Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

TEKNIK PEMERIKSAAN MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI) BRAIN


PADA KASUS VERTIGO DI INSTALASI RADIOLOGI RS MARDI RAHAYU
KUDUS
Disusun Guna Memenuhi Tugas Laporan Kasus Praktek Kerja Lapangan 5

Disusun Oleh:
Ahmad Nurul Pratama
P1337430218010

PRODI TEKNOLOGI RADIOLOGI PENCITRAAN PROGRAM SARJANA


TERAPAN
JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus ini telah diperiksa oleh pembimbing di instalasi radiologi RS Mardi

Rahayu Kudus dan telah disetujui untuk diajukan sebagai laporan guna memenuhi tugas

Praktek Lapangan Kerja 5 Prodi Teknologi Radiologi Pencitraan Program Sarjana Terapan

Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Kementrian

Kesehatan Semarang.

NAMA : AHMAD NURUL PRATAMA

NIM : P13374302180101

JUDUL KASUS : Teknik Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging Brain Pada

Kasus Vertigo di Instalasi Radiologi RS Mardi Rahayu Kudus.

Kudus, November 2021

Clinical Instructure

Haryo Abdi P, S.ST

NIP: 0111090
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Lapangan 5

dengan judul “Teknik Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging Brain Pada Kasus Vetigo

di Instalasi Radiologi RS Mardi Rahayu Kudus.” Penulisan Laporan Praktik Kerja Lapangan

tersebut bertujuan untuk memenuhi tugas Praktik Kerja Lapangan 5.

1. Ibu Fatimah, S.ST, M.Kes selaku Ketua Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi Semarang.

2. Ibu Dartini, SKM, M.Kes. selaku Ketua Prodi Teknologi Radiologi Pencitraan

Program Sarjana Terapan Poltekkes Kemenkes Semarang

3. Haryo Abdi P, S.ST selaku Clinical Instructure (CI) Praktek Kerja Lapangan 5 di RS

Mardi Rahayu Kudus.

4. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan laporan ini.

Penulis menyadari dalam pembuatan laporan ini masih terdapat kekurangan, untuk itu

penulis mohon saran dan masukan dari semua pihak. Penulis berharap laporan ini dapat

bermanfaat untuk mahasiswa dan dijadikan studi bersama.

Kudus, November 2021

Ahmad Nurul Pratama


DAFTAR ISI

BAB I.........................................................................................................................................5

PENDAHULUAN.....................................................................................................................5

A. Latar Belakang..............................................................................................................5

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................6

C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................6

BAB II.......................................................................................................................................8

TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................8

A. Anatomi dan Fisiologi...................................................................................................8

B. Patofisiologi Vertigo....................................................................................................19

C. Dasar-Dasar MRI........................................................................................................21

D. Teknik Pemeriksaan MRI Brain...............................................................................32

BAB III....................................................................................................................................34

HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................................................34

A. Profil Kasus..................................................................................................................34

B. Teknik Pemeriksaan...................................................................................................34

C. Parameter dan Hasil Citra MRI................................................................................35

D. Hasil Expertise Radiologi...........................................................................................38

E. Pembahasan.................................................................................................................39

BAB IV....................................................................................................................................41

PENUTUP...............................................................................................................................41

A. Kesimpulan..................................................................................................................41

B. Saran.............................................................................................................................41

LAMPIRAN............................................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................43
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Vertigo (gangguan keseimbangan) adalah penyakit yang biasa terlihat pada

orang tua. Kelainan ini sering menyebabkan jatuh dan menimbulkan berbagai

penyakit, seperti patah tulang pinggul, kerusakan otak, bahkan bisa berakibat fatal.

Kecelakaan yang diakibatkan jatuh adalah penyebab kematian keenam di antara

orang-orang di atas 75 tahun. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada usia lanjut,

berbagai perubahan struktural pada sistem vestibular, visual dan proprioseptif berupa

degenerasi dan atrofi telah menyebabkan disfungsi ketiga sistem tersebut.

Dibandingkan dengan lansia tanpa gangguan keseimbangan, lansia dengan gangguan

keseimbangan memiliki risiko jatuh 2-3 kali lipat. Setiap tahun 20-30% penduduk di

atas 65 tahun sering berada di rumah karena rawan jatuh (Laksmidewi et al., 2016).

