Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding
sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan
profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya ditemukan
juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan oleh delirium maupun gangguan
psikiatri mayor.
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas usia 65 tahun
dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih
banyak wanita dengan rasio 1,6.
Insiden demensia Alzheimer sangat berkaitan dengan umur, 5% dari
populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita
Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika
Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana
pada populasi berusia 80 tahun didapati 50% penderita AD.
Demensia merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Demesia Alzheimer dan demensia vaskuler adalah dua jenis demensia tersering
ditemukan. Demensia menyebabkan gangguan kognisi, perilaku dan aktivitas
fungsional keseharian dengan konsekuensi berat pada aspek fisik, mental,
psikososial baik pada pasien maupun keluarga dan masyarakat. Masa perawatan
demensia yang panjang menimbulkan beban kesehatan dan sosioekonomi yang
berat kepada pasien, keluarga, masyarakat dan negara secara keseluruhan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demensia


Demensia adalah suatu sindroma yang terdiri dari gejala-gejala gangguan
daya kognitif global yang tidak disertai gangguan derajat kesadaran, namun
bergandengan dengan perubahan tabiat yang dapat berkembang secara
mendadak atau sedikit demi sedikit pada tiap orang dari semua golongan usia (5).
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding
sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan
profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya ditemukan
juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan oleh delirium maupun gangguan
psikiatri mayor (4).

2.2 Epidemiologi
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas usia 65 tahun dengan
angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan
antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita
dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangat berkaitan dengan umur, 5%
dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita
Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika
Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana
pada populasi berusia 80 tahun didapati 50% penderita AD (6).
Konsensus Delphi mempublikasi bahwa terdapat peningkatan prevalensi
demensia sebanyak 10% dibandingkan dengan publikasi yang sebelumnya.
Diperkirakan terdapat 35,6 juta orang dengan demensia pada tahun 2010 dengan
peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun, menjadi 65,7 juta di tahun 2030 dan
115,4 juta di tahun 2050. Di Asia Tenggara jumlah orang dengan demensia
diperkirakan meningkat dari 2,48% di tahun 2010 menjadi 5,3% pada tahun 2030 .
(3)

2
Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia (laki-laki
dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2 tahun
pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Indonesia selama 25 tahun ke depan akan mengalami peningkatan dari
238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,8 juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk
berusia 65 tahun keatas akan meningkat dari 5,0% menjadi 10,8% pada tahun
2035.(1)

2.3 Klasifikasi Demensia


Demensia terbagi atas 2:
1. Menurut umur, terbagi atas:
a. Demensia senilis, onset > 65 tahun
b. Demensia presenilis, onset < 65 tahun
2. Demensia Reversible : daya kognitif global dan fungsi luhur terganggu oleh
karena metabolisme neuron-neuron kedua belah hemisferum tertekan atau
dilumpuhkan oleh berbagi sebab.
Demensia tak Reversible : kerusakan infrastruktur neuron-neuron kortikal
kedua belah hemisferum sehingga fungsi kortikal tidak akan pulih dan emensia
menetap.

Subtipe Demensia
1. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang
tersering ditemukan (60-80%). Karakteristik klinis berupa penurunan progresif
memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan
kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam
aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan memori episodik mendukung
diagnosis penyakit ini.
Penyakit ini mengenai terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat
ditemukan pada usia yang lebih muda. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan
akurat pada sebagian besar kasus (90%) walaupun diagnosis pasti tetap

3
membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak neuritik (deposit β-
amiloid40 dan β- amiloid42) serta neurofibrilary tangle (hyperphosphorylated
protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan pemeriksaan biomarka
pencitraan Magnetic Resonance Imaging (MRI) struktural dan fungsional serta
pemeriksaan cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi
diagnosis (4)

2. Demensia Vaskuler
Vascular Cognitive Impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat
defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai demensia
yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler (Ong dkk, 2015).Demensia
vaskuler adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas termasuk
infark tunggal, demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan,
gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan demensia tipe campuran (penyakit
Alzheimer dan stroke/lesi vaskuler).
Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian
aterosklerosis dan VaD. Faktor risiko vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke
akut yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya VaD. Cerebral Autosomal
Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and Leucoensefalopathy
(CADASIL), adalah bentuk small vessel disease usia dini dengan lesi iskemik
luas pada white matter dan stroke lakuner yang bersifat herediter (4)

3. Demensia Lewy Body dan Demensia Penyakit Parkinson


Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan.
Sekitar 15-25% dari kasus autopsi demensia menemui criteria demensia ini.
Gejala inti demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi
visual yang nyata dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan
Parkinsonism.
Gejala yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh berulang dan
sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi, dan atau halusinasi modalitas lain
yang sistematik. Juga terdapat tumpang tindih dengan temuan patologi antara

4
DLB dengan penyakit Alzheimer. Namun secara klinis orang dengan DLB
cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif dan visuospasial sedangkan
performa memori verbalnya relatif baik jika dibanding penyakit Alzheimer
yang terutama mengenai memor verbal (4)
Demensia Penyakit Parkinson/Parkinson Disease Dementia (PDD) adalah
bentuk demensia yang juga sering ditemukan. Prevalensi demensia pada
penyakit Parkinson 23-32% enam kali lipat dibanding populasi umum (3-4%).
Secara klinis, sulit membedakan antara DLB dan PDD. Pada DLB, awitan
demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada
PDD gangguan fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-
15 tahun) .

