Anda di halaman 1dari 3

 

    Latar Belakang


Manusia adalah homoioterm, artinya suhu tubuhnya konstan meskipun suhu
lingkungan berfluktuasi jauh di atas atau di bawah suhu tubuhnya. Kulit memegang peranan
penting dalam mempertahankan suhu tubuh. Di dalam kulit terdapat jaring-jaring pembuluh
darah dan kelenjar keringat yang dikendalikan oleh sistem saraf. Di samping itu terdapat
reseptor berbagai macam sensasi satu di antaranya adalah termoreseptor (Soewolo dkk, 2005:
286-287). Sedangkan pusat pengatur panas dalam tubuh adalah hypothalamus. Hipothalamus
ini dikenal sebagai thermostat yang berada dibawah otak (Anfis, 2011).
Regulasi tersebut bertujuan agar suhu tubuh tetap konstan. Suhu tubuh manusia
adalah konstan yaitu 36,890 C dan naik turunnya berkisar antara 36,110 C sampai 37,220 C.
Perbedaan hariannya kira-kira satu derajat, tingkat terendah dicapai pada pagi hari dan titik
tertinggi antara pukul 5 dan 7 petang (Anfis, 2011).
Dalam praktikum ini, observasi yang akan dilakukan adalah mengamati ada tidaknya
pengaruh dari suhu lingkungan terhadap suhu tubuh manusia. Apakah suhu tubuh tetap
konstan dalam kondisi yang dibuat “ekstrem’ atau fluktuatif mengikuti suhu lingkungan?
Pertanyaan ini akan terjawab dalam pembahasan praktikum ini.

Tinjauan Pustaka
Manusia adalah homoioterm, artinya suhu tubuhnya konstan meskipun suhu
lingkungan berfluktuasi jauh di atas atau di bawah suhu tubuhnya. Kulit memegang peranan
penting dalam mempertahankan suhu tubuh. Di dalam kulit terdapat jaring-jaring pembuluh
darah dan kelenjar keringat yang dikendalikan oleh sistem saraf. Di samping itu terdapat
reseptor berbagai macam sensasi satu di antaranya adalah termoreseptor (Soewolo dkk, 2005:
286-287).
Pusat pengatur panas dalam tubuh adalah hypothalamus. Hipothalamus ini dikenal
sebagai thermostat yang berada dibawah otak. Terdapat dua hipothalamus, yaitu:
hipothalamus anterior yang berfungsi mengatur pembuangan panas dan hipothalamus
posterior yang berfungsi mengatur upaya penyimpanan panas (Anfis, 2011).
Bila tubuh merasa panas, ada kecenderungan tubuh meningkatkan kehilangan panas
ke lingkungan; bila tubuh merasa dingin, maka kecenderungannya menurunkan kehilangan
panas. Jumlah panas yang hilang ke lingkungan melalui radiasi dan konduksi-konveksi
ditentukan oleh perbedaan suhu antara kulit dan lingkungan eksternal. Bagian pusat tubuh
merupakan ruang yang memiliki suhu yang dijaga tetap sekitar 37 oC (Soewolo dkk, 2005:
287).
Pada proses termoregulasi, aliran darah kulit sangat berubah-ubah. Vasodilatasi
pembuluh darah kulit, yang memungkinkan peningkatan aliran darah panas ke kulit, akan
meningkatkan kehilangan panas. Sebaliknya, vasokonstriksi pembuluh darah kulit
mengurangi aliran darah ke kulit, sehingga menjaga suhu pusat tubuh konstan, dimana darah
diinsulasi dari lingkungan eksternal, jadi menurunkan kehilangan panas. Respon-respon
vasomotor kulit ini dikoordinasi oleh hipotalamus melalui jalur sistem para simpatik.
Aktivitas simpatetik yang ditingkatkan ke pembuluh kutaneus menghasilkan penghematan
panas vasokonstriksi untuk merespon suhu dingin, sedangkan penurunan aktivitas simpatetik
menghasilkan kehilangan panas vasodilatasi pembuluh darah kulit sebagai respon terhadap
suhu panas (Soewolo dkk, 2005: 287-288).
Bila benda dingin ditempelkan langsung pada kulit, pembuluh darah makin
berkontraksi sampai suhu 15oC. Saat titik mencapai derajat konstriksi maksimum pembuluh
darah mulai berdilatasi. Dilatisi ini disebabkan oleh efek langsung pendinginan setempat
terhadap pembuluh itu sendiri. Mekanisme kontraksi dingin membuat hambatan impuls saraf
datang ke pembuluh tersebut pada suhu mendekati suhu 0oC sehingga pembuluh darah
mencapai vasodilatasi maksimum. Hal ini dapat mencegah pembekuan bagian tubuh yang
terkena terutama tangan dan telinga (Syaifuddin, 2009: 324).
Suhu tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:
1.    Exercise: semakin beratnya exercise maka suhunya akan meningkat 15x, sedangkan pada
atlet dapat meningkat menjadi 20 x dari basal rate-nya.
2.    Hormon: Thyroid (Thyroxine dan Triiodothyronine) adalah pengatur pengatur utama basal
metabolisme rate. Hormon lain adalah testoteron, insulin, dan hormon pertumbuhan dapat
meningkatkan metabolisme rate 5-15%.
3.    Sistem syaraf: selama exercise atau situasi penuh stress, bagian simpatis dari system syaraf
otonom terstimulasi. Neuron-neuron postganglionik melepaskan norepinephrine (NE) dan
juga merangsang pelepasan hormon epinephrine dan norephinephrine (NE) oleh medulla
adrenal sehingga meningkatkan metabolisme rate dari sel tubuh.
4.    Suhu tubuh: meningkatnya suhu tubuh dapat meningkatkan metabolisme rate, setiap
peningkatan 1 % suhu tubuh inti akan meningkatkan kecepatan reaksi biokimia 10 %.
5.    Asupan makanan: makanan dapat meningkatkan 10 – 20 % metabolisme rate terutama intake
tinggi protein.
6.    Berbagai macam factor seperti: gender, iklim dan status malnutrisi (Sunardi, 2008).

Anda mungkin juga menyukai