Anda di halaman 1dari 35

PENJAMINAN MUTU DI SEKOLAH

A. Pengertian Sistem Penjaminan Mutu

Dalam konteks manajemen, penjaminan mutu adalah seluruh aktifitas dalam

berbagai bagian dari sistem untuk memastikan bahwa mutu produk atau layanan yang

dihasilkan selalu konsisten sesuai dengan yang direncanakan/dijanjikan. Dalam

penjaminan mutu terkandung proses penetapan dan pemenuhan standar mutu

pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga seluruh

stakeholders (user) memperoleh kepuasan. Selain itu terdapat dua konsep dalam

penjaminan mutu yaitu konsep klasik dan konsep modern. Mutu dalam konsep klasik

ditentukan oleh produsen sedangkan konsep modern ditentukan oleh penilaian

konsumen. Maksudnya, dalam konsep mutu klasik derajat baiknya produk, barang atau

jasa dinilai oleh suatu lembaga itu sendiri sedangkan konsep mutu modern derajat mutu

atau penilaian bergantung pada pasar atau pelanggan. Pada kenyataanya definisi mutu

tidak sesederhana itu, Lyod Dobbins dan Crawford mason Ketika mewancarai beberapa

penulis menyimpulkan bahwa “Tidak ada 2 orang yang berbicara dengan kami dapat

menyetujui dengan tepat bagaimana mendefenisikan mutu”. Mereka mengutip John

Steward, seorang Konsultan di Mc. Kinsey “Tidak ada sebuah definisi mengenai mutu.

Mutu adalah perasaan menghargai bahwa seseutu itu lebih baik daripada yang lain.

Perasaan itu barulah sepanjang waktu, dan berubah dari generasi ke generasi, serta

bervariasi dengan aspek aktifitas manusia”.

Aan komariyah (2010) menyatakan bahwa mutu merupakan suatu ukuran penilaian

atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada barang atau jasa tertentu

1|PENJAMINAN MUTU DI SEKOLAH


berdasarkan pertimbangan obyektif atas bobot atau kinerjanya. Menurut Crosby, mutu

adalah sesuai yang disyaratkan atau distandarkan sesuai dengan standar mutu yang telah

ditentukan, baik inputnya, prosesnya maupun outputnya. Mutu dalam konsep Deming

adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar.

Sedangkan menurut Feigenbaum, mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya pada

konsumen, yaitu sesuai dengan harapan konsumen atas produk yang dihasilkan oleh

perusahaan. Menurut Peter Drucker, sebagaimana dikutip Salusu, mutu dinyatakan

sebagai produk atau jasa, bukan seperti yang ditetapkan oleh pemasok, malinkan seperti

yang diinginkan oleh konsumen atau klien untuk produk dan jasa yang diinginkannya

mereka mau dan rela membayarnya.

Namun demikian, terdapat kriteria umum yang telah disepakati bahwa sesuatu itu

dikatakan bermutu, pasti ketika sesuatu itu bernilai baik atau mengandung makna yang

baik serta sudah diakui oleh konsumen dan sudah terstandarisasi dengan kesiapan

akreditasi, akuntabilitas, daya saing, dan efisensi, sehingga kepuasan pelanggan adalah

yang utama. Jadi proses yang baik, output yang baik sampai poada pelayanan yang baik,

semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu memelihara dan meningkatkan mutu secara

berkelanjutan.

Dalam konteks pendidikan dikatakan “bermutu” jika input, proses, dan outputnya

dapat memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna jasa pendidikan. Bila

kemampuan yang ditunjukkan dapat melebihi persyaratan yang dituntut oleh

stakeholders, maka suatu lembaga pendidikan baru dapat dikatakan unggul. Lantaran

2|P age
tuntutan persyaratan kualitas yang dikehendaki para user terus berubah dan berkembang,

makna pengertian mutu juga bersifat dinamis dan terus berkembang (Qomar, 2009:206).

Menurut Mulyasa (2012:157), mutu dapat diartikan sebagai gambaran dan

karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam

memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan,

pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan

Mutu tidak lahir dan berdiri sendiri, melainkan melibatkan banyak faktor untuk

kelahirannya. Di antara yang terlibat tersebut adalah sistem penjaminan mutu (Quality

Assurance System). Sistem inilah yang akan mengawal mutu lembaga pendidikan, yang

termasuk pendidikan di sekolah, dan sistem inilah yang akan bertanggung jawab pada

input, proses, dan output pendidikan. Input dinyatakan bermutu jika siap berproses.

Proses pendidikan bermutu apabila mampu menciptakan suasana pembelajaran yang

Aktif, Inovatif, Kreatif, Menyenangkan, dan Bermakna. Output, dinyatakan bermutu jika

hasil belajar akademik dan non akademik siswa tinggi. Outcome, dinyatakan bermutu

apabila lulusan cepat terserap di dunia kerja, gaji wajar, menjadi wirausahawan yang

berdikari, dan semua pihak mengakui kehebatan mutu lulusan.

Penjaminan mutu merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili kegiatan

monitoring, evaluasi, atau kajian mutu. Kegiatan penjaminan mutu tertuju pada proses

untuk membangun kepercayaan, dengan cara melakukan pemenuhan persyaratan atau

standar minimum pada komponen input, komponen proses, dan hasil atau outcome,

sesuai dengan yang diharapkan stakeholders. Dalam bidang pendidikan, penjaminan

mutu merupakan cara mengatur semua kegiatan dan sumber daya pendidikan yang

3|PENJAMINAN MUTU DI SEKOLAH


diarahkan pada kepasan pelanggan (Mahmud 2012:13). Di dunia pendidikan, pelanggan

dikelompokkan menjadi dua, yaitu internal customer dan external customer. Internal

customer yaitu siswa atau mahasiswa sebagai pembelajar, dan external customer yaitu

masyarakat dan dunia industri.

B. Aspek-aspek dalam Sistem Penjaminan Mutu

Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu maka sesuai dengan kebijakan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun

2016 tentang sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah diarahkan untuk

memberikan penjaminan mutu pendidikan pada tingkat satuan pendidikan dan

mengamanatkan setiap satuan pendidikan diwajibkan untuk membentuk Sistem

Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem penjaminan Mutu Eksternal (SPME).

Sistem Penjaminan Mutu Internal merupakan sistem penjaminan mutu yang dilaksanakan

dalam satuan pendidikan dan dijalankan oleh seluruh komponen satuan pendidikan yang

mencakup seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan dengan memanfaatkan berbagai

sumber daya untuk mencapai SNP yang ditetapkan oleh satuan pendidikan dan dituangkan

dalam pedoman pengelolaan satuan pendidikan. SPMI Dikdasmen dituangkan dalam lima

dokumen, yaitu (1) dokumen kebijakan SPMI, (2) dokumen manual SPMI, (3) dokumen

standar dalam SPMI, (4) dokumen formular yang digunakan dalam SPMI, dan (5)

dokumen pendukung. Agar SPMI Dikdasmen berjalan dengan baik di satuan pendidikan

diperlukan unsur penjaminan mutu dalam bentuk tim penjaminan mutu sekolah yang

independent di luar manajemen sekolah yang setidaknya terdiri dari unsur manajemen,

pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya.

4|P age
Keberhasilan SPMI dapat dilihat dari tiga indikator. Pertama, indikator keluaran,

meliputi kemampuan satuan pendidikan menjalankan seluruh siklus penjaminan mutu

serta keberadaan organisasi penjaminan mutu pendidikan di satuan pendidikan. Kedua,

indikator hasil, yaitu apakah proses pembelajaran serta pengolahan satuan pendidikan

sudah berjalan sesuai standar. Ketiga, indikator dampak, di antaranya terbangunnya

budaya mutu di satuan pendidikan serta adanaya peningkatan mutu hasil belajar. Terdapat

beberapa faktor penentu keberhasilan pelaksanaan SPMI, yaitu budaya organisasi,

kepemimpinan kepala sekolah yang efektif, partisipasi pemangku kepentingan,

komiktmen dan kosnsitensi seluruh pemangku kepentingan, akuntabilitas, transparansi,

dan integritas.

