Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN DAN PENERAPAN SYSTEM PENJAMINAN MUTU

PENDIDIKAN

Oleh :
Raden Ayu Halima
0100220002

Dosen pembimbing :
Prof. Dr. BAMBANG SUMARDJOKO, M.Pd.

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Pengawasan pendidikan merupakan salah satu rangkaian yang penting dalam proses
manajemen. Inti pembicaraan pengawasan pendidikan terutama tertuju pada pencapaian mutu dan
kinerja pendidikan. Melalui kegiatan pengawasan diharapkan setiap perencanaan pendidikan
dapat tersusun secara cermat dan matang, setiap pelaksanaan kegiatan pendidikan dapat berjalan
sesuai dengan apa yang telah direncanakan, dan pada akhir kegiatan dapat diketahui sejauh mana
ketercapaian tujuan pendidikan yang telah direncanakan sebelumnya.
Pengawas sekolah sebagai salah satu pengembang pendidikan bertanggung jawab terhadap
kelancaran pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Sebagai pengembang peningkatan
kualitas pendidikan dan pengajaran di sekolah tidaklah mudah sebagaimana di amanahkan
Permendiknas No. 12 tahun 2007 tentang standar pengawas sekolah maka pengawas
berkewajiban melaksanakan kepengawasan sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut,
khususnya layanan supervisi sebagai salah satu kompetensinya, dalam rangka mengembangkan
kerja sama antar personal agar secara serempak selurunya bergerak ke arah pencapaian tujuan
melalui kesediaan melaksanakan tugas masing-masing secara efisien dan efektif.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 66 mengamanatkan pentingnya kegiatan pengawasan atas penyelenggaraan
pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pengawasan oleh pemerintah hadir dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah pengawasan
pendidikan yang dilaksanakan oleh pengawas sekolah.
Tenaga pengawas merupakan tenaga kependidikan yang peranannya sangat penting dalam
membina kemampuan profesional guru. Pengawas sekolah berfungsi sebagai supervisor baik
supervisor akademik maupun supervisor manajerial. Sebagai supervisor akademik, pengawas
sekolah berkewajiban untuk membantu kemampuan profesional guru agar guru dapat
meningkatkan mutu proses pembelajaran. Peranan pengawas hendaknya menjadi konsultan
pendidikan yang senantiasa menjadi pendamping bagi guru dalam meningkatkan mutu
pendidikan.
Diharapkan dengan bantuan supervisi pengawas, hasil dari pelaksanaan proses pembelajaran
akan lebih baik dan bermutu. Tentang hubungan antara supervisi pengawas dengan guru seperti
tersebut dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003, Pasal 30,
mengatakan hubungan antara peran supervisi pengawas adalah dalam upaya mencetak kualitas
output yang lebih baik. Tujuan Pendidikan Nasional menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa pada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan yang utama dari kinerja pengawas bukanlah mencari kesalahan atau menyudutkan
guru, tetapi mencari kesesuaian antara rencana pengawas dengan implementasi kerja atau dapat
juga dikatakan mencari kebenaran terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh pengawas. Kinerja
pengawas yang optimal akan menentukan keberhasilan dalam pencapaian tujuan
Sistem penjaminan mutu pendidikan merupakan kegiatan yang sistemik dan terpadu pada
penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan tingkat kecerdasan bangsa. Tidak dipungkiri
bahwa upaya strategis jangka panjang untuk mewujudkannya menuntut satu sistem
pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan yang dapat membangun kerjasama dan
kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan (stake holders) yang terkait dalam satu
keterpaduan jaringan kerja tingkat nasional, regional, dan lokal.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penjaminan Mutu Sekolah


A. Teori Mutu
Dalam manajemen mutu, ada dua konsep tentang mutu atau quality, yaitu konsep klasik dan
konsep modern. Konsep klasik bersifat absolut, sementara konsep modern bersifat relatif. Dalam
konsep klasik, mutu suatu produk ditentukan oleh produsen sedangkan dalam konsep modern
mutu ditentukan oleh konsumen atau tergantung pada penilaian konsumen. Dalam konsep klasik
ini mutu menunjukkan kepada sifat yang menggambarkan derajat “baik” nya suatu barang atau
jasa yang diproduksi atau dipasok oleh suatu lembaga.
Adapun dalam konsep modern (relatif) mutu menunjukkan kepada sifat suatu produk apakah
memuaskan konsumen atau tidak. Ali (2000; 28) menambahkan bahwa pada konsep mutu yang
bersifat absolut, derajat (degree) baiknya produk, barang atau jasa, mencerminkan tingginya
harga barang atau jasa itu serta tingginya standar atau tingginya penilaian dari lembaga yang
memproduksi atau memasok barang itu. Sedangkan dalam konsep mutu yang bersifat relatif,
derajat mutu itu bergantung pada penilaian dari pelanggan yang memanfaatkan produk tersebut.
Pandangan klasik tentang mutu yang bersifat absolut ini membawa implikasi, bahwa
dalam memproduksi barang atau jasa digunakan kriteria untuk menilai mutu dan kriteria itu
ditentukan oleh produsen atau pemasok barang. Atas dasar kriteria ini produsen menentukan
kualitas barang atau jasa yang diproduksinya. Oleh karena itu, dalam rangka manajemen produksi
agar menghasilkan produk yang bermutu di lembaga yang bersangkutan biasanya ada bagian atau
divisi yang menjalankan fungsi pengendalian mutu (quality control) yang bertugas membuat
penilaian (judgment) berdasarkan kriteria tertentu terhadap barang yang diproduksi sebelum
dilempar ke pasar, apakah termasuk katagori tidak bermutu, bermutu atau bermutu tinggi
(Tjiptono dan Diana, 1996).