Untuk dapat merawat dan mengevaluasi pasien di atas 60 tahun dengan gangguan

keseimbangan, dokter harus memahami fisiologi keseimbangan dan perubahan

fisiologis yang terjadi selama penuaan (Laksmidewi et al., 2016).

Di Jerman, prevalensi vertigo antara usia 18 - 79 adalah 30%, dimana 24%

diperkirakan disebabkan oleh gangguan vestibular. Sebuah penelitian di Perancis

menemukan bahwa prevalensi vertigo adalah 48%. Pada tahun 2017, prevalensi

vertigo di Indonesia sebesar 50% pada orang tua berusia 75 tahun, dan pada tahun

2018 sebesar 50% pada orang tua berusia 40-50 tahun, hal itu merupakan keluhan

terbanyak ketiga setelah sakit kepala dan stroke pada umumnya (Pulungan, 2018).

Pusing dapat menyerang semua kelompok umur, dengan angka kejadian 25%

untuk pasien di atas 25 tahun dan 40% untuk pasien di atas 40 tahun. Dilaporkan

bahwa sekitar 30% orang di atas 65 tahun menderita vertigo. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pada sekitar 74% sampel, wanita memiliki prevalensi Benign

Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) yang lebih tinggi dibandingkan pria. Ini

karena pengaruh hormon. Selain itu, orang yang berusia di atas 60 tahun menghadapi

risiko 7 kali lipat dibandingkan orang yang berusia antara 18-39 tahun. Rata-rata usia

pasien yang menderita sekitar 49-80 tahun (Chayati, 2017).

Jika tidak segera diobati, serangan vertigo dapat menimbulkan berbagai efek

samping, termasuk mengancam jiwa. Ini terutama terjadi ketika pasien mengalami

pusing saat mengemudi atau mengendarai sepeda motor, yang menyebabkan

kurangnya konsentrasi. Efek kedua adalah mungkin merupakan gejala awal atau tanda

penyakit tertentu yang berhubungan dengan otak dan telinga. Pusing juga bisa

menjadi penyebab serius dari gejala awal tumor otak. Efek ketiga adalah bahwa

vertigo bisa menjadi tanda serius dari penyakit telinga atau organ pendengaran.

Infeksi yang terjadi pada bagian dalam telinga bisa menyebabkan kerusakan organ

telinga sehingga penderita bisa kehilangan pendengaran secara permanen. Kondisi

inilah yang harus diwaspadai oleh semua penderita vertigo. Salah satu modalitas yang

dapat menegakkan beberapa diagnosa klinis termasuk vertigo adalah magnetic

resonance imaging (MRI). Pemeriksaan MRI Brain merupakan salah satu

pemeriksaan yang dapat mengidentifikasi patologi yang ada di brain termasuk juga

vertigo yang akan saya bahas kali ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teknik pemeriksaan MRI Brain pada kasus vertigo di instalasi

radiiologi RS Mardi Rahayu Kudus?

2. Apakah teknik pemeriksaan MRI Brain di instalasi radiologi RS Mardi Rahayu

sudah dapat menegakkan diagnosis klinis vertigo?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini, diantaranya:
1. Mengetahui teknik pemeriksaan MRI Brain pada kasus vertigo di instalasi

radiiologi RS Mardi Rahayu Kudus.

2. Mengetahui bahwa teknik pemeriksaan MRI Brain di instalasi radiologi RS Mardi

Rahayu sudah dapat menegakkan diagnosis klinis vertigo.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Tulang Otak

Otak merupakan organ yang terletak tertutup oleh cranium, tulang-tulang

penyusun cranium disebut tengkorak yang berfungsi melindungi organ-organ vital

otak, aa semblan tulang yang membentuk cranium yaitu: tulang frontal,oksifital,

sphenoid, enmoid, temporal 2 buah, pariental 2 buah. Tulang-tulang tengkorak

dihubungkan oleh sutura (Tarwoto, 2013:111). Jaringan otak dan medulla spinalis

di lindungi oleh tulang tengkorak dan tulang belakang, serta meningen (Muttaqin

2011: 13)
Figure 2.1: Anatomi Tulang Tengkorak ((Sumber Syaifudin 2012:83. Diakses
pada 05 Mei 2018)

