I. Pendahuluan
Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki risiko terhadap bencana, baik itu entitas sosial
seperti individu, masyarakat, dan kota, atau pun sebuah sistem, seperti sistem komunikasi,
sistem infrastruktur, dll. Berbagai ahli yang bergerak dalam isu perubahan iklim
memprediksikan bahwa dengan adanya fenomena perubahan iklim risiko terjadinya bencana
akan semakin meningkat ke depannya. Perencanaan pada hakikatnya adalah alat yang
digunakan untuk memastikan masa depan yang lebih baik. Dalam konteks risiko bencana,
masa depan yang lebih baik dicirikan dengan kesiapan untuk menghadapi bencana,
kemampuan untuk meminimalisir dampak bencana, dan kemampuan pulih dengan baik, baik
itu bagi entitas sosial atau pun sebuah sistem. Salah satu instrumen perencanaan untuk
memastikan masa depan yang lebih baik dalam menghadapi berbagai risiko bencana adalah
apa yang disebut dengan perencanaan kontinjensi (contingency planning). Dalam tulisan ini
akan disampaikan pembahasan mengenai prinsip dan proses perencanaan kontinjensi pada
konteks kota, dengan mengambil studi kasus London.
Perecanaan kontinjensi pada hakikatnya adalah suatu proses identifikasi dan penyusunan
rencana yang didasarkan pada keadaan kontinjensi tersebut. Beberapa lembaga internasional
telah memberikan definisi perencanaan kontinjensi yang lengkap, diantaranya:
1. UNISDR yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses manajemen yang
menganalisis potensi kejadian atau sistuasi tertentu yang bisa mengancam masyarakat atau
lingkungan dan proses menetapkan pengaturan awal, agar mampu merespon ancaman
tersebut secara tepat waktu, efektif, dan sesuai (Vidiarina, undated).
2. IASC yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses untuk menentukan tujuan,
pendekatan, dan prosedur program untuk menanggapi situasi yang diperkirakan akan terjadi,
termasuk mengidentifikasi kejadian tersebut dan membuat skenario serta rencana yang tepat
untuk mempersiapkan dan menanggapinya secara efektif (Vidiarina, undated).
3. IFRC yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses untuk menentukan
prosedur operasional dalam merespon kejadian khusus atau risiko berdasarkan pada
sumberdaya dan kapasitas yang dimiliki dan memenuhi syarat sehingga respon bisa
dilakukan secara tepat waktu, efektif, dan sesuai (Vidiarina, undated).
Dari berbagai definisi di atas bisa diketahui bahwa tujuan utama dari perencanaan kontinjensi
adalah untuk meminimalisir dampak dari ketidakpastian dengan melakukan pengembangan
skenario dan proyeksi kebutuhan saat keadaan darurat terjadi. Suatu rencana kontinjensi
mungkin saja tidak pernah diaktifkan jika keadaan yang diperkirakan tidak pernah terjadi.
Tabel 1: Aktivitas dan Rencana yang Digunakan dalam Siklus Manajemen Risiko
Siklus Aktivitas Rencana
Situasi tidak terjadi bencana Pencegahan dan mitigasi Rencana mitigasi
Situasi berpotensi bencana Kesiapsiagaan Rencana kontinjensi
Terjadi bencana Tanggap darurat Rencana operasi
Setelah terjadi bencana Pemulihan Rencana pemulihan
Sumber: BNPB (2011)
Dari tabel di atas bisa dilahat bahwa perencanaan kontinjensi dilakukan ketika terdapat
potensi untuk terjadinya bencanan atau pada tahap aktivitas kesiapsiagaan. Siklus manajemen
risiko tersebut (termasuk perencanaan kontijensi) selain digunakan dalam pengelolaan
bencana berbasis kewilayahan, biasanya juga digunakan dalam bidang militer, bisnis, dan
proyek pembangunan infrastruktur.
Sebagai tindak lanjut dari adanya sistem emergency management yang baru, London pun
melalui sebuah lembaga yang bernama London Regional Resilience Forum menyiapkan
berbagai dokumen rencana dalam menghadapi keadaan gawat darurat yang mungkin terjadi.