B. Mutu dalam Konteks Sekolah


Praktek pendidikan dapat dianalogikan dengan industri khususnya industri jasa. Sekolah
dapat dianggap sebagai lembaga yang memproduksi dan menjual jasa (service) kepada para
pelanggannya. Pelanggan jasa pendidikan yang di produksi oleh sekolah terdiri dari pelanggan
primer yaitu siswa, pelanggan sekunder yaitu orang tua dan masyarakat atau penyandang dana,
dan pelanggan tersier yaitu pemakai lulusan sekolah yang terdiri dari lembaga pendidikan yang
lebih tinggi dan dunia kerja. Pelanggan sekunder dan tersier, yaitu orang tua, masyarakat
penyandang dana dan pemakai lulusan, bisa disebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap pendidikan di sekolah (stakeholders).
Dengan berpegang kepada konsep mutu sebagaimana dijelaskan di atas, apabila konsep
modern digunakan, maka mutu sekolah haruslah ditentukan oleh pelanggannya, yakni siswa dan
stakeholders, bukan oleh produsen yaitu sekolah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa sekolah yang
bermutu adalah sekolah yang mampu memberikan layanan atau jasa pendidikan yang sesuai atau
melebihi harapan dan kepuasan para pelanggannya.
Apakah sekolah dapat memberi layanan yang sesuai atau melebihi kepuasan para
pelanggannya merupakan pertanyaan kunci dalam menilai mutu suatu sekolah. Untuk menilainya
diperlukan adanya kriteria-kriteria penilaian pada masing-masing dimensi mutu. Menurut Sanusi
(1990), dimensi-dimensi itu meliputi dimensi hasil belajar, dimensi mengajar, bahan kajian, dan
dimensi pengelolaan. Dimensi hasil belajar dapat dipandang sebagai mutu output sedangkan
dimensi pengelolaan dan mutu mengajar sebagai mutu proses, sementara dimensi bahan kajian
sebagai mutu input. Berbagai dimensi tersebut dapat dipandang sebagai sumber-sumber mutu
sekaligus sebagai fokus mutu dalam penjaminan mutu sekolah.

