Anda di halaman 1dari 23

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Sistem Penyaliran Tambang

Penirisan adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mencegah, mengeringkan, atau
mengeluarkan air yang masuk dan menggenangi suatu daerah tertentu. Sedangkan
penirisan tambang adalah penirisan yang diterapkan pada suatu daerah penambangan yang
dilakukan untuk mencegah masuknya air atau untuk mengeluarkan air yang telah masuk dan
menggenangi daerah penambangan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi atau
mengganggu aktivitas penambangan, mempercepat kerusakan peralatan, dan akan
menambah kandungan air pada mineral atau batuan yang akan ditambang.
Air yang masuk ke dalam lokasi tambang terbuka sebagian besar berupa air
permukaan tanah yang berasal dari hujan. Hal ini tidak terlepas kaitannya dengan sirkulasi
air atau daur hidrologi. Daur hidrologi merupakan suatu daur atau siklus yang dialami oleh
air yang dalam prosesnya air akan mengalami perubahan bentuk dan tempat (Budiarto,
1997: 79-80).

Sumber : Seyhan, 1977: 9


Gambar 3. 1.
Diagram Disederhanakan dari Daur Hidrologi (Ward, 1967)

III-1
Penanganan masalah air dalam suatu tambang terbuka dapat dibedakan menjadi
dua yaitu:
1. Mine Drainage
Mine drainage merupakan upaya untuk mencegah masuknya air ke daerah
penambangan. Hal ini umumnya dilakukan untuk penanganan air tanah dan air yang
berasal dari sumber air permukaan. Beberapa metode penyaliran mine drainage :
a. Siemen Method
Ke dalam lubang bor dimasukkan casing yang bertujuan agar air mudah
masuk kedalam pipa. Kerugian cara in adalah banyak pipa yang digunakan dan
kedalaman lubang bor harus melebihi tinggi bench. Jadi biaya akan lebih besar
karena disamping biaya pipa juga biaya pemboran.

Sumber: Nurhakim, 2005 : 54


Gambar 3. 2.
Siemen Method
b. Small Pipe System With Vacuum Pump Drainage
Lubang bor dibuat dengan diameter 6 – 8 inch, lubang tidak diberi casing,
tetapi dimasukkan dengan pipa berdiameter 2 – 2,5 inch. Pasir dimasukkan sebagai
saringan sehingga yang masuk adalah material yang larut dalam air. Melalui small
pipe ini lubang bor dibuat vakum dengan menggunakan pompa.

Sumber: Nurhakim, 2005 : 55


Gambar 3. 3.
Small Pipe System With Vacuum Pump Drainage

III-2
c. Deep Well Pump Method
Metode Digunakan untuk material yang mempunyai permeabilitas rendah dan
bench yang tinggi. Lubang bor dibuat dengan diameter 6 inch, kemudian dipasang
casing. Pompa dimasukkan ke dalam lubang bor (submercible pump) yang
digerakkan dengan listrik. Pompa ini ada yang otomatis, jika tercelup ke dalam air,
maka mesin pompa akan hidup dengan sendirinya.

Sumber: Nurhakim, 2005: 55


Gambar 3. 4.
Deep Well Pump Method

d. Electro Osmosis Method


Apabila lapisan tanah terdiri dari tanah lempungan, maka pekerjaan
pemompaan akan sulit dilakukan karena adanya sifat kapiler yang terdapat pada
jenis tanah lempungan. Untuk mengatasi keadaan ini, maka digunakan cara electro
osmosis. Pada metode ini digunakan batang anoda dan katoda. Bila elemen-elemen
dialiri arus listrik, maka air (H 2O) akan terurai, H+ menuju ke katoda dan OH- ke
anoda. H+ pada katoda (di sumur besar) dinetralisir menjadi air dan terkumpul pada
sumur lalu dihisap dengan pompa.
(Nurhakim, 2005: 54-56).

Sumber: Nurhakim, 2005: 56


Gambar 3. 5.
Electro Osmosis Method

III-3
2. Mine Dewatering
Mine dewatering merupakan upaya untuk mengeluarkan air yang telah terlanjur
masuk ke dalam lokasi penggalian dapat dilakukan dengan dengan beberapa cara.
Beberapa cara atau metode penyaliran mine dewatering adalah sebagai berikut:
a. Sistem Kolam Terbuka
Sistem ini diterapkan untuk membuang air dari lokasi kerja penambangan
yang mempunyai bentuk seperti gambar 3.6. dan gambar 3.7. Air dipompa keluar dan
pemasangan jumlah pompa tergantung pada kedalaman pengggalian. Bisa satu unit,
dua unit atau beberapa unit. Kapasitas pompa harus disesuaikan dengan debit air
yang masuk ke daerah penambangan tersebut.

Sumber : Budiarto, 1997: 92.


Gambar 3. 6.
Penirisan Sistem Open Sump dengan Bak Tunda.

Sumber : Budiarto, 1997: 92.