Sedangkan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal merupakan sistem penjaminan mutu

yang dilaksankan oleh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga akreditasi dan lembaga

standarisasi pendidikan. Siklus SPME dilaksanakan oleh pemerintah pusat, provinsi dan

kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang terbagi menjadi tiga kelompok.

Pertama, siklus fasilitasi peningkatan mutu. Kegiatan yang dilakukan meliputi pemetaan

mutu pendidikan di tingkat satuan pendidikan, perencanaan peningkatan mutu melalui

rencana strategis pembangunan pendidikan, fasilitasi pemenuhan mutu di seluruh satuan

pendidikan, monitoring dan evaluasi proses pelaksanaan pemenuhan mutu dan fasilitasi

peningkatan mutu secara berkelanjutan oleh pemerintah pusat bekerja sama dengan

pemerintah daerah. Pemerintah pusat dalam melakukan fasilitasi dilaksanakan oleh

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen), Kemendikbud

dibantu oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP). Fasilitasi oleh pemerintah

provinsi dilaksanakan oleh dinas pendidikan provinsi dibantu oleh tim penjaminan mutu

5|PENJAMINAN MUTU DI SEKOLAH


pendidikan provinsi dan berkoordinasi serta kerja sama dengan Ditjen Dikdasmen,

Kemendikbud. Pemerintah kabupaten/kota melakukan fasilitasi yang dilaksanakan oleh

dinas pendidikan kabupaten/kota dibantu oleh tim penjaminan mutu pendidikan

kabupaten/kota dan berkoordinasi serta kerja sama dengan Ditjen Dikdasmen,

Kemendikbud.

Kedua, siklus pengembangan standar mutu pendidikan dasar dan menengah.

Dikembangkan secara berkelanjutan oleh BSNP melalui evaluasi pemenuhan SNP oleh

satuan pendidikan, penetapan SNP dan penyusunan strategi peningkatan mutu pendidikan

oleh satuan pendidikan. Ketiga, siklus akreditasi satuan pendidikan. Secara berkelanjutan

dikembangkan oleh BAN-S/M melalui evaluasi mutu satuan pendidikan, audit mutu

eksternal, dan penetapan akreditasi. Dalam menjalankan kewenangannya BSNP dan

BAN-S/M memanfaatkan data dan informasi hasil pemetaan mutu pendidikan yang

tersedia dalam Sistem Informasi Mutu Pendidikan.

Tujuan dari SPMI dan SPME yaitu: (1) untuk mengendalikan penyelenggaraan

pendidikan oleh satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah

sehingga terwujud pendidikan yang bermutu, dan (2) untuk menjamin pemenuhan standar

pada satuan pendidikan secara sistemik, holistik, dan berkelanjutan, sehingga tumbuh dan

berkembang budaya mutu pada satuan pendidikan secara mandiri. Oleh karena itu, system

penjaminan mutu pendidikan pada dasarnya adalah mengawal satuan pendidikan dalam

pemenuhan Standar Nasional Pendidikan.

Sedangkan Menurut Sagala (2010:172) terdapat 12 aspek indikator keberhasilan

dalam meningkatkan mutu pendidikan, yaitu (1) efektivitas proses pembelajaran bukan

sekedar transfer pengetahuan (knowledge transfer), melainkan lebih menekankan pada

6|P age
internalisasi mengembangkan aspekkognitif, afektif, dan psikomotor dan kemandirian,

(2) kepemimpinan kepala sekolah akan mendorong terwujudnya visi, misi, tujuan,

sasaran melalui program yang dilaksanakan secara berencana, bertahap, kreativitas,

inovasi, efektif, mempunyai kemampuan manajerial, (3) pengelolaan tenaga

kependidikan yang efektif, (4) sekolah memiliki budaya mutu, (5) sekolah memiliki team

work yang kompak, cerdas dan dinamis karena output pendidikan merupakan hasil

kolektif bukan hasil individu guna memperoleh mutu yang kompetitif, (6) sekolah

memiliki kemandirian, yaitu kemampuan untuk bekerja secara maksimal dengan tidak

tergantung petunjuk dari atasan dan memiliki sumber daya manusia yang potensial, (7)

partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Keterkaitan dan keterlibatan pada sekolah

harus tinggi dilandasi oleh rasa tanggung jawab melalui loyalitas dan dedikasi sebagai

stakeholders, (8) sekolah memiliki transparansi, (9) sekolah memiliki kemauan

perubahan (management change). Perubahan adalah peningkatan bermakna positif untuk

lebih baik dalam peningkatan mutu pendidikan, (10) sekolah melakukan evaluasi

perbaikan yang berkelanjutan dan merupakan proses penyempurnaan dalam

meningkatkan mutu keseluruhan, mencakup organisasi, tanggung jawab, prosedur dan

sumber daya manusia, (11) sekolah memiliki akuntabilitas sebagai tanggung jawab

terhadap keberhasilan program sekolah yang telah dilaksanakan, dan (12) output sekolah

penekanannya kepada lulusan yang mandiri dan memenuhi syarat pekerjaan (qualified)

C. Standar dalam Sistem Penjaminan Mutu di Sekolah

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu. Hal tersebut telah tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah mempunyai kewajiban dalam

7|PENJAMINAN MUTU DI SEKOLAH


penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, dalam mewujudkan

pendidikan yang bermutu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerinath (PP) Nomor

19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dibentuk pula

Badan Standard Nasional Pendidikan (BNSP) sebagai badan yang menentukan 8 standar

dan kriteria pencapaian penyelenggaraan pendidikan. Adapun standar-standar yang

menjadi dasar bagi penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 2

adalah 1) Standar Isi, 2) Standar Proses, 3) Standar Kompetensi Lulusan, 4) Standar

Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 5) Standar Sarana dan Prasarana, 6) Standar

Pengelolaan, 7) Standar Pembiayaan, 8) Standar Penilaian Pendidikan.

Kemudian pada tahun 2013 dengan diterapkannya Kurikulum 2013 maka pemerintah

mengeluarkan PP Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PP Nomor 19 Tahun

2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada Pasal 2A disebutkan bahwa

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sebagaimana dimaksud dalam pasal 2ayat (1)

digunakan sebagai acuan utama pengembangan Standar Isi, Standar Proses, Standar

Penilaian Pendidikan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar dan

Prasarana, Standar Pengelolaan, dan Standar Pembiayaan. Dalam Peraturan perubaha

tersebut Pemerintah menitikberatkan pada pencapaian Standar Kompetensi Lulusan.

Artinya, bahwa semua standar harus memiliki kontribusi dalam pencapaian Standar

Kompetensi Lulusan. Untuk mengetahui Kompetensi Lulusan maka peserta didik

sebelum menyelesaikan pembelajaran berhak untuk mengikuti Ujian Nasional seperti

tercantum pada Pasal 69 bahwa (1) setiap peserta didik jalur pendidikan formal

pendidikan dasar dan menengah dan jalur pendidikan non formal kesetaraan berhak

8|P age
mengikuti UN dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan

pendidikan.

Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap penjaminan mutu pada sekolah ternyata

belum dapat memberikan substansi mutu satuan pendidikan yang sebenarnya. Hal

demikian terjadi karena penilaian yang didasarkan 8 SNP cenderung bersifat

administratif, sehingga dari sisi hasil belum memuaskan. Badan Akreditasi Nasional

Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) mulai tahun 2018 sudah mulai merancanag perubahan

sistem akreditasi, mulai dari tatanan perubahan paradigma lama ke paradigma baru, dari

paradigma berbasis compliance menjadi paradigma berbasis performa. Kemudian,

dengan paradigma baru tersebut telah diturunkan menjadi instrument akreditasi baik yang

berbasis compliance maupun instrument akreditasi yang berbasis performance.

Insterumen tersebut diberi nama Instrumen Akreditasi Satuan Pendidikan (IASP) Tahun

2020 disingkat (IASP 2020). Landasan pengembangan IASP2020 didasarkan pada

landasan filosofis, sosiologis, dan kebijakan public. Dalam landasan filosofis

pengembangan IASP 2020 dijelaskan bahwa hakikat pendidikan sejatinya bertujuan

untuk mewujudkan fungsi manusia sebagai hamba dan pemimpin di muka bumi, sehingga

pendidikan harus dilakukan secara sadar dan terencana. Dalam pendidikan, manusia

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pribadi

yang unggul dan handal, serta memiliki budaya kerja keras, grit, jujur, berpikir kritis,

kreatif, dan mandiri yang mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

Kajian tentang landasan sosiologi pengembangan IASP-2020 meliputi tiga aspek kajian

yang relevan: (1) pendidikan sebagai instrumen mewujudkan cita-cita dan nilai-nilai

sosial masyarakat, (2) fungsi dan peranan pendidikan dalam mendorong integrasi sosial,

9|PENJAMINAN MUTU DI SEKOLAH


dan (3) sekolah/madrasah sebagai sistem sosial yang bermakna sekolah/madrasah

merupakan sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungan.

Implikasi penting dari landasan sosiologis adalah bahwa sekolah/madrasah harus

dapat mengemban cita-cita, misi, tujuan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang

berakar dan berkembang sebagai nilai-nilai utama dalam masyarakat. Karena itu,

sekolah/madrasah yang baik adalah sekolah/madrasah yang mengemban dan

mentransformasikan nilai-nilai sosial masyarakat ke dalam visi, misi, tujuan dan strategi

sekolah/madrasah. Sekolah/madrasah yang baik juga harus mampu menginternalisasikan

nilai-nilai tersebut ke dalam kurikulum dan pembelajaran.

Adapun landasan kebijakan publik terkait pengembangan IASP 2020 didasarkan

pada beberapa regulasi yang relevan: (1) UU 20/2003 Pasal 60 Ayat 3: Akreditasi

dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka; (2) PP 19/2005 Pasal 86 Ayat 3:

Akreditasi sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan,

dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada

Standar Nasional Pendidikan; dan (3) Permendikbud 13/2018 yakni tugas BAN meliputi:

(a) menetapkan kebijakan dan pengembangan sistem Akreditasi sesuai prinsip perbaikan

mutu berkelanjutan secara nasional; (b) merumuskan kriteria dan perangkat Akreditasi

untuk diusulkan kepada Menteri.

IASP 2020 sebagai perangkat kebijakan publik, maka perangkat akreditasi baru harus

didesain dengan memperhatikan beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) instrumen

akreditasi tetap harus memiliki karakteristik sebagai instrumen diagnostik para tingkatan

sistem sekolah/madrasah untuk menggali indikator-indikator dan atribut-atribut yang

memberi informasi yang jelas tentang potensi sekolah/madrasah dalam

10 | P a g e
menyelenggarakan proses pembelajaran yang berkualitas; (2) lingkup informasi yang

harus digali harus reasonable; (3) instrumen akreditasi harus meaningful dan

discriminatory agar bisa membedakan mana sekolah/madrasah yang melakukan hal-hal

meaningful bagi proses pembelajaran dan mana yang belum; (4) instrumen memiliki

tingkat kesederhanaan maksimal berisi indikator-indikator yang dapat mengungkap

informasi/attribute dengan leverage paling besar terhadap kualitas pembelajaran; (5)

penyederhanaan metodologi pelaksanaan akreditasi sehingga proses akreditasi dapat

dilakukan secara lebih praktis, dengan waktu yang cukup pendek; dan (6) mekanisme

pelaksanaan reakreditasi harus lebih praktis sehingga tidak membuang-buang sumber

daya secara sia-sia.

Implementasi IASP 2020 perlu didukung oleh perubahan sistem dan tata kelola

pelaksanaan akreditasi. Sehubungan dengan itu, perlu dirumuskan perubahan

Permendikbud Nomor 13 Tahun 2018 tentang Badan Akreditasi Nasional

Sekolah/Madrasah dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan

Pendidikan NonFormal. Perubahan perlu dilakukan dengan sistem dan tata kelola

pelaksanaan akreditasi. Selain itu, perlu juga dirumuskan pedoman umum akreditasi yang

merupakan kebijakan dari BAN-S/M.

Paradigma baru yang berbasis performance yang diukur bukan sekedar pemenuhan

input tetapi kinerja sekolah/madrasah. Sekolah/Madrasah dalam melaksanakan misinya

yaitu melaksanakan proses pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang bermutu. Yang

menjadi variabel utama untuk dinilai dalam akreditasi baru adalah mutu lulusan, proses

pembelajaran yang berlangsung di sekolah/madrasah, kinerja guru yang menjadi

tulang punggung proses pembelajaran, serta manajemen sekolah/madrasah dalam

11 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
menggali sumber-sumber input dan mengelolanya untuk mendukung proses

pembelajaran di sekolah/madrasah. Secara path diagram pola akreditasi digambarkan

seperti di bawah ini

Gambar 1.1 Pola pikir akreditasi dengan system performance

Data kualitas lulusan idealnya digali dari data setelah mereka lulus, misalnya

performance mereka setelah melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi atau bekerja

(outcome), namun fakta menunjukkan tracer study di sekolah/madrasah sangat lemah.

Oleh karena itu dapat juga data tracer tersebut dilengkapi dengan kompetensi dan karakter

siswa saat lulus (output) atau bahkan menjelang lulus (masih berada di sekolah). Dalam

konsep TQM kepuasan pengguna lulusan (sekolah/madrasah lebih tinggi tempat lulusan

melanjutkan atau tempat kerja lulusan) menjadi salah satu indikator mutu lulusan.

Kompetensi tentu tidak hanya yang berupa ranah kognitif tetapi harus juga mencakup

ranah psikomotor dan afektif, seperti misalnya dalam konsep 4-C atau sejenisnya dalam

referensi tentang 21st centry skills. Ranah afektif perlu mendapat perhatian khusus,

karena penelitian mutakhir menunjukkan bahwa aspek inilah yang menjadi salah satu

12 | P a g e
kunci utama kesuksesan lulusan ketika sudah terjun di masyarakat. Apalagi hal itu sejalan

dengan kebijakan Indonesia untuk mengarusutamakan pendidikan karakter.

Proses pembelajaran di sekolah/madrasah pada dasarnya terdiri dari dua bagian, yaitu

proses pembelajaran di kelas/lab/workshop/studio/lapangan dan budaya

sekolah/madrasah, di mana siswa banyak belajar dan mengembangkan aspek sikap

kehidupan (ranah afektif atau karakter). Proses pendidikan harus dimaknai proses yang

terjadi dan bukan sekedar ketersediaan input, misalnya aturan, sarana-prasarana yang

sebagainya. Shifting paradigm dari teaching ke learning harus mendapat perhatian dalam

menyusun instrumen akreditasi untuk aspek proses pendidikan. Kepuasan siswa dalam

mengikuti proses belajar, sehingga termotivasi belajar merupakan salah satu ukuran.