C. Manajemen Mutu pada Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan


Manajemen mutu merupakan suatu cara dalam mengelola suatu organisasi yang bersifat
komprehensif dan terintegrasi yang diarahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan
secara konsisten dan mencapai peningkatan secara terus menerus dalam setiap aspek kegiatan
organisasi (Tenner dan De toro dalam Ali: 626:2007). Penjaminan mutu (Quality Assurance/ QA)
adalah istilah umum yang digunakan sebagai kata lain untuk semua bentuk kegiatan monitoring,
evaluasi atau kajian (review) mutu. Kegiatan penjaminan mutu tertuju pada proses untuk
membangun kepercayaan dengan cara melakukan pemenuhan persyaratan atau standar minimum
pada komponen input, komponen proses dan hasil atau outcome sesuai dengan yang diharapkan
oleh Stake holders (UNESCO, 2006).
D. Pelaksanaan, dan Proses Penjaminan Mutu Sekolah
Tujuan utama dari penjaminan mutu adalah untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam
produksi yang dilakukan dengan cara mengefektifkan setiap langkah yang dilaksanakan,
memperhatikan setiap sumberdaya yang digunakan, dan setiap aspek yang terlibat dalam proses
produksi di evaluasi secara terus menerus untuk mencegah terjadinya kesalahan. Jika terjadi
kekeliruan maka segera dilakukan perbaikan sehingga bisa dihindari terjadinya kerugian. Selain
pelaksanaan evaluasi yang dilakukan secara terus menerus, perbaikan juga harus dilakukan secara
berkelanjutan. Penerapan seperti ini dalam manajemen mutu mempunyai dampak terhadap
produk yang dihasilkan, karena pencegahan kesalahan dalam memproses produksi yang
dilakukan secara terus menerus dan pengawasan yang ketat.
Dalam pendidikan, logikanya sebagaimana yang diterapkan manajemen produksi seperti
di atas, juga dapat diterapkan di dalam manajemen pendidikan. Oleh sebab itu penjaminan mutu
ini dapat diterapkan dalam manajemen mutu pendidikan, karena merupakan suatu pemantauan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam rangka memenuhi pencapaian mutu yang baik
untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa sekolah telah memfokuskan penilaian dan
pengembangan pendidikan yang dapat dipertanggung jawaban.
Fullan (1991) menjelaskan, fokus penilaian mengindikasikan pentingnya dukungan
melalui strategi pengembangan dan pentingnya tekanan melalui proses akuntabilitas dalam
perubahan maupun perbaikan sekolah secara efektif. Penilaian sekolah dalam rangka penjaminan
mutu sangat penting dan fundamental sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi dalam
pengelolaan sekolah (manajemen berbasis sekolah). Dengan adanya akuntabilitas lokal sekolah,
maka proses penilaian yang lebih memuaskan sangat diperlukan untuk menjamin tercapainya
standar yang telah ditetapkan dan akan terpenuhinya harapan masyarakat.
Penerapan penjaminan mutu ini yang ada bersifat formal dan ada yang bersifat informal.
Penjaminan mutu dilakukan oleh lembaga yang ada diluar organisasi yang bersifat independen
secara khusus menjalankan evaluasinya agar terpenuhinya standar mutu untuk akreditasi atau
sertifikasi. Penjaminan mutu secara informal, dilakukan oleh suatu gugus penjaminan mutu
(quality circle) dalam organisasi itu sendiri (internal) dengan tugas utama adalah menentukan
standar mutu, sistem penilaian, dan mengembangkan instrumen untuk melakukan penilaian atau
audit tersebut.
Dalam penentuan, quality standart merupakan langkah pertama yang harus diambil dalam
konteks penjaminan mutu formal maupun informal. Penjaminan mutu formal melalui ISO yaitu
merupakan aplikasi dan prinsip penjaminan mutu yang di dalamnya menentukan proses dan
sistem yang dijadikan pedoman oleh suatu perusahaan untuk menjamin suatu produknya sesuai
dengan kebutuhan pelanggan, untuk mendapat sertifikasi dari badan internasional.
Dalam rangka menuju kearah pembakuan mutu pendidikan sebagaimana yang dilakukan
sertifikasi melalui ISO terhadap pendidikan, perlu ditetapkan lebih dahulu apa yang yang menjadi
fokus penjaminan mutu pendidikan. Menurut Departemen For Education and chaildrens
Services (1996), menekankan agar penjaminan mutu di fokuskan pada proses dan hasil
pendidikan. Dalam upaya menerapkan model penjaminan mutu pendidikan ini maka perlu adanya
komitmen yang tinggi, penilaian kebutuhan, perencanaan strategik, penyusunan rencana taktis,
dan penilai kemajuan. Penerapan penjaminan mutu ini sangat penting dalam penerapan
manajemen pendidikan berbasis sekolah.
Dalam Directorate of Quality Assurance, ada tiga komponen sistemik dari penjaminan
mutu yang dikembangkan yaitu 1) belajar dan mengajar, 2) kepemimpinan dan budaya, serta 3)
pengembangan dan manajemen sekolah.
Pertama, komponen belajar mengajar meliputi lingkungan belajar, proses belajar peserta
didik, proses mengajar, prencanaan dan penerapan mengajar, penguasaan dan pelaporan, serta
penilaian dan refleksi.
Kedua, kepemimpinan dan budaya meliputi kepemimpinan kontekstual, kepemimpinan
untuk perubahan, kepemimpinan inklusif, kepemimpinan untuk belajar, konteks budaya,
mengembangkan rasa memiliki, budaya belajar, budaya peningkatan, dan pengembangan
sekolah.
Ketiga, tata laksana meliputi tujuan sekolah, penetapan prioritas, perencanaan, tata
laksana peningkatan yang terencana, dan tata laksana perubahan fundamental.
Indikator kinerja yang dijadikan acuan dalam penilaian yang dilakukan dalam proses
penjaminan mutu, meliputi empat hal yakni sebagai berikut.
a. manajemen dan organisasi, yang meliputi aspek kepemimpinan, perencanaan, dan
administrasi, pengelolaan staf, pengelolaan biaya, sumber daya dan pemeliharaannya dan
evaluasi diri.
b. pembelajaran yang meliputi aspek-aspek kurikulum, pengajaran, proses belajar, peserta didik
dan penilaian.
c. dukungan kepada peserta didik dan etos kerja sekolah yang meliputi aspek bimbingan,
pengembangan kepribadian dan sosial peserta didik, dukungan bagi peserta didik yang
memiliki kebutuhan khusus, hubungan dengan orang tua dan masyarakat dan iklim sekolah.
d. prestasi belajar meliputi aspek-aspek kinerja akademis dan non akademis.
Proses mutu dilakukan tiga tingkatan yakni tingkatan sekolah, tingkatan teritorial dan
tingkatan internasional. Khusus mengenai di tingkat sekolah setiap sekolah merencanakan
pengembangan atas dasar tujuan kemudian melaksanakan rencana tersebut. Dalam rangka
penjaminan mutu sekolah diperlukan evaluasi diri dan membuat laporan tahunan setiap tahunnya.
Sekolah memiliki fungsi pendidikan yang fundamental dalam meningkatkan kemajuan
pendidikan.
Studi yang dilakukan oleh UNESCO (Delors,et.al, 1990), menyimpulkan tentang adanya
empat pilar pendidikan yang pada hakekatnya merupakan salah satu kajian tentang fungsi
pendidikan. Keempat pilar yang dimaksud adalah a) learning to know, b) learning to do, c)
learning to live together, and d) learning to be. Hasil studi tersebut dikaitkan dengan fungsi
sekolah, yaitu sekolah sebagai layanan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama
peserta didik.
Berdasarkan studi oleh UNESCO tersebut, maka fungsi sekolah adalah:
a. Memeberi layanan kepada peserta didik agar mampu memperoleh pemgetahuan atau
kemampuan akademik yang di butuhkan dalam kehidupan.
b. Memberi layanan kepada peserta didik agar dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan dalam kehidupan,
c. Memberi layanan kepada peserta didik agar dapat hidup bersama ataupun bekerjasama
dengan orang lain.
d. Memberi layanan kepada peserta didik agar dapat mewujudkan cita-cita atau
mengaktualisasikan dirinya sendiri. Hasil kajian di atas dijadikan sebagai landasan untuk
mempersepsikan atau memahami fungsi sekolah.
Dengan kata lain fungsi sekolah adalah membantu setiap peserta didik untuk memperoleh
dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang terkait dengan moralitas, akademik,
vokasional (ekonomik), dan sosial pribadi. Kompetensi tersebut dicapai melalui layanan yang
harus diberikan sekolah yakni: a) implementasi kurikulum/proses belajar mengajar, b)
administrasi sekolah dan manajemen sekolah, c) layanan penciptaan lingkungan dan kultur
sekolah yang kondusif, d) layanan pembinaan organisasi dan kelembagaan sekolah, dan e)
kemitraan sekolah dan masyarakat.
Dari kelima layanan tersebut, layanan impelementasi kurikulum dan proses belajar
mengajar merupakan layanan pokok dari ciri sekolah sebagai lembaga pendidikan. Untuk
keberhasilan dari kelima layanan diatas, perlu mendapat dukungan yakni a) pembiayaan, b)
tenaga pendidik dan kependidikan, c) sarana parasarana, d) peserta didik yang memiliki kesiapan
untuk mengikuti pendidikan. Adapun gambaran mengenai komponen-komponen mutu sekolah
dapat dicermati pada bagan berikut.
Dari bagian tersebut dapat dipaparkan penjelasan bahwa:
a. Dimensi-dimensi mutu pendidikan secara keseluruhan pada hakekatnya merupakan
penjaminan agar sekolah tersebut dapat mengantarkan peserta didiknya mencapai
kompetensi-kompetensi yang terkait dengan moralitas, akademik, vokasional, dan sosial
pribadi.
b. Mutu lulusan sekolah ditandai oleh kompetensi yang dimiliki siswa yang terkait dengan
moralitas, akademik, vokasional, dan sosial pribadi.
c. Kompetensi ini dapat dicapai melalui proses yang mencakup pemberian layanan dari
kurikulum dan proses belajar mengajar, lingkungan dan kultur sekolah yang kondusif,
penyelenggaran adminisrasi sekolah dan manajemen sekolah yang baik, keikutsertaan
masyarakat dalam pengelolaan pendidikan, pembinaan organisasi dan kelembagaan sekolah
dengan baik serta dukungan pembiayaan yang memadai, memiliki tenaga kependidikan yang
memiliki kompetensi pendidik, serta dipenuhinya sarana dan parasana yang cukup memadai.
d. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan penerima lulusan sekolah baik sekolah
jenjang berikutnya maupun lapangan pekerjaan.

