbesar kedua dalam sejarah sepakbola
dunia, setelah bencana Estadio National di Peru pada tahun 1964 yang
menewaskan 328 orang. Menanggapi kejadian ini, Presiden Joko Widodo
memerintahkan Persatuan Sepak Bola untuk menangguhkan semua pertandingan
Liga 1 hingga langkah-langkah keamanan ditinjau dan ditingkatkan. Kelompok
pengumpulan data bersama juga dibentuk untuk evaluasi. PSSI menyesali
kejadian tersebut dan mengumumkan bahwa Arema akan menggelar permainan
genderang musim ini. Keputusan penyelenggaraan pertandingan tersebut PT Liga
Indonesia Baru selaku penyelenggara pertandingan tersebut telah dibahas dan
disetujui oleh beberapa pihak yang terkait dengan sepak bola Indonesia. (Mogot,
dkk., 2022).
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono untuk melakukan pemeriksaan
menyeluruh terhadap seluruh stadion Liga 1, 2, dan 3. Sebagai Kapolri di
Indonesia, Listyo Sigit Prabowo mengambil langkah-langkah untuk mencegah
Kapolres Malang dan Kapolres Ferli Hidayat menjalankan tugasnya. Kapolda
Jatim Nico Afinta dan sembilan komandan Brimob Polda Jatim juga
diberhentikan dari jabatannya. Di hari yang sama, PSSI mengumumkan
pertandingan Grup B Kualifikasi Piala Asia U-17 AFC 2023 di Indonesia akan
dimainkan tanpa penonton.
Aparat kepolisian ditahan selama 21 hari karena mengeluarkan cuitan yang
merespons tentang penggunaan gas air mata dalam peristiwa yang terjadi
menggunakan akun Twitter resmi kepolisian. Video tersebut menunjukkan TNI
melakukan kekerasan terhadapsuporter Arema. Andika Perkasa, Panglima TNI
menegaskan tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dan TNI yang terlibat akan
dijerat dengan hukum pidana.
Usai bertemu dengan Gianni Infantino selaku Presiden FIFA, Presiden
Joko Widodo memberikan perintah untuk menonaktifkan Stadion Kanjuruhan,
membongkarnya, dan membangunnya kembali sesuai standar FIFA. KOMNAS
HAM berencana menyelidiki tragedi dan penyalahgunaan gas air mata oleh polisi.
Meski peraturan FIFA melarang penggunaan gas air mata di stadion, kapolda
membela penggunaan gas air mata dengan alasan suporter mengancam pemain
dan official. Namun, polisi juga mengumumkan bahwa mereka sedang
mempertimbangkan penggunaan gas air mata. KOMNAS HAM menerbitkan
temuannya, sementara Narasi, sebuah media berita independen Indonesia,
menerbitkan investigasi visual yang mengungkap penyalahgunaan gas air mata.
Pada 4 Oktober, rekaman CCTV diperiksa oleh polisi yang ditempatkan di
beberapa gerbang Stadion Kanjuruhan, khususnya Gerbang 3 dan 9-13. Analisis
awal menunjukkan bahwa sebagian besar korban berada di pintu gerbang. Kapolri
Listyo Sigit Prabowo mengumumkan pada 6 Oktober 2022 ada 6 tersangka dalam
kasus ini. Direktur PT Liga Indonesia Baru Ahmad Hadi Lukita digugat karena
lalai meninjau stadion. Ketua panitia pertandingan Arema Abdul Haris digugat
karena lalai menunaikan tugasnya menyusun aturan keselamatan penonton dan
membiarkan penjualan tiket melebihi kapasitas stadion. Sebagai manajer
pengamanan Arema, Suko Sutrisno digugat karena tidak melakukan risk
assessment dan memerintahkan exit guard untuk meninggalkan posnya jika terjadi
bencana. Tersangka tiga oknum polisi, yakni Polres Malang dan Kasat Regu SS
Wahyu karena melanggar larangan FIFA menggunakan gas air mata, AKP
Hasdarma dan Kompi III Brimob Polda Jatim karena mengeluarkan perintah.
mendorong anggotanya untuk menggunakan gas air mata dan AKP Bambang
Sidik Achmadi, Kasat Samapta Polresw Malang, yang memberikan perintah
kepada anggotanya untuk menggunakan gas air mata. Ketiga tersangka dijerat
pasal 359 dan 360 KUHP dan pasal 103 dan 52 statuta RI. 11/2022 tentang
olahraga.  (Utama, dkk., 2022).
