Anda di halaman 1dari 4

Kuis Pak Guru

Cerpen Karangan: Muhammad Rochimin Kadir


Kategori: Cerpen Pendidikan
Ditulis: 6 January 2019

Sudah menjadi kebiasaan Pak Lababu untuk memberikan kuis pada murid-muridnya di setiap
pelajarannya. Mereka amat senang bermain kuis. Terutama Dawi, sang juara kelas.

“Siapakah Presiden Republik Indonesia yang ke-3?”


Dawi buru-buru mengangkat tangannya. “Saya tahu jawabannya, Pak Guru! BJ Habibie!” pekiknya
bersemangat.
“Ya, betul…!” Pak Lababu membenarkan jawaban Dawi. Di bangkunya, Dawi tersenyum sumringah.
“Pertanyaan berikutnya: Siapa Proklamator Indonesia ?”
“Saya, Pak Guru!” Dawi mengangkat tangannya lagi. “Bapak IR Soekarno”
Pak Lababu tersenyum. “Jawabanmu tepat sekali, Dawi!”
“Horee…!” Dawi bersorak puas.

Suara kasak-kusuk mulai terdengar dari sebagian anak. Mereka tidak menyukai sikap Dawi yang
mereka anggap berlebihan. Ada juga yang menggerutu karena didahului oleh anak perempuan itu.

“Siap-siap pertanyaan berikutnya, ya,” Pak Lababu melanjutkan. “Coba, siapa yang tahu, Tanggal
berapakah KNIP dibentuk…?”
“Saya, Pak Guru!” Dawi kembali berseru.
“Jawabannya adalah …”

Syiar, sang ketua kelas, buru-buru menyela. “Dawi, kok, kamu terus yang menjawab?”
“Iya, gantian dong! Aku kan juga tahu jawabannya!” seru Zumrin, dengan nada kesal.
“Tapi kamu tidak mengangkat tanganmu!” tukas Dawi.
“Kamu selalu mendahului!” kali ini Ucul, anak yang masih suka menangis di kelas, protes.

“Oke, oke…” Pak Lababu segera menengahi sebelum perselisihan berlanjut. “Dawi, coba sekarang kita
berikan kesempatan kepada Zumrin untuk menjawab. Ayo, Zumrin, Tanggal berapakah KNIP dibentuk
…?”
Aji menjawab yakin, “17 Agustus 1945, Pak Guru!”
“Hahaha…” sontak tawa anak-anak kelas 3 meledak. Mereka menertawakan jawaban Zumrin yang
salah. Mendapat reaksi seperti itu, muka Zumrin langsung bersemu merah karena malu.
“Huu… sudah keras, salah pula!” cibir Dawi pedas.
“Sudah, sudah!” Pak Lababu mengetuk-ngetuk mejanya dengan keras. Murid-murid langsung hening.
Pak Lababu melanjutkan, “Sikap kalian tadi tidak baik. Kalau ada teman kalian yang salah menjawab,
jangan ditertawakan. Malah kalian harus menghargai keberaniannya untuk menjawab. Ingat, kalian
bisa belajar dari kesalahan orang lain maupun diri sendiri. Jadi mulai sekarang, kalian tidak boleh
mengejek usaha teman kalian. Oke?”
“Oke, Pak Guru…!” balas anak-anak kelas 3 serentak.
“Bagus!” Pak Lababu mengacungkan jempolnya. “Nah, sekarang kita lanjutkan kuisnya. Siapa yang
bisa menjawab pertanyaan tadi?”

“Jawabannya 18 Agustus 1945!” Dawi langsung berteriak.


Pak Lababu tersentak. Sejurus kemudian, ia tersenyum. Ia tidak ingin mengecewakan murid pintarnya
itu karena sudah menjawab pertanyaannya. “Kamu benar, Dawi!”
“Yes!” Dawi berseru senang. Wajahnya berbinar-binar karena ia berhasil menjawab pertanyaan Pak
Lababu. Ia tidak mempedulikan tatapan kesal teman-temannya.
Pak Lababu melihat jam di tangan kanannya. “Wah, waktunya tinggal satu jam.” Lalu ia menatap
murid-muridnya. ‘Itu artinya,sekarang waktunya untuk mengerjakan soal. Ya, kalian boleh kerjakan
sekarang.”
Murid-murid kelas 3 segera mengeluarkan buku tugas mereka. Menjawab soal adalah kebiasaan lain
yang diterapkan Pak Lababu. Melalui soal itu, murid-murid biasanya diminta untuk dapat menjawab
soal dengan benar agar dapat meraih nilai yang di inginkan . Setelah selesai dikerjakan, hasil
pekerjaan siswa dan siswi kelas 3 diletakkan di atas meja Pak Lababu. Sebelum jam pelajaran sejarah
selesai dan pak Lababu keluar dari kelas, dan soal tersebut akan dibahas dipertemuan pelajaran
sejarah selanjutnya

KRING! KRING! KRING! Bel waktu jam pulang berbunyi di seluruh penjuru sekolah.
“Sampai jumpa besok, Anak-anak!” Pak Lababu melambaikan tangannya.
Satu per satu anak menyalim tangan Pak Lababu dengan tertib. Dawi berdiri di depan Pak Lababu
sebelum dia keluar.
“Besok kita main kuis lagi, ya, Pak Guru?” pintanya.
“Insya Allah!” angguk Pak Lababu.

