Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

A. KONSEP DASAR HALUSINASI


1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca
indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi palsu(Prabowo,
2014).
2. Proses Terjadinya Halusinasi
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep stress
adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari
1) Faktor Biologis : Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
2) Faktor Psikologis Memiliki riwayat kegagalan yang berulang.Menjadi
korban, pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya
kasih sayang dari orang-orang disekitar atau overprotektif.
3) Sosio budaya dan lingkungan Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari
keluarga dengan sosial ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat
penolakan dari lingkungan .
b. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi ditemukan
adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak,
adanya riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan
dalam hidup (Prabowo, 2014).
c. Perilaku Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan
nyata dan tidak.
d. Dimensi fisik Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan.
e. Dimensi emosional Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusianasi
f. Dimensi intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa
individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego.
g. Dimensi sosial Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal
dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata
sangat membahayakan.
h. Dimensi spiritual Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya
terganggu(Damaiyanti, 2012).
3. Rentan Respon Halusinasi
Rentan Respon Neurobiologis

Respon Adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis Proses pikir kadang Gangguan proses pikir


Persepsi akurat terganggu Ilusi waham
Emosi konsisten Emosi Halusinasi
Perilaku sesuai berlebihan/kurang Kerusakan proses emosi
Hub sosial Perilaku tidak Perilaku tidak sesuai
harmonis Isolasi social teroganisir

4. Tahap Halusinasi
Halusinasi yang dialami pasien memiliki tahapan sebagai berikut
a. Tahap I : Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien
sedang.Pada tahap ini halusinasi secara umum menyenangkan.
b. Tahap II : Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat
berat dan halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien.
c. Tahap III : Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien,
pasienberada pada tingkat ansietas berat.Pengalaman sensori menjadi
menguasai pasien.
d. Tahap IV : Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat
ansietas berada pada tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi lebih
rumit dan saling terkait dengan delusi.
5. Jenis Halusinasi
a. Halusinasi Pendengaran ( akustik, audiotorik)
b. Halusinasi Pengihatan (visual)
c. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)
d. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)
e. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)
f. Halusinasi sinestetik
g. Halusinasi Viseral
6. Strategi Pelaksanaan
a. SP 1 : BINA HUBUNGAN SALING PERCAYA Di tambah dengan L =
Latihan Menghardik
b. SP 2 : LATIHAN BERCAKAP
c. SP 3: AKTIVITAS
d. SP 4 : OBAT
7. Pohon masalah

Resiko Tinggi Prilaku Kekerasan


Effect

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi


Care problem

Causa Isolasi Sosials

Harga Diri Rendah Kronis


B. KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN
1. Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain dan
lingkungan yang timbul sebagai kecemasan dan ancaman (Hadiyanto, 2016)
2. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah
factor biologis, psikologis dan sosiokultural
a. Faktor Biologis
1) Instinctual Drive Theory ( Teori Dorongan Naluri) Teori ini menyatakan
bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan
dasar yang sangat kuat.
2) Psychosomatic Theory (Teori Psikosomatik) Pengalaman marah adalah
akibat dari respon psikologi terhadap stimulus eksternal, internal maupun
lingkungan.
b. Factor Psikologis
1) Frustation Aggresion Theory (Teory Agresif-Frustasi) Menurut teori ini
perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi.
2) Behavior Theory (Teori Perilaku) Kemarahan adalah proses belajar, hal ini
dapat dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi yang mendukung.
3) Eksistensial Theory ( Teori Eksistensi) Bertingkah laku adalah kebutuhan
dasar manusia.
c. Faktor Sosiokultural
1) Sosial Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial) Lingkungan sosial
akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah.
2) Sosial Learning Theory (Teori Belajar Sosial) Perilaku kekerasan dapat
dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi (Deden dan
Rusdin, 2013)
3. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain:
a. Menyerang atau Menghindar (Fight or Flight)
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
c. Memberontak (acting Out)
d. Perilaku Kekerasan
4. Pohon masalah
Effect
Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

core problem Perilaku kekerasan

causa Perubahan sensori persepsi : halusinasi

5. Rentan respon marah

Respon adaptif Respon maladaptive

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

6. Strategi Pelaksanaan
a. SP 1 : BINA HUBUNGAN SALING PERCAYA
b. SP 2 : LATIHAN NAPAS DALAM
c. SP 3: LATIHAN MEMUKUL BANTAL
d. SP 4: LATIHAN SPIRITUAL
e. SP 5 : OBAT
C. KONSEP DASAR ISOLASI SOSIAL
1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti,
2012). Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011). Isolasi sosial
juga merupakan kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat didorong oleh
keberadaan orang lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I
dalam Damaiyanti, 2012).
2. Faktor Predisposisi
a. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung untuk
terjadinya gangguan hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak
jelas (double bind)
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu
faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial.
d. Faktor Biologis
3. Proses Terjadinya Masalah Isolasi Sosial
a. Pola Asuh Keluarga : Misal: Pada anak yang kelahirannya tidak dikehendaki
akibat kegagalan KB, hamil diluar nikah, jenis kelamin tidak diinginkan,
bentuk fisik kurang menawan menyebabkan keluarga mengeluarkan
komentar-komentar negatif, merendahkan, serta menyalahi anak.
b. Koping Individu Tidak Efektif : Misal: Saat individu menghadapi kegagalan
mengalahkan orang lain, ketidakberdayaan, tidak mampu menghadapi
kenyataan dan menarik diri dari lingkungan.
c. Gangguan Tugas Perkembangan : Misal: Kegagalan menjalin hubungan intim
dengan sesama jenis atau lawan jenis, tidak mampu mandiri.
d. Stress Internal Dan Eksternal : Misal: Stress terjadi akibat ansietas yang
berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan individu untuk
mengatasi. Ansietas tejadi akibat berpisah dengan orang terdekat, kehilangan
pekerjaan atau orang yang dicintai.
4. Rentang respon isolasi sosial