Polisi menerima penggunaan gas air mata yang berakhir pada 10 Oktober
2022. Sampel gas air mata tersebut kemudian dikirim ke Pusat Riset dan Inovasi
untuk dianalisis guna mendeteksi kemungkinan racun atau senyawa berbahaya
dalam gas air mata yang dapat menyebabkan cedera atau kerusakan. . kematian
korban. Sampel diambil dari tiga fasilitas penyimpanan gas air mata polisi yang
terpisah. Beberapa orang tua korban juga meminta dilakukan otopsi kedua
terhadap jenazah anaknya untuk mengetahui penyebab kematiannya.
Pada 15 November, Polda Jatim memanggil dokter RS Wava Husada
untuk bersaksi atas kejadian tersebut. Sejauh ini, 11 dokter telah bersaksi.
Kelompok investigasi dibentuk pada 3 Oktober 2022 dan diketuai oleh Mahfud
MD sebagai Menko Polhukam dan Zainudin Amali sebagai Menteri Pemuda dan
Olahraga. Laporan akhir tim investigasi disampaikan kepada presiden pada 14
Oktober. Laporan itu menyalahkan enam pihak atas insiden tersebut, termasuk
LIB, PSSI, panitia penyelenggara pertandingan, aparat keamanan, polisi, tentara
dan pendukung Arema.
PSSI mungkin menjadi penyebab utama kasus ini. Selain itu, tim
investigasi juga menemukan rekaman CCTV yang diduga sengaja dihapus,
menunjukkan adanya upaya untuk menghilangkan barang bukti. Rekaman CCTV,
yang berdurasi 3 jam 21 menit, adalah tempat parkir mobil dan lobi utama.
Pembahasan
Analisis dari Sudut Pandang Kericuhan
Dalam pembahasan ini, akan dilakukan analisis terhadap faktor-faktor
yang menjadi penyebab terjadinya kericuhan dalam tragedi di Stadion
Kanjuruhan. Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi antara lain:
1. Rivalitas Klub Sepak Bola
Tragedi kericuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang,
Jawa Timur, pada tanggal 1 Oktober 2022, terjadi dalam konteks persaingan
sengit antara dua klub sepak bola terkenal di Indonesia, yaitu Arema Malang dan
Persebaya Surabaya. Kedua klub ini telah lama menjadi rival dalam pertandingan
yang dikenal sebagai Derbi Super Jawa Timur. Rivalitas ini telah membentuk
iklim kompetisi yang tinggi dan memicu antusiasme yang besar di antara
pendukung kedua klub.
Rivalitas dalam sepak bola dapat memengaruhi emosi dan identitas
pendukung klub. Pendukung klub yang fanatik seringkali merasakan sentimen
kuat terhadap rival mereka, yang dapat menciptakan ketegangan dan konflik.
Dalam beberapa kasus, rivalitas antara klub sepak bola bisa berujung pada
tindakan yang merugikan, termasuk kekerasan dan kerusuhan. (Sriwulandari,
2023).
Dalam konteks Derbi Super Jawa Timur antara Arema Malang dan
Persebaya Surabaya, rivalitas antara kedua klub tersebut telah berlangsung selama
bertahun-tahun dan memiliki sejarah panjang. Pertandingan antara kedua tim ini
sering kali menjadi ajang pertarungan sengit di lapangan, yang kemudian
berdampak pada gairah dan emosi para pendukung di tribun.
Tragedi kericuhan di Stadion Kanjuruhan pada tanggal 1 Oktober 2022
kemungkinan besar dipicu oleh ketegangan dan emosi yang tinggi antara
pendukung Arema Malang dan Persebaya Surabaya. Kekalahan Arema Malang
dari Persebaya Surabaya dalam pertandingan tersebut kemungkinan memicu rasa
frustrasi dan amarah di antara pendukung Arema.