Berdasarkan definisi perencanaan kontinjensi yang telah disampaikan di atas, diketahui
bahwa sebagian besar emergency plan yang diterbitkan di London adalah rencana
kontinjensi. Pada sub bab berikut akan dijelaskan jenis-jenis rencana kontinjensi yang ada di
dalam emergency management yang ada di London.
Dari seluruh dokumen rencana kontinjensi di atas terdapat tiga poin yang menjadi ciri khas
(prinsip) yang terdapat pada setiap dokumen rencana, yaitu:
Penjelasan mengenai proses manjemen risiko di Inggris (termasuk London) terdapat di dalam
sebuah dokumen panduan berjudul “Emergency Preparedness” yang diterbitkan oleh Cabinet
Office (2012). Di dalam panduan tersebut dijelaskan terdapat enam tahapan dari proses
manjemen risiko, yaitu:
A. Kontekstualisasi
Pada tahapan ini aktivitas yang dilakukan adalah mendefinisikan cakupan dari kegiatan
manajemen risiko sesuai arahan undang-undang yang mengaturnya (Civil Contingencies Act
2004) dan berbagai dokumen panduan yang berhubungan. Setelah itu barulah dilakukan
penentuan stakeholder yang akan terlibat dan penentuan tugas masing-masing stakeholder
tersebut. Bagian terpenting dari dari tahapan ini adalah pendeskripsian karakteristik wilayah
yang memiliki risiko (yang akan di nilai dan dimanajemen risikonya). Deskripsi itu
mencakup deskripsi mengenai tingkat kerentanan dan ketahanan (resiliency) dari segi sosial,
lingkungan, masyarakat, dan lokasi memiliki potensi bahaya (hazardous sites).
C. Analisis Risiko
Inti dari tahapan ini adalah menganalisis tingkat peluang atau kemungkinan terjadinya risiko
dan analisis besaran dampak yang akan ditimbulkan jika bahaya tertentu terjadi.
D. Evaluasi Risiko
Pada tahapan ini dilakukan ranking untuk seluruh risiko yang ada. Ranking dilakukan
berdasarkan pertimbangan tingkat peluang atau kemungkinan terjadinya risiko dan analisis
besaran dampak yang akan ditimbulkan. Setelah itu barulah dilakukan penilaian terhadap
kemampuan dan rencana mitigasi yang telah ada untuk bahaya dan ancaman tertentu. Akhir
dari tahapan ini adalah kesimpulan bahwa apakah risiko yang ada perlu untuk mendapatkan
penanganan ataukah tidak. Untuk risiko-risko yang perlu mendapatkan penanganan tim
penilai akan memberikan rekomendari kepada LRRF mengenai risiko mana yang akan
mendapatkan prioritas penanganan.
E. Penanganan Risiko
Pada tahapan ini penyusunan rencana kontijensi dilakukan yang diawali dengan perumusan
strategi pengurangan risiko bencana dengan mempertimbangkan gap antara besarnya risiko
dan besarnya sumber daya yang dimiliki untuk merespon risiko tersebut. Mempertimbangkan
besarnya risiko dan besarnya sumber daya yang dimiliki dilakukan dalam konteks sekarang
dan jangka panjang, sehingga akan terlahir kesimpulan tentang risiko mana yang harus
ditangani sekarang dan yang risiko mana yang harus ditangani dalam jangka panjang.
Dari tahapan ini akan muncul pula kesimpulan seberapa besar gap antara besarnya risiko dan
besarnya sumber daya yang dimiliki. Setelah itu, akan disepakati treatment yang akan
digunakan dan skenario penanganan yang akan dikembangkan. Mekanisme treatment dan
skenario penanganan tersebutlah yang pada akhirnya dituangkan di dalam rencana
kontinjensi. Prioritas mana yang akan ditangani harus melalui proses konsensus dan begitu
juga treatment dan skenario penanganan yang dipilih harus melalui proses konsesus berbagai
stakeholder melalui London Regional Resilience Forum.
