Anda di halaman 1dari 7

REKOMENDASI MITIGASI DAN EVAKUASI

BENCANA TSUNAMI
TIM GEODESI DAN TSUNAMI
1. REKOMENDASI UMUM
Rekomendasi secara umum yang dapat dilakukan terkait dengan mitigasi bencana
tsunami di area pembangkit listrik PLN dapat dilakukan dengan mengacu pada 12 indikator
dari Tsunami Ready Indicator - UNESCO. Masing-masing indikator dan cara memenuhinya
akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Terdapat peta yang menunjukkan bahaya tsunami dan zona rendamannya

Indikator nomor satu dapat dipenuhi dengan membuat peta zona rendaman tsunami
untuk memperlihatkan wilayah dengan tingkat bahaya yang tinggi sampai yang rendah,
dengan informasi ini pekerja akan mengetahui wilayah mana yang cukup aman dari bencana
tsunami. Peta zona rendaman tsunami dapat menggunakan hasil dari studi ini.

2. Terdapat informasi publik mengenai tsunami

Dalam memenuhi indikator nomor dua ini dapat dilakukan dengan membuat
informasi yang menarik dan mudah dipahami mengenai pengetahuan umum tsunami, seperti
gejala dan mitigasi bencana tsunami. Informasi dapat dibuat dalam bentuk papan besi seperti
pada Gambar 4.19

1
Gambar 4.19 Papan Besi berisi informasi mengenai bencana tsunami (Kodijat, 2020)

3. Memiliki peta evakuasi bencana tsunami yang telah ditetapkan secara partisipatif

Indikator nomor tiga dapat dipenuhi dengan membuat peta jalur evakuasi bencana
tsunami, serta menampilkannya di setiap gedung yang ada di area pembangkit. Dengan
begitu para pekerja akan mengetahui dan mengingat kemana harus pergi jika terjadi keadaan
darurat terutama bencana tsunami. Peta evakuasi ideal yang disusun perlu
mempertimbangkan juga estimasi waktu kedatangan tsunami dan jumlah pekerja yang perlu
dievakuasi.

4. Menyusun dan mendistribusikan materi edukasi kesiapsiagaan bencana untuk


pegawai

Indikator keempat dapat dipenuhi dengan diadakannya pemberian edukasi kepada


pegawai untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan pegawai pembangkit PLN. Materi
edukasi dapat diberikan secara langsung melalui safety induction, pemberian brosur/pamflet,
atau poster mengenai bencana tsunami.

5. Mengadakan kegiatan edukasi/pelatihan mengenai kesiapsiagaan bencana tsunami


minimal 1 kali dalam satu tahun

Selain pentingnya materi edukasi bagi pegawai pembangkit PLN, pelatihan bagi pihak-
pihak yang bertanggung jawab dan pegawai lainnya juga penting untuk meningkatkan

2
kesiapsiagaan seluruh pegawai pembangkit PLN. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan sebanyak
satu kali dalam satu tahun.

6. Melaksanakan simulasi evakuasi tsunami setidaknya dua tahun sekali

Indikator nomor enam ini dapat dipenuhi dengan melakukan simulasi evakuasi
bencana tsunami sebanyak minimal dua tahun sekali. Simulasi ini dilakukan untuk
mempraktikkan secara langsung hal-hal yang telah disosialisasikan. Dengan rutin melakukan
simulasi evakuasi bencana tsunami kesiapan pekerja dalam menghadapi bencana tsunami
akan meningkat. Selain itu, penanggung jawab K3 dapat mengevaluasi dan meningkatkan SOP
mitigasi bencana agar para pekerja lebih siap lagi dalam menghadapi keadaan darurat,
khususnya bencana tsunami.

7. Memiliki rencana operasi darurat/SOP darurat tsunami pada pembangkit listrik PLN

Dalam memenuhi indikator pada poin ini, dapat diupayakan dengan membuat
rencana tanggap darurat/emergency response plan (ERP) untuk keadaan darurat tsunami
yang dijadikan acuan baik ketika melakukan proses evakuasi jika terjadi bencana tsunami
maupun saat simulasi. Rencana operasi darurat tsunami juga perlu mencakup kebutuhan
akan emergency plant shutdown.

8. Memiliki kapasitas untuk mendukung pelaksanaan operasi tanggap darurat tsunami

Indikator nomor delapan dapat dipenuhi dengan membentuk tim tanggap darurat
yang bertanggung jawab untuk mengelola operasi tanggap darurat yang sudah ada.
Mengawasi proses berjalannya evakuasi hingga para pekerja dan tim tanggap darurat berhasil
menuju tempat evakuasi tsunami. Tim tersebut juga yang bertanggung jawab selama
keberjalanan simulasi evakuasi bencana tsunami dan evaluasi simulasi evakuasi bencana
tsunami yang telah dilakukan.