Ketika kekalahan itu menjadi sorotan, ada kemungkinan bahwa beberapa
pendukung Arema yang tidak puas dengan hasil tersebut memutuskan untuk
melakukan tindakan yang merusak dan kekerasan. Kehadiran sekitar 3.000
pendukung Arema yang memasuki lapangan setelah pertandingan mencerminkan
tingginya tingkat emosi dan ketegangan yang ada di antara para pendukung.
Dalam situasi seperti ini, penting untuk memahami bahwa perilaku
fanatisme yang ekstrem dan kekerasan tidak mewakili seluruh populasi
pendukung sepak bola. Sebagian besar pendukung sepak bola adalah individu
yang mendukung timnya dengan semangat, antusiasme, dan sportivitas yang
sehat. Namun, kelompok kecil yang ekstrem dan cenderung melakukan tindakan
kekerasan seringkali menjadi sorotan utama dalam tragedi kericuhan seperti yang
terjadi di Stadion Kanjuruhan.
Dalam konteks tragedi ini, penting bagi pihak berwenang, klub sepak bola,
dan organisasi terkait untuk mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya kerusuhan dan kekerasan di pertandingan sepak bola.
Langkah-langkah ini dapat melibatkan peningkatan pengawasan keamanan di
stadion, pendidikan kepada pendukung mengenai pentingnya sportivitas dan
perilaku yang baik, serta penegakan hukum yang tegas terhadap individu yang
terlibat dalam kegiatan kekerasan.
2. Kegagalan Pengaturan Pertandingan
Dalam tragedi kericuhan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, terdapat
kegagalan dalam pengaturan pertandingan yang dapat menjadi faktor penting yang
berkontribusi terhadap terjadinya ketegangan antara aparat keamanan dan
pendukung, yang pada akhirnya berujung pada kericuhan yang fatal.
Salah satu kegagalan yang terjadi adalah ketidakpatuhan terhadap
permintaan polisi untuk mengubah jadwal pertandingan dan membatasi kapasitas
penonton. Polisi telah meminta agar pertandingan antara Arema Malang dan
Persebaya Surabaya diadakan lebih awal pada sore hari, bukan pada malam hari,
untuk alasan keamanan. Selain itu, polisi juga mengusulkan pembatasan kapasitas
penonton dengan alasan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di dalam
stadion. Namun, permintaan tersebut tidak diindahkan oleh pihak yang
bertanggung jawab atas pengaturan pertandingan.
Ketidakpatuhan terhadap permintaan keamanan tersebut menciptakan
ketegangan awal antara aparat keamanan dan pendukung. Para pendukung
mungkin merasa tidak dihargai dan diabaikan oleh pihak yang bertanggung jawab
atas pertandingan. Hal ini dapat memperkuat rasa ketidakpuasan dan frustrasi di
antara pendukung, yang pada gilirannya meningkatkan potensi terjadinya
kerusuhan dan kekerasan.
Selain itu, kegagalan dalam mengatur jumlah kapasitas penonton juga
dapat berdampak negatif terhadap situasi keamanan di dalam stadion. Dengan
mencetak 42.000 tiket, melebihi jumlah yang diizinkan, tercipta kondisi yang
rentan terhadap penumpukan massa dan kesulitan pengendalian kerumunan. Hal
ini mengakibatkan risiko tinggi terjadinya penghimpitan kerumunan seperti yang
terjadi dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan.
Kegagalan dalam menghormati permintaan keamanan dan mengatur
kapasitas penonton yang sesuai juga mencerminkan kurangnya koordinasi dan
kerjasama antara pihak yang terlibat dalam pengaturan pertandingan. Penting bagi
semua pihak yang terlibat, termasuk klub sepak bola, asosiasi sepak bola, dan
pihak berwenang, untuk bekerja sama secara efektif dalam memastikan keamanan
dan keselamatan para penonton dan pemain.