Gambar 3. 7.
Penirisan Sistem Open Sump dengan Pompa Seri

b. Sistem Adit
Penirisan dengan menggunakan sistem adit dilakukan untuk tambang yang
bentuknya seperti pada gambar 3.8. yaitu tambang terbuka dengan sistem open cut
yang mempunyai jenjang majemuk (multiple benches). Di setiap jenjang dibuat adit
dan dari adit ini air buangan diteruskan ke shaft dan dari shaft dialirkan lagi ke adit
akhir di bagian bawah, kemudian langsung dibuang ke luar.

III-4
Sumber : Budiarto, 1997: 92.
Gambar 3. 8.
Penirisan Sistem Adit
c. Cara Paritan
Dibandingkan dengan metode penirisan lainnya, cara ini adalah yang paling
mudah. Beberapa lubang paritan dibuat pada lahan penambangan guna menampung
aliran air limpasan (run off), sehingga tidak mengganggu pekerjaan penambangan.
(Budiarto, 1997: 91-94).

3.2. Aliran Air Permukaan

Air limpasan permukaan (run off water) adalah air hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah. Air limpasan ini secara garis besar dipengaruhi oleh elemen-elemen
meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan elemen-elemen daerah pengaliran yang
menyatakan sifat-sifat fisik dari daerah pengaliran (Budiarto, 1997 : 81).
3.2.1. Pengukuran Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air hujan yang jatuh pada satu satuan luas dan
dinyatakan dengan satuan mm. Curah hujan diukur dengan alat penakar hujan yang terdiri
dari alat penakar hujan biasa dan alat penakar hujan otomatis. Berdasarkan Standard World
Meteorogical Organization, jarak meletakan alat penakar hujan adalah :

D > 4H pers. (3.1)

Keterangan :
H = tinggi pohon/ bangunan (m)
D = jarak dengan alat penakar hujan (m)
(Budiarto, 1997 : 21).
Ada tiga macam cara yang umum dipakai dalam menghitung curah hujan rata-rata
kawasan, yaitu :
a. Metode Rata-Rata Aljabar

III-5
Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh
yang setara. Hujan kawasan diperoleh dari persamaan :

P1 + P2+ P3+ …+ Pn i=1


∑ Pi pers. (3.2)
P= =
n n

Keterangan :
P1, P2,...,Pn = curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan
n = banyaknya pos penakar hujan

b. Metode Poligon Thiessen


Metode ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk
mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Hujan rata-rata dihitung dengan persamaan
berikut :

P A + P A + P A +…+ Pn A n i=1
∑ Pi Ai
P= 1 1 2 2 3 3 = n pers. (3.3)
A1 + A2 + A3 + …+ A n
∑ Ai
i=1

Keterangan :
P1,P2,...,Pn = curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,2,..,n
A1,A2,...,An = luas areal poligon 1,2,...,n
n = banyaknya pos penakar hujan
c. Metode Isohyet
Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Hujan
rata-rata didapatkan dari persamaan berikut :

P=
A1 ( 2 ) (
P 1 + P2
+ A2
2 )
P 2+ P 3
(
+ … ..+ A n−1
P n−1 + Pn
2 )
A 1 + A 2 +… ..+ A n−1
pers. (3.4)

Keterangan :
P1,P2,...,Pn = curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1,2,..,n
A1,A2,...,An = luas areal poligon 1,2,...,n
n = banyaknya pos penakar hujan

III-6
(Suripin, 2003 : 27-30).
Data curah hujan yang diperoleh dari stasiun pengamat hujan merupakan besarnya
curah hujan harian maksimum yang terjadi selama selama satu tahun dan dinyatakan
dengan satuan mm/hari (Budiarto, 1997 : 24).
3.2.2. Analisis Periode Ulang Hujan
Sistem hidrologi kadang-kadang di pengaruhi oleh peristiwa – peristiwa yang luar
biasa, seperti hujan lebat, banjir dan kekeringan. Besaran peristiwa ekstrim berbanding
terbalik dengan frekuensi kejadiannya, peristiwa yang luar biasa ekstrim kejadiannya sangat
langka (Suripin, 2003 : 32).
Periode ulang hujan adalah jangka waktu suatu hujan dengan tinggi intensitas yang
sama atau lebih besar kemungkinan dapat terjadi lagi. Tujuan analisis periode ulang hujan
adalah menentukan besaran peristiwa-peristiwa ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi
kejadiannya melalui penerapan distribusi kemungkinan. Penentuan periode ulang hujan
untuk perencanaan sarana penyaliran tambang dapat dilakukan berdasarkan harga acuan
periode ulang. Harga acuan ulang hujan adalah 10-25 tahun.
Analisis periode ulang hujan ini didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang
telah lalu untuk memperoleh probabilitas besaran hujan dimasa yang akan datang. Dengan
anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan sifat
statistik kejadian hujan masa lalu.
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis
distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi adalah :
a. Distribusi Normal
Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Merupakan fungsi
densitas peluang normal (PDF = probability density function) yang paling dikenal yaitu
bentuk bell dan disebut sebagai distribusi normal. Distribusi ini mempunyai rumus :

XT =X + KT . S pers. (3.5)

Keterangan :
XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T
X = Nilai rata-rata hitung variat
S = Deviasi standar variat
KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang periode ulang dan tipe model
matematik distribusi peluang yang digunakan.
Nilai faktor frekuensi KT umumnya sudah tersedia dalam tabel untuk mempermudah
perhitungan, yang umum disebut sebagai tabel nilai variable reduksi Gauss (variable