IV. Penutup
4.1 Diskusi kasus Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun
2011 menerbitkan edisi kedua dari panduan penyusunan rencana kontinjensi untuk
pemerintah daerah. Dalam panduan tersebut dijelaskan bahwa terdapat beberapa tahap yang
harus dilakukan dalam penyusunan rencana kontinjensi daerah. Tahapan-tahapan tersebut
adalah:
Secara umum, proses penyusunan rencana kontinjensi sesuai arahan BNPB memiliki banyak
kesamaan dan sedikit perbedaan dengan proses penyusunan rencana kontinjensi yang ada di
London. Di antara perbedaan tersebut adalah pada jenis rencana kontinjensi yang disusun.
Dari penjelasan mengenai berbagai rencana kontinjensi di London yang telah disampaikan di
atas, bisa dilihat bahwa rencana kontinjensi di London ada yang disusun dalam rangka
menghadapi satu buah bahaya tertentu (singel hazard) dan ada yang bersifat prosedural
(disusun untuk menghadapi multiple hazard). Dalam panduan yang diberikan oleh BNPB
pemerintah daerah hanya diberikan arahan untuk membuat rencana kontinjensi untuk
menghadapi satu buah bahaya tertentu (singel hazard), seperti rencana kontinjensi yang telah
disusun oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, yaitu rencana kontijensi terhadap risiko letusan
Gunung Merapi.
Terdapat beberapa kota di Indonesia yang pada hakikatnya sangat butuh untuk membuat
rencana kontinjensi prosedural dalam rangka menghadapi berbagai risiko bencana (multiple
hazard) yang ada di kota. Contoh kota yang memiliki berbagai risiko bencana yang dinilai
penting untuk menyusun rencana kontinjensi prosedural adalah Jakarta. Terdapat berbagai
risiko bencana yang ada di Jakarta seperti banjir, gempa bumi, terorisme, dan berbagai
bencana sosial seperti kerusuhan. Contoh lainnya adalah kerjasama antara Kota Yogyakarta-
Sleman-Bantul (Kartamantul) yang memiliki risiko untuk terjadinya letusan gunung merapi,
gempa bumi, dan tsunami.
Daftar Pustaka:
Childs, Donna R. & Dietrich, Stegan. 2002. “Contingency Planning and Disaster Recovery :
A Small Business Guide”. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. Diunduh dari www.free-
books.us.to pada 10 Mei 2012.
Vidiarina, Henny D. Undated. “Perencanaan Kontinjensi Tsunami Untuk Mewujudkan
Respon yang Sesuai, Efektif, dan Tepat Waktu”. Deutsche Gesellschaft fur Technische
Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Jakarta. Diunduh dari:- pada 10 Mei 2012.
Cabinet Office. 2012. Emergency Preparedness. Diunduh dari
http://www.cabinetoffice.gov.uk/resource-library/emergency-preparedness pada tanggal 23
Mei 2012.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2011. Panduan Perencanaan Kontinjensi
Menghadapi Bencana. Jakarta.
London Resilience Team (LRT). 2011. London Community Risk Register (LCRR).
Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford University Press.
[1] Dikutip langsung dari: Hr, Muhammad Rezki. 2012. Prinsip dan Proses Perencanaan
Kontinjensi Studi Kasus: London. Dalam Dwita Widyaningsih dkk. 2012. Prosiding Proses
Perencanaan. Magister Perencanaan Kota dan Daerah. Universitas Gadjah Mada.
Sumber
Gambar: http://www.mindtools.com/media/HomePage/planb_WendellFranks226x150.jpg
http://muhammadrezkihr.blogspot.co.id/2013/02/prinsip-dan-proses-perencanaan.html
Perencanaan Kontijensi dalam mitigasi bencana di Sumatera Barat
Oleh
1. Latar Belakang
Pada hakekatnya bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan.
Pandangan ini memberikan arahan bahwa bencana harus dikelola secara menyeluruh sejak
sebelum, pada saat dan setelah kejadian bencana. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah
management khusus untuk menanganinya.
Dalam pengelolaan managemen becana, telah terjadi beberapa pola pergeseran paradigma,
dimana pada awalnya paradigma bencana 1) dari responsif menjadi preventif 2) Dari
sentralistis menjadi desentralistis 3) Dari urusan pemerintah menjadi partisipatif 4) Dari
sektoral menjadi multi sektor 5) Dari menangani dampak menjadi mengurangi risiko dan
terakhir 6) Dari parsial menjadi komprehensif.