Adaptif Maladaptif

Menyendiri, Otonomi, Menyendiri, Otonomi, Manipulasi, impulsif,


kebersamaan, saling kebersamaan, saling narsisme
ketergantungan ketergantungan

5. Pohon Masalah

Effect Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

core problem
ISOLASI SOSIAL

causa Gangguan konsep diri: Harga diri rendah


6. Strategi Pelaksanaan
a. SP 1 : BINA HUBUNGAN SALING PERCAYA + LATIHAN
BERKENALAN
b. SP 2 : BERKENALAN DENGAN 2 ORANG
c. SP 3 : BERKENALAN DENGAN 3 ORANG/LEBIH
D. KONSEP DASAR HARGA DIRI RENDAH
1. Pengertian
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berharga, tidak
berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri (Keliat, 2011).
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan (Direja, 2011)
2. Rentang Respon Harga Diri Rendah Kronis
Respon Adaptif Respon maladptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Keracunan Depersonalis


diri rendah identitas asi

3. Faktor Predisposisi Harga Diri Rendah Kronis


a. Faktor Biologis Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau
trauma kepala. Poltekkes Kemenkes Padang
b. Faktor psikologis Pada pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat
ditemukan adanya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, seperti
penolakan dan harapan orang tua yang tidak realisitis, kegagalan berulang
c. Faktor sosial budaya Pengaruh sosial budaya meliputi penilaian negatif dari
lingkungan terhadap pasien yang mempengaruhi penilaian pasien, sosial
ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan pada tahap tumbuh kembang
anak, dan tingkat pendidikan rendah.
4. Pohon masalah

Koping individu tidak efektif


R
Harga Diri rendah
R
Menarik diri : isolasi sosial Defisit perawatan diri
R
Halusinasi
R
Resiko perilaku kekerasan
5. Strategi pelaksanaan
SP 1 : BINA HUBUNGAN SALING PERCAYA
SP 2 : PASIEN BISA DIBERIKAN KERTAS DAN PERAWAT MINTA
PASIEN UNTUK MENULIS HOBI DAN APA YANG INGIN DIA LATIH.

E. KONSEP DASAR DEFISIT PERAWATAN DIRI


1. Pengertian
Defisit perwatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami kelainan dalam
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari
secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak menyisir rambut,
pakaian kotor, bau badan, bau napas dan penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri
merupakan salah satu masalah yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan
jiwa kronis sering mengalami ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan
gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun
masyarakat (Yusuf, 2015).
2. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan perawatan


diri seimbang diri kadang tidak diri pada saat stress

3. Faktor predisposisi
a. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. kemampuan realitas turun Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
4. Pohon masalah

5. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri


a. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan Kurang perawatan diri (mandi) adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi / kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias Kurang perawatan diri
(mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas
berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : makan Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan
kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.
d. Kurang perawatan diri : toileting Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan
kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan.
6. Dampak Defisit Perawatan Diri
7. Menurut Dermawan (2013) dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene
ialah :
a. Dampak fisik Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering
terjadi adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi
pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene
adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman , kebutuhan dicintai dan mencinti,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
8. Mekanisme Koping Mekanisme koping pada pasien dengan defisit perawatan diri adalah
sebagai berikut:
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali, seperti
pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses
informasi dan upaya untuk mengulangi ansietas (Dermawan, 2013).
b. Penyangkalan ( Denial ), melindungi diri terhadap kenyataan yang tak
menyenangkan dengan menolak menghadapi hal itu, yang sering dilakukan dengan
cara melarikan diri seperti menjadi “sakit” atau kesibukan lain serta tidak berani
melihat dan mengakui kenyataan yang menakutkan (Yusuf dkk, 2015).
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisk yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stresor, misalnya:
menjauhi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi psikologis individu
menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa
takut dan bermusuhan (Dermawan, 2013).
d. Intelektualisasi, suatu bentuk penyekatan emosional karena beban emosi dalam
suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi) misalnya rasa
sedih karena kematian orang dekat, maka mengatakan “sudah nasibnya” atau
“sekarang ia sudah tidak menderita lagi” (Yusuf dkk, 2015)

Anda mungkin juga menyukai