Proses pembelajaran sebagaimana disebutkan di atas pada dasarnya merupakan kinerja

guru dalam memanfaatkan input pendidikan yang tersedia atau dapat dijangkau. Seiring

dengan pemikiran itu, temuan penelitian bahwa mutu pembelajaran ditentukan oleh

inovasi guru dalam mengelola kelas (classroom management) perlu mendapat perhatian.

Hal sama juga berlaku pada budaya sekolah/madrasah (school culture/school climate),

yang harus diperhatikan apa yang terjadi di lingkungan sekolah/madrasah (school

environment) dan sekedar bagaimana sekolah/madrasah membuat kebijakan, aturan dan

menyediakan sarana-prasarana.

Manajemen sekolah/madrasah (school management) terbukti menjadi variabel

dominan, karena dapat mempengaruhi penyediaan semua input pendidikan dan

mengendalikan proses pendidikan melalui manajemen guru. Oleh karena itu kemampuan

pimpinan sekolah/madrasah dalam mengelola SDM, sarana-prasarana, sumber dana dan

melakukan terobosan serta membangun jaringan guru mendukung proses pendidikan di

13 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
sekolah/madrasah menjadi faktor penentu. Kepuasan guru dan karyawan merupakan

salah satu indikator kualitas manajemen sekolah/madrasah, karena kepuasan tersebut

pada gilirannya akan menguatkan motivasi kerja mereka.

Khusus untuk instrumen berbasis compliance seperti kurikulum, sistem penilaian,

sarana-prasarana dan anggaran akan menjadi tahap awal pra akreditasi sebagai prasyarat

untuk diakreditasi. Artinya hanya sekolah-sekolah/madrasah yang “memiliki” input

minimal yang akan diakreditasi. Input minimal harus dimaknai sebagai input minimal

agar proses pendidikan berjalan dan bukan mempersyaratkan input-input formal yang

tidak menjadi syarat dasar dalam proses pendidikan/pembelajaran.

D. PROSES SISTEM PENJAMINAN MUTU DI SEKOLAH

Sistem penjaminan mutu di Sekolah dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional

Sekolah/Madrasah. Di bawah ini merupakan proses pelaksanaan akreditasi di sekolah

dalam menjamin mutu pendidikan di sekolah

Gambar 1.2 Proses Pelaksanaan Akreditasi

14 | P a g e
Secara konkret, mekanisme pelaksanaan akreditasi sekolah/madrasah terlihat dalam

Gambar 1.2. Pada Gambar tersebut terdapat 3 (tiga) bagian besar yang sangat penting,

yakni:

1. Database Sekolah/Madrasah Terakreditasi: Daftar Sekolah/madrasah yang sudah

terakreditasi sebelumnya. Sekolah/madrasah yang terdapat dalam database ini

setelah sistem ini diberlakukan, maka secara reguler diwajibkan untuk

memasukan data dan informasi ke dalam sistem monitoring terkait kinerja satuan

pendidikan (indikatornya akan ditetapkan oleh BAN S/M). Input data dan

informasi tahunan ini akan menjadi dasar konsistensi sekolah/madrasah terkait

mutu satuan pendidikan dikaitkan dengan permohonan reakreditasi.

Sekolah/madrasah dapat diperpanjang otomatis status akreditasinya tanpa melalui

visitasi ulang jika berdasarkan data/informasi dari sistem menunjukkan

sekolah/madrasah tersebut tidak mengalami penurunan mutu. Sekolah/madrasah

yang memperoleh akreditasi B dan C dapat mengajukan permohonan untuk

diakreditasi ulang apabila dapat menunjukkan bukti-bukti perbaikan kinerja yang

akan diverifikasi oleh BAN-S/M. Sekolah/madrasah yang memperoleh akreditasi

A, B, dan C dapat divisitasi ulang apabila dalam sistem monitoring atau

berdasarkan pengaduan masyarakat menunjukkan penurunan mutu. Permohonan

akreditasi ulang bisa dilakukan paling cepat 2 (dua) tahun setelah terbitnya

sertifikat akreditasi.

2. Proses monitoring (dashboard), proses ini dilakukan dengan mekanisme otomatis

(machine generated), dan tidak melibatkan asesor untuk mencegah konflik

kepentingan. Indikator kinerja sekolah/madrasah yang akan masuk ke dalam

15 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
sistem ini akan ditetapkan oleh BAN S/M. Evaluasi data dan informasi dilakukan

melalui aplikasi dashboard monitoring yang dibuat secara menyeluruh untuk

memastikan sekolah/madrasah yang masuk ke dalam sistem akan memberikan

informasi tentang mutu satuan pendidikan. Prosedur yang harus dilakukan antara

lain: Sekolah/madrasah menyampaikan update data dan informasi satuan

pendidikan terkait dengan indikator-indikator mutu yang telah ditetapkan oleh

BAN S/M. Berdasarkan hasil dashboard monitoring akan diperoleh hasil antara

lain: (1) penetapan perpanjangan peringkat akreditasi apabila dinyatakan mutu

sekolah/madrasah konstan; (2) penetapan perpanjangan peringkat akreditasi

apabila dinyatakan sekolah/madrasah tersebut secara sistem mutunya naik tetapi

tidak mengusulkan akreditasi; (3) penetapan menjadi sasaran akreditasi apabila

secara sistem mutu sekolah/madrasah menurun;

3. Proses Akreditasi; apabila sekolah/madrasah sudah dinyatakan sebagai sasaran

akreditasi, maka kemudian masuk pada tahap proses akreditasi. Mekanisme

proses akreditasi akan dilaksanakan oleh BAN S/M Provinsi sesuai dengan

ketentuan akreditasi Permendikbud Nomor 13 Tahun 2018. Sekolah/madrasah

yang sudah ditetapkan sasaran akreditasi, apabila ingin menuju proses diakreditasi

harus memenuhi persyaratan mutlak (compliance mutlak) sebagai berikut :

a. Sekolah/madrasah telah memiliki izin operasional yang dibuktikan dengan

telah mengunggah dalam Dapodik

b. Kepala sekolah/madrasah memiliki surat tanda tamat pendidikan dan

pelatihan calon kepala sekolah.

c. Sekolah/madrasah pernah meluluskan siswa.

16 | P a g e
d. Sekolah/madrasah menyelenggarakan alokasi waktu proses pembelajaran

sesuai kurikulum nasional.

e. Sekolah/madrasah menyelenggarakan seluruh mata pelajaran yang

diwajibkan sesuai kurikulum nasional di seluruh kelas.

Selain harus memenuhi ke lima persyaratan di atas, sekolah/madrasah juga harus

memenuhi indikator compliance relatif dengan skor minimal 60.

E. PERAN KEPEMIMPINAN DALAM SISTEM PENJAMINAN MUTU

Kepemimpinan berbeda dengan pemimpin. Kepemimpinan adalah kemampuan

untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok dengan maksud mencapai tujuan

yang diinginkan bersama. Sedangkan pemimpin adalah seseorang atau sekelompok orang

seperti kepala, komandan, ketua, dan sebagainya. Kepemimpinan mempunyai kedudukan

menggerakkan visi, misi, dan tujuan yang telah direncanakan oleh organisasi.

Sebagaimana dalam penelitian Edmonds menjelaskan bahwa organisasi-organisasi yang

dinamis senantiasa berupaya meningkatkan prestasi kerjanya dipimpin oleh pemimpin

yang baik. Kepemimpinan yang baik adalh mampu memerankan dalam delapan peran:

organisator, pengakrobat berdasarkan nilai, penolong sejati, perantara, humanis, katalis,

rasionalis, dan politikus. Peran-peran ini mampu menunjukkan pengembangan visi,

kemampuan adaptasi, kemampuan pemberdayaan, kemampuan tim yang terlatih dan

kepekaan organisasi terhadap proses sistematis, mandiri dan terdukmentasi untuk

memperoleh bukti obeyktif untuk menemukan kriteria audit yang obyektif akan

memberikan jaminan, bahwa system manajemen mutu diterapkan dan dipelihara sesuai

dengan kebijakan, sasaran, dan rencana yang telah ditetapkan.