III-7
reduce Gauss). Tabel variabel reduksi Gauss dapat dilihat pada Lampiran A (Suripin,
2003 : 35-37).
b. Distribusi Log Normal
Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan mengikuti
distribusi Log Normal. Distribusi ini mempunyai rumus :

YT =Y + KT . S pers. (3.6)

Keterangan :
YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T
Y = Nilai rata-rata hitung variat
S = Deviasi standar nilai variat
KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe
model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.

c. Distribusi Log Person Type III


Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkirakan mengikuti distribusi sudah
dikonversi dalam bentuk logaritmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak cukup
kuat untuk menjustifikasi pemakaian distribusi Log Normal. Salah satu distribusi dari
serangkaian distribusi yang dikembangkan Person yang menjadi perhatian ahli
sumberdaya air adalah Log-Person Type III. Distribusi probabilitas ini hampir tidak
berbasis teori dan masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya. Berikut ini langkah-langah
penggunaan distribusi Log Person Type III :
1) Ubah data dalam bentuk logaritmis

X =log X pers. (3.7)

2) Hitung harga rata-rata


n

∑ log X i pers. (3.8)


i=1
log X =
n

3) Hitung harga Standar Deviasi X

III-8
√∑
n
S= ¿¿ ¿ ¿ pers. (3.9)
i=1

4) Hitung koefisien kemencengan


n
g=n ∑ ¿ ¿ ¿ pers. (3.10)
i=1

5) Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan rumus :

log XT =log X + K . SD pers. (3.11)

Keterangan :
Log XT = Curah hujan maksimum dalam PUH (mm/24jam)
Log X = Rata – rata x
S = Deviasi Standar
K = Variabel standar Dimana K adalah variabel standar (standardized variable)
atau umum disebut juga Koefisien Skewness untuk X yang besarnya
tergantung koefisien kemencengan (g).
(Suripin, 2003, 41-42).

d. Distribusi Gumbel
Metode Distribusi Gumbel adalah suatu metode yang didasarkan atas distribusi harga
ekstrim. Gumbel beranggapan bahwa distribusi variabel-variabel hidrologis tidak
terbatas, sehingga harus digunakan distribusi dari harga-harga yang terbesar atau harga
maksimal.
1) Tentukan rata-rata Curah Hujan (X) maksimum dengan rumus :

X=
∑ CH pers. (3.12)
∑n
2) Tentukan Standar Deviasi, dengan rumus :

S= √∑ ¿¿ ¿ ¿ pers. (3.13)

3) Tentukan Koreksi Variansi, dengan rumus :

Yt =−¿ −¿ (
[ T −1
T ]
) pers. (3.14)

III-9
4) Tentukan Koreksi Rata-Rata dengan rumus :

Yn=−¿ −¿(
[ n+1−m
n+1
)
] pers. (3.15)

Rata-rata Yn (YN),

YN=
∑ Yn pers. (3.16)
N

5) Tentukan Koreksi Simpangan dengan rumus :

Sn=√ ∑ ¿ ¿ ¿ ¿ pers. (3.17)

6) Tentukan Curah Hujan Renana dengan rumus :

S
CHR=X + (Yt−YN ) pers. (3.18)
Sn

Keterangan :
CH = Curah Hujan
T = Periode ulang
n = Jumlah Data
m = Urutan data (1,2,3,…)
Xi = Nilai Variat
YN = Nilai rata-rata Yn
(Suwandhi, 2004 : 9).
3.2.3. Uji Chi Kuadrat
Chi Kuadrat adalah suatu teknik statistik yang memungkinkan penyelidik menilai
probabilitas memperoleh perbedaan frekuensi yang nyata (yang diobservasi) dengan
frekuensi yang diharapkan dalam kategori-kategori tertentu sebagai akibat dari kesalahan
sampling (Hadi, 2001 : 315).
Uji chi kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah metode yang digunakan
dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisa. Pengambilan keputusan ini
menggunakan parameter X2 karena itu disebut uji chi kuadrat (Suripin, 2003 : 57).
Formulasi rumusan dasar untuk uji chi kuadrat, yang juga dipakai sebagai alat
estimasi adalah sebagai berikut :