Dalam konteks tragedi ini, perlu ditekankan bahwa keselamatan dan
keamanan seluruh individu yang hadir dalam pertandingan sepak bola harus
menjadi prioritas utama. Kegagalan dalam menghormati permintaan keamanan
yang disampaikan oleh aparat berwenang mencerminkan kurangnya kesadaran
akan pentingnya mengutamakan keamanan dan kesejahteraan para penonton.
3. Kurangnya Keamanan dan Pengawasan
Dalam tragedi kericuhan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, terungkap
bahwa terdapat kekurangan dalam keamanan dan pengawasan yang berkontribusi
terhadap terjadinya insiden tersebut. Kurangnya keamanan dan pengawasan yang
efektif menciptakan celah bagi para pendukung untuk memasuki lapangan dengan
mudah dan melakukan kerusuhan.
Salah satu kekurangan yang terlihat adalah lemahnya pengawasan
terhadap pintu masuk dan perbatasan antara tribun penonton dan lapangan. Para
pendukung Arema Malang berhasil masuk ke lapangan setelah pertandingan dan
mulai membuat kerusuhan. Kurangnya pengawasan yang efektif pada pintu masuk
memungkinkan mereka untuk melewati penghalang dan memasuki area yang
seharusnya hanya diakses oleh pemain, ofisial, dan staf pertandingan. Hal ini
menciptakan situasi yang berbahaya dan meningkatkan risiko konfrontasi antara
pendukung dan pemain, serta berpotensi melukai orang-orang yang tidak terlibat
dalam kerusuhan.

Dampak Tragedi terhadap Masyarakat dan Dunia Sepak Bola di Indonesia


Tragedi kericuhan di Stadion Kanjuruhan memiliki dampak yang luas terhadap
masyarakat dan dunia sepak bola di Indonesia. Beberapa dampak yang dapat
diidentifikasi antara lain:
1. Kerugian Jiwa dan Cedera
Tragedi ini menyebabkan korban jiwa dan cedera yang signifikan. Selain
menimbulkan duka yang mendalam bagi keluarga korban, kejadian ini
juga memberikan efek traumatik pada masyarakat secara umum.
2. Ketakutan dan Ketidakpercayaan
Tragedi ini menciptakan rasa takut dan ketidakpercayaan di antara
masyarakat terkait keamanan dalam pertandingan sepak bola. Hal ini dapat
mengurangi minat masyarakat untuk menghadiri pertandingan atau bahkan
menjadi penggemar sepak bola.
3. Reputasi Sepak Bola Indonesia
Tragedi kericuhan di Stadion Kanjuruhan berdampak negatif terhadap
reputasi sepak bola Indonesia di mata dunia. Insiden seperti ini
mencerminkan kurangnya pengaturan dan pengawasan yang memadai, dan
hal ini dapat mengurangi kepercayaan terhadap profesionalisme dan
keamanan di dalam industri sepak bola Indonesia.

Perbandingan dengan Kasus Serupa di Negara Lain


Dalam pembahasan ini, akan dilakukan perbandingan tragedi kericuhan di
Stadion Kanjuruhan dengan kasus serupa yang pernah terjadi di negara lain.
Tujuannya adalah untuk memperluas wawasan dan pemahaman tentang fenomena
ini secara global. Beberapa kasus serupa yang dapat dibandingkan antara lain:
1. Tragedi Hillsborough
Pada tanggal 15 April 1989, sebanyak 96 orang tewas di Stadion
Hillsborough di Sheffield, Inggris ketika fans terluka parah saat pertandingan
antara Liverpool dan Nottingham Forest. Penggemar Liverpool akan memiliki
banyak hal untuk dilihat di tribun untuk seri pembukaan. Sebagai tindakan
pencegahan, keamanan stadion membuka gerbang untuk mencegah insiden yang
tidak diinginkan. Namun, suporter yang tidak bisa mendapatkan tiket dari luar
stadion menyerbu bagian dalam stadion bersama suporter dari dalam stadion. .