17 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
Robert Tannebeum dan Fred Massarik (1997) mengemukakan kepemimpinan

adalah pengaruh antar personal yang dilaksanakan dalam suatu keadaan yang ditujukan

untuk mencapai stuatu tujuan khusus melalui proses komunikasi.

Robbins (1998) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai kemampuan

untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan.

Sedangkan Chemers mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses

mempengaruhi sosial di mana seseorang dapat memperoleh bantuan dan mendorong

orang-orang lain dalam penyelesaian suatu tugas bersama.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan

mengandung beberapa elemen, yaitu (Mahmud, 2015)

1. Kepemimpinan melibatkan kelompok orang yang saling mempengaruhi

secara interpersonal untuk mencapai tujuan Bersama

2. Kepemimpinan merupakan suatu proses yang mengindikasikan adanya

suatu komunikasi dan interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin

3. Kepemimpinan menuntuk pemipin memiliki kemampuan dan

keterampilan dalam mempengaruhi dan menggerakkan orang yang

dipimpin

4. Kepemimpinan mengalami perluasan makna seiring perubahan situasi,

dimensi waktu, peran yang dijalankan, dan pendekatan yang dipilih dalam

memandang kepemimpinan.

Dengan demikian, kepemimpinan seyogianya melekat pada diri pemimpin dalam

wujud kepribadian, kemampuan, dan kesanggupan guna mewujudkan kepemimpinan

bermutu. Kepemimpinan adalah unsur penting dalam kualitas manajemen. Dikatakan

18 | P a g e
bahwa, pemimpin yang efektif menurut konsep kualitas manajemen adalah pemimpin

yang sensitive atau peka terhadap adanya perubahan dan pemipin yang melakukan

pekerjaannya secara terfokus. Dalam konsep kualitas manajemen, mempin berarti

menentukan hal-hal yang tepat untuk dikerjakan, menciptakan dinamika organisasi yang

dikehendaki agar semua orang memberikan komitmen, bekerja dengan semangat dan

antusisa untuk mewujudkan hal-hal yang telah ditetapkan.

Oleh karena itu, kepemimpinan pada hakeatnya adalah, pertama, proses

mempengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya

mencapai tujuan organisasi; kedua seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan

cara kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, dan kerja sama yang bersemangat untuk

mencapai tujuan bersama; ketiga, kemapuan untuk mempengaruhi, member inspirasi, dan

mengarahkan tindakan, seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang

diharapkan; keempat, melibatkan tiga hal yaitu pemimpin, pengikut, dan situasi tertentu;

kelima, kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mecapai tujuan.

Fungsi kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam

interaksi antar dindividu di dalam situasi sosial suatu kelompok/organisasi. Fungsi

kepemimpinan memiliki dua dimensi seperti:

1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan dalam

tidnakan atau aktivitas pemimpin

2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan atau keterlibatan orang-

orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok/

organisasi.

19 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
Secara operasional dapat dibedakan dalam lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu

(Rivai dan Mulyadi, 2003):

1. Fungsi intruksi, bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai

komunikator merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana, dan di

mana perintah itu dikerjakan agar keputusan dapat dilaksanakan secara

efektif. Kepemimpinan yang efektif memerlukan kemampuan untuk

menggerakkan dan memotivasi orang lain agar mau melaksnakan perintah.

2. Fungsi konsultasi, fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap

pertama dalam usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerapkali

memerlukan bahan pertimabangan yang mengharuskan untuk berkonsultasi

dengan orang dipimpinnya yang dimulai mempunyai berbagai bahan

informasi yang dibutuhkan dalam menetapkan keputusan. Konsultasi itu

dimaksudkan memperoleh masukan berupa umpan balik (feedback) untuk

memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah

ditetapkan dan dilaksanakan. Dengan menjalankan fungsi konsultasi dapat

diharapkan keputusan-keputusan pimpinan akan mendapat dukungan dan

lebih mudah menginstruksikannya, sehingga kepemimpinan berlangsung

efektif.

3. Fungsi partisipasi, Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha

mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan

mengambil keputusan maupun dalam melaksanakannya.. Partisipasi tidak

berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dlakukan secara terkendali dan terarah

berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok

20 | P a g e
orang lain. Keikutsertaan pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai

pemimpin bukan pelaksana.

4. Fungsi delegasi, dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang

membuat/menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa

persetuan dari pimpinan. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan.

Orang-orang penerima delegasi itu harus diyakini merupakan pembantu

pemimpin yang memiliki kesamaan prinsip, persepsi, dan aspirasi.

5. Fungsi pengendalian, berarti bahwa kepemimpinan yang sukses/efektif

mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dalam koordinasi yang

efektif sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara

maksimal. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan

bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.

Seluruh fungsi kepemimpinan tersebut diselenggarakan dalam aktifitas

kepemimpinan integral. Pelaksanaannya berlangsung sebagai berikut:

1. Pemimpin berkewajiban menjabarkan program kerja.

2. Pemimpin harus mampu memberikan petunjuk yang jelas.

3. Pemimpin harus berusaha mengembangkan kebebasan berpikir dan mengeluarkan

pendapat.

4. Pemimpin harus mampu mengembangkan kerja sama yang harmonis.

5. Pemimpin harus mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan sesuai

batas tanggung jawabnya.

6. Pemimpin harus mendayagunakan pengawasan sebagai alat pengendali.

21 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
Dalam melaksanakan fungsinya, maka akan berlangsung aktivitas kepemimpinan.

Apabila aktivitas tersebut dipilah-pilah, amak akan terlihat gaya kepemimpinan dengan

pola yang berbeda. Gaya kepemimpina tersbut merupakan dasar dalam pengklasifikasian

tipe kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar, yaitu:

1. Gaya kepemimpinan yang berpola pada kepentingan pelaksanaan tugas.

2. Gaya kepemimpinan yang berpola pada pelaksanaan hubungan kerja sama.

3. Gaya kepemimpinan yang berpola pada kepentingan hasil yang dicapai.

Berdasarkan ketiga pola dasar tersebut terbentuk perilaku kepemimpinan yang

berwujud pada kategori kepemimpinan yang terdiri atas tipe pokok kepemimpinan, yaitu:

a. Tipe Kepemimpinan Otoriter, Tipe kepemimpinan ini menempatkan kekuasaan di

tangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan

tugas anak buah semata-mata hanya sebagai pelaksana keputusan, perintah, bahkan

kehendak pimpinan. Pimpinan memandang dirinya lebih dalam segala hal,

dibandingkan dengan bahawannya. Kemampuan bawahan selalu dipandang rendah

sehingga dianggap tidak mampu berbuat sesuatu tanpa diperintah.

b. Tipe Kepemimpinan Kendali Bebas, tipe kepemimpinan ini merupakan kebalikan

dari tipe kepemimpinan otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai symbol.

Kepemimpinan dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh pada orang yang

dipimpin dalam mengambil keputusan dan melakukan kegiatan menurut kehendak

dan kepentingan masing-masing, baik secara perorangan maupun kelompok-

kelompok kecil. Pemimpin hanya memfungsikan dirinya sebagai penasihat.

c. Tipe Kepemimpinan Demokratis, tipe kepemimpinan ini menempatkan manusia

sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok/organisasi. Pemimpin

22 | P a g e
memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya sebagai subyek yang

memiliki kepribadian dengan berbagai aspeknya, seperti dirinya juga. Kemauan,

kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat, kreativitas, inisiatif yang berbeda-

beda dan dihargai disalurkan secara wajar. Tipe pemimpin ini selalu berusaha untuk

memanfaatkan setiap orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan demokratis adalah

kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah. Kepemimpinan tipe ini dalam

mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan pada

setiap jenjang dan di dalam unit masing-masing.