k
X 2 =∑ ¿ ¿ ¿ pers. (3.19)
e=1

III-10
Keterangan :
X2 = Chi kuadrat
fo = Frekuensi hasil observasi dari sampel penelitian
fe = Frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian
(Soepeno, 1997 : 103).
Parameter X2 merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai X2 sama atau
lebih besar dari nilai chi kuadrat yang diharapkan dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3. 1. Nilai-Nilai Chi Kuadrat
Taraf Signifikansi
dk
50% 30% 20% 10% 5% 1%
1 0,455 1,074 1,642 2,706 3,481 6,635
2 0,139 2,408 3,219 3,605 5,591 9,210
3 2,336 3,665 4,642 6,251 7,815 11,341
4 3,357 4,878 5,989 7,779 9,488 13,277
5 4,351 6,064 7,289 9,236 11,070 15,086
6 5,348 7,231 8,558 10,645 12,592 16,812
7 6,346 8,383 9,803 12,017 14,017 18,475
8 7,344 9,524 11,030 13,362 15,507 20,090
9 8,343 10,656 12,242 14,684 16,919 21,666
10 9,342 11,781 13,442 15,987 18,307 23,209
11 10,341 12,899 14,631 17,275 19,675 24,725
12 11,340 14,011 15,812 18,549 21,026 26,217
13 12,340 15,19 16,985 19,812 22,368 27,688
14 13,332 16,222 18,151 21,064 23,685 29,141
15 14,339 17,322 19,311 22,307 24,996 30,576
16 15,338 18,418 20,465 23,542 26,296 32,000
17 16,337 19,511 21,615 24,785 27,587 33,409
18 17,338 20,601 22,760 26,028 28,869 34,805
19 18,338 21,689 23,900 27,271 30,144 36,191
20 19,337 22,775 25,038 28,514 31,410 37,566
21 20,337 23,858 26,171 29,615 32,671 38,932
22 21,337 24,939 27,301 30,813 33,924 40,289
23 22,337 26,018 28,429 32,007 35,172 41,638
24 23,337 27,096 29,553 33,194 35,415 42,980
Taraf Signifikansi
dk
50% 30% 20% 10% 5% 1%
25 24,337 28,172 30,675 34,382 37,652 44,314
26 25,336 29,246 31,795 35,563 38,885 45,642
27 26,336 30,319 32,912 36,741 40,113 46,963
28 27,336 31,391 34,027 37,916 41,337 48,278
29 28,336 32,461 35,139 39,087 42,557 49,588
30 29,336 33,530 36,250 40,256 43,775 50,892

*Sumber : Hadi, 2001 : 361.


Prosedur uji chi kuadrat adalah sebagai berikut :
a. Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya),
b. Kelompokkan data menjadi k sub-grup yang masing-masing beranggotakan minimal 4
data pengamatan,
c. Jumlahkan data pengamatan sebesar fo tiap-tiap sub-grup,
d. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar fe,

III-11
e. Pada tiap sub-grup hitung nilai:

¿ pers. (3.20)

¿¿ pers. (3.21)

f. Jumlah seluruh k sub-grup nilai untuk menentukan nilai chi kuadrat hitung,
g. Tentukan derajat kebebasan,

dk =k −R−1 pers. (3.22)

(nilai R = 2 untuk distribusi normal dan binomial), k adalah banyak kelas.


(Suripin, 2003 : 58).
Interpretasi hasil uji chi kuadrat adalah sebagai berikut :
a. Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat
diterima.
b. Apabila peluang kurang dari 1 %, maka persamaan distribusi yang digunakan tidak dapat
diterima.
c. Apabila peluang berada diantara 1 % - 5 %, maka tidak mungkin mengambil keputusan,
misal perlu data tambahan.
Dari hasil akhir perhitungan distribusi frekuensi diperoleh suatu debit rencana, yang
kemudian debit ini bisa dipakai dalam perencanaan penyaliran (Suwandhi, 2004 : 9).
3.2.4. Analisis Intensitas Hujan
Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan per satuan waktu tertentu dan
dinyatakan dengan satuan mm/jam. Dengan kata lain bahwa intensitas curah hujan
menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka pendek yang memberikan gambaran
derasnya hujan perjam. Untuk mengelola data curah hujan menjadi intensitas hujan di
gunakan cara statistik dari data pengamatan curah hujan yang terjadi (Suripin, 2003 : 23-68).
Panjang waktu di mana hujan turun disebut dengan durasi hujan. Bila tidak dijumpai
data untuk setiap durasi hujan, maka diperlukan pendekatan secara empiris dengan
berpedoman kepada durasi 60 menit (1 jam) dan pada curah hujan harian maksimum yang
terjadi setiap tahun. Cara lain yang lazim digunakan adalah dengan mengambil pola
intensitas hujan untuk kota lain yang mempunyai kondisi yang hampir sama.
Jika data curah hujan yang digunakan adalah curah hujan harian, maka intensitas
hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe, yaitu :

R 24
I= ¿ pers. (3.23)
24

Keterangan:
R24 = Curah hujan maksimum harian (mm/hari)

III-12
t = Lamanya hujan (jam)
I = Intensitas hujan (mm/jam)
Hubungan antara derajat curah hujan dan intensitas curah hujan dapat dilihat dalam
tabel 3.2.
Tabel 3. 2. Hubungan Antara Derajat Curah Hujan dan Intensitas Hujan
Derajat Hujan Intensitas Hujan
Kondisi
(mm/menit)
Hujan lemah 0,02 – 0,05 Tanah basah semua.
Hujan normal 0,05 – 0,25 Bunyi hujan terdengar.
Air tergenang diseluruh
Hujan deras 0,25 – 1,00 permukaan dan terdengar
bunyi dari genangan.
Hujan seperti
Hujan sangat deras > 1,00 ditumpahkan, saluran
pengairan meluap.
*Sumber : Sayoga, 1993 dalam Suwandhi, 2004 : 10.
3.2.5. Catchment Area
Catchment area merupakan suatu areal atau daerah tangkapan hujan dimana batas
wilayah tangkapannya ditentukan dari titik-titik elevasi tertinggi sehingga akhirnya
merupakan suatu poligon tertutup yang mana polanya disesuikan dengan kondisi topografi,
dengan mengikuti kecenderungan arah gerak air (Suwandhi, 2004 : 9).
Dengan pembatasan catchment area maka diperkirakan setiap debit hujan yang
tertangkap akan terkonsentrasi pada elevasi terendah pada catchment tersebut.
Pembatasan catchment area biasa dilakukan pada peta topografi dan untuk perencanaan
sistem penyaliran dianjurkan dengan menggunakan peta rencana penambangan dan peta
situasi tambang.