2. Kebakaran di Stadion Valley Parade, Bradford
Pada Mei 1985, kebakaran terjadi di Stadion Valley Parade di Bradford,
Inggris, menewaskan 56 penggemar. Api bermula saat seorang penonton
melemparkan puntung rokok ke celah di belakang kursi yang terdapat tumpukan
sampah. Lebih dari 250 orang lainnya terluka. Tragedi tersebut dianggap sebagai
yang terbesar dan terburuk dalam sepak bola Inggris .
3. Puerta 12
Puerta 12 adalah insiden buruk pada 23 Juni 1968 yang menewaskan 71
suporter Boca Juniors. 150 orang lainnya terluka dalam kerusuhan antara
pendukung Boca dan Rivera di Sektor 12 Stadion El Monumental. .
4. Tragedi Stadion Port Said
Pada 1 Februari 2012, 79 suporter tewas dalam bentrokan antara Al Masry
dan Al Ahly di Stadion Port Said. Ribuan suporter Al-Masry menyerbu tribun
suporter Al-Ahly dan para pemain klub. Parahnya, mereka menggunakan senjata
seperti pisau, tongkat, botol, petasan bahkan pedang.
5. Tragedi Heysel
Tragedi Heysel terjadi pada 29 Mei 1985 di final Piala Champions antara
Liverpool dan Juventus. Pada saat itu, dinding stadion runtuh saat fans Liverpool
menekan tribun fans Juventus, menewaskan 39 orang dalam insiden tersebut..
6. Tragedi Berdarah di Ellis Park
Pada 11 April 2001, sebuah tragedi berdarah terjadi di Stadion Ellis Park
di kota Johannesburg. Pada hari yang sama, 43 orang tewas dan 158 lainnya
cedera dalam pertandingan Soweto, derby terbesar Afrika Selatan, di mana Kaizer
Chiefs melawan Orlando Pirates.
7. Insiden Stadion Olahraga Accra
Insiden 9 Mei 2001 menewaskan hingga 126 orang dan melukai 70.000
lainnya. Selama pertandingan Hearts of Oak v Asante Kotoko di Stadion Olahraga
Accra, polisi melepaskan selusin tabung gas air mata, melengkapi seri tersebut.
kritik dari berbagai pihak..
8. Tragedi Stadion Peru
Insiden terbaru terjadi di Stadion Nasional di Lima, Peru. Pada 24 Mei
1964, pertandingan Peru-Argentina dimainkan. Setelah wasit melarang gol Peru,
kerusuhan pecah, menewaskan 318 penggemar dan melukai 500 lainnya. Setelah
gol tidak diakui wasit beberapa menit jelang laga berakhir, para suporter protes
dan rusuh. Apalagi saat Argentina memenangkan pertandingan .

SIMPULAN
Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang merupakan peristiwa yang
mengguncang dunia sepak bola Indonesia dan menjadi titik balik kesadaran akan
pentingnya keselamatan penonton di stadion. Kejadian ini terjadi pada 1 Oktober
2022 saat pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion
Kanjuruhan Malang.
Insiden ini merupakan salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah
sepak bola Indonesia dengan banyak korban luka dan kematian. Tragedi ini
melukai puluhan orang dan menewaskan 132 orang. Kejadian ini mengejutkan
publik dan menyebabkan gelombang kecemasan dan kemarahan di seluruh negeri
.
Pasca kejadian tragis ini, aparat kepolisian segera mengambil tindakan.
Polisi segera melakukan penyelidikan dan meninjau rekaman CCTV dari enam
gerbang stadion, yang menunjukkan bahwa sebagian besar korban berada di
gerbang tersebut. Pada 6 Oktober 2022, enam orang ditetapkan sebagai tersangka,
antara lain Ahmad Hadi Lukita, Ketua PT Liga Indonesia Baru, yang dituding
lalai dalam pemeriksaan stadion, dan Ketua Panitia, yakni Abdul Haris Arema,
selaku penyelenggara. pertandingan yang dituding dinilai tidak mengindahkan
aturan keamanan bagi penonton.