Dalam Management Bencana terdapat empat tahapan penanggulangan bencana yang meliputi
1) rencana penggulangan Bencana /rencana kesiapan, 2) rencana Siaga atau rencana
kontinjensi 3) rencana Operasi tanggap darurat, dan 4) rencana pemulihan. Apabila dilihat
dari tahapan penaggulangan bencana, posisi rencana kontijensi berada pada saat gejala akan
terjadinya bencana
Dari gambar tahapan penanggulangan bencana diatas proses penanggulangan bencana tidak
selalu dilaksanakan pada saat yang bersamaan dan juga dalam praktekknya tiap-tiap bagian
dilakukan secara berurutan. Seperti tanggap darurat yang pada kejadian di provinsi sumatea
barat pada dasarnya dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana atau dikenal
dengan istilah “ siaga Bencana” ketika prediksi bencana akan segera terjadi. Meskipun saat
kejadiaan bencana belum tiba , namun pada tahapan siaga darurat dapat dilaksanakan
kegiatan tanggap darurat berupa evakoasi penduduk, pemenuhan kebutuhan dasar berupa
penampungan sementara , pemberian bantuan pangan dan non pangan, layanan kesehatan
berbagai kegiatan pada tahapan siaga darurat terdapat 2 ( dua) kemungkinan yaitu bencana
benar-benar terjadi atau bencana tidak terjadi.
Korelasi antara kuadran yang satu dengan kuadran lainnya yang menggambarkan peran dari
masing – masing kegiatan untuk setiap segmen ( prabencana) , saat terjadinya bencana dan
pasca bencana) dapat dilihat pada tahapan berikut .
Pada tahapan pra bencana, kegiatan-kegiatan di bidang pencegahan dan mitigasi menempati
porsi/peran terbesar. Pada saat terjadinya bencana, kegiatan-kegiatan di bidang tanggap
darurat menempati porsi yang lebih besar. Pada tahapan pasca bencana, kegiatan – kegiatan
di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi menempati porsi yang lebih besar.
Jadi perencanaan kontijensi dapat didefenisikan sebagai proses perencanaan ke depan , dalam
keadaan tidak menentu, dimana skenario dan tujuan disetujui, tindakan manajerial dan teknis
ditentukan , dan sistim untuk menanggapi kejadian disusun agar dapat mencegah , atau
mengatasi secara lebih baik keadaan atau situasi darurat yang dihadapi.
Rencana Kontijensi
dalam sistim penanggulangan bencana, rencana kontjensi, dilaksanakan pada saat telah
terjadinya gejala becana, seperti prediksi dari pakar geologi yang memprediksi akan terjadi
bencana , oleh karena itu rencana kontijensi sudah harus dilakukan pada.
Inti dari kontijensi ini lebih kepada suatu proses mengarah kepada kesiapan dan kemampuan
untuk meramal , dan jika memungkinkan dapat untuk mencegah bencana itu sendiri, serta
mengurangai dampaknya dan menangani secara efektif da melakukan pemulihan diri dari
dampak yang dirasakan .
Dengan kondisi wilayah seperti yang telah diuraikan di atas, Provinsi Sumatera Barat dapat
disebut sebagai wilayah “swalayan bencana alam”. Selain potensi bencana yang disebabkan
oleh aktivitas alam, provinsi ini juga memiliki potensi bencana yang disebabkan oleh
manusia seperti konflik sosial, epidemi wabah penyakit dan kegagalan teknologi. Namun
potensi yang disebabkan oleh manusia ini, relatif kecil jumlah kejadiannya.
Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Kepulauan Indonesia yang
memiliki tatanan geologi sangat kompleks. Kondisi ini disebabkan letaknya yang berada pada
daerah tumbukan 2 lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan
dan lempeng Euroasia di bagian utara yang ditandai dengan terdapatnya pusat-pusat gempa
tektonik di Kepulauan Mentawai dan sekitarnya.
Akibat tumbukan kedua lempeng besar ini selanjutnya muncul gejala tektonik lainnya yaitu
busur magmatik yang ditandai dengan munculnya rangkaian pegunungan Bukit Barisan
beserta gunung apinya dan sesar/patahan besar Sumatera yang memanjang searah dengan
zona tumbukan kedua lempeng yaitu utara-selatan.