4. Demensia Frontotemporal
Demensia Frontotemporal/Frontotemporal Dementia (FTD) adalah jenis
tersering dari Demensia Lobus Frontotemporal/ Frontotemporal Lobar
Dementia (FTLD). Terjadi pada usia muda (early onset dementia/EOD)
sebelum umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52–56 tahun. Karakteristik
klinis berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi
atau riwayat penyakit.
Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun pertama) terjadi
perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan simpati/empati, perseverasi,
stereotipi atau perilaku kompulsif/ritual, hiperoralitas/perubahan diet dan
gangguan fungsi eksekutif tanpa gangguan memori dan visuospasial pada
pemeriksaan neuropsikologi (4)
Pada pemeriksaan Computed Tomography (CT) atau MRI ditemukan atrofi
lobus frontal dan atau anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau
hipometabolisme pada Single-photon Emmision Tomography (SPECT) atau
Positron Emission Tomography (PET). Dua jenis FTLD lain yaitu Demensia
Semantik dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran
disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya. Kejadian
FTD dan Demensia Semantik masing-masing adalah 40% dan kejadian PNFA

5
sebanyak 20% dari total FTLD (4)

5. Demensia Tipe Campuran


Koeksistensi patologi vaskular pada penyakit Alzheimer sering terjadi.
Dilaporkan sekitar 24-28% orang dengan penyakit Alzheimer dari klinik
demensia yang diautopsi. Pada umumnya pasien demensia tipe campuran ini
lebih tua dengan penyakit komorbid yang lebih sering. Patologi penyakit
Parkinson ditemukan pada 20% orang dengan penyakit Alzheimer dan 50%
orang dengan DLB memiliki patologi penyakit Alzheimer(4).

2.4 Tahapan Demensia


Stadium I / awal : Berlangsung 2-4 tahun dan disebut stadium amnestik
dengan gejala gangguan memori, berhitung dan aktivitas spontan menurun.
Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang
dialami, dan tidak menggangu aktivitas rutin dalam keluarga.
Stadium II / pertengahan : Berlangsung 2-10 tahun dan disebut fase
demensia. Gejalanya antara lain, disorientasi, gangguan bahasa (afasia).
Penderita mudah bingung, penurunan fungsi memori lebih berat sehingga
penderita tidak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, gangguan
kemampuan merawat diri yang sangat besar, gangguan siklus tidur, mulai
terjadi inkontinensia, tidak mengenal anggota keluarganya, tidak ingat sudah
melakukan suatu tindakan sehingga mengulanginya lagi. Dan ada gangguan
visuospasial yang menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungan
Stadium III / akhir : Berlangsung 6-12 tahun. Penderita menjadi vegetatif,
tidak bergerak dengan gangguan komunikasi yang parah (membisu),
ketidakmampuan untuk mengenali keluarga dan teman-teman, gangguan
mobilisasi dengan hilangnya kemampuan untuk berjalan, kaku otot, gangguan
siklus tidur-bangun, dengan peningkatan waktu tidur, tidak bisa mengendalikan
buang air besar atau kecil. Kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan orang
lain dan kematian terjadi akibat infeksi atau trauma (7).

6
2.5 Skrining dan Diagnosis
Skrining
Individu yang harus dievaluasi untuk demensia adalah individu dengan
keluhan kognitif yang progresif atau dengan perilaku yang sugestif suatu
demensia serta pasien yang walaupun belum memiliki keluhan subjektif, tetapi
pengasuh atau dokter mencurigainya sebagai suatu gangguan kognitif (4).
Saat ini sudah ada bukti yang cukup untuk skrining orang dengan
demensia pada usia lanjut. Atas dasar itu US Preventive Services Task Force
(USPSTF) dan UK National Institute for Health and Clinical and Health
Excellence merekomendasikan untuk menskrining demensia pada populasi (2).
Evaluasi demensia terutama ditujukan pada orang dengan kecurigaan
gangguan kognitif yaitu dalam keadaan sebagai berikut:
• Subjek dengan gangguan memori dan gangguan kognitif, baik yang
dilaporkan oleh pasien itu sendiri maupun oleh yang lainnya.
• Gejala pikun yang progresif.
• Subjek yang dicurigai memiliki gangguan perilaku saat dilakukan
pemeriksaan oleh dokter pada saat pemeriksaan, walaupun subjek tidak
mengeluhkan adanya keluhan kognitif atau memori.
• Subjek yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat keluarga
dengan demensia)