Selain itu, tiga oknum polisi ditetapkan sebagai tersangka, termasuk
Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, yang memerintahkan
penggunaan gas air mata di tribun. Semua tersangka dijerat pasal 359 dan 360
KUHP dan pasal 103 dan 52 UU RI No. 11/2022 tentang olahraga. Tindakan
hukum ini merupakan upaya untuk memastikan akuntabilitas dan keadilan atas
peristiwa tragis ini  
Penyelidikan mengungkap fakta mengejutkan tentang penggunaan gas air
mata oleh polisi. Polisi mengaku gas air mata yang digunakan habis masa
berlakunya pada 10/10/2022. Tim investigasi mengumpulkan sampel tetesan air
mata dari tiga gudang terpisah untuk dianalisis. Tujuannya untuk mengetahui
kemungkinan racun atau senyawa berbahaya di dalam gas tersebut. Hasil analisis
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan laporan akhir tim pendataan
menegaskan bahwa konsentrasi gas air mata yang tinggi menjadi penyebab utama
korban luka dan kematian dalam peristiwa ini.
Selain itu, tim pencari fakta juga menemukan indikasi upaya penutupan
bukti dengan adanya rekaman CCTV yang dihapus. Hal ini menimbulkan dugaan
adanya pemalsuan dan penutupan fakta terkait tragedi ini. Fakta ini menyoroti
pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyelidikan serta
perlunya reformasi dalam pengelolaan keamanan di stadion.
Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang menjadi momentum penting bagi
Indonesia untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem pengawasan,
pengamanan, dan keselamatan di stadion. Kejadian ini menimbulkan desakan bagi
PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) dan pihak terkait untuk
melakukan perubahan dan perbaikan dalam pengelolaan pertandingan sepak bola.
Perubahan struktural dan kebijakan yang lebih ketat terkait keamanan dan
keselamatan penonton harus diimplementasikan untuk mencegah kejadian serupa
di masa depan.
Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang adalah peringatan yang tragis tentang
pentingnya mengutamakan keselamatan penonton dalam setiap pertandingan
sepak bola. Perubahan signifikan harus terjadi untuk memastikan bahwa stadion
menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para penggemar sepak bola. Semua
pihak terkait, termasuk pemerintah, federasi sepak bola, panitia penyelenggara,
dan penegak hukum, perlu bekerja sama untuk memastikan tragedi seperti ini
tidak terjadi kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Delyarahmi, S., & Siagian, A. W. (2023). PERLINDUNGAN TERHADAP


SUPPORTER SEPAK BOLA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI
MANUSIA: STUDI KASUS TRAGEDI KANJURUHAN. UNES Journal of
Swara Justisia, 7(1), 89-102.
Hayat, M. (2022). Tragedi Kanjuruhan, Duka Sepakbola. Arsip Publikasi Ilmiah Biro
Administrasi Akademik.
Hamid, S. S. N., Ramadhan, D. A., & Kusumadinata, A. A. (2023). Analisis Framing
Pemberitaan Media Narasi Tentang Tragedi Kanjuruhan Malang. KARIMAH
TAUHID, 2(1), 51-59.
Mogot, Y., Waluyo, E. A., Solihin, O., & Yasundari, Y. (2022). GERAKAN SOSIAL
VIRTUAL MENYIKAPI TRAGEDI KANJURUHAN. Dewantara: Jurnal
Pendidikan Sosial Humaniora, 1(4), 89-97.
Sriwulandari, Y. A., Nugrahani, A., & Muliyono, N. (2023). Metafora dalam Spanduk
Tragedi Kanjuruhan Malang (Methapor in Kanjuruhan Malang Tragedi Banner).
JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(2), 1346-1351.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGIPF). (2022). Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari
Fakta Tragedi Stadion Kanjuruhan.
Utama, K. W., Sukmadewi, Y. D., Saraswati, R., & Putrijanti, A. (2022). Tragedi
Kanjuruhan Dan Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pelaksanaan Prosedur
Administrasi Negara. Masalah-Masalah Hukum, 51(4), 414-421.

Anda mungkin juga menyukai