Ketiga tipe kepemimpinan di atas dalam prakteknya saling mengisi atau saling

menunjang secara bervariasi, yang disesuaikan dengan situasi sehingga akan

menghasilkan kepemimpinan yang efektif.

Untuk menentukan gaya yang paling efektif dalam menghadapi keadaan tertentu

maka perlu mempertimbangkan kekuatan yang ada dalam tiga unsur, yaitu : diri

pemimpin, bawahan, dan situasi secara menyeluruh. Pada tahun 1960-an berkembang

teori kepemimpinan yang dinamakan “pola manajerial”. Kepemimpinan dipengaruhi oleh

dua perhatian manajerial yang mendasar, yaitu perhatian terhadap produksi/tugas dan

perhatian terhadap manusia. Menurut teori ini ada empat gaya dasar kepemimpinan : (1)

gaya manajemen tugas, pemimpin menunjukkan perhatian tinggi terhadap produksi,

tetapi perhatian rendah terhadap manusia, (2) gaya manajemen country club, pemimpin

memperlihatkan perhatian yang tinggi terhadap manusia, tetapi perhatian rendah terhadap

produksi, (3) gaya manajemen miskin, pemimpin tidak terlalu menunjukkan perhatian,

baik terhadap produksi maupun manusia, (4) gaya manajemen tim, pemimpin

23 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
menunjukkan perhatian tinggi baik terhadap produksi maupun terhadap manusia.

Menurut teori ini gaya manajemen tim, yang pada dasarnya sama dengan gaya demokratis

merupakan gaya kepemimpinan yang terbaik untuk semua orang dalam segala situasi.

Sementara itu, Contingency Theory Leadership menyatakan bahwa ada kaitan antara

gaya kepemimpinan dengan situasi tertentu yang dipersyaratkan. Menurut teori ini

seorang pemimpin akan efektif jika gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang

terjadi. Pendekatan ini menyarankan bahwa diperlukan dua perangkat perilaku untuk

kepemimpinan yang efektif, yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. Dengan kedua

perangkat ini maka kemungkinan akan melahirkan empat gaya kepemimpinan, yaitu (1)

mengarahkan, gaya kepemimpinan ini perilaku tugas tinggi, perilaku hubungan rendah,

(2) menjual, perilaku tugas maupun perilaku hubungan sama tinggi, (3) ikut serta,

perilaku tugas rendah sedangkan perilaku hubungan tinggi, (4) mendelegasikan, baik

perilaku tugas maupun perilaku hubungan sama rendah.

Pengembangan baru dari teori ini yang dapat dikatakan sebagai kalangan moderat,

menggambarkan bahwa ada empat tipe atau gaya kepemimpinan, yaitu (1) mengarahkan

(directive), gaya ini sama dengan gaya otokratis, jadi bawahan mengetahui secara persis

apa yang diharapkan dari mereka, (2) mendukung (supportive), pemimpin bersifat ramah

terhadap bawahan, (3) berpartisipasi (participative), pemimpin bertanya dan

menggunakan saran bawahan (4) berorientasi pada tugas (task oriented), pemimpin

menyusun serangkaian tujuan yang menantang untuk bawahannya. Meskipun demikian,

diakui bahwa dalam manajemen modern, gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk

dikembangkan adalah gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk dikembangkan adalah

24 | P a g e
gaya kepemimpinan yang partisipatif atau fasilitatif serta involvement-oriented style yang

terpusat pada komitmen dan keterlibatan pegawai.

Dalam konteks Pendidikan Kepala Sekolah merupakan pimpinan sekolah memiliki

tanggung jawab yang tinggi dan penuh, secara langsung dalam membangun komitmen

dan bekerja sama dengan semua komponen-komponen di sekolah dalam upaya

pengembangan mutu pendidikan tersebut. Kepala Sekolah sebagai pemimpin mempunyai

potensi menciptakan visi dan menterjemahkannya kedalam kenyataan serta berperan

sebagai kekuatan sentral dalam menggerakkan kehidupan sekolah, juga memahami tugas

dan fungsi dalam mengembangkan mutu pendidikan.

Kepala sekolah merupakan komponen yang memegang peranan penting dalam

pengembangan mutu pendidikan. Kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam

mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan

yang tersedia guna menunjang peningkatan mutu pendidikan. Kepemimpinan kepala

sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat

mewujudkan tujuan sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara

terencana dan bertahap. Kepala sekolah dalam menetapkan tujuan program disesuaikan

dengan visi dan misi sekolah yang di dalamnya merupakan fundamental sekolah

berlandaskan landasan pendidikan, undang-undang dan peraturan, tantangan masa depan,

nilai dan harapan masyarakat. Kemudian juga kepala sekolah memperhatikan tantangan-

tantangan nyata dan output sekolah dalam menetapkan tujuan sekolah.

Kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang

tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif prakarsa menuangkan tujuan

sekolah dalam strategi kepemimpinan pengembangan mutu sekolah. Tentunya juga dalam

25 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
realisasi pembentukan program, kepala sekolah berlandaskan nilai-nilai idealisme yang

diterapkan dalam strategi kepemimpinannya dimana tertuang dalam teori, baik terkait

konsep manajemen, kepemimpinan maupun budaya mutu. Keberhasilan kepemimpinan

kepala sekolah dalam peningkatan mutu akan ditunjukkan sejauh mana sekolah tersebut

memungkinkan dalam mencapai suatu keberhasilan pendidikan.

Berbicara masalah peningkatan mutu pendidikan memang sangat kompleks dan

majemuk karena antara faktor yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Namun

faktor kunci yang paling dominan adalah pimpinan dalam hal ini kepala sekolah. Mutu

sekolah yang diharapkan, tentulah kita akan menginginkan sesuatu yang ideal.

Idealnya memenuhi standar yang sesuai dengan kebutuhan minimal sekolah yang

dikategorikan bermutu. Kepemimpinan sekolah yang ideal adalah kepala sekolah

memenuhi standar kompetensi kepala sekolah. Seorang kepala sekolah harus mempunyai

kemampuan manjerial sekolah yang baik serta mempunyai peranan sebagai educator,

manager, administrator supervisor, leader, innovator dan motivator.

Dalam pengelolaan sekolah yang efektif dan berorientasi pada mutu pendidikan

memerlukan suatu komitmen yang penuh kesungguhan dalam peningkatan mutu,

berjangka panjang (human investment) dan membutuhkan peralatan dan teknik-teknik

tertentu. Komitmen ini harus dipegang teguh oleh pimpinan dengan didukung oleh

dedikasi yang tinggi terhadap mutu melalui penyempurnaan proses yang berkelanjutan

oleh semua pihak yang terlibat yang dikenal dengan istilah MMT (Manajemen Mutu

Terpadu).

26 | P a g e
MMT sering disebut sebagai manajemen yang didukung oleh sejumlah fakta dan

data yang relevan dan utuh, artinya data dan fakta tersebut benar dan bukan hasil rekayasa

yang dibuat untuk memenuhi kepentingan satu pihak atau persyaratan tertentu. Ketika

aspek-aspek dan indikator pengelolaan lembaga pendidikan dapat dijalankan dan

diarahkan ke sebuah mutu yang tinggi, maka keberhasilan dan pencapaian mutu tersebut

harus merupakan integrasi dari semua keinginan dan partisipasi stakeholder (semua yang

berkepentingan) dalam pencapaian hasil akhirnya.