3.2.6. Debit Limpasan


Hujan yang terjadi mengakibatkan adanya air hujan yang kemungkinan sebagian
besar menggenang dan mengalir di permukaan tanah (run off) dan sebagian kecil meresap
kedalam lapisan tanah (infiltrasi). Debit aliran maksimum dianalisis berdasarkan metode
Rasional USSCS (1973) berikut ini :

Q=0,002778 x C x A x I pers. (3.24)

Keterangan :
Q = Debit (m3/detik)
C = Koefisien Limpasan
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas daerah aliran (ha)
(Suripin, 2003 :79).

III-13
Koefisien limpasan (C) merupakan parameter yang menggambarkan hubungan
curah hujan dan limpasan. Beberapa perkiraan koefisien limpasan ditampilkan dalam Tabel
3.3.
Tabel 3. 3. Koefisien Limpasan
Kemiringan Tutupan/ jenis lahan C
Sawah, rawa 0,2
< 3 % (datar) Hutan, perkebunan 0,3
Perumahan 0,4
Hutan, perkebunan 0,4
3 % - 15 % (sedang) Perumahan 0,5
Semak-semak agak jarang 0,6
Lahan terbuka 0,7
Hutan 0,6
> 15 % (curam) Perumahan 0,7
Semak-semak agak jarang 0,8
Lahan terbuka daerah tambang 0,9
*Sumber : Sayoga, 1993 dalam Suwandhi, 2004 : 10.

3.3. Permeabilitas Tanah

Permeabilitas tanah merupakan sifat bahan berpori yang memungkinkan aliran


rembesan dari cairan yang berupa air mengalir melewati rongga pori yang menyebabkan
tanah bersifat permeable. Permeabilitas tanah dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu besar
kecilnya ukuran pori-pori tanah, gradasi tanah (pembagian dan ukuran butir-butir tanah) dan
kepadatannya, kadar air yaitu berat jenis dan kekentalannya dan kadar udara diantara butir-
butir padat (Budiarto, 1997 : 112 - 133).
Tanah permeable disebut tanah yang mudah dilalui oleh air, sedangkan tanah
impermeable adalah tanah yang sulit dilalui oleh air. Contoh tanah yang permeable adalah
tanah pasir dan kerikil, oleh karena itu jenis tanah ini sangat cocok sekali untuk sistem
drainase pipa dibawah muka tanah. Contoh tanah impermeable adalah tanah lempung
murni, sehingga dihindari untuk penggunaan pada sistem drainase pipa. Hubungan antara
nilai permeabilitas tanah dengan cara penyaliran dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3. 4. Hubungan Permeabilitas dengan Cara Penyaliran
Jenis Tanah*) Permeabilitas**) Cara Penyaliran
Pasir, Kerikil 10-1 Tinggi Tunnel dan Open Sump
Pasir + Lempung
10-1 – 10-3 Sedang Open Sump, Siemens
Lempung tidak kompak
Small pipe, deep well
Lempung kompak Silt 10-3 – 10-5 Rendah
pump
10-5 – 10-7 Sangat
Silt yang halus Electro osmosis
rendah
Kohesif material 10-7 Tidak dapat dipompa
*Sumber : Nurhakim, 2005 : 56.
*) : menunjukkan ukuran butir (grain size)
**) : satuan dalam cm3/detik

III-14
3.4. Total Suspended Solid (TSS)

TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang
tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganik yang dapat disaring
dengan kertas millipore berpori-pori 0,45 μm. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak
buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air,
kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme
produser (Chanlett, 1979). Semakin ke hilir maka akan semakin besar jumlah angkutan
padatan yang terkandung, hal ini disebabkan karena aliran air dapat menggerus dan
membawa lapisan atas tanah yang dilewatinya. Selain itu kecepatan juga semakin
berkurang yang mana diakibatkan semakin banyak jumlah sedimen yang terangkut (Linsley,
1989 : 300-316).
TSS dapat diukur dengan menggunakan Metode Gravimetri. Caranya adalah ambil
sampel air pada beberapa stasiun pengamatan yang telah ditentukan dengan menggunakan
botol sampel pada lapisan permukaan (0 m). Sampel air diambil sebanyak 1 liter setiap
stasiun dan disaring dengan menggunakan kertas saring. Kertas saring sebelum digunakan
terlebih dahulu dipanaskan dalam oven pada suhu 80 °C selama 24 jam, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai berat konstan. Selanjutnya kertas saring
yang telah digunakan dan berisi residu dipanaskan seperti di atas, dan ditimbang. Selisih
antara berat kertas saring dengan residu terhadap berat kertas saring tanpa residu
merupakan kandungan total zat padat tersuspensi.
Berdasarkan analisa diatas, ditentukan TSS menggunakan persamaan:

( A−C)
TSS= pers. (3.25)
B

Keterangan :
TSS = berat sedimen tersuspensi (mg/L)
A = berat kering akhir saringan dalam (mg)
B = berat kering awal saringan dalam (mg)
C = volume air yang disaring (L)
Laju pengendapan dapat diprediksi dengan menggunakan persamaan debit sedimen
Qs (gram/dtk), adapun persamaan umum hubungan keeratan antara Q dan Qs :

Qs=Qw x Cs pers. (3.26)

Keterangan:
Qs = debit sedimen (gram/dtk)
Qw = debit limpasan (m3/dtk)
Cs = konsentrasi sedimen (mg/liter)

III-15
(Gregory and Walling, 1976 dalam Raharjo, 2009).
Manfaat perhitungan total suspensed solid pada kolam penampungan air adalah
menghitung jumlah lumpur yang terangkut dan mengendap di dasar kolam yang dapat
menyebabkan pendangkalan kolam. Untuk selanjutnya dapat diperkirakan waktu
pengerukan untuk kolam tersebut.

3.5. Rancangan Desain Sump

Pembuatan sump di daerah penambangan adalah untuk menampung limpasan air


tambang yang terdapat di lokasi penggalian sebelum air itu dipompakan. Dalam
perancangan dimensi sump untuk tambang terbuka ada beberapa faktor yang berpengaruh,
faktor – faktor tersebut antara lain debit air yang akan ditampung sump, permeabilitas tanah,
waktu pengaliran, lebar sump itu sendiri dan masih banyak faktor-faktor lainnya sehingga
untuk memudahkan perhitungan maka perancangan sump ini menggunakan analisis
perbandingan volume air yang dapat ditampung sump dan debit aliran air yang masuk ke
sump. Bentuk sump yang dianjurkan untuk lokasi penambangan adalah profil trapesium dan
dapat dilihat pada Gambar 3.7 (Budiarto, 1997 : 79-96).
Untuk menghitung volume air yang dapat ditampung sump dapat menggunakan
rumus luas trapesium dikalikan lebar sump sebagai berikut :

Volume Sump= ( 12 x ( t+b ) xd ) xL pers. (3.27)

Keterangan:
t = Panjang permukaan sump (m)
b = Panjang dasar sump (m)
d = Tinggi sump/kedalaman sump (m)
L = Lebar permukaan sump (m)
e = Lebar jenjang karena adanya slope (m)
(Negoro dkk, 2001 : 32).

III-16
*Sumber : Suyono dan Sasateru, 1994 : 210
Gambar 3. 9. Penampang Melintang Sump Profil Trapesium
Sistem kolam terbuka (open sump) diterapkan untuk membuang air dari lokasi kerja
penambangan. Air dipompa keluar dan pemasangan jumlah pompa tergantung pada
kedalaman penggalian. Bisa satu unit, dua unit atau beberapa unit. Jika beda tinggi melebihi
kemampuan tinggi isap pompa maka dapat dibuat sump tunda. Kapasitas pompa harus
disesuaikan dengan debit air yang masuk ke daerah penambangan tersebut, tetapi
resikonya pompa harus dihidupkan secara terus-menerus. Apabila kapasitas pompa yang
digunakan lebih besar dari debit maka penggunaan pompa bisa secara periodik. (Budiarto,
1997 : 91-92).

3.6. Sistem Pemompaan

Dalam sistem penyaliran tambang, pompa air diperlukan untuk mengeluarkan air dari
sump. Letak pompa air biasanya satu meter di atas dasar galian, sedangkan lubang sump
diperkuat dengan material kayu, semen, batu dan lain-lain agar tidak mudah longsor. Pada
dasar sumur biasanya diberi hamparan batu kerikil setebal + 0,50 meter. Ukuran dari lubang
sump tergantung pada perkiraan maksimum inflow, lamanya waktu pengisian air serta
kapasitas pompa yang dipergunakan. Pada sump semi permanen, pompa air diletakkan
pada platform khusus ataupun diatas ponton (Budiarto, 1997 : 96-97).
3.6.1. Debit Pompa
Untuk memperkirakan debit pemompaan dihitung dengan Metode Discharge.
Langkah kerja metode ini yaitu buat alat ukur berbentuk “L” seperti terlihat pada Gambar 3.8.
Sisi yang pendek berukuran 4 inchi dan sisi yang lebih panjang merupakan panjang
kekuatan air (X) dinyatakan dalam satuan mm. Ketika air mengalir keluar dari pipa, letakan
sisi L yang panjang pada bagian atas pipa yang ditentukan pada saat sisi yang pendek
menyentuh aliran air seperti yang terlihat pada gambar. Kemudian catat panjang X. Tabel
3.6 menampilkan hubungan antara panjang X dan diameter pipa (d) yang menentukan besar
debit pompa.