Diagnosis
Pada orang yang diduga memiliki gangguan kognitif, diagnosa harus
dibuat berdasarkan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders-IV (DSM-IV) untuk demensia dengan anamnesis yang didapatkan
dari sumber yang terpercaya. Hal ini harus didukung dengan penilaian objektif
melalui bedside cognitive tests dan/atau penilaian neuropsikologis
Pedoman DSM-IV sering digunakan sebagai gold standart untuk
diagnosis klinis demensia. Kriteria ini termasuk adanya gangguan kognitif
memori dan tidak adanya salah satu dari gangguan kognitif seperti afasia,

7
apraksia, agnosia dan gangguan fungsi eksekutif (4)
Tabel 1. Kriteria Klinis Diagnosis Demensia Berdasarkan DSM-IV

Dikutip dari: Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Panduan Nasional Praktik


Klinik. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta.2015

8
9
10
11
2.6 Tatalaksana Demensia

1. Nonfarmakologi
Tujuan terapi nonfarmakologi atau intervensi psikososial adalah
meningkatkan kualitas hidup orang dengan demensia. Tidak ada pendekatan
psikososial tunggal yang optimal, sehingga pendekatan multidimensial sangat
penting unntuk intervensi yang efektif. Beberapa pendekatan psikososial
seperti berikut :

a. Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap


memiliki orientasi seperti : Kalender besar, cahaya yang terang, jam dinding
dengan angka yang besar atau radio juga bisa membantu penderita tetap
memiliki orientasi.
b. Menyembunyikan kunci (kenderaan atau rumah) dan memasang detektor
pada pintu dapat membantu mencegah terjadinya kecelakaan pada penderita
yang suka berjalan-jalan.
c. Menjalani aktivitas harian secara rutin seperti mandi, makan dan tidur dapat
memberikan rasa teratur pada penderita.
d. Memarahi atau menghukum penderita sebaiknya tidak dilakukan karena
dapat memperburuk keadaan.

2. Farmakoterapi.
Terapi farmakologi harus sejalan dengan intervensi psikososial untuk
memperbaiki kognisi, fugsi dan perilaku. Setelah terapi dimulai, pasien harus
dinilai secara berkala setiap 6 bulan sekali. Penilaian dari keluarga terhadap
kondisi pasien baik sebelum dan sesudah mulai terapi harus diperhatikan.

a. Obat-obatan penguat kognisi seperti AchEI (Kolinesterase Inhibitor) pada


demensia Tipe Alzheimer , yaitu : Donezepil (5-10mg/hari), Rivastigmine
(1,5mg dosis awal), Galantamine, Memantine(5mg)

12
b. Demensia vaskuler membutuhkan obat-obat antiplatelet seperti : Aspirine,
Ticlopidine, Clopidogel
c. Terapi untuk Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia
membutuhkan terapi:
- antipsikotik : Risperidone(0,5-1mg/hari), quetiapine(25mg),
Olanzapin(10mg/hari)
- antidepresan : Selective Serotonine Reuptake Inhibitor, Tricyclic
Antidepressants.

13
14
BAB III
KESIMPULAN

Demensia menyebabkan gangguan kognisi, perilaku dan aktivitas


fungsional keseharian dengan konsekuensi berat pada aspek fisik, mental,
psikososial baik pada pasien maupun keluarga dan masyarakat . Masa
perawatan demensia yang panjang menimbulkan beban kesehatan dan
sosioekonomi yang berat kepada pasien, keluarga, masyarakat
Diagnosis dini sangat penting karena memungkinkan pemilihan terapi
farmakologi dan non-farmakologis yang tepat bagi orang dengan demensia dan
menghindari pemeriksaan yang tidak berguna. Disamping perawatan terhadap
pasien demensia, upaya meringankan beban pengasuh dan penerapan aspek
medikolegal harus menjadi prinsip penatalaksanaan demensia.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. BAPPENAS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Badan

Pusat Statistik Republik Indonesia. Jakarta.

2. Boustani, M., Peterson, B., Hanson, L., Harris, R., Lohr, K.N. 2003.
Screening for dementia in primary care: asummary of the evidence for the
U.S. Preventive Services Task Force. Ann Intern Med. 138(11):927-37.

3. Ferri, C.P., Prince, M., Brayne, C., Brodaty, H., Fratiglioni, L., Ganguli,
M., et al. 2005. Global prevalence of dementia: a Delphi consensus study.
Lancet. 366(9503):2112-7

4. Ong, P.A., Muis, A., Widjojo, F.S., Rambe, A., Laksmidewi, A.A.A.,
Pramono, A., et al. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia.
Panduan Nasional Praktik Klinik. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Jakarta.

5. Mardjono, M. 2009. Neurologi Klinis Dasar.Jakarta: Dian Rakyat


6. Shafira,I. 2016. Hubungan Gangguan Tidur dan Tekanan Darah Terhadap
Resiko Demensia. USU available at :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle
7. Stanley, M. 2007. Buku Ajar Gerontologi. Edisi dua. EGC. Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai