Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pemeranan

Teater sebagai sebuah disiplin seni merupakan bagian dari seni

pertunjukan yang memfokuskan pada aktivitas manusia, sehingga berpeluang

untuk membantu manusia memahami dunianya dalam mencari arti atau makna

kehidupan. Lalu, berteater juga dapat membantu kita dalam membentuk persepsi

yang berasal dari imajinasi, emosi dan intelektual.

Secara etimologi, Teater berasal dari kata Theatron, kata yunani yang

berarti seeing place, tempat tontonan. Theatron digunakan untuk menggambarkan

bangku-bangku yang berputar setengah lingkaran dan mendaki kearah lereng

bukit yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton ketika drama Yunani klasik

berlangsung (Yudiaryani, 2002: 1). Namun, perkembangan definisi kata “teater”

semakin hari semakin berkembang pula. Sebagaimana dikatakan oleh Riantiarno

(2011: 1) bahwa teater bisa juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan

kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas-peristiwanya). Sementara itu,

ada juga yang mengartikan teater sebagai semua jenis dan bentuk tontonan, baik

di panggung tertutup maupun di arena terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup

“Tiga Kekuatan” (pekerja-tempat-penikmat), atau ada “Tiga Unsur” (bersama-

satu-tempat) maka peristiwa itu adalah teater.

Salah satu unsur esensial dalam pertunjukan teater adalah naskah drama.

Naskah drama adalah titik berangkat dari sebuah pertunjukan teater. Iswantara

(2016: 9) menjelaskan bahwa naskah drama adalah karya seni dengan media

1
2

bahasa kata. Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti

memindahkan karya seni ke media bahasa kata ke dalam media bahasa panggung.

Artinya, tanpa naskah drama, produksi teater tidak memiliki fondasi yang kuat.

Berdasarkan alasan di atas, pemeran memilih naskah Titik-titik Hitam karya

Nasyah Djamin sebagai titik tolak penggarapan.

Alasan pemeran memilih naskah Titik-titik Hitam karya Nasyah Djamin

adalah ketertarikan terhadap isu perselingkuhan dibangun di dalam cerita tersebut.

Djamin mengangkat fenomena perselingkuhan pada tahun 1956, namun pemeran

menyadari bahwa isu serupa masih terjadi hingga saat ini. Perselingkuhan telah

menjadi semakin marak di lingkungan masyarakat saat ini, baik dalam kategori

remaja maupun hubungan rumah tangga. Bahkan hal ini sering terjadi di sekitar

kita, seperti misalnya keluarga, teman bahkan tetangga sehingga banyak

menyebabkan perceraian dan putusnya suatu hubungan yang telah dibangun.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa naskah Titik-titik Hitam

memiliki relevansi isu dengan fenomena sosial hari ini.

Naskah ini mengangkat kisah perjalanan hidup dalam berumah tangga.

Keharmonisan, kesetiaan, kepercayaan serta ketaatan yang menjadi acuan atau

jembatan dalam kelanggengan sebuah hubungan rumah tangga. Namun, di dalam

naskah Titik-titik Hitam, Djamin menggambarkan bahwa keharmonisan,

kesetiaan, kepercayaan serta ketaatan bisa menjadi rapuh saat tidak adanya

komunikasi, kejujuran serta kasih pemeranng di dalam sebuah hubungan. Lestari

(2012: 103) pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis

hubungan yang sangat dekat atau memiliki intesitas yang sangat tinggi.
3

Keterikatan antara pasangan, orang tua-anak, atau sesama saudara berada dalam

tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, baik afeksi maupun komitmen. Ketika

masalah yang serius muncul dalam sifat hubungan yang demikian, perasaan

positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi

perasaan negatif yang mendalam juga. Penghianatan terhadap hubungan kasih

pemeranng, berupa perselingkuhan atau perundungan seksual terhadap anak,

dapat menimbulkan kebencian yang mendalam sedalam cinta yang tumbuh

sebelum terjadinya penghianatan. Berdasarkan pembahasan tentang naskah di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa naskah Titik-titik Hitam tergolong ke dalam

naskah bergaya realisme.

Realisme adalah sebuah aliran yang menceritakan tentang kehidupan

sehari-hari masyarakat, kemudian mengangkat fenomena tersebut menjadi sebuah

pertunjukan seni teater. Dalam kaitan ini dapat dilihat apa yang dikemukakan

Hasanuddin (2015: 63) oleh sebab itu, penulis-penulis realisme berusaha

menggambarkan kenyataan kehidupan subjektif. Kenyataan hidup sehari-hari

sebagaimana adanya seperti yang dimaksud di atas mewarnai pementasan

realisme. Demikian pula naskah Titik-titik Hitam diperankan bergaya realisme.

Adang mengetahui kejadian yang telah menimpa rumah tangganya.

Dikarenakan Adang seorang tentara yang selalu siap dalam situasi apapun saat

ditugaskan oleh negara, jadi Adang memiliki jiwa nasionalis dan patriot yang

kuat. Adang juga mempunyai seorang adik bernama Trisno yang berprofesi

sebagai seorang seniman dengan gaya pembawaan yang santai, tenang dan selalu

berfikir ke depan.
4

Di dalam naskah Titik-titik Hitam karya Nasyah Djamin ini, setiap peran

memiliki psikologi yang unik dan kompleks. Tokoh Adang adalah seorang tentara

yang memiliki watak tegas, keras kepala, tidak suka bertele-tele, sedangkan

Trisno adalah seorang seniman yang santai, tenang, selalu berfikir kedepan saat

menyikapi sesuatu. Hartati adalah seorang wanita yang haus akan kebutuhan

biologis, Rahayu seorang wanita muda yang memiliki hidup bebas. Dr. Gun

adalah seorang dokter yang profesional saat menangani pasien dalam situasi

apapun. Tokoh terakhir adalah Ibu yang memiliki watak yang suka memantau dan

menggunakan kalimat-kalimat ambigu saat menjelaskan sesuatu.

Pemeran memilih tokoh Trisno untuk diperankan. Hal ini dikarenakan,

pemeran beranggapan bahwa tokoh Trisno merupakan tokoh yang memiliki watak

yang menantang untuk diperankan. Sebagai seorang seniman, tokoh Trisno adalah

lelaki yang humanis dan memiliki cara pandang yang visioner. Namun, dia tidak

mampu mengendalikan nafsunya kepada istri dari kakaknya. Selain itu, tokoh

Trisno juga memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya yang

sebenarnya.

1.2 Strategi Pemeranan

Penerapan yang dilakukan terhadap tokoh Trisno dalam naskah Titik-titik

Hitam karya Nasyah Djamin ke dalam bentuk pertunjukkan, memerlukan proses

dan strategi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk keperluan itu, maka

strategi pemeranan dalam memerankan tokoh Trisno dilakukan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:


5

1.2.1 Strategi-1: mempersiapkan naskah untuk mewujudkan pemeranan


tokoh yang ingin diperankan melalui: membaca dan
mempelajari sejumlah naskah, studi kepustakaan,
menentukan piilihan naskah dan menganalasis naskah
guna mencapai akting yang sesuai dengan kebutuhan tokoh

Sejak abad ke-16 hingga abad ke-20, naskah drama menjadi hal yang

sangat penting bagi produksi teater. Tidak hanya dihafal dan dimainkan, naskah

drama juga menjadi dasar penciptaan teater dan panduan kerja bagi seluruh unsur

yang terlibat dalam produksi teater (Riantiarno, 2011, 43). Berdasarkan pendapat

Riantiarno di atas dapat dipahami bahwa naskah adalah sebuah karangan yang

memuat suatu atau lebih kejadian dalam kehidupan manusia yang dituangkan

kedalam sebuah cerita, baik ditulis maupun diketik yang memiliki alur, latar, plot

dan struktur cerita yang dramatik untuk diproduksi kedalam pertunjukan teater.

Dengan demkian naskah merupakan unsur pokok yang harus ada dalam

pementasan teater, disebabkan karena naskah berisikan kisah kehidupan manusia

yang akan dipertunjukan di panggung.

Langkah selanjutnya setelah mempersiapkan naskah adalah membaca serta

mempelajari sejumlah naskah untuk menentukan pilihan yang tepat dalam

memilih peran yang ingin diperankan. Melalui beberapa studi kepustakaan seperti

buku Lajos Egri yang berjudul The Art Of Dramatic Writing (2020), buku

Yudiaryani yang berjudul Panggung Teater Dunia (2002), buku Harymawan yang

berjudul Dramaurgi (1993). Dengan demikian mempersiapkan naskah yang

disukai atau sesuai dengan kepribadian pemeran menjadi amat penting dalam

sebuah pertunjukan teater.


6

1.2.2 Strategi-2: mewujudkan karakter tokoh Trisno untuk memerankan


karakter tokoh sesuai dengan naskah melalui identifikasi,
analisis tokoh melalui penelusuran tiga dimensi watak,
yaitu: fisiologis, psikologis dan sosiologis, guna mencapai
akting yang natural dalam memerankan tokoh Trisno.

Seorang aktor memiliki tiga kekuatan untuk mewujudkan aktingnya, yaitu:

vokal, emosi dan tubuh. Pengolahan tiga kekuatan tersebut dikelola melalui

program kerja pemeranan yang dikenal dengan metode akting. Maka dari itu,

untuk mewujudkan tokoh ke atas panggung perlu dilakukan pemilihan atas

metode akting yang tepat. Setelah metode akting dipilih maka langkah selanjutnya

adalah mengolah tiga kekuatan aktor (vokal, emosi, tubuh).

Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis naskah untuk mendapatkan

data yang jelas tentang tokoh. Analisis tokoh difokuskan pada tiga dimensi watak,

yaitu: fisiologis, psikologis dan sosiologis. Fisiologis ialah ciri-ciri fisik,

sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat. Sedangkan dimensi psikologis

ialah ciri-ciri kejiwaannya. Dari pemahaman tiga dimensi ini, pemeran akan

mencoba untuk menerapkan karakteristik, kepribadian, watak dan ciri–ciri khas

serta kebiasaan tokoh Trisno ke dalam diri pemeran yang akan memerankan tokoh

tersebut.

1.2.3 Strategi-3: memilih teori pemeranan untuk mempersiapkan diri


sebagai pemeran melalui: kajian berbagai aliran teater,
memahami teori pemeranan Stanislavsky, melatih diri
berdasarkan teori pemeranan Stanislavsky mencakup:
olah vokal, olah tubuh, olah rasa, latihan mandiri, latihan
antar-tokoh, guna mencapai akting yang natural sebagai
tokoh Trisno.

Seorang pemeran harus melakukan pengamatan dan penelitian, agar

pengalaman atau pengetahuan tersebut bisa menjadi memori untuk dibangkitkan


7

lagi dalam menghidupkan tokoh. Menurut Riantiarno (2011: 118) ada beberapa

hal yang harus dilakukan seorang pemeran saat mendapat atau menerima peranan.

Antara lain, Membaca naskah dengan seksama, Mengetahui identitas tokoh yang

akan diperankannya (usia, jenis kelamin, marital status, pendidikan, maupun asal

etnis-geografis, biografi), Mengetahui latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya

(cara bicara, logat), dan segala atribut yang menyertainya. Seperti, cara

berpakaian, sikap dan pandangan hidupnya, serta nilai moral/sosial budaya dan

Mengetahui alasan dan tujuan serta keberadaan tokoh yang diperankan. Dari

beberapa pemahaman yang tertera tersebut, pemeran akan menggunakan teori

pemeranan dari ajaran Stanislavsky.

1.3 Tujuan Pemeranan

Tujuan dari proses penciptaan peran ini adalah mewujudkan tokoh Trisno

dengan menggunakan metode akting Stanislavsky. Rumusan akting yang akan di

capai adalah akting yang natural dan wajar, sesuai dengan konsep dari teater

realisme. Tokoh Trisno diwujudkan dengan menekankan pada dua aspek, yaitu

fisik dan psikologis. Setiap laku yang disusun, didasari analisis atas naskah Titik-

titik Hitam karya Nasyah Djamin.

1.4 Manfaat Pemeranan

1.4.1 Manfaat Teoritik

Hasil analisis yang didapatkan memiliki manfaat untuk para peneliti baik

di pemeranan, penyutradaraan serta pengkajian. Terutama bagi mahasiswa

konsentrasi teater di Program Studi Drama Sendratasik, Fakultas Keguruan Ilmu

Pendidikan, Universitas Jambi dan laporan karya ini dapat membantu peneliti,
8

dramaturg, aktor dan sutradara untuk melakukan proses kreatif atas naskah Titik-

titik Hitam.

1.4.2 Manfaat Praktik

Menawarkan pemeranan tokoh Trisno yang berlandaskan pada metode

akting Stanislavsky dan menawarkan wujud akting dari tokoh Trisno yang

original dan menawarkan unsur kebaruan.

1.5 Landasan Pemeranan

Landasan pemeranan tokoh Trisno dalam naskah drama Titik-titik Hitam

karya Nasyah Djamin menggunakan metode akting Stanislavsky. Pemilihan

landasan tersebut dikarenakan metode akting Stanislavsky adalah metode yang

paling representatif untuk memerankan naskah bergaya realisme. Realisme pada

dasarnya memiliki tugas untuk meyakinkan (make belive), yang tidak

meyakinkan, tentu kurang benar. Karena saat berpura-pura dalam melakukan

akting di atas panggung, sang aktor harus mampu untuk meyakinkan penonton

bahwa yang ia lakukan saat itu mampu menampilkan ilusi atas realistas.

Agar dapat meyakinkan penonton bahwa akting yang dilakukan saat

berada di atas panggung, sang aktor harus rajin dalam melatih instrumen

utamanya di dalam setiap proses yang ia lakukan. Alat utama dari seorang aktor

adalah vokal, tubuh dan sukma. Ini lah yang harus diasah terus menerus agar siap

dalam menghadapi, menggali dan memainkan peran. Stanislavsky menekankan

para aktor untuk mampu memanfaatkan “Memori Afektif”. Memori afektif adalah

ingatan tentang pengalaman emosi pribadi aktor, seperti senang, sedih, bingung,

marah, malu, bahagia, takut dan berbagai ingatan emosi lainnya. Memori emosin
9

tersebut kemudian dikonversikan untuk kebutuhan emosi tokoh. Sehingga, akting

yang sedang aktor lakukan bisa meyakinkan penonton, karena perasaan yang

mengalir dari dalam diri seorang aktor lahir dari pengalaman pribadinya.

Anda mungkin juga menyukai