III-17
*Sumber : Cassidy, 1973 : 176.
Gambar 3. 10. Pengukuran Debit Pompa dengan Metode Discharge
Tabel 3. 5. Pengukuran Debit Pompa Berdasarkan Panjang "X" dengan Panjang Sisi
Pendek Alat Ukur 4 Inchi
Debit Pompa (Gpm)
Panjang
Diameter Pipa (inchi)
X (inchi)
1 1¼ 1½ 2 2½ 3 4 5 6 8 10 12
31, 83,
4 5,7 9,8 13,3 22,0 48,5
3 5
12, 39,
5 7,1 16,6 27,5 61,0 104 163
2 0
14, 47,
6 8,5 20,0 33,0 73,0 125 195 285
7 0
17, 55,
7 10,0 23,2 38,5 85,0 146 228 334 580
1 0
19, 62,
8 11,3 26,5 44,0 97,5 166 260 380 665 1060
6 5
22, 70,
9 12,8 29,8 49,5 110 187 293 430 750 1190 1660
0 0
24, 78,
10 14,2 33,2 55,5 122 208 326 476 830 1330 1850
5 2
27, 86,
11 15,6 36,5 60,5 134 229 360 525 915 1460 2200
0 0
29, 94,
12 17,0 40,0 66,0 146 250 390 570 1000 1600 2220
0 0
31,
13 18,5 43,0 71,5 102 158 270 425 620 1080 1730 2400
5
34,
14 20,0 46,5 77,0 109 170 292 456 670 1160 1860 2590
0
36,
15 21,3 50,0 82,5 117 183 312 490 710 1250 2000 2780
3
39,
16 22,7 53,0 88,0 125 196 334 520 760 1330 2120 2960
0
41,
17 56,5 93,0 133 207 355 550 810 1410 2260 3140
5
18 60,0 99,0 144 220 375 590 860 1500 2390 3330
19 110 148 232 395 620 910 1580 2520 3500
20 156 244 415 650 950 1660 2660 3700
21 256 435 685 1000 1750 2800
22 460 720 1050 1830 2920
23 750 1100 1910 3060
24 1140 2000 3200
*Sumber : Cassidy, 1974-175.

III-18
Dalam perkembangan metode discharge, dilakukan modifikasi pada alat ukur yang
digunakan yaitu dengan mengubah panjang sisi yang pendek menjadi 300 mm. Cara
pengukuran debit sama dengan apabila menggunakan alat ukur dengan sisi pendek 4 inchi.
Nilai pengukuran debit pompa menggunakan alat ukur dengan panjang sisi yang pendek 300
mm ditampilkan pada Tabel 3.7.

Tabel 3. 6. Pengukuran Debit Pompa Berdasarkan Panjang "X" dengan Panjang Sisi
Pendek Alat Ukur 300 mm
X D = 150 mm D = 200 mm d = 250 mm d = 300 mm
(mm) Ltr/ dtk m3/ jam Ltr/ dtk m3/ jam Ltr/ dtk m3/ jam Ltr/ dtk m3/ jam
300 22 80 39 139 61 218 87 313
350 26 93 45 162 71 255 101 364
400 30 107 51 185 81 291 116 418
450 33 120 58 208 91 327 128 461
500 36 131 64 231 101 364 145 522
550 40 144 71 254 111 400 159 572
600 45 160 77 278 121 436 174 626
650 48 173 83 300 131 472 188 677
700 52 186 90 324 141 508 202 727
750 56 200 96 347 151 544 216 778
800 59 213 103 369 162 582 232 835
850 63 226 109 392 172 618 244 878
900 67 240 115 415 182 654 256 922
950 70 251 122 439 192 690 273 983
1000 73 262 128 462 202 727 290 1.044
1050 77 275 135 485 212 763 304 1.094
1100 80 289 141 508 222 799 318 1.145
1150 85 305 148 532 232 835 333 1.199
1200 89 320 154 555 242 871 348 1.253
1250 93 333 161 578 252 907 362 1.303
1300 96 346 167 600 262 943 376 1.354
*Sumber: Wahdiana, 2011: 3.24
3.6.2. Head Total Pompa Pompa
Total dynamic head adalah energi per satuan berat yang harus disediakan untuk
memindahkan air dari sump ke permukaan, yang umumnya dinyatakan dalam satuan
panjang. Head total pompa dirumuskan :

( )( )
2 2
PB −P A V B−V A
H= + + ( Z B + Z A ) + ∑ Mayor+ ∑ Minor pers. (3.28)
γ 2g
Keterangan:
H = Head total pompa

( P −P
γ )
B A
= Head pompa karena perbedaan tekanan pada sisi isap dan sisi buang

( )
2 2
V B −V A
= Head yang diakibatkan karena perbedaan kecepatan air
2g

III-19
( Z B−Z A ) = Head statik dari permukaan air sampai permukaan buang

∑ Mayor = Kerugian energi sepanjang saluran pipa

∑ Minor = Kerugian head pada fitting dan valve yang terdapat sepanjang sistem
perpipaan

a. Kerugian Mayor
Mayor losses untuk menentukan kerugian gesek sepanjang pipa dapat dihitung
dengan menggunakan rumus :