Kekuatan dalam perubahan memperlihatkan fenomena yang terus berkelanjutan

dalam pemenuhan akan perubahan tersebut. Akhirnya akan mendorong dalam upaya

pemilihan strategi yang dapat diterapkan pada kondisi-kondisi yang terduga maupun tak

terduga yang kemudian muncul.

Keberhasilan strategi sangat bergantung pada kemampuan dalam kepemimpinan

untuk membangun komitmen, menghubungkan strategi dan visi yang tetap, mengatur

sumber-sumber yang mendukung terlaksananya strategi. Alat/media dasar yang akan

bermanfaat dalam menguji posisi sekolah sekarang dalam kerangka penentuan strategi.

Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan analisis SWOT. Tujuan analisis ini untuk

mengetahui posisi sekolah, apakah sudah maju atau masih tertinggal dalam mutu

pendidikannya.

Dalam rangka perubahan dan transformasi diperlukan seorang pemimpin yang

memiliki mental kuat dan prima, mampu mengatasi masalah dan tantangan, memiliki visi,

dan berani mencoba inovasi. Kepemimpinan merupakan sumber daya yang paling pokok

dalam organisasi dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. Kepemimpinan juga

27 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
merupakan pola hubungan dan bentuk kerja sama antara orang-orang yang dinamis.

Kepemimpinan juga harus mampu memberikan arah rangsangan kepada kelompoknya,

demi kemajuan organisasi.

Menurut Sallis (2006; 96) dengan mengutip pendapat Peter dan Austin: Pemimpin

pendidikan membutuhkan perspektif-perspektif sebagai berikut: a) visi dan simbol-

simbol. Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada staf, siswa

dan kepada komunitas yang lebih luas. b) menerapkan MBWA (management by walking

about), c) dekat dengan pelanggan: “dalam pendidikan”, d) otonomi, eksperimentasi dan

antisipasi terhadap kegagalan, e) menciptakan rasa kekeluargaan, dan f) ketulusan,

kesabaran, semangat intensitas dan antusiasme yang merupakan sifat essensial yang

dibutuhkan pemimpin pendidikan. Sementara itu dalam PP no.19 disebutkan pemimpin

sekolah, harus memiliki kompetensi sebagai berikut: a) memiliki kualifikasi sebagai

pendidik (Pasal 28), b) memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan (Pasal

38), c) memiliki kualifikasi sebagai pengawas (Pasal 39), d) memiliki kemampuan

mengelola dan melaksanakan satuan pendidikan (Pasal 49), e) memiliki kemampuan

menyusun program (Pasal 52), f) memiliki kemampuan menyusun perencanaan (Pasal

53).

Disamping itu dalam meningkatkan mutu pendidikan, seorang pemimpin harus

berupaya meningkatkan mutu kurikulum sekolah karena kurikulum itu merupakan sarana

dari suatu system pendidikan. Banyak persepsi yang mengatakan bahwa kurikulum

adalah rencana pendidikan dan pengajaran atau program pendidikan. Sering kali

kurikulum hanya terdiri dari mata pelajaran tertentu yang menyampaikan kebudayaan

“tempoe doeloe” yang hanya menyadur dari buku-buku pelajaran tertentu yang dipandang

28 | P a g e
baik bagi kurikulum. Namun dibalik itu anak didik hanya diajak untuk menelusuri daya

imajinatif dengan mengabaikan pengalaman-pengalaman iderawi anak didik. Hal tersebut

akan membatasi pengalaman anak kepada situasi belajar didalam kelas dan tidak

menghiraukan pengalaman-pengalaman edukatif diluar kelas. Menurut PP No.25 tahun

2000 tentang kebijakan kurikulum adalah menetapkan standar nasional yang kemudian

dijelaskan dalam GBHN 1999 pemerintah melakukan pembaharuan sistem pendidikan

termasuk kurikulum berupa verifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta

didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional (kurikulum nasional) dan lokal

sesuai dengan kepentingan setempat (kurikulum muatan lokal). Melihat keragaman

potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam serta kebhinekaan bangsa kita,

kurikulum uniform akan tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas kurikulum, dari

pendidikan dasar sampai perguruan tinggi merupakan suatu tuntutan. Pada pendidikan

dasar tentu ada kurikulum inti demi untuk memupuk kesatuan bangsa dan memperkuat

ketahanan nasional, begitu pula pada pendidikan menengah dan tinggi.

Tugas manajerial seorang pemimpin juga harus dapat memanage pembiayaan

pendidikan dengan merujuk dari PP no. 19 tahun 2005 pasal 62 yang menyebutkan bahwa

standar pembiayaan sebagai berikut : 1) Pembiayaan pendidikan terdiri dari biaya

investasi, biaya operasi dan biaya personal, 2) Biaya investasi satuan pendidikan meliputi

biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal

kerja tetap, 3) Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh

peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan,

4) Biaya operasi satuan pendidikan meliputi ; a) gaji pendidik dan tenaga kependidikan

serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, b) bahan dan peralatan pendidikan habis

29 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
pakai, dan c) Biaya operasional pendidikan pendidikan tak langsung berpa daya, air, jasa

telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi,

pajak, asuransi dan lain sebagainya.

Peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan sarana dan prasarana pendidikan

harus dilakukan pimpinan sesuai dengan amanat PP No. 19 tahun 2005 pasal 42 yang

menyebutkan bahwa standar sarana dan prasarana sebagai berikut : (1) Setiap satuan

pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabotan, peralatan pendidikan, media

pendidikan, buku dan peralatan lain yang menunjang proses belajar yang teratur dan

berkelanjutan, (2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi

lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang

laboratorium, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang bengkel, ruang unit produksi,

ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat olah raga, tempat ibadah, tempat bermain,

tempat rekreasi, dan tempat lain yang menunjang proses pembelajaran yang teratur dan

berkelanjutan.

Pengawasan mutu pendidikan dapat dilaksanakan sejak input/masukan (siswa)

masuk sekolah, mengikuti proses belajar mengajar di sekolah dan hingga menjadi lulusan

dengan berbagai kompetensi yang dimilikinya. Untuk melihat perkembangan mutu

pendidikan di sekolah, kepala sekolah dan staf guru-gurunya dapat (a) memanfaatkan data

yang ada di sekolah yang berhubungan dengan mutu sekolah dan mengolahnya menjadi

diagram, (b) brainstorming (tukar pikiran), (c) menggunakan statistik mutu (statistical

process control) yang memuat informasi tentang rata-rata mutu pendidikan, standar

deviasi/simpangan baku dari mutu pendidikan di sekolah. Guru sebagai pelaksana utama

pendidikan di sekolah diharapkan memiliki wawasan mutu pembelajaran yang baru

30 | P a g e
diterapkan dalam PBM di kelasnya. Langkah ini merupakan pendekatan mutu proses dan

secara langsung akan mendukung mutu produk/mutu akhir pendidikan berupa lulusan

yang bermutu. Keberhasilan lembaga pendidikan dapat dilihat dari sudut dan tingkat

kepuasan dari pelanggannya, yaitu pelanggan sekolah yang dikategorikan pelanggan

internal maupun pelanggan eksternal. Hal ini memberikan arti bahwa ukuran sebuah

keberhasilan sekolah dapat dilihat dari layanan yang diberikannya. Apakah layanan yang

diberikan itu berada pada yang diharapkan oleh pelanggannya dengan menggunakan

teknik total quality control (TQC). Menurut Sallis (2006) TQC berarti system. Sistem

artinya apabila salah satu subsistem lemah maka keseluruhan system akan menjadi lemah.

