Anda di halaman 1dari 5

Pengertian Etika

Etika (ethics) berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang berarti karakter,

watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Perkembangan etika yaitu Studi

tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan

waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam

kehidupan pada umumnya. Menurut Kamus Besar Bhs. Indonesia (1995)

Etika adalah Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan

atau masyarakat. Etika adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,

tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika

adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur

perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan

yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi” .

Etika Traditional & Etika Kontemporer

Etika tradisional adalah etika berhubungan secara langsung/tatap muka

yang menyangkut tata cara lama, kebiasaan, dan budaya yang merupakan

kesepakatan bersama dari setiap kelompok masyarakat, sehingga

menunjukkan apa yang pantas dan tidak pantas sebagai pedoman sikap dan

perilaku anggota masyarakat. Etika kontemporer adalah etika elektronik dan

digital yang menyangkut tata cara, kebiasaan, dan budaya yang berkembang

karena teknologi yang memungkinkan pertemuan sosial budaya secara lebih

luas dan global. Maka, ruang lingkup etika dalam dunia digital menyangkut

pertimbangan perilaku yang dipenuhi kesadaran, tanggung jawab, integritas


(kejujuran), dan nilai kebajikan. Baik itu dalam hal tata kelola, berinteraksi,

berpartisipasi, berkolaborasi dan bertransaksi elektronik.

Contoh Pelanggaran Etika Di Masyarakat : Pornografi

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,

gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk

pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau

pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual

yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Fakta Baru Kasus Pornografi Dea OnlyFans, Pasangan Tak Terlibat Jual
Beli Konten hingga Komedian M Jadi Pelanggan

Kompas, 06-04-2022

Kasus dugaan penyebaran konten pornografi di internet yang menjerat

kreator konten Gusti Ayu Dewanti alias Dea OnlyFans memasuki babak baru.

Setelah menetapkan Dea sebagai tersangka, kini kepolisian tengah fokus

mengungkap siapa saja pihak yang terlibat dalam penyebaran konten

pornografi tersebut.

Penyidik sudah memeriksa dan menganalisa barang bukti Google Drive berisi

konten bermuatan pornografi milik Dea OnlyFans. Dari sana, diketahui bahwa

Dea juga memperdagangkan foto dan video syur dirinya di OnlyFans ke

sejumlah orang. Salah satunya adalah komedian M.

Selanjutnya, penyidik bakal memanggil komedian M untuk diperiksa sebagai

saksi dalam dugaan kasus pornografi yang menjerat Dea. Pemeriksaan

dilakukan guna memastikan apakah M hanya membeli atau ikut terlibat dalam
penyebaran konten bermuatan pornografi tersebut. Sementara itu, Polda

Metro Jaya menyebut bahwa menyebut bahwa Dea mengunggah video

pornografi dirinya ke internet tanpa memberitahu pasangannya. Untuk

diketahui, Dea terjerat kasus bisnis pornografi karena menjual foto vulgar dan

video asusila melalui situs berbayar OnlyFans.

Analisis dan Pemecahan Masalah

Larang dan pembatasan pornografi diatur dalam ketentuan Pasal 4 –

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi.

Larangan Pornografi

1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,


menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit memuat (Pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun
2008):

a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b. Kekerasan seksual;

c. Masturbasi atau onani;

d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e. Alat kelamin; atau

f. Pornografi anak.

2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang (Pasal 4 ayat

(2) UU No. 44 Tahun 2008):

a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang

mengesankan ketelanjangan;

b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau


d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung

layanan seksual.

3. Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

4. Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan,

memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh

peraturan perundang-undangan.

5. Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

6. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya

menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

7. Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model

yang mengandung muatan pornografi.

8. Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam

pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,

eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi

lainnya.

9. Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai

objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal

9, atau Pasal 10.

10. Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,

menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan

produk atau jasa pornografi.


Pembatasan Pornografi

1. Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat

selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan

pada peraturan perundang-undangan.

2. Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

3. Pasal 14 Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan,

penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan

kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan

ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pelanggaran terhadap larangan dan pembatasan poronografi merupakan

tindak pidana yang dapat dijatuhi sanksi berupa pidana penjara dan/denda

sebagaimana telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 29 – Pasal 41 Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Anda mungkin juga menyukai