Keesokan harinya, Pak Lababu bertemu murid-murid kelas 3 lagi. “Bagaimana, apakah kalian siap
bermain kuis lagi?” tawar Pak Lababu .
Hampir sebagian murid langsung mengeluh dan hanya Dawi yang menyambut antusias. “Aku siap,
Pak Guru! Aku siap!”
Amal mengangkat tangannya. “Pak Guru, aku sih mau saja bermain kuis. Tapi Pak Guru harus adil,
ya. Murid di kelas ini kan bukan cuma satu orang,” Syiar melirik sinis ke arah Dawi.
“Aku tidak mau ikutan!” cetus Ucul sebal. “Bosan!”
Murid-murid lain ikut ribut menolak bermain kuis. Sementara Dawi berlagak tidak peduli. Pak Lababu,
mengangkat kedua tangannya untuk menenangkan suasana kelas. Murid-murid tenang seketika.

“Kita akan bermain kuis. Tapi… “ Pak Lababu menggantung kalimatnya.


“Tapi apa, Pak Guru?” tanya Zumrin penasaran.
Pak Lababu tersenyum. “Tapi maaf… “ Pak Lababu berdehem-dehem, “tenggorokan Pak Guru sedang
sakit, nih. Pak Guru sepertinya tidak bisa membacakan soalnya.”
“Yaah…” Dawi langsung patah semangat. “Jadi, kuisnya batal?”
“Tentu saja tidak,” jawab Pak Lababu. “Kita akan tetap bermain kuis. Tapi akan ada seseorang yang
menggantikan Pak Guru.”
“Siapa, Pak?” Dawi terbelalak ingin tahu.
Pak Lababu terdiam sesaat seraya tersenyum. Lalu ia menatap Dawi. “Kamu.”
Dawi terperangah. “Hah? Saya, Pak Guru?”
“Ya, kamu, Dawi. Ayo, maju ke sini. Anak-anak, berikan tepuk tangan yang meriah untuk pembawa
acara kuis kita yang baru: Dawi…!”
Tepuk tangan terdengar namun tidak terlalu kencang. Murid-murid nampaknya masih kesal dengan
Dawi. Sementara itu, Dawi maju ke depan kelas dengan perasaan aneh. Setibanya di depan meja
guru, Dawi langsung menerima potongan-potongan karton kecil berisi soal dan jawaban dari Pak
Lababu.

“Kenapa harus saya, Pak Guru?” tanya Dawi ragu-ragu.


“Karena Pak Guru yakin kamu bisa!” jawab Pak Lababu. Setelah itu, Pak Lababu menatap murid-
muridnya. “Dengarkan pertanyaannya baik-baik. Jika kalian tahu jawabannya, angkat tangan kalian
dan langsung jawab. Paham?”
“Paham, Pak Guru…” jawab murid-murid serempak.
“Soal pertama! Dawi?” Pak Lababu mempersilakan Dawi.

Dawi mulai membaca. “Kapan kita memperingati hari Sumpah Pemuda?”


Syiar segera mengangkat tangannya dan berteriak, “28 Oktober!”
“Benar!” seru Pak Lababu. Amal langsung berteriak gembira.

“Dalam kabinet pertama RI, siapakah menteri pengajaran ?” Dawi melanjutkan pertanyaannya.
Zumrin langsung berdiri dan berteriak, “Ki Hajar Dewantara!”
“Seratus buat Zumrin!” seru Pak Lababu.
“HOREEE…!” Zumrin menari-nari kegirangan. Murid-murid lain tertawa melihat tingkahnya. Ada juga
yang bertepuk tangan.

Dawi membaca lagi. “Tujuan pembentukan BKR…?”


“memelihara keamanan dan keselamatan rakyat. Jawab dua anak yang duduk di bangku belakang
Pak Lababu bertepuk tangan. “Jawaban kalian benar! Hebat!”

Suasana mulai menghangat. Dawi membaca soal berikutnya. “Letak markas besar TKR?”
Kelas mendadak senyap. Sepertinya tidak ada yang mengetahui jawaban pertanyaan itu. Syiar dan
Zumrin saling berpandangan. Sementara itu di depan kelas, Dawi geregetan. Ingin rasanya ia
memberikan jawaban pertanyaan itu.