Gugus Kendali Mutu atau Quality Control Circle (QCC) adalah salah satu teknik dalam

upaya pengendalian mutu sekolah, di mana kelompok-kelompok personel sekolah

melakukan kegiatan pengendalian dan peningkatan mutu secara teratur, sukarela dan

berkesinambungan melalui penerapan prinsip – prinsip dan teknik – teknik pengendalian

mutu yang berdasarkan data seperti checklist, diagram, grafik, diagram sebab akibat,

brainstorming, dan statistical process control.

Pengendalian mutu dapat diartikan sebagai proses manajerial yang di dalamnya

terkandung hal-hal (1) melakukan evaluasi terhadap kinerja nyata, (2) proses

membandingkan kinerja nyata dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dan (3)

melakukan tindakan-tindakan/aksi-aksi atas perbedaan-perbedaan yang dapat ditemukan.

Dalam melaksanakan pengendalian mutu, strategi pengendalian mutu kearah peningkatan

mutu pendidikan secara implementatif pengawasan/pengendaliannya diarahkan pada

optimalisasi komponen pendidikan. Tujuannya adalah mendorong kearah terciptanya

situasi yang kondusif dalam meningkatkan mutu proses belajar mengajar. Komponen-

31 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
komponen yang terkait dengan hal tersebut di atas adalah (a) komponen input manajemen,

(b) komponen proses pendidikan, (c) komponen murid, dan (d) komponen hasil belajar.

Peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu

kualitas proses dan kualitas produk atau hasil. Suatu pendidikan dikatakan berkualitas

dari segi proses pembelajaran berlangsung efektif dan bermakna serta ditunjang dengan

sumber daya yang memadai. Proses pendidikan yang berkualitas memberikan jaminan

mengenai kualitas produk yang dihasilkan. Agar proses pendidikan berkualitas,

diperlukan pemimpin yang pasti mempunyai sejumlah harapan-harapan untuk

merealisasikan dibuat suatu struktur kewenangan supaya dapat dijadikan suatu acuan para

pelaku didalamnya dalam berperilaku. Sejumlah harapan itu biasanya berorientasi kearah

masa depan dan dikenal dengan sebutan visi. Pimpinan yang mempunyai visi dan

mengembangkan unsur-unsurnya yaitu “basic values, mission, objectives”. Basic values

adalah nilai-nilai dasar atau falsafah yang dianut oleh seseorang, mission adalah

operasionalisasi dari visi merupakan pemikiran tentang organisasi yang meliputi

pertanyaan mau menjadi apa organisasi, dan akan berperan seperti apa organisasi

tersebut? sedangkan objectives atau tujuan-tujuan merupakan arah kemana organisasi

dibawa yang meliputi pertanyaan mau menghasilkan apa lembaga, untuk siapa dan mutu

yang seperti apa yang akan dihasilkannya?

Sejalan dengan Sallis (2006;96) menjelaskan bahwa “pernyataan visi

mengkomunikasikan pokok-pokok tujuan lembaga dan untuk apa lembaga tersebut

berdiri”. Oleh sebab itu Kepala Sekolah sebagai pemimpin mempunyai potensi

menciptakan visi dan menterjemahkannya kedalam kenyataan serta berperan sebagai

32 | P a g e
kekuatan sentral dalam menggerakkan kehidupan sekolah, juga memahami tugas dan

fungsi dalam mengembangkan mutu pendidikan.

Melalui tugas dan fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin, “Kepala sekolah akan

mampu mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan dan kalau

perlu berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian maksud atau tujuan-tujuan

tertentu” (Nurdin, 2001; 23). Upaya untuk mewujudkan kepala sekolah yang handal dan

berkualitas, selayaknya dapat dilakukan pengelolaan tenaga kependidikan dengan

penerapan prinsip-prinsip manajemen sumber daya manusia (Human Resource

Management), dengan harapan akan dapat meningkatkan mutu pendidikan.

33 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

PP Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP)

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun


2016 tentang system Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah

Permendikbud Nomor 13 Tahun 2018 tentang Badan Akreditasi Nasional


Sekolah/Madrasah dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan
Pendidikan NonFormal

Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah tentang draf Instrumen Akreditasi Satuan


Pendidikan 2020 Jenjang SMA/MA

Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah tentang Pedoman Akreditasi


Sekolah/Madrasah 2020

Rahman, H. (2005). Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT,Ardadijaya


Rivai, V, dan Mulyadi, D. (2003). Kepemimpinan dan perilaku Organisasi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada

Sallis, E, (2006). Total Quality Management in Education. Alih Bahasa, Ahmad Ali
Riyadi dan Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sartika, I. (1998). Perancangan Sistem Dokumentasi Mutu Perguruan Tinggi Swasta


(PTS) dengan Menggunakan Model ISO 9000 (Studi Kasus:Universitas Pasundan
Bandung). Program Pascasarjana. Institut Teknologi Bandung

Suryosubroto,B, 2004. Manajemen Pendidikan Sekolah. Jakart: Rineka Cipta

Ginting, Rosalina, dan Haryati, Titik. Kepemimpinan Dan Konteks Peningkatan Mutu
Pendidikan. Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume II, No 2, Juli 2012

Simarmata, Jonner. 2015. Analisis Implementasi Penjaminan Mutu di SMA Negeri 3 Kota
Jambi. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.4

Hendrawan, Andi, dan Yulianeu, Aneu. 2017. Sistem Penjamin Mutu Internal (Di
Akademik Kebidanan Respati Sumedang). JUMIKA Vol 06 No 01. ISSN: 2355-7494

Anwar, Khoirul. 2018. Peran Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan di Madrasah. Vol. 1, No. 1, November

Mahmud, Marzuki. 2012. Manajemen Mutu Perguruan Tinggi. Jakarta : Rajawali Pers

34 | P a g e
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
………… 2012. Manajemen & Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta : PT. Bumi
Aksara.

Muyasaroh, Siti. 2016. Penjaminan Mutu di Raudhatul Athfal. TA’ALLUM, Vol. 04,
No. 02, November

James A. F. Stoner, R. Edward Freeman, and Daniel R. Gilbert. 1996. Manajemen. terj.
Alexander Sindoro. Jakarta: P. T. Bhuana Ilmu Populer, hlm. 210

Ibid

Philip B. Crosby. 1979. Quality is Free. New York: New American Library, hlm. 58.

Mulyadi. 2010. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Mutu,


Malang: UIN-Maliki Press, hlm. 78.

Edward W. Deming. 1986. Out of Crisis. Cambridge: Massachussets Institute of


Technology, hlm. 176.

A.V. Fiegenbaum. 1996. Kendali Mutu Terpadu, jilid 1, terj. Hudaya Kandahjaya.
Jakarta: Erlangga, hlm. 6-7. Lihat juga Abdul Hadis dan Nurhayati, Manajemen Mutu
Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 86

J. Salusu. 2012. Pengambilan Keputusan Strategik: Untuk Organisasi Publik dan


Organisasi NonProfit. 2000 Jakarta: Grasindo, hlm. 469. Lihat juga Baharuddin dan
Umiarso. 2012. Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori & Praktik,
Yogyakarta: Ar Ruzz Media, hlm. 257.

Syaiful Sagala. 2009. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan:


Pembuka Ruang Kreativitas, Inovasi, dan Pemberdayaan Potensi Sekolah dalam
Sistem Otonomi Sekolah, Bandung: Alfabeta, hlm. 170

Tannenbaum Robert, Irving R Weschler and Fred Massarik. 1997. Leadership and
Organization: A Behavioral Science Approach: McGraw-Hill Book Company, Inc.,
New York.

Robbins, S.P. (1998), Organizational Behavior; Concepts, Controversies, and


Applications. Prentice-Hall Inc: New Jersey

35 | P E N J A M I N A N M U T U D I S E K O L A H

Anda mungkin juga menyukai