Anda di halaman 1dari 5

NILAI ITU HANYA ANGKA?

Oleh : Sakila Aina Maryamah

Brakkk

"Ini gak adil!"

Gebrakan suara pada meja itu membuat seluruh siswa yang sedang fokus pada selembar kertas
harus teralihkan. Mereka mempertanyakan ada apa yang terjadi. Wira sebagai sumber suara
terlihat sedang berapi-api menatap ke arah depan mejanya. Posisinya yang berdiri
memudahkan untuk semua orang melihatnya dengan jelas. Tentunya, dengan kepala mereka
yang di penuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

"Ada apa ini ribut ribut, Wira? Kamu lupa sekarang sedang ujian?" tanya Pak Haryo seorang
guru yang sedang mengawasi ujian di kelas 12 MIPA 3 tersebut.

Wira seraya menunjuk "Meja ke dua paling kiri, di bawah mejanya membawa kertas yang
berisi contekan pak!" jawab lugas Wira yang membuat kelas menjadi ricuh. Sontak saja semua
orang menatap arah yang di tunjuk oleh Wira.

"Wira, kamu jangan asal menuduh!" jelas Pak Haryo.

"Saya gak bohong, Pak. Kalo gak percaya silahkan cek saja".

Leo pemilik meja tersebut terlihat sangat terkejut. Pasalnya memang benar ia membawa secarik
kertas disimpan di bawah meja sesuai yang Wira katakan. Namun yang membingungkan adalah
kenapa Wira mengetahuinya sedangkan Leo pikir, ia sudah bermain rapi.

"Woi jangan asal nuduh aja!" elak Leo dengan langkah mendekat ke arah meja Wira dengan
tatapan penuh emosi. Akan tetapi, Wira tidak menyerah begitu saja. Baginya, keadilan harus
selalu di tegakkan.

"Oke, saya buktikan!" jawab Wira sambil berjalan ke arah meja tersebut dan mengambil secarik
kertas yang berisi tulisan tulisan kecil tentang materi yang sedang di ujiankan.

"Ini pak!" Wira menyerahkannya pada Pak Haryo. Sedangkan Leo semakin naik pitam. Ia
merasa tidak pernah punya urusan dengan Wira. Akan tetapi kenapa laki laki itu selalu saja
ikut campur.

Kelas kembali meriuh dan sangat berisik. Ada pula siswa yang mengambil kesempatan emas
tersebut dengan saling menanyakan jawaban. Pak Haryo yang melihat hal tersebut tidak tinggal
diam "Kerjakan sendiri sendiri atau saya robek kertas kalian!"
"Kamu Leo, maju ke depan!" ucap Pak Haryo setengah berteriak. Dengan langkah kaku ia maju
ke depan. Namun, masih dengan tatapan sengit ke arah Wira. Baginya, Wira lah yang membuat
keadaan menjadi berantakan seperti ini.

"Benar kertas itu milik kamu?"

"I-iya pak" jawab Leo dengan ragu ragu.

"Pantas saja murid bengal seperti kamu selalu mendapat nilai di atas kkm. Ternyata ini
kebiasaan buruk kamu. Biasanya urusan saling menanyakan jawaban saat ujian masih saya
biarkan. Tapi, urusan membawa contekan saat ujian itu, bukan hal biasa lagi. Leo, sekarang
ikut bapa ke ruang BK. Kelas kondusif kan oleh KM!"

Leo berjalan menyusul Pak Haryo. Namun tatapannya melirik ke arah Wira yang tengah
kembali fokus mengerjakan soal ujian. Nama baiknya sudah hancur karena murid itu.

Leo masih murka. Ia berjalan dengan angkuh memasuki ruang kelas dimana Wira berada. Saat
itu adalah jam istirahat, sehingga separuh siswa sedang berada di kantin. Terkecuali bagi Wira
yang masih berkutat pada buku dan kue selai kacang pada tangan kanannya. Leo menutup
pintu kelas tersebut dengan rapat. Hanya tersisa ia, Wira dan beberapa siswa yang tak Leo
hiraukan.

Wira yang merasa ada hal yang aneh mengernyitkan dahinya dan mulai bertanya pada Leo
yang menatapnya seakan berhadapan dengan musuh. "Ada apa?" tanya Wira.

Perlahan Leo mendekati ke arah Wira berada. Tanpa aba aba ia langsung meraih kerah seragam
Wira dengan kasar. "Woi cupu! Gara gara lu gue hampir gak lulus ujian! Gara gara lu juga gue
dipermalukan di depan banyak orang. Mau lo apa hah!?"