2. Fisiologi Tulang Otak


a. Tengkorak tersusun atas tulang kranial dan tulang wajah
 Tulang frontal
Tulang frontal merupakan tulang kranial yang berada disisi anterior,
berbatasan dengan tulang parietal memalui sutura koronalis, pada tulang
frontal ini terdapat suatu sinus (rongga) yang disebut dengan sinus
frontalis yang terhubung dengan rongga hidung.
 Tulang temporal
Terdapat dua tulang temporal di setiap sisi lateral tengkorak. Antara tulang
temporal dan tulang parietal dibatasi oleh sutura skuomosa. Persambungan
anatara tulang temporal dan tulang zigomatikum disebut sebagai prosesus
zigomattiku. Selain itu terdapat prosesus mastoid (suatu penonjolan
dibelakang saluran telinga) dan meatus akustikus eksternus (liang telinga)
 Tulang parietal
Terdapat dua tulang parietal, yang dipisahkan satu sama lain melalui suatu
sigitalis. Sedangkan sutura skuamosa memisahkan tulang parietal dan
tulang temporal
 Tulang oksipital
Tulang oksipital merupakan tulang yang terletak disisi belakang
tengkorak. Antara tulang oksipital dan tulangparietal dipisahkan oleh
sutura lambdoiid
 Tulang sphenoid
Tulang sphenoid merupakan tulang yang membentang dari sisi fronto-
parieto-temporal yang satu kesisi yang lain
 Tulang ethmoid
Tulang ethmoid merupakan tulang yang berada dibelakang tulang nasal
beberapa tulang ethmoid adalah crista galli (proyeksi superior untuk
perletakan meningens).
b. Sedangkan tulang wajah meliputi
 Tulang lakrimal
Tulang lakrimal merupakan tulang yang berbatasan dengan tulang ethmoid
dan tulang maksilla berhubungan duktus masolakrimal sebagai saluran air
mata
 Tulang nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang membentuk jembatan pada hidung
dan berbatas dengan tulang maksilla
 Tulang konka nasal
Tulang karang hidung letak nya dalam rongga hidung bentuknya berlipat-
lipat
 Septum nasi
Sekat rongga hidung tulang tapis yan tegak
 Tualang maksilaris
Merupakan tulang rahang atas. Maksilaris didalamnya terdapat lubang-
lubang besaryang berisi udara, yang berhubungan dengan rongga hidung.
 Tulang zigomatikum
Merupakan tulang pipi yang berartikulasi dengan tulang frontal, temporal
dan oksipital
 Tulang platum
Merupakan tulang tulang langit-langit terdiri dari dua buah kiri dan kanan
 Tulang mandibularis
Merupakan tulang rahang bawah, yang berartikulasi dengan tulang
temporang melalui prosesus kondilar
 Tulang Hioid tulang lidah ini terletak agak terpisah dari tulang-tulang
wajah yang lain. Terdapat dipangkal leher (Syaifuddin, 2008:48-49).
c. Meningen
Meningen adalah merupakan jarinagn membaran penghunung yang
melapisi otak dan medulla spinalis, ada 3 lapisan meningen yaitu: durameter,
arachnoid dan piameter. Durameter adalah lapisan luar, kasar dan mempunyai
dua lapisan membrane ini adalah lapisan arachnoid adalah tipis dan berbentuk
seperti laba-laba ini adalah membrane bagian tengah. Sedangkan piameter
adalah tipis, merupakan membrane vasikuler yang membungkus seluruh
permukaan otak ini adalah lapisan paling dalam. Antara lapisan satu dengan
lapisan yang lainnya terdapat ruang meningeal yaitu ruang epiduranl
merupakan ruang antara tengkorak dan lapisan luar durameter, yang subdural
yaitu ruang antara lapisan durameter dengan membrane archmoid ruang
subarachnoidyaitu ruang antara arachmoid dengan piameter pada ruang
subrachnoid ini terdapat cairan serebrospial (Tartowo, et,.al 2013:112).