2.2. Sistem Penjaminan Mutu Internal dan Eksternal Di Perguruan Tinggi


Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kegiatan sistemik penjaminan mutu
penyelenggaraan pendidikan tinggi di perguruan tinggi oleh perguruan tinggi (internally driven),
untuk mengawasi penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi sendiri secara
berkelanjutan (continuous improvement), sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 50 ayat (6) UU
Sisdiknas juncto Pasal 91 PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP.
Sedangkan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) adalah kegiatan sistemik penilaian
kelayakan program dan/atau perguruan tinggi oleh BAN-PT atau lembaga mandiri di luar
perguruan tinggi yang diakui pemerintah, untuk mengawasi penyelenggaraan pendidikan tinggi
untuk dan atas nama masyarakat, sebagai bentuk akuntabilitas publik sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal 60 ayat (2) UU Sisdiknas dan Pasal 86 ayat (3
) PP No. 19 Tahun 2005 tentang SNP yang disebut akreditasi. Mutu pendidikan adalah nilai,
manfaat, kesesuaian dengan suatu spesifikasi tertentu atas input, proses, dan output pendidikan
yang dirasakan oleh pemakai jasa pendidikan. Menurut permendiknas Nomor 63 Tahun 2009
pasal 1 disebutkan bahwa “Mutu pendidikan adalah tingkat kecerdasan kehidupan bangsa yang
dapat diraih dari penerapan sistem pendidikan nasional”. Selanjutnya tujuan Sistem Penjaminan
Mutu Perguruan Tinggi adalah menjamin pemenuhan Standar Pendidikan Tinggi secara sistemik
dan berkelanjutan, sehingga tumbuh dan berkembang budaya mutu dan menciptakan sinergi
antara PDPT, PMI, dan PME untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Perguruan
Tinggi oleh perguruan tinggi, untuk mendorong upaya penjaminan mutu pendidikan tinggi yang
berkelanjutan di Indonesia.
Sistem penjaminan mutu pada pendidikan tinggi memiliki fungsi mengendalikan
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi untuk mewujudkan pendidikan tinggi
yang bermutu. Struktur dan Mekanisme Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang
ditetapkan dalam Permenristek dikti No. 62 Tahun 2016 tentang SPM Dikti sebagai berikut :
1. Struktur SPM Dikti SPM Dikti tersusun dalam suatu struktur yang terdiri atas:
a. SPMI, yaitu kegiatan sistemik penjaminan mutu pendidikan tinggi oleh setiap perguruan
tinggi secara otonom untuk mengendalikan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan
tinggi secara berencana dan berkelanjutan.
b. SPME, yaitu kegiatan penilaian melalui akreditasi untuk menentukan kelayakan dan
tingkat pencapaian mutu program studi dan perguruan tinggi.
c. PD Dikti, yaitu kumpulan data penyelenggaraan pendidikan tinggi seluruh perguruan
tinggi yang terintegrasi secara nasional. Hal tersebut sejalan dengan tujuan SPM pendidikan
tinggi yaitu, menjamin pemenuhan Standar Dikti secara sistemik dan berkelanjutan sehingga
tumbuh dan berkembang Budaya Mutu di setiap perguruan tinggi di Indonesia. Dengan
demikian, implementasi SPM Dikti dengan struktur seperti di atas harus mampu menjamin
pemenuhan Standar Dikti secara sistemik dan berkelanjutan.
Adapun Standar Dikti terdiri atas:
1. SN Dikti yang ditetapkan dalam Peraturan Menristekdikti No. 44 Tahun 2015 Tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang memuat kriteria minimal sistem
pendidikan di Indonesia, terdiri atas: Pedoman Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
a)Standar Nasional Pendidikan;
b) Standar Nasional Penelitian;
c) Standar Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat.
2. Standar Dikti yang Ditetapkan oleh Perguruan Tinggi yang harus melampaui SN Dikti
meliputi:
a) Standar Pendidikan Tinggi bidang akademik;
b) Standar Pendidikan Tinggi bidang nonakademik.
Selanjutnya sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi adalah sistem yang dibentuk untuk
menjamin mutu perguruan tinggi, dengan cara melaksanakan tiga macam kegiatan, yaitu: 1.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) Kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyimpanan,
pembaharuan, dan pengelolaan data serta informasi oleh perguruan tinggi dan Ditjen untuk
mengevaluasi pemenuhan SNPT (dahulu disebut EPSBED) serta pemetaan mutu oleh
BPSDMPK dan PMP; Quality Assurance Office.
2. Penjaminan Mutu Internal (PMI) Kegiatan evaluasi diri perguruan tinggi oleh perguruan tinggi
sendiri (internally driven), untuk memenuhi atau melampaui SNPT secara
berkelanjutan/continuous improvement (dahulu disebut Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi); 3.
Penjaminan Mutu Eksternal (PME), kegiatan penilaian kelayakan perguruan tinggi oleh BANPT
atau lembaga mandiri di luar perguruan tinggi yang diakui Pemerintah, berdasarkan SNPT atau
standar yang melampaui SNPT yang ditetapkan oleh perguruan tinggi sendiri (disebut
Akreditasi).
1. SPMI untuk Penjaminan Standar Mutu Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan yang mengacu pada Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015
mencakup komponenkomponen standar:
1) kompetensi lulusan;
2) isi pembelajaran;
3) proses pembelajaran;
4) penilaian pembelajaran;
5) dosen/guru dan tenaga kependidikan; 6) sarana dan prasarana pembelajaran; dan 7)
pembiayaan pembelajaran.
SPMI sebagai alat untuk menjamin pencapaian mutu standar pendidikan harus menetapkan
lingkup yang memiliki indikator mutu agar memudahkan proses pengevaluasian pada saat proses
audit berlangsung. Akan tetapi indikatorindikator tersebut hanya merupakan pedoman untuk
mengukur efisiensi mutu pembelajaran. Evaluasi yang baik harus dapat menjelaskan hal-hal yang
diperkirakan dapat dianggap sebagai atribut mutu perguruan tinggi, yaitu:
1) relevansi tujuan dan sasaran;
2) efisiensi;
3) produktivitas;
4) efektivitas, dan
5) akuntabilitas (Almadani, K., Reid, N. dan Rodrigues, S. 2011).
Standar kompetensi lulusan perguruan tinggi meliputi kompetensi untuk seluruh mata kuliah
serta pengelompokan mata kuliah, termasuk di dalamnya adalah mencakup unsur sikap,
pengetahuan dan keterampilan, sehingga dalam penerapannya standar kompetensi lulusan tidak
terlepas dari standar isi pembelajaran.
Pada ruang lingkup ini, LPM melalui SPMI akan memastikan bahwa setiap program studi telah
merumuskan standar kompetensi lulusan berdasarkan spesifikasi program studi melalui
implementasi kurikulum yang mengacu pada KKNI serta program studi harus menciptakan
atmosfir akademik yang sesuai dengan standar mutu kompetensi lulusan yang ditetapkan.
Kurikulum haruslah sesuai dengan visi dan misi program studi serta mendukung visi dan misi
perguruan tinggi.
SPMI harus menjamin bahwa standar sarana dan prasarana yang disiapkan oleh perguruan tinggi
telah sesuai dengan PERMENDIKBUD No. 49 Tahun 2014.Melalui SPMI, standar sarana dan
prasarana pendidikan akan terus dievaluasi agar selalu memadai, bermutu baik, mudah diakses
dan digunakan setiap saat serta selalu mengalami perkembangan untuk memenuhi kebutuhan
civitas akademika.
Standar pengelolaan pembelajaran meliputi proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian,
pemantauan dan evaluasi serta pelaporan kegiatan belajar mengajar dalam program studi yang
harus dievaluasi secara periodik melalui SPMI untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran
dan menciptakan suasana akademik yang baik. Untuk mendukung kegiatan pembelajaran
perguruan tinggi, maka komponen standar pembiayaan pembelajaran harus memiliki
perencanaan yang baik meliputi biaya investasi pendidikan tinggi serta biaya operasional
pendidikan tinggi (Adegbesan, S. O. 2011).
SPMI harus menjamin bahwa tujuan utama rencana anggaran pendapatan dan belanjaialah untuk
mengembangkan perguruan tinggi melalui implementasi tri dharma perguruan tinggi.

2.3. Pengawasan Sekolah dan Mutu Pendidikan


Pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen yang penting jelas perlu melihat suatu
organisasi dalam kaitannya dengan mutu karena pada akhirnya baik mutu dalam fakta maupun
menurut persepsi dan harapan jelas akan menentukan bagi keberhasilan dan kesinambungan
kiprah organisasi, dan hal ini tentu saja berlaku dalam bidang organisasi dan kelembagaan
pendidikan seperti Sekolah.
Pengawasan di sekolah dilihat dari sudut orientasinya yang berjalan sekarang ini lebih
menekankan pada mutu dalam fakta, dimana peralatan yang sering dipergunakan adalah berbagai
aturan dan standar yang harus dipenuhi melalui kegiatan monitoring (pemantauan), memberi
judgment akan kondisi kelembagaan melalui kegiatan evaluasi, dan melaporkan serta
menindaklanjutinya dalam bentuk kegiatan perbaikan melalui upaya-upaya pemberdayaan
seluruh anggota organisasi sekolah. Hal ini sebagai pelaksanaan peran pengawas sebagai mitra,
innovator, konselor, motivator dan konsultan sekolah.
Pelaksanaan peran dan tugas pengawasan di sekola sebenarnya dapat diposisikan dalam upaya
penjaminan mutu (quality assurance) yang diimbangi dengan peningkatan mutu (qualitity
improvement/enhancement). Penjaminan mutu berkaitan dengan inisiatif superstruktur organisasi
sekolah atau kepala sekolah dan pendekatannya bersifat top down, sementara peningkatan mutu
terkaitan dengan pemberdayaan anggota organisasi sekolah untuk dapat berinisiatif dalam
meningkatkan mutu pendidikan baik menyangkut peningkatan kompetensi individu, maupun
kapabilitas organisasi melalui inisiatif sendiri sehingga pendekatannya bersifat bottom up.
Dalam kaitan tersebut, maka pengawasan di sekolah perlu lebih menekankan pada mutu melalui
tahapan quality assurance dengan pemantauan kesesuaian dengan standar-standar pendidikan
yang kemudian diikuti dengan quality enhancement, sehingga peningkatan mutu pendidikan di
sekolah dapat menjadi gerakan bersama dengan trigger utamanya adalah pengawas melalui
pelaksanaan supervisi manajerial dan supervisi akademik, untuk kemudian lebih memberi peran
dominan pada kepala sekolah melakukan hal tersebut apabila dua tahapan tersebut telah berjalan
melalui implementasi MBS.
Dalam upaya tersebut, pengawas jelas tidak dapat berperan optimal bila tenaga biroksasi
kependidikan tidak menjalankan perannya memberikan pelayanan optimal bagi lembagalembaga
pendidikan. Birokrasi pendidikan pada dasarnya merupakan organ yang mempunyai garis
perintah dengan organisasi pendidikan, sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan akan
sangat mengikat, untuk itu birokrasi pendidikan (Dinas Pendidikan UPTD Pendidikan) perlu
dodorong untuk semakin sadar bahwa kebijakan yang diterapkan pada organisasi pendidikan
harus berbasis mutu, karena kebijakan mutu merupakan kewenangan birokrasi pendidikan.
Sehingga terjadi sinergi antara birokrasi pendidikan dan pengawas dalam membangun
pendidikan dengan basis mutu melalui upaya peningkatan mutu pendidikan secara sinergis.
Uraian di atas hanya salah satu saja dari sudut pandang mutu pendidikan yaitu mutu dalam fakta,
sedang mutu dalam arti persepsi, dimana yang menentukan adalah pelanggan atau konsumen
pendidikan jelas memerlukan pembahasan lebih jauh terkait dengan konteks, pengukuran serta
kebijakan yang harus dilakukan sebagai dasar pejaminan mutu yang berorientasi konsumen
Pengawasan sekolah itu penting karena merupakan mata rantai terakhir dan kunci dari
proses manajemen. Kunci penting dari proses manajemen sekolah yaitu nilai fungsi pengawasan
sekolah terletak terutama pada hubungannya terhadap perencanaan dan kegiatan-kegiatan yang
didelegasikan (Robbins 1997). Holmes (t. th.) menyatakan bahwa ‘School Inspection is an
extremely useful guide for all teachers facing an Ofsted inspection. It answers many important
questions about preparation for inspection, the logistics of inspection itself and what is expected
of schools and teachers after the event’.
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa
semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan
kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan
mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997). Pengawasan juga merupakan fungsi manajemen
yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi
guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck
dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa pengawasan pendidikan adalah fungsi
manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya
(Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului
kegiatan pengawasan harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan
mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga
perencanaan dan pengawasan memiliki standar dan tujuan yang jelas.
Dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan
dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000:19) menegaskan
bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada
stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara
kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran. Burhanuddin
(1990:284) memperjelas hakikat pengawasan pendidikan pada hakikat substansinya. Substansi
hakikat pengawasan yang dimaksud menunjuk pada segenap upaya bantuan supervisor kepada
stakeholder pendidikan terutama guru yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan
aspek pembelajaran. Bantuan yang diberikan kepada guru harus berdasarkan penelitian atau
pengamatan yang cermat dan penilaian yang objektif serta mendalam dengan acuan perencanan
program pembelajaran yang telah dibuat. Proses bantuan yang diorientasikan pada upaya
peningkatan kualitas proses dan hasil belajar itu penting, sehingga bantuan yang diberikan
benarbenar tepat sasaran. Jadi bantuan yang diberikan itu harus mampu memperbaiki dan
mengembangkan situasi belajar mengajar.
Pengawas satuan pendidikan/sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan
sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah
tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil
belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan (Pandong, A. 2003). Dalam satu
kabupaten/kota, pengawas sekolah dikoordinasikan dan dipimpin oleh seorang koordinator
pengawas (Korwas) sekolah/ satuan pendidikan (Muid, 2003).
Pentingnya upaya peningkatan mutu dan efektivitas sekolah dapat (dan memang tepat)
dilakukan melalui pengawasan. Atas dasar itu maka kegiatan pengawasan harus difokuskan pada
perilaku dan perkembangan siswa sebagai bagian penting dari: kurikulum/mata pelajaran,
organisasi sekolah, kualitas belajar mengajar, penilaian/evaluasi, sistem pencatatan, kebutuhan
khusus, administrasi dan manajemen, bimbingan dan konseling, peran dan tanggung jawab orang
tua dan masyarakat (Law dan Glover 2000). Lebih lanjut Ofsted (2005) menyatakan bahwa fokus
pengawasan sekolah meliputi: (1) standar dan prestasi yang diraih siswa, (2) kualitas layanan
siswa di sekolah (efektivitas belajar mengajar, kualitas program kegiatan sekolah dalam
memenuhi kebutuhan dan minat siswa, kualitas bimbingan siswa), serta (3) kepemimpinan dan
manajemen sekolah.
Dari uraian di atas dapat dimaknai bahwa kepengawasan merupakan kegiatan atau
tindakan pengawasan dari seseorang yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang
melakukan pembinaan dan penilaian terhadap orang dan atau lembaga yang dibinanya. Seseorang
yang diberi tugas tersebut disebut pengawas atau supervisor. Dalam bidang kependidikan
dinamakan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan. Pengawasan perlu dilakukan
dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkesinambungan pada sekolah
yang diawasinya.
Indikator peningkatan mutu pendidikan di sekolah dilihat pada setiap komponen
pendidikan antara lain: mutu lulusan, kualitas guru, kepala sekolah, staf sekolah (Tenaga
Administrasi, Laboran dan Teknisi, Tenaga Perpustakaan), proses pembelajaran, sarana dan
prasarana, pengelolaan sekolah, implementasi kurikulum, sistem penilaian dan komponenlainnya.
Ini berarti melalui pengawasan harus terlihat dampaknya terhadap kinerja sekolah dalam
meningkatkan mutu pendidikannya. Itulah sebabnya kehadiran pengawas sekolah harus menjadi
bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan, agar bersama guru, kepala sekolah dan staf
sekolah lainnya berkolaborasi membina dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah yang
bersangkutan seoptimal mungkin sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kiprah supervisor menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah
yang dimaksud dapat dijelaskan dalam visualisasi Gambar 1 tentang Hakikat Pengawasan. Dari
visualisasi Gambar 1. tersebut tampak bahwa hakikat pengawasan memiliki empat dimensi: (1)
Support, (2) Trust, (3) Challenge, dan (4) Networking and Collaboration. Keempat dimensi
hakikat pengawasan itu masing-masing dijelaskan berikut ini.
1. Dimensi pertama dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Support. Dimensi ini menunjuk
pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu
mendukung (support kepada) pihak sekolah untuk mengevaluasi diri kondisi existing-nya.
Oleh karena itu, supervisor bersama pihak sekolah dapat melakukan analisis kekuatan,
kelemahan dan potensi serta peluang sekolahnya untuk mendukung peningkatan dan
pengembangan mutu pendidikan pada sekolah di masa yang akan datang.
2. Dimensi kedua dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Trust. Dimensi ini menunjuk pada
hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu membina
kepercayaan (trust) stakeholder pendidikan dengan penggambaran profil dinamika sekolah
masa depan yang lebih baik dan lebih menjanjikan.
3. Dimensi ketiga dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Challenge. Dimensi ini menunjuk
pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu
memberikan tantangan (challenge) pengembangan sekolah kepada stakeholder pendidikan di
sekolah. Tantangan ini harus dibuat serealistik mungkin agar dapat dan mampu dicapai oleh
pihak sekolah, berdasarkan pada situasi dan kondisi sekolah pada sat ini. Dengan demikian
stakeholder tertantang untuk bekerjasama secara kolaboratif dalam rangka pengembangan
mutu sekolah.
4. Dimensi keempat dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Networking and Collaboration.
Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu
harus mampu mengembangkan jejaring dan berkolaborasi antar stakeholder pendidikan
dalam rangka meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah.

Fokus dari keempat dimensi hakikat pengawasan itu dirumuskan dalam tiga aktivitas utama
pengawasan yaitu: negosiasi, kolaborasi dan networking. Negosiasi dilakukan oleh supervisor
terhadap stakeholder pendidikan dengan fokus pada substansi apa yang dapat dan perlu
dikembangkan atau ditingkatkan serta bagaimana cara meningkatkannya. Kolaborasi merupakan
inti kegiatan supervisi yang harus selalu diadakan kegiatan bersama dengan pihak stakeholder
pendidikan di sekolah binaannya. Hal ini penting karena muara untuk terjadinya peningkatan
mutu pendidikan ada pada pihak sekolah.

Berdasarkan rumusan kepengawasan aktivitas profesional pengawas dalam rangka


membantu sekolah binaannya melalui penilaian dan pembinaan yang terencana dan
berkesinambungan. Pembinaan diawali dengan mengidentifikasi dan mengenali kelemahan
sekolah binaannya, menganalisis kekuatan/potensi dan prospek pengembangan sekolah sebagai
bahan untuk menyusun program pengembangan mutu dan kinerja sekolah binaannya. Untuk itu
maka pengawas harus mendampingi pelaksanaan dan pengembangan program-program inovasi
sekolah. Ada tiga langkah yang harus ditempuh pengawas dalam menyusun program kerja
pengawas agar dapat membantu sekolah mengembangkan program inovasi sekolah. Ketiga
langkah tersebut adalah :

1. Menetapkan standar/kriteria pengukuran performansi sekolah (berdasarkan evaluasi diri dari


sekolah).
2. Membandingkan hasil tampilan performansi itu dengan ukuran dan kriteria/benchmark yang
telah direncanakan, guna menyusun program pengembangan sekolah.
3. Melakukan tindakan pengawasan yang berupa pembinaan/pendampingan untuk
memperbaiki implementasi program pengembangan sekolah.
4. Dalam melaksanakan kepengawasan, ada sejumlah prinsip yang dapat dilaksanakan
pengawas agar kegiatan kepengawasan berjalan efektif.

Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

1. Trust, artinya kegiatan pengawasan dilaksanakan dalam pola hubungan kepercayaan antara
pihak sekolah dengan pihak pengawas sekolah sehingga hasil pengawasannya dapat dipercaya
2. Realistic, artinya kegiatan pengawasan dan pembinaannya dilaksanakan berdasarkan data
eksisting sekolah,
3. Utility, artinya proses dan hasil pengawasan harus bermuara pada manfaat bagi sekolah untuk
mengembangkan mutu dan kinerja sekolah binaannya,
4. Supporting, Networking dan Collaborating, artinya seluruh aktivitas pengawasan pada
hakikatnya merupakan dukungan terhadap upaya sekolah menggalang jejaring kerja sama
secara kolaboratif dengan seluruh stakeholder,
5. Testable, artinya hasil pengawasan harus mampu menggambarkan kondisi kebenaran objektif
dan siap diuji ulang atau dikonfirmasi pihak manapun.

Prinsip-prinsip di atas digunakan pengawas dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya


sebagai seorang pengawas/ supervisor pendidikan pada sekolah yang dibinanya. Dengan
demikian kehadiran pengawas di sekolah bukan untuk mencari kesalahan sebagai dasar untuk
memberi hukuman akan tetapi harus menjadi mitra sekolah dalam membina dan mengembangkan
mutu pendidikan di sekolah sehingga secara bertahap kinerja sekolah semakin meningkat menuju
tercapainya sekolah yang efektif.
Prinsip-prinsip kepengawasan itu harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kode
etik pengawas satuan pendidikan. Kode etik yang dimaksud minimal berisi sembilan hal berikut
ini.

1. Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas satuan pendidikan senantiasa berlandaskan Iman


dan Taqwa serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pengawas satuan pendidikan senantiasa merasa bangga dalam mengemban tugas sebagai
pengawas.
3. Pengawas satuan pendidikan memiliki pengabdian yang tinggi dalam menekuni tugas pokok
dan fungsinya sebagai pengawas.
4. Pengawas satuan pendidikan bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab dalam
melaksanakan tugas profesinya sebagai pengawas.
5. Pengawas satuan pendidikan menjaga citra dan nama baik profesi pengawas.
6. Pengawas satuan pendidikan menjunjung tinggi disiplin dan etos kerja dalam melaksanakan
tugas profesional pengawas.
7. Pengawas satuan pendidikan mampu menampilkan keberadaan dirinya sebagai supervisor
profesional dan tokoh yang diteladani.
8. Pengawas satuan pendidikan sigap dan terampil dalam menanggapi dan membantu
pemecahan masalah-masalah yang dihadapi stakeholder sekolah binaannya.
9. Pengawas satuan pendidikan memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi, baik terhadap
stakeholder sekolah binaannya maupun terhadap koleganya.
BAB 3
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari makalah ini yaitu:


1. Penjaminan mutu berfungsi untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam produksi yang
dilakukan dengan cara mengefektifkan setiap langkah yang dilaksanakan.
2. Pengawasan sekolah sangat penting karena merupakan mata rantai terakhir dan kunci dari
proses manajemen. Kunci penting dari proses manajemen sekolah yaitu nilai fungsi
pengawasan sekolah terletak terutama pada hubungannya terhadap perencanaan dan
kegiatan-kegiatan yang didelegasikan.
3. Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa
semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga
merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya
penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan.
4. Didalam pengawasan terdapat beberapa hakikat pengawasan yaitu (1) Support, (2) Trust,
(3) Challenge, dan (4) Networking and Collaboration.
5. Dimensi-dimensi mutu pendidikan hakekatnya merupakan penjaminan agar sekolah
tersebut dapat mengantarkan peserta didiknya mencapai kompetensi-kompetensi yang
terkait dengan moralitas, akademik, vokasional, dan sosial pribadi.
Daftar Pustaka

Abdullah, A., & Za, T. (2018). Orientation Of Education In Shaping The Intellectual Intelligence
Of Children. Advanced Science Letters,24 (11), 8200–8204.
Https://Doi.Org/10.1166/Asl.2018.12523.

Alwan Suban, 2020., Sistem Penjaminan mutu dan penawasan pendidikan tinggi, Jurnal al
fikral,.Vol, Vlll, No.2.

Kusnandi, 2017., Jurnal Konsep Dasar Dan Strategi Penjaminan Mutu Pendidikan: Sebagai
Review Kebijakan Mutu Pendidikan. Volume 1 Number 2.

Ni Nyoman Lisna Handayani, 2021., Jurnal Determinasi Sistem Penjaminan Mutu Internal
Terhadap Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Issn : 2746-7074.

Sabandi, A. (2013). Supervisi Pendidikan Untuk Pengembangan Profesionalitas Guru


Berkelanjutan. JUrnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Xiii(2), 1–9.

Sofyan Safry (2001) Sistem Pengawasan Manajemen, Penerbit Quantum Jakarta.

Zhalsa Oktavilia.2020, Peran Guru Dan Budaya Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Melalui Supervisi Pendidikan.Vol 1 no 2.

Anda mungkin juga menyukai