Para siswa yang berada di kelas hanya bisa menonton kejadian tersebut tanpa melerai
sedikitpun. Mungkin, mereka tidak ingin bercampur urusan dengan anak bermasalah macam
Leo.

"Gue gak salah! Lo yang salah! Dimana mana pun mencontek itu dilarang! Merugikan!" balas
Wira sambil menepis tangan Leo. Kemudian kembali merapikan kemejanya yang kusut.
"Urusan lo gak lulus ujian, itu hukumannya. Lagian udah tau salah masih aja lo lakuin. Itu yang
namanya tolol!" balas Wira tak kalah berapi-api.

Leo merasa semakin di tantang. Amarahnya sudah tak terkendali. Tangannya pun membogem
mentah wajah Wira. Darah di sudut bibir Wira menetes pada seragam putih itu. Wira juga tidak
akan tinggal diam. Ia merasa bahwa dirinya tidak salah. Baku hantam tak terelakkan. Wira
tersungkur di lantai dengan keadaan yang mengenaskan. Beruntungnya, siswa yang lberhasil
melerai pertikaian tersebut.
Lebam pada pipi kiri dan rahang Wira membuat ia meringis kesakitan. Ia sudah menyerah. Ia
bangkit dan pergi meninggalkan Leo yang masih saja protes tiada hentinya. "Cupu lo anak
pindahan belagu!" Mendengar hal itu Wira berhenti melangkah. "Woi elu yang cupu. Kalo mau
nilai bagus ya belajar!" tegas Wira.

"Ohh gue jadi pengen tau. Lu dapet berapa sih karena udah belajar? nilai sempurna? hah? Mana
kertas hasil ujian kemarin? Hasilnya udah ada kan? Mana? Mana gue liat!"

Seketika Wira terdiam. Mematung. Nilai yang ia dapatkan hanya 43, jauh di bawah KKM.
Padahal, ia sudah belajar hampir mati mati an. Posisinya saat ini sangat tersudutkan oleh
pernyataan nya sendiri.

"Oh ini? hahahah nilai 43 belajar?" ejek Leo sambil menarik secarik kertas yang ia dapat dari
tas Wira.

Wira tak gentar. Ia mendekat ke arah Leo berada. Dan menarik kertas tersebut dengan cepat.
Lalu berkata "Iya. kenapa? setidaknya ini murni. bukan hasil contekan. Percuma 95 kalo
menipu!"

_____

Sudah pukul 00.30 malam hari. Dan Wira masih saja berkutat pada buku buku berisikan rumus
rumus fisika yang membuat kepalanya terasa sangat berat. Pasalnya, ia sangat lemah dalam hal
menghitung. Akan tetapi apa boleh buat, pelajaran tersebut masuk kedalam pelajaran yang
pokok sehingga bagi Wira, sangat wajib ia untuk bisa memahami pelajaran Fisika dan mapel
menghitung lainnya. Walaupun sejatinya, ia hampir ingin menyerah. Ia mencoba tetap fokus
dengan membaca soal dan memasukannya pada rumus. akan tetapi jawaban ia selalu saja keliru.
Ia menghela napas kasar. Kata kata motivasi pada dinding kamarnya sudah ia hiraukan. Ia
benar benar sudah lelah.

Tiba tiba seseorang membuka pintu kamar Wira. Munculah seorang laki laki paruh baya
dengan tatapan sayu namun sorot mata yang begitu tajam. Maksud kedatangannya adalah
melihat apakah sang anak sedang belajar apa tidak. Hal tersebut sudah menjadi hal wajar. Ya,
Wira selalu diawasi oleh sang ayah.

"Mana hasil ulangan kemarin?" tanya dingin ayahnya. Namun ayahnya tiba tiba berfokus pada
wajah Wira yang lebam. "Kenapa muka kamu? berkelahi?" tanya ayah Wira dengan nada
bicara yang sangat tenang akan tetapi sangat menakutkan. Pasalnya, Aya Wira sangatlah tegas
pada anaknya itu. Wira selalu dipaksa untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Harus juara
kelas, nilai sempurna, dan masuk universitas ternama. Namun, bukan ketenangan dan
kemenangan yang Wira dapatkan. Hanya kekesalan dan penderitaan yang ia rasakan.
Dengan ragu ragu Wira menjawab dan menunduk sambil berkata "Bukan, yah. Kemarin gak
sengaja jatuh dari motor."