“Dimana yah letak markas TKR? Ayo, siapa yang tahu?” Pak Lababu berusaha memancing jawaban
murid-muridnya.
Tiba-tiba tangan Ucul terangkat. “Letaknya…?” dia nampak ragu-ragu. “… Di Kota Yogyakarta?”
Pak Lababu spontan berteriak, “SERATUS UNTUK UCUL! JAWABANMU BENAR!”
Kelas langsung gegap gempita. Di bangkunya, Ucul langsung melompat dan memekik penuh suka
cita. Semangatnya mendadak muncul.

Selanjutnya kuis berjalan meriah. Dawi membaca soal penuh antusias. Murid-murid pun berlomba-
lomba menjawab pertanyaan. Beberapa di antara mereka malah ada yang berhasil menjawab dengan
benar lebih dari lima soal, termasuk Syiar. Anak itu terlihat sangat senang.
Tak lama kemudian kuis pun berakhir. Semua anak bertepuk tangan. Pak Lababu ikut larut dalam
kegembiraan itu.

“Anak-anak, hari ini Pak Guru senang sekali karena kalian bisa menjawab semua pertanyaan kuis
dengan baik. Kalian memang murid-murid yang hebat. Tetapi bukan hanya itu yang Pak Guru bangga.
Hari ini kalian bermain kuis tanpa mengejek atau menertawakan teman kalian yang salah menjawab.
Itu adalah sikap yang terpuji. Luar biasa! Pertahankan!”
Semua murid bertepuk tangan dan merasa senang dipuji Pak Lababu.

“Dawi, bagaimana pendapatmu tentang teman-temanmu? Bukankah mereka pintar karena berhasil
menjawab pertanyaan kuis tadi?”
Dawi mengangguk sambil tersenyum dipaksakan. Sebenarnya ia ingin ikut bermain. Ia sangat yakin
dapat menjawab seluruh soal tanpa menyisakan sedikit pun pada yang murid lain.
“Anak-anak, bagaimana menurut kalian tentang Dawi? Bukankah dia pembawa acara kuis yang cerdas
dan hebat?”
“Ya…!” seluruh murid sependapat dengan Pak Lababu. Kemudian tepuk tangan yang keras
membahana di ruangan itu.
“Hidup Dawi!” seru Syiar.
“Dawi hebat!” puji Zumrin.
“Jempoool…!” Ucul menunjukkan ibu jari kanannya kepada Erin.

Dawi terkesiap. Ia tidak menyangka mendapat sambutan seperti itu. Tiba-tiba saja ada perasaan aneh
menyeruak masuk ke dalam hatinya. Ya, Dawi mendadak merasa malu. Selama ini ia sering
meremehkan kemampuan teman-temannya. Ia merasa dirinya paling pintar daripada mereka.
Ternyata hari ini teman-teman Dawi mampu menunjukkan kemampuan terbaik mereka. Dawi merasa
tidak enak. Apalagi mereka menyanjungnya sebagai pembawa acara kuis yang baik.

“Baiklah, Anak-anak!” Pak Lababu menyudahi kegembiraan. “Waktu pelajaran kita hampir habis.
Kalian tahu kan apa yang sekarang harus dilakukan?’
“MENJAWAB SOAL…!” seru murid-murid kelas 3 kompak.
Pak Lababu terkekeh. “Hehehe… Pintar! Selamat bekerja!”
Kelas menjadi tenang. Murid-murid menjawab soal dengan semangat. Dari belakang mejanya, Pak
Lababu menatap mereka. Ia merasa bahagia melihat murid-muridnya yang cerdas dan antusias. Ia
juga merasa senang karena telah menemukan cara untuk menyelesaikan masalah Dawi dan teman-
temannya. Ide pura-pura sakit tenggorokan telah berhasil dilaksanakan. Dengan cara itu, Pak Lababu
dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak lain untuk menjawab kuis. Ia juga berharap Dawi
tidak lagi dimusuhi teman-temannya.

KRING! KRING! KRING! Bel waktu jam pulang berbunyi di seluruh penjuru sekolah.
“Sampai jumpa besok, Anak-anak!” Pak Lababu melambaikan tangannya.
Satu per satu anak menyalim tangan Pak Lababu dengan tertib. anak-anak berdiri di depan Pak
Lababu sebelum dia keluar.
“Besok kita main kuis lagi, ya, Pak Guru?” pinta anak-anak serentak
“Insya Allah!” angguk Pak Lababu.

Semenjak hari itu Dawipun semakin dekat dengan teman-teman kelas terutama dengan Syiar,Zumrin
dan Ucul. Mereka jadi sering jalan bareng, kekantin bareng dan pulang bareng.

Anda mungkin juga menyukai