Figure 2.2: Lapisan Meningen

3. Anatomi Otak
a. Otak
Menurut Syaifudin (2011) otak adalah alat tubuh yang sangat penting
karena otak merupakan pusat computer dari semua alat tubuh. Jaringan otak
dibungkus oleh selaput otak dan tulang tengkorak yang kuat dan terletak
dalam kavum krani. Berat otak pada orang dewasa kira kira 1400 gram,
setengah padat dan berwarna kelabu kemerahan. Otak dibungkus oleh tiga
selaput otak (meningen) dan dilindungi oleh tulang tengkorang. Otak
mengapung dalam suatu cairan untuk menunjang otak yang lembek dan halus.
Cairan ini bekerja sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar
kepala. Selaput otak (meningen) adalah selaput yang membungkus otak dari
sumsum tulang belakang untuk melindungi struktur saraf yang halus
membawa pembuluh darah dan cairan sekresi serebrospinalis memperkecil
benturan atau getaran pada otak dan sumsum tulang belakang.
Selaput otak meningen terdiri dari tiga lapisan:
 Diameter: selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan
ikat tebal dan kuat. Pada bagian tengorang terdiri dari periost (selaput
tulang tengkorak dan durameter propia bagian dalam. Durameter di
tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah dari
vena berupa cincin dalam durameter menutupi sela tursika sebuah
lekukan pada tulang stenoid yang berisi kelenjar hipofisis.
 Araknoidea: selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral. Otak dan
spinalis berada dalam balon yang berisi cairan itu, kantong arak
lumbal I-II. Dibawah lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat
saraf-saraf parifer yang keluar dari medulla spinalis. Hal ini dapat
dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut fungsi
lumbal. Ruang subaraknoid pada bagian magma. Besarnya sisterna
magma dapat dimasukkan jarum ke dalam melalui foramen magnum
untuk mengambil cairan otak. Tindakan ini disebut fungsi
suboksipitalis.
 Piamater, merupakan selaput tifis yang terdapat pada permukaan
jaringan otak, piamater berhubungan dengan araknoid melalui struktur
jaringan ikat yang disebut trabekhel. Tepi flak serebri membentuk
sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang
mengeluarkan darah dari flak serebri tentorium memisahkan serebrum
dengan serebelum.
Sistem ventrikel terdiri dari beberapa rongga dalam otak yang
berhubungan satu sama lain. Ke dalam rongga itu fleksus koroid mengalirkan
cairan liquor serebrospinalis. Fleksus koroid dibentuk oleh jaringan pembuluh
darah kapiler otak tepi. Pada bagian piamater membelok kedalam ventrikel
dan menyalurkan cairan serebrospinalis, hasil sekresi fleksus koroid. Cairan
ini bersifat alkali bening mirip plasma.
Cairan serebrospinalis disalurkan oleh fleksus koroid kedalam
ventrikel yang ada dalam otak kemudian masuk ke dalam kanalis sumsum
tulang belakang, ke ruang subarakhnoid melalui ventrikularis. Setelah
melintasi seluruh ruangan otak dan sumsum tulang belakang kembali ke
sirkulasi melalui granulasi arakhnoid pada sinus sagitalis superior.
Setelah meninggalkan ventrikel lateralis I dan II, cairan otak dan
sumsum tulang belakang menuju ventrikel III melalui foramen monroi masuk
ke ventrikel IV melalui aquadukus sivii. Cairan dialirkan ke bagian medial
foramen magendi, selanjutnya ke sisterna magma. Cairan akan membasahi
bagian-bagian dari otak dan cairan ini akan diabsorbsi oleh vili-vili yang
terdapat pada arakhnoid. Jumlah cairan ini tidak tetap, berkisar antara 80-200
cc.
b. Serebrum
Serebrum atau otak besar mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri
dan hemisfer kanan yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang
disebut korpus kollosum. Tiap-tiap hemisfer meluas dari os frontalis sampai
ke os oksipitalis. Di atas fossa kranii anterior media dan fossa kranii posterior.
Hemifer dipisahkan oleh celah yang besar disebut fisura longitudinalis serebi.
c. Korteks serebri
Korteks serebri adalah lapisan permukaan hemisfer yang disusun oleh
subtansian grisea. Korteks serebri berlipatlipat, disebut girus, dan celah di
antara dua lekuk disebut sulkus (fisura). Beberapa daerah tertentu dari korteks
serebri telah diketahui memiliki fungsi spesifik.
Hemisfer otak dibagi dalam beberapa lobus atau daerah sesuai dengan
tulang cranium. Lapisan korteks terdiri dari:
 Lamina molekuralis: Mengandung sedikit sel berjalan secara
horizontal dengan permukaan korteks terdapat percabangan
akhir dendrit dan lapisan yang lebih dalam.
 Lamina granularis eksterna: Lapisan mengandung sel neoron
berbentuk segitiga memadati lapisan ini.
 Lamina piramidalis: Lapisan ini mengandung sel berbentuk
pyramid. Di antara sel pyramid terdapat sel-sel granular dengan
akson yang berjalan naik kea rah lapisan superfisial.
 Lamina granularis interna: Terdiri dari sel neuron berbentuk
bintang berukuran kecil dengan akson yang pendek mencapai
lapisan superfisial.
 Lamina ganglionaris: Sel neuron granular. Sel neuron yang
naik mencapai lamina molekularis akson dari sel ini memasuki
substansi alba.
 Lamina multiformis: Sel-selnya berbentuk kumparan dengan
sumbu panjang tegak lurus terhadap permukaan korteks. Akson
mencapai substansia alba sebagai serat proyeksi aferen dan
asosiasi.
Bagian-bagian korteks:
 Lobus frontalis: Lobus frontalis terletak di depan serebrum,
bagian belakang dibatasi oleh sulkus sentralis Rolandi. Bagian
lateral lobus frontalis terbagi dalam girus frontalis media, dan
girus frontalis inferior. Bagian basal lobus frontalis terdapat
lobus orbitalis sebelah lateral dan girus rektus sebelah medial.
 Lobus parietalis: Permukaan bagian atas lateral terdiri dari
girus parietal posterior, girus parietal superior, girus angularis,
dan bagian medial lobus parasentralis.
 Lobus oksipital
 Lobus temporalis
 Area broka (area bicara motoris) terletak di atas sulkus lateralis,
mengatur gerakan berbicara.
 Area visualis: terdapat pada polus posterior dan aspek media
hemisfer serebri di daerah sulkus kalkaneus, merupakan daerah
menerima visual. Gangguan dalam ingatan untuk peristiwa
yang belum lama
 Insula reji: bagian serebrum yang membentuk dasar fisura silvii
yang terdapat di antara lobus frontalis, lobus parietalis dan
lobus oksipitalis. Bagian otak ini ditutupi oleh girus temporalis
dan girus frontalis inferior.
 Girus singuli: bagian medial hemisfer terletak di atas korpus
kolosum.
4. Fisiologi Otak
Fungsi korteks serebri:
a. Korteks motorik primer
 Mengontrol gerakan volunteer otot dan tulang pada sisi tubuh
kontra lateral. Impulsnya berjalan melalui akson-akson dalam
traktus kortikobulber dan kortikospinal, menuju nuklei saraf -saraf
serebrospinal. Priyeksi motorik dan berbagai bagian tubuh terutama
daerah kaki terletak di atas, sedangkan daerah wajah bilateral
terletak dibawah. Daerah lain unilateral berbagai bagian tubuh
sesuai dengan tingkat perbandingan keterampilan dari bagian
tubuh, keterampilan yang tinggi mempunyai gambaran yang luas.
b. Korteks sensorik primer
 Penerima sensasi umum (area somestisia)
 Menerima serabut saraf: Radiasi talamikus yang membawa impuls
sensoris dari kulit, otot sendi, dan tendo di sisi kontralateral, lesi
daerah ini dapat menimbulkan gangguan sensasi pada sisi tubuh
kontralateral.
 Terdapat homunkulus sensorik: Menggambarkan luas daerah
proyeksi sensorik dari bagian-bagian tubuh di sisi tubuh