"Bohong. Jelas jelas itu lebam bekas perkelahian! Ngapain berantem segala? Mau jadi preman
kamu hah?" sorot mata ayahnya sudah dipenuhi emosi. matanya menatap tajam ke arah Wira
yang hanya menunduk saja tak berani menjawab pertanyaan yang ayahnya berikan. "Mana
hasil ujian kemarin?" tanya kembali ayahnya.

Wira menyerahkan hasil ujian tersebut ragu ragu. Tamat sudah riwayatnya.

"43? anak ga becus! hp kamu, ayah sita!" ucap ayahnya sambil menyobek kertas tersebut pada
wajah Wira dan merebut paksa handphone yang ada pada tangan Wira. Ayahnya pun
meninggalkan Wira dengan perasaan yang sangat kalut. Wira kesal, marah, sedih, dan ingin
menghilang. Ayahnya, tidak pernah berubah. Baginya, nilai ujiannya lebih berharga dari
anaknya sendiri. Wira terududuk lemas. Dengan sorot mata kosong. Dan pikiran yang sangat
berisik.

_____

Hari ini adalah ujian hari ketiga. Wira tidak semangat seperti biasanya. Selain karena
kekurangan tidur, luka lebam yang mengganggu, dan bayangan amarah ayahnya, membuat ia
kehilangan fokus. Ia takut nilai ujian kali ini lebih buruk dari kemarin. Ia takut nilai yang ia
dapat akan membuat ayahnya kecewa lagi. Ia takut nilai ujian kali ini bisa membuat luka yang
lebih besar dari sekadar lebam saja. Tuntutan yang ayahnya berikan sungguh membuatnya
tertekan.

Saat kertas soal ujian dibagikan, ia semakin takut. Keringat dingin membasahi seragam
putihnya. Ia tidak yakin ujiannya akan berjalan baik baik saja dengan kondisinya yang
demikian. Dan tiba tiba saja terlintas di dalam pikirannya untuk 'mencontek' pada buku paket
yang ada di bawah meja nya.

Barangkali, hanya untuk kali ini saja....

Tapi, tiba tiba saja Wira mengurungkan niatnnya karena mendengar ucapan yang seseorang
lontarkan "Nilai itu cuman angka. Nilai hanya sebagai alat ukur objektif apakah kalian sudah
paham materi tersebut atau tidak. Nilai tidak menjadi penting karena di kehidupan sosial akan
banyak cobaan dan rintangan yang lebih sulit daripada sekadar pelajaran di kelas. Dan
kejujuran adalah salah satu kunci kalian dapat menghadapinya. Jadi, untuk sekarang kalian
fokus pada ujiannya, dan kerjakan sesuai kemampuan kalian masing masing. Mengerti?!" ucap
Pak Hilman yang menjadi pengawas ujian pada hari itu.

Wira mematung. Ia tertampar. Ia hampir saja mengubah prinsip hidupnya yang ia tanam sejak
dulu. Benar apa yang Pak Hilman katakan, bahwa nilai itu hanya angka. Kita sendiri pun pasti
bisa membuat angka tersebut sesuka hati. Akan tetapi urusan kemampuan, itu hanya diri kita
yang bisa menilainya. Mencontek sama sekali bukan solusi. Karena sejatinya, apa yang kita
lakukan saat ini pasti berdampak untuk masa depan.

Dengan kesadaran penuh, semangat membara pada diri Wira kembali bangkit lagi. Ia mulai
mengerjakan soal demi soal tersebut tanpa memedulikan tantangan-tantangan di belakang
punggungnya yang begitu berat, Dia percaya bahwa tidak ada proses yang sia sia. Dia percaya,
ia bisa mendapatkan nilai yang memuaskan. Ia percaya pada dirinya sendiri melebihi apapun
siapapun dan bagaimanapun yang terjadi nantinya. Karena setidaknya ia telah berusaha dengan
kemampuan yang ia punya.

Wira akhirnya dapat menyelesaikan ujian tersebut dengan lancar dan tepat waktu. Ia keluar
dari ruang ujian dengan perasaan yang lega, ia akan berserah diri pada Yang Maha Kuasa.
Apapun hasilnya, itulah kemampuannya. Dan ia percaya bahwa untuk kedepannya ia akan
mendapatkan nilai yang lebih baik lagi dari hari ini.

Anda mungkin juga menyukai