“Indah, coba kamu maju ke depan dan kerjakan soal berikut ini?”
“Indah kan sudah bisa, Bu. Mengapa kok Indah lagi yang maju, Bu?”
Bu Guru yang mendengar bantahan halus dari seorang siswinya itu sontak terdiam namun tetap
tersenyum seraya melirik siswa lain yang kira-kira masih jarang untuk maju ke depan.
Indah memang demikian. Sebagai seorang siswi SMP kelas IX tingkahnya cukup nyeleneh.
Biarpun demikian, dia bukanlah siswa yang nakal. Remaja ini pun menghormati guru, bahkan ia
selalu mendapat peringkat 7 besar selama dua tahun terakhir.
Tapi, ya, karena satu tahun terakhir dia masuk kelas unggulan, sikapnya mulai berubah dan
sering menguji guru.
Tepatnya tiga bulan yang lalu, seorang mahasiswi yang sedang praktik mengajar dibikin
menangis oleh Indah. Sengaja ia lemparkan soal sulit untuk menguji kemampuan guru PPL.
“Coba Faris saja ya yang membantu Ibu mengerjakan soal di papan tulis. Hitung-hitung
menambah pahala ilmu. Hehe.”
Bu Guru tidak ambil pusing dengan sikap Indah. Ia tidak mau merusak konsentrasi siswa sekelas
hanya gara-gara ingin memojokkan Indah seorang. Sudah pasti nanti Indah akan ngelunjak dan
emosinya makin menjulang.
“Indah, hari ini Ibu minta tolong kamu yang mengerjakan soal berikut, ya. Soalnya tidak sulit,
kok. Kita mengulang materi sejenak. Agar apa yang kalian pelajari tetap berbekas di ingatan.”
“Yang lain saja ya, Bu. Indah tadi kan nilainya sudah dapat 100. Rasanya Indah sudah cukup
mengerti dengan materi pelajaran di papan tulis.”
“ Ya sudah, kali ini Ibu minta tolong kepada Alan untuk mengerjakan soal Matematika di papan
tulis. Tolong buatkan jalannya juga ya.”
Berbeda dengan Indah, Alan pun sontak langsung maju ke depan dengan ceria. Alasannya
sungguh bisa ditebak, bahwa soal di papan tulis sangatlah mudah. Bahkan, agaknya siswa
peringkat terakhir di kelas ini pun bisa mengerjakan soal tersebut dengan cepat.
Setelah soal di papan tulis dikerjakan dengan benar, Bu Guru pun mulai mengajukan pertanyaan
kepada siswa.
“Pernah, Bu.”
“Nah, cobalah kalian amati pedagang tersebut. Walaupun menjual mangga yang manis, para
pedagang tidak segan mengorbankan sebuah mangga untuk kemudian dicicipi oleh calon
pembeli. Apakah kalian tahu alasannya?”
“Demi bisa memastikan bahwa mangga tersebut benar-benar manis, iya kan, Bu?”
“Lho, tapi kan tadi pedagangnya sudah bilang bahwa mangganya manis?”
Anak-anak pun terdiam seraya mengangguk. Tanpa memberi penjelasan tambahan pun seisi
kelas sudah sangat mengerti bahwa manisnya sebuah mangga tidaklah cukup diwakili dengan
kata-kata. Harus ada pembuktian, yaitu dengan diuji.
“ Oke, anak-anak, jadi kalian sudah mengerti kan mengapa Ibu menguji kalian untuk
mengerjakan soal di papan tulis?”
“Mengerti, Bu.”
Termasuk Indah. Indah pun mulai menata kembali fokusnya pada kelas itu. Dirinya mulai
menerima penjelasan Bu Guru, tapi masih ada satu pertanyaan terbesar yang mengganjal hati.
“Begini, Bu. Ibu kan sudah tahu tentang jawaban benar maupun salah sebuah soal. Mengapa
tidak Ibu saja yang langsung memberitahu kami mana jawaban yang benar? Bukankah hal
tersebut lebih cepat dan simpel, Bu?”
Bu Guru pun tersenyum seraya menghela napas. Dalam hatinya, ada segenggam syukur dan
kesal yang saling berpadu. Bersyukur karena ada siswa yang aktif bertanya, namun sedikit kesal
gara-gara tingkah seorang siswa yang sangat aktif.
Pada akhirnya, ia memaklumi bahwa begitulah kegiatan belajar-mengajar. Mirip seperti desain
kehidupan yang diperankan oleh seluruh anggota kelas.
“Wah, bagus ini pertanyaannya. Baiklah, Indah, pertanyaannya mau Ibu jawab dengan panjang
atau singkat saja, nih?”
Para siswa pun berpikir sejenak, dan hanya butuh beberapa detik, Indah pun langsung
mengancungkan tangannya.
“Waduh. Pasti bosan si pekebun mangga karena makan mangga tiap hari. Bisa jadi mereka juga
akan mengalami kerugian.”
“Nah, betul sekali. Pas jawabannya. Anak-anak sekalian, Bu Guru maupun seluruh guru di dunia
ini tidak ada bedanya dengan pekebun mangga. Jika Ibu hanya memakan ilmu untuk diri Ibu
sendiri, maka sudah barang tentu diri ini akan mengalami kerugian tersebab sedikitnya memberi
manfaat kepada orang lain.”
Siswa seisi kelas pun sudah sangat mengerti dengan analogi inspiratif yang Bu Guru sampaikan.
Indah pula demikian. Seuntai tanyanya sudah dijawab tuntas oleh Bu Guru.
“O ya, anak-anak. Perlu kalian ketahui, Mustafa Kemal Ataturk dalam kutipannya mengatakan
bahwa guru itu laksana lilin yang rela membakar dirinya sendiri demi menerangi jalan orang
lain. Jadi, sampai di sini, adakah nanti dari kalian yang ingin menjadi guru seperti Ibu?”
Beberapa siswa pun mengancungkan tangan dengan bangga, karena ternyata cita-cta mereka
memang ingin menjadi seorang guru.
“Wah, kalau begitu, pada Hari Guru nanti kami perlu berusaha lebih dalam mengapresiasi dan
membahagiakan guru, bukan begitu, Bu?” tanya seorang siswa
“Salah, temanku. Mengapresiasi dan membahagiakan guru tidak perlu menunggu hingga Hari
Guru tiba, bahkan semestinya kita lakukan setiap hari,” tegas Indah
Bel pun berbunyi sebagai penanda usainya pelajaran di kelasnya Indah dan kawan-kawan.
Tampak seluruh siswa sudah lebih ceria dari sebelumnya, yang menandakan bahwa tidak ada
lagi kebingungan di antara mereka.
*TAMAT*