9. Memiliki sarana yang memadai untuk menerima peringatan bencana tsunami 24/7
dari instansi resmi

Poin kesembilan ini dapat dipenuhi dengan menyediakan sarana untuk menerima
peringatan bencana tsunami resmi selama 24 jam sehari. Satu area pembangkit sebaiknya
memiliki dua atau lebih media komunikasi untuk menerima peringatan bencana. Jika

3
pembangkit menggunakan jaringan internet untuk mengetahui informasi peringatan bencana
seperti pada Gambar 4.20, maka pembangkit tersebut dapat menambahkan media
komunikasi lain seperti menggunakan sinyal radio yang dapat terhubung dengan pihak
berwenang seperti BMKG atau BNPB. Sinyal radio tetap dapat digunakan sekalipun jaringan
internet sedang dalam gangguan.

Gambar 4.20 Salah satu media penerima informasi bencana tsunami (InaTEWS, BMKG)

10. Memiliki sarana yang memadai untuk menyebarluaskan peringatan bencana tsunami
dari instansi resmi 24/7 kepada pegawai di area pembangkit

Indikator kesepuluh dapat dipenuhi dengan menyediakan sarana untuk menyebarkan


peringatan bencana tsunami pada pegawai di area pembangkit, seperti sirine dengan suara
yang cukup besar dan pengeras suara yang ditempatkan secara merata. Dengan begitu ketika
keadaan darurat terjadi, para pegawai mendengar sirine tersebut dan sempat untuk
menyelamatkan diri ke arah tempat evakuasi. Satu area pembangkit sebaiknya memiliki lebih
dari satu sarana komunikasi (Gambar 4.21), sehingga ketika salah satu sarana tidak dapat
digunakan pembangkit PLN masih memiliki sarana lain untuk menyebarkan informasi
keadaan darurat.

4
(a) (b)

Gambar 4.21 Contoh media komunikasi pemberi peringatan darurat: (a) Alarm (Wikipedia),
(b) Sirine

11. Memiliki informasi perkiraan jumlah orang yang berada di wilayah zona bahaya
tsunami

Indikator pada poin ini dapat dipenuhi dengan adanya keterangan mengenai jumlah
pegawai yang bekerja setiap harinya di area pembangkit, meliputi jumlah total pegawai,
jumlah pegawai pada siang dan malam, jumlah pegawai pada setiap shiftnya, jumlah pegawai
paling banyak terdapat pada hari apa.

12. Inventarisasi sumber daya ekonomi, infrastruktur, politik, dan sosial yang tersedia
untuk mengurangi risiko bencana tsunami di lingkungan pembangkit listrik PLN

Indikator nomor 12 dapat dipenuhi dengan membuat inventarisasi hal-hal yang


mendukung operasi tanggap darurat di sekitar area pembangkit. Terdapat beberapa sektor
sumber daya. Sumber daya ekonomi yang perlu diinventarisasi meliputi informasi asuransi
pegawai atau bangunan di area pembangkit PLN. Sumber daya infrastruktur yang
diinventarisasi, diantaranya jalan, jembatan, alarm. Apakah akses jalan mendukung untuk
mencapai tempat evakuasi. Sumber daya politik, inventarisasi kebijakan pemimpin setempat
terkait tanggap darurat bencana. Dan sumber daya terakhir adalah sumber daya sosial,
meliputi inventarisasi kebutuhan penunjang hidup selama 72 jam saat bencana tsunami.

2. REKOMENDASI DETEKSI/INSTRUMENTASI
Berikut adalah beberapa rekomendasi terkait dengan instrumentasi untuk deteksi
bencana gempa dan/atau tsunami yang ditujukan secara umum kepada PLTU/PLTGU yang
dikunjungi:
1. Menyediakan dan memastikan keberfungsian infrastruktur emergency shutdown.

5
2. Menyediakan automatic tide gauge yang dipasang ditempat-tempat strategis (dapat
menerima dan mengirimkan data secara akurat dan minim gangguan). Automatic tide
gauge dapat digunakan sebagai pengganti pengamatan horizon muka laut secara visual.
Automatic tide gauge diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan informasi real
time sebagai alat monitor muka laut. Gambar 4.22 menunjukkan contoh automatic tide
gauge

Gambar 4.22 Automatic Tide Gauge (IOC-GLOSS-IOTWS)

3. Berkoordinasi dengan pihak BMKG mengenai pengadaan alat warning receiver system
(WRS) untuk mempercepat alur informasi kebencanaan ke PLTU.
4. Memastikan ketersediaan power supply untuk instrumen-instrumen pendeteksi
bencana maupun penerima peringatan bahaya bencana. Hal ini dilakukan agar
instrumen tersebut bekerja dengan sesuai saat terjadi keadaan gawat darurat.
5. Menyediakan alarm visual (untuk tempat bising) maupun alarm audio yang
menjangkau seluruh wilayah PLTU.
6. Menyediakan alat komunikasi darurat seperti telepon satelit dan radio komunikasi.
7. Membuat video atau animasi evakuasi kejadian gawat darurat sebagai tambahan drill.
Mempersiapkan system dokumen paperless. Hal ini ditujukan agar saat evakuasi, tidak
perlu membawa dokumen apapun karena sudah tersimpan pada cloud storage.

3. REKOMENDASI EVAKUASI
Berikut adalah rekomendasi terkait tindakan evakuasi saat terjadi bencana gempa
dan/atau tsunami yang ditujukan secara umum kepada PLTU/PLTGU yang dikunjungi:
1. Mengganti jalur evakuasi yang masih berupa jalan tanah dengan paving block atau
diaspal. Hal ini ditujukan untuk meminimalkan risiko terjatuh/terpeleset serta

6
memperlancar proses mobilisasi saat evakuasi. Selain itu, pada jalur evakuasi dengan
menggunakan tangga sebaiknya dibuat pegangan untuk mempermudah mobilisasi.
2. Melebarkan jalur evakuasi yang dirasa masih sempit. Hal-hal yang dapat diperhatikan
dalam membuat jalur evakuasi adalah kecepatan, aliran dan kepadatan dari pengguna
jalur evakuasi tersebut. Dalam menghitung lebar jalur evakuasi dapat digunakan asumsi
lebar badan sebagai acuan pembuatan jalur evakuasi. Selain itu perlu diperhatikan pula
adanya gerakan menyalip dari proses evakuasi dan lajur untuk yang berkebutuhan
khusus (apabila dirasa perlu). Jadi secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada lajur
evakuasi idealnya terdapat 3 lajur antara lain, lajur evakuasi dengan kecepatan lambat,
lajur evakuasi untuk yang ingin menyalip, dan lajur evakuasi untuk yang berkebutuhan
khusus. Pada jalur evakuasi untuk orang dengan kebutuhan khusus perlu menggunakan
lajur berupa jalan miring dengan kemiringan yang cukup landai sedangkan untuk jalur
evakuasi biasa dapat menggunakan tangga berundak. J.L Pauls dkk. (2005)
mengungkapkan bahwa lebar tangga yang umum digunakan untuk evakuasi adalah
1,12 m, namun untuk pergerakan massa yang cukup besar disarankan menggunakan
tangga dengan lebar 1,73 m. Hal ini dikarenakan tangga/jalur yang lebih lebar memiliki
efektifitas yang lebih tinggi.
3. Membuat shelter evakuasi dengan tinggi minimal yang mengacu pada tinggi tsunami
maksimum dari proses pemodelan, dengan kekuatan bangunan yang memperhatikan
beban gempa yang mungkin terjadi pada wilayah tersebut, serta memperhatikan
kapasitas hunian yang dapat ditampung oleh shelter evakuasi tersebut. Dalam
pembangunan shelter evakuasi dapat mengacu pada dokumen FEMA P646, sedangkan
untuk menghitung kapasitas hunian dapat menggunakan asumsi ruang yang
dibutuhkan per-orangnya adalah 0,5 m2 dengan kondisi duduk bersila di lantai.
Kapasitas tiap orang tersebut dikali dengan jumlah orang yang akan dievakuasi untuk
mendapatkan luas shelter evakuasi.
4. Menyediakan peralatan gawat darurat di titik kumpul/evakuasi yang berisi setidaknya
makanan dan minuman serta obat-obatan untuk rentang waktu kurang lebih 72 jam.
5. Membuat jalur evakuasi yang arahnya tegak lurus garis pantai, terutama untuk kejadian
bencana tsunami.
6. Membuat zonasi rawan bencana di dalam wilayah PLTU.
7. Mempersiapkan lebih dari 1 titik evakuasi.
8. Perlu adanya pemberian pemahaman terkait bencana kebumian agar seluruh tenaga
kerja bisa memahami langkah taktis terkait bencana
9. Mempersiapkan infrastruktur transportasi darurat misalnya kapal ataupun helipad.

Anda mungkin juga menyukai