Dampak negatif Wilayah Sumatera Barat secara geologi merupakan wilayah yang berpotensi
untuk terjadinya bencana alam beraspek geologi berupa gempa bumi tektonik baik yang
berpusat di darat yaitu pada jalur patahan besar Sumatera atau yang lebih dikenal dengan
Patahan Semangko maupun yang berpusat di laut yaitu bagian barat Pantai Sumatera yang
adakalanya diikuti oleh naiknya permukaan air laut atau yang lebih dikenal dengan tsunami,
disamping bahaya letusan gunung api dan tanah longsor.
Setelah Gempa Bumi 30 September 2009 dengan skala 7,9 SH yang menewaskan 1.195
Orang, perhatian masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami menjadi perhatian utama
di provinsi ini, Rentetan gempa yang terjadi berikutnya: M8.5 SR di Nias pada bulan Maret
2005, M6,9 SR di sekitar laut Mentawai pada bulan April 2005, M6,3 SR di sekitar danau
Singkarak pada bulan Maret 2007, M8,4 SR dan M7,9 SR di sekitar perairan Bengkulu dan
Sumatra Barat pada 30 September 2009 telah menimbulkan trauma di masyarakat Sumatera
Barat. Terlebih lagi dengan perkiraan para ahli seismology akan terjadinya gempa raksasa
berikutnya (giant earthquake) di sekitar Mentawai, membuat pemerintahan provinsi Sumatera
Barat harus melakukan langkah-langkah kesiapsiagaan yg komprehensif.
Disamping gempa dan tsunami, di Sumatera Barat terdapat empat gunung api aktif yaitu
Marapi, Tandikat, Talang dan Kerinci yang menyimpan ancaman bahaya. Aktifitas Gunung
Talang yang meningkat di tahun lalu telah menyedot perhatian nasional walaupun tidak
sampai menimbulkan bencana yang besar. Namun dengan keberadaan aktifitas kehidupan di
Sumatera Barat yang berada disekitar gunung berapi, maka risiko bencana yang ditimbulkan
akan sangat besar.
Sejumlah sungai di Sumatera Barat diperburuk dengan kondisi iklim dan geografis yang
beragam, membuat ancaman bencana banjir dan longsor memiliki risiko yang tinggi.
Kejadian banjir dan tanah longsor di Sumatera Barat telah banyak merenggut korban baik
nyawa manusia maupun harta benda. Sedangkan bencana lainnya seperti angin putting
beliung, abrasi pantai, kebakaran hutan, konflik sosial dan epidemik, efeknya tidak berskala
besar.
Agar dampak bencana dapat dikurangi, perlu dipetakan risiko bencana yang ada. Risiko
bencana dapat dihitung secara sederhana dengan mempertimbangkan potensi terjadinya
bencana dan potensi kerugian dan kerusakan yang ditimbulkannya. Dari dua variabel tersebut
dapat disusun 3 tingkatan risiko bencana berkaitan dengan tahapan penanganannya yaitu
Tingkat Risiko I (mendesak), Tingkat Risiko 2 (segera), dan Tingkat Risiko 3 (bertahap).
Penyusunan rencana kontijensi mempunyai ciri khas yang membedakan dengan perencanaan
yang lain. ciri-ciri khas tersebut sekaligus merupakan prinsip-prinsip perencanaan kontijensi .
atas dasar pemahaman tersebut rencana kontijensi harus dibuat berdasarkan .
Jika diperhatikan antara besarnya kejadian dengan dampak kehidupan sehari-hari , maka
dapat digambarkan. Bahwa Perencanaan kontijensi merupakan bagian kehidupana sehari-hari
diperlukan perencanaan kontijensi tergantung dari upaya mempertemukan antara besarnya
kejadian denganbijak tingkat dampak yang diakibatkan.
Pada dasar nya proses perencanan kontijensi hanya sesuai untuk peristiwa atau kejadian
dengan tingkat besar dan parahya dampak yang diptimbulkan sedangkan untuk kejadian
kejadian yang tidak terlalu parah cukup menggunakan kebijakan yang ada. Bahkan jika tidak
parah samasekali tidak perlu disusun rencanan kontijensi.
Rencana kotijensi dibuat segera setelah ada tanda-tanda awal akan terjadi bencana, beberapa
jenis bencana sering terjadi secara tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu (gempa
bumi), keadaan ini sulit dibuat rencana kontijensi, namun demikian tetap dapat dibuat dengan
menggunakan data kejadian dimasa lalu . sedangkan jenis-jenis bencana tertentu dapat
diketahui tanda-tanda akan terjadi , terhadap hal ini dapat dilakukan pembuatan rencana
kontijensi, umumnya penyusunan rencana kontijensi dilakukan pada saat segera akan tejadi
bencana. Pada situasi ini, rencana kontijensi langsung disusun tanpa melalui penilaian atau
analisis. Ancaman atau bahaya.akan tetapi kenyataan dilapangan hal tersebut sulit dilakukan
karena keadaan sudah cheos atau panik akan lebih baik apabila rencana kontijensi dibuat
pada saat sudah diketahuinya adanya potensi bencana.
Pada dasarnya rencana kontijensi harus dibuat secara bersama-sama oleh semua pihak
( stakeholder) dan multi sektor yang terlibat dan berperan dalanm penanganan bencanan ,
termasuk dari pemerintah (sektor-sektor) yang terkait, perusahaan negara, swasta, organisasi
non pemerintah lembaga internasional dan masyarakat, serta pihak-pihak yang lain yang
terkait.
Rencana kontijensi disusun melalui ” proses ” . proses ini sangat penting , karena disusun
oleh parisipan, atau peserta sendiri, sedangkan fasilitator hanya mengarahkan jalannya proses
penyusunan kontijensi.
– Pakar dari luar diperlukan hanya untuk memberikan informasi /pengetahuan yang
tidak dimiliki oleh penyusun
– Rencana kontijensi bukan merupakan tugas rutin tetapi suatu kegiatan yang
eksepsional
– Perencana kontijensi sangat sensitif , konfidensial dan terbatas . oleh karena itu
pelaksanaannya harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan keresahanan atau
salah paham bagi masyarakat.
– Produk dari perencanaan kontijensi ini adalah rencana , persediaan (stock pile)
dan anggaran , bukan keberhasilan tanggap darurat.
Tidak ada perbedaan yang prinsip antara rencana kontijensi dengan rencana operasi , kecuali
waktu penyusunannya , rencana kontijensi disusun menjelang dan sebelum terjadinya
bencana, sehingga rencana tersebut disusun berdasarkan asumsi dan skenario , sedangkan
rencana operasi disusun pada saat bencana benar-benar terjadi, sehingga rencana ini disusun
sesuai dengan keadaan sebenarnya .
Rencana operasi disusun dengan menyesuaikan jenis kegiatan dan sumberdaya yang ada
dalam rencana kontijensi, sesuai dengan kebutuhan nyata dari jenis bencana yang telah
terjadi.
Pada tahap pelaksanaan adalah penysusunan rencanan kontijensi yang dimulai dari penilaian
resiko, didahulukan dengan penilaian bahaya dan penilaian tingkat bahaya untuk menentukan
1 jenis ancaman atau bencana yang diperkirakan akan terjadi (yang menjadi prioritas)
Penilaian bahaya dapat melakukan identifikasi jenis ancaman dan pembobotan ancaman .
Setelah langkah tersebut , hasil penilaiaan bahaya di plot ke dalam matrik skala , tingkat
bahaya untuk mengidentifikasi bahaya yang beresiko tinggi .
Berdasarkan peta wilayah dapat diidentifiksi masyarakat dan daerah /lokasi yang terterancam
bencana (daerah rawan bahya /bencana) sehingga dapat diperkirakan luas/besarnya dampak
bencana yang mungkin terjadi .
– Hal-hal lain yang bergantung terhadap besar kecilnya kerugian /kerusakan .
Terdapat lima aspek yang terkena dampak bencana , yaitu aspek kehidupan /penduduk ,
sarana/prasarana/fasilitas/aseet, ekonomi , pemerintahan dan lingkungan .