2
L V
h f =f pers. (3.29)
D 2. g

Angka koefisien gesekan f dicari dengan menggunakan persamaan:


1 3,7 D
=2 log
√f k pers. (3.30)
Keterangan:
hf = Mayor losses (m)
f = Koefisien gesek pipa
k = Koefisien kekasaran pipa (m)
L = Panjang pipa (m)
D = Diameter dalam pipa (m)
v = Kecepatan aliran air di dalam pipa
g = Gaya gravitasi bumi (m/s2)
(Sularso dan Tahara, 2003 : 28).
Tabel 3. 7. Koefisien Kekasaran Beberapa Jenis Pipa
Koefisien kekasaran
Bahan
pipa (mm)
Baja : baru 0,01
lapisan plastik non poros 0,03
Besi tuang : baru 0,1 – 1,00
lapisan bituman 0,03 – 0,10
lapisan semen 0,03 – 0,10
Polyethylene 0,03 – 0,10
Kuningan, tembaga 0,10
Aluminium baru 0,15 – 0,16
Beton : baru centrifuge 0,03
baru rata 0,20 – 0,50

III-20
tanah yang telah diolah 1,00 – 2,00
Semen asbes baru 0,03 – 0,10
Bahan dari batu/kaca 0,10 – 1,00
*Sumber: Triatmodjo, 1996
b. Kerugian Minor
Minor losses merupakan kerugian-kerugian gesek yang disebabkan karena ada
belokan-belokan, reduser, katup-katup, saringan. Minor losses dinyatakan dengan rumus :

V2
hl =n . k . pers. (3.31)
2. g

Keterangan:
hl = Minor losses (m)
n = Jumlah belokan atau sambungan (koefisien dapat dilihat pada tabel 3.9 dan 3.10)
k = Koefisien gesekan
V = Kecepatan aliran (m/dtk)
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
(Suwandhi, 2004 : 16).

Tabel 3. 8. Koefisien Kerugian Belokan Pipa


∅º 5º 10º 15º 22,5º 30º 45º 60º 90º
Halus 0,016 0,034 0,042 0,066 0,130 0,236 0,471 1,129
f
Kasar 0,024 0,44 0,062 0,154 0,165 0,320 0,684 1,265
*Sumber : Sularso dan Tahara, 2003 : 34.
Tabel 3. 9. Koefisien Kerugian pada Berbagai Katup Isap
Diameter (mm)
Jenis katup
100 150 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 2000
Katup
0.14 0.12 0.10 0.09 0.07 0.00
sorong
Katup
0.6 - 0.16 (bervariasi menurut konstruksi dan diameternya)
kupu−kupu
Katup putar 0.09 - 0.026 (bervariasi menurut diameternya)
Katup cegah
1.20 1.15 1.10 1.00 0.98 0.94 0.92 0.90 0.88
kipas ayun
Katup kepak - - - - - - - - - 0.9 - 0.5
Katup isap
(dengan 1.97 1.91 1.84 1.78 1.72
saringan)
*Sumber: Sularso, 2000:39
1) Head pada Pembesaran Pipa
Berikut adalah rumus untuk pembesaran diameter pipa :
hl =¿ pers. (3.32)

Dimana :
hl = Minor losses (m)
A1 = Luas Penampang Pipa Pertama (m2)

III-21
A2 = Luas Penampang Pipa Kedua (m2)
V = Kecepatan aliran (m/dtk)
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
(Sumber: Streeter & Wylie, 1979 p. 135)
2) Head pada Penyempitan Pipa
Berikut adalah rumus untuk pembesaran diameter pipa :
hl =¿ pers. (3.33)

Dimana :
hl = Minor losses (m)
C = Faktor Kontraksi (lihat tabel 3.11)
V = Kecepatan aliran (m/dtk)
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
Tabel 3. 10. Faktor Kontraksi
A1/A2 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0
C 0.624 0.632 0.643 0.659 0.681 0.712 0.755 0.813 0.892 1.00
*Sumber: Streeter & Wylie, 1979 p. 135
3.6.3. Break Horse Power
Break horse power disebut juga daya pompa, yaitu besarnya energi per satuan waktu
atau kecepatan melakukan kerja. Persamaan untuk menghitung Break horse power, yaitu :

Flow x Total Head x S . g


BHP= pers. (3.34)
Efficiency x 102

Keterangan :
BHP : Break Horse Power (kW)
Flow : Debit pompa (l/s)
Total Head : Head pompa (m)
Efficiency : Desimal
SG : Berat jenis campuran (kg/l)
(Wahdiana, 2011: 3.24)
3.6.4. Water Balance
Hubungan antara aliran masuk, kapasitas pompa (aliran keluar) dan kapasitas kolam
penampungan air dinyatakan dalam persamaan berikut :

d∀
Q1−Qo = pers. (3.35)
dt

Keterangan:

Qi = debit masuk (m3/dtk)

III-22
Qo = debit keluar atau kapasitas pompa (m3/dtk)
d∀ = volume tampungan (m3)
dt = waktu hujan (detik)
(Suripin, 2003: 218)

III-23

Anda mungkin juga menyukai