Untuk mengukur dampak pada aspek kehidupan /pensusuk perlu ditetapkan terlebih dahulu
pra kiraan jumlah penduduk yang terancam, baru ditetapkan dampak kematain, luka-luka,
pengunsian, hilang dan dampak lainnya sehingga diketahui jumlah/persentase dampak yang
ditimbulkan . sedangkan untuk dampak pada aspek sarana dan prasarana, pemerintahan,
ekonomi dan lingkungan diklasifikasiakan kedalam tingkat ringan, sedang dan berat .
Situasi sektor merupakan gambaran kondisi pada saat kejadian yang dimaksudkan untuk
mengantisipasi tingkat kesulitan dalam penanganan darurat dan upaya-upaya yang harus
dilakukan sasaran sektor dimaksudkan sebagai sasaran-saran yang akan dicapai dalam
penanganan bencana atau kedaruratan sehingga masyarakat atau korban bencana dapat
ditangani secara maksimal.
Kegiatan sektor adalah kegiatan–kegiatan yang akan dilaksanakan selama kedaruratan untuk
memastikan bahwa para pelaku yang tergabung dalam sektor dapat berperan aktif.
Identifikasi pelaku kegiatan, pelaku penanganan darurat yang tergabung dalam sektor-sektor
berasal dari berasal dari unsur baik pemerintah dan non pemerintah, termasuk masyarakat
luas .
Waktu pelaksanaan kegiatan oleh sektor-sektor adlah sebelum atau menjelang kejadian
bencana, sesaat setelah bencana, dan setelah bencana atau setiap saat diperlukan .
Langkah selanjutnya adalah membuat proyeksi kebutuhan oleh tiap-tiap sektor yang mengacu
pada kegiatan-kegiatan sektor tersebut diatas. Kebutuhan tiap sektor dipenuhi dari
ketersediaan sumberdaya sektor dari kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya, terdapat
kesenjangan atau kekurangan sumberdaya yang harus cicarikan jalan keluarnya dari
berbabgai sumber, antara lain.
Oleh karena proyeksi kebutuhan bukan merupakan penyususnan anggaran proyek, maka
wajib memprioritaskan sumberaya atau potensi lokal dalam hal kondisi terpaksa atau tidak
memungkinkan , maka pengadaan barang-barang kebutuhan dapat dilakukan. Setelah tanggap
darurat selesai, semua barang-barang kebutuhan dapat dilakukan. Setelah tanggap darurat
seelesai, semua barang-barang atau peralatan yang sifatnya ” Tidak habis dipakai” yang
menjadi kewenangan atau tanggung jawab, atau dalam penguasaaan atau pengelolaan instansi
pememrintah menjadi barang inventaris negara, atau pemerintah. Sedangkan barang-barang
habis dipakai dalam hal-hal terdapat kelebihan dapat disalurkan sesuai dengan praturan
perundang-undangan.
Dari hasil perencanaan sektoral tersebut datas semua kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan
oleh sektor-sektor diharmonisasi atau diintegrasikan kedalam rencana kontijensi . hal ini
dapat dilakukan melalui rapat koordinasi , yang dipimpin oleh gubernur, bupati /walikota.
Atau pejabat yang ditunjuk . tujuannya adalah untuk mengetahui siapa melakukan apa agar
tidak terjadi tumpang tindih kegiatan, hasilnya adalah berupa rencana kontijensi berdasarkan
kesepakan atau konsensus dari rapat koordinasi lintas pelaku , lintas fungsi dan lintas sektor.
Rencana kontijensi disahkan atau ditndatangani oleh pejabat yang berwenang, yakni
Gubernur untuk untuk daerah provinsi , bupati/walikota ( untuk daerah kabupaten/kota) dan
menjadi dokumen resmi dan siap untuk dilaksanakan menjadi rencana operasi tanggap
darurat ( melalui kaji cepat) apabila sewaktu-waktu terjadibencana. Selanjutnya rencana
kontijensi tersebut disampaiakan juga ke legislatif untuk mendapatkan komitmen atau
dukungan politik dan mengalokasikan anggaran.
Setelah proses penyusunan rencanan kontijensi dan dihimpun dalam suatu dokumen resmi ,
tahap selanjutnya adalah perlu ditndaklanjuti dengan berbagai kegiatan atau langkah-langkah
yang diperlukan untuk menghadapi kejadian bencana.
Pelaksanaan tidak lanjut tersebut, menuntut peran aktif masing-masing sekot yang juga
memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik. Dan untuk menguji ketepatan kontijensi
yang diubuat maka perlu dilakukan uji coba dalam bentuk simulasi atau gladi. Dalam gladi
ini diusahakan supaya besaran dan skalanya mendekati peristiwa atau kejadian yang
diskenariokan. Apa bila tidak memungkinkan maka dapat diambil sebagian dari luas yang
sesungguhnya.
Setelah selesai penyususnan rencanan kontijensi terdapat dua kemungkinan , yaitu terjadi
bencana atau tidak terjadi bencana.
Jenis bencana yang terjadi sama atau sesuai sejenis ancaman sebagai mana diperkirakan
sebelumnya, maka rencanan kontijensi sudah diaktifasi atau diaplikasikan menjadi rencana
operasi tanggap darurat. Rencana operasi tersebut menjadi pedoman bagi posko untuk
penanganan darurat , yang didahului dengan kaji cepat untuk penyesuaiaan data dan
kebutuhan sumberdaya.
Langkah pertama yang harus dilakukan apabila terjadi bencana antara lain rapat koordinasi
segera setelah terjadi bencana , dengan mengaktivasi pusat pengendali operasi
( PUSDALOPS)menjadi posko , Penetapan dan pengiriman tim reaksi cepat (TRC)
kelapangan untuk melakukan pertolongan, penyelamatan dan evakuasi serta kaji cepat
( Quick assesment) untuk pendataan korban kerusakan atau kerugian, kebutuhan dan
kemampuan sumberdaya serta prediksi perkembangan kondisi kedepan. Hasil kerja TRC
menjadi acuan untuk melakukan tanggap darurat dan pemulihan darurat prasaran dan sarana
fital .dan Pelaksanaan operasi tanggap darurat, dimana Sektor-sektor yang sudah diberntuk
segera melaksanakan tugas tanggap darurat sampai dengan kondisi darurat pulih atau kembali
kekondisi normal.
Langkah Kedua dilakukan adalah Evakuasi berkala atau rutin terhadap pelaksanaan operasi
tanggap darurat, dengan mendiskripsikan Pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dan
keputusan terhadap perpanjangan dan pernyataan resmi berakhirnya.tanggap darurat.
Apabila waktu kejadian bencana yang diperkirakan telah terlampaui ( tidak terjadi bencana) ,
maka rencana kontijensi dapat diberlakukan atau diperpanjang untuk periode atau kurun
waktu berikutnya.
Apabila setelah melalui kaji ulang dan perpanjangan masa berlaku ternyata tidak terjadi
bencana, rencana kontijensi dapat di deaktivasi ( dinyatakan tidak berlaku) . dengan
pertimbangan bahwa potensi bencana tidak lagi menjadi ancaman.
Rencana kontijensi yang telah dideaktvasi dapat diaktifkan kemabali setiap saat ( aktivasi )
jika diperlukan . atau dapat juga rencana kontijensi diturunkan statusnya menjadi rencana
penaggulangan bencana dengan catatan bahwa rencana kontijensi yang bersifat single hazard
( satu jenis ancaman) menjadi rencana kesiapan yang bersifat multi hazards ( lebih dari satu
jenis ancaman) .
4. Kesimpulan
Penyusunan rencana kontijensi merupakan kegiatan yang dilakukan pada kondisi darurat ,
dalam kasus Gempa Bumi yang terjadi pada tanggal 30 September 2009, terlihat bahwa
masih perlunya sosialisasi secara intensif program perencanaan kontijensi, dilakukan pada
seluruh stake holder, agar koordinasi bisa berjalan sebagaimana yang ada dalam Perencanaan
kotinjensi.
Apabila dilihat dari peran perencanaan kotijensi didalam penanganan bencana, bahwa
koordinasi didalam proses penanganan bencana mutlak. Dan langkah-langkah yang
dilaksanakan telah terimplementasikan pada saat gempa di sumatera barat, dengan skala 7,9
SR.