kontralateral. Luasnya daerah sensorik suatu bagian tubuh,
sebanding dengan jumlah reseptor dibagian tubuh tersebut.
c. Korteks visual (penglihatan)
 Terletak di lobus oksipitalis pada fisura kalkarina.
 Lesi irilatif menimbulkan halusinasi visual.
 Lesi destruktif menimbulkan gangguan lapangan pandang.
 Menerima impuls dari radio optiks.
d. Korteks auditorik (pendengaran)
 Terletak pada tranvers temporal girus di dasar visura lateralis
serebri.
 Menerima impuls dari radiasiauditorik yang berasal dari korpus
genikulatum medialis.
 Lesi area ini hanya menimbulkan ketulian ringan kecuali bila
lesialis bilateral.
e. Area penghidu (area reseptif olfaktorius)
 Terletak di daerah yang berdekatan dengan girus parahipotalamus
lobus temporalis.
 Kerusakan jalur olfaktorius menimbulkan anosmia (tidak mampu
menghidu).
 Lesi iritasi menimbulkan halusinasi olfaktorius. Pada keadaan ini
penderita dapat menghidu bau yang aneh atau mengecap rasa yang
aneh.
f. Area asosiasi
 Korteks yang mempunyai hubungan dengan area sensorik maupun
motoric, dihubungkan oleh serabut asosiasi.
 Pada manusia penting untuk aktivitas mental yang tinggi, seperti
berbicara, menuliskan kata-kata, dsb.
 ada manusia terdapat tiga daerah asosiasi yang penting, yaitu
daerah frontal (di depan korteks motorik), daerah temporal (antara
girus temporalis superior dan korteks limbik) dan daerah
parietooksipital (antara korteks sosmestetik dan korteks visual).
 Kerusakan daerah asosiasi akan menimbulkan gangguan dengan
gejala yang sesuai dengan tempat kerusakan, misalnya pada area
5,7 akan menimbulkan astereognosis (tidak mengenali bentuk
benda yang diletakkan di tangan dengan mata tertutup) karena area
ini merupakan pusat asosiasi sensasi (indra) kulit.
g. Basal ganglia
Basal ganglia terdiri dari beberapa kumpulan subtansia grisea yang
padat yang terbentuk dalam hubungan yang erat dengan dasar ventrikulus
lateralis. Ganglia basalis merupakan nuclei subkortikalis yang berasal dari
telensefalon. Pada otak manusia ganglia basalis terdiri dari beberapa
elemen saraf sebagai berikut:
 Nukleus kaudatus dan putamen. Nukleus kaudatus sering
disebut korpus striatum, sedangkan putamen dan globus palidus
disebut nucleus lentikularis/lentiformis.
 Globus palidus, terdiri dari dua bagian globus palidus medialis
dan globus palidus lateralis, terletak disebelah lateral kapsula
interna, dikenal sebagai paleostriatum.
 Korpus amigdaloideum, dikenal sebagai arkhistriatum terletak
disebelah dalam lobus temporalis, mempunyai hubungan
olfaktorik dengan hipotalamus dengan fungsi-fungsi visceral.
h. Rinensefalon
Sistem limbik (lobus limbic atau rinensefalon) merupakan bagian otak
yang terdiri atas jaringan alo-korteks yang melingkar sekeliling hilus
hemisfer serebri serta berbagai struktur lain yang lebih dalam yaitu
amigdala, hipokampus, dan nuclei septal. Rinensefalon berperan dalam
fungsi penghidu, perilaku makan, dan bersama dengan hipotalamus
berfungsi dalam perilaku seksual, emosi takut, dan marah, serta motivasi.
Rangsangan sistem limbik menimbulkan efek otonom terutama
perubahan tekanan darah dan pernafasan. Di duga efek otonom ini
merupakan bagian dari fenomena kompleks seperti respon, emosi, dan
perilaku. Rangsangan nukleus amigdaloid menimbulkan gerakan
mengunyah dan menjilat serta aktivitas lainnya yang berhubungan dengan
makan. Lesi amigdala menimbulkan hiperpagia
Sistem limbik diterapkan untuk bagian otak yang terdiri dari jaringan
korteks (alo-korteks), sekeliling hilus hemisfer serebri bersama struktur
yang letaknya lebih dalam yaitu amigdala, hipokampus, dan nuklei septal.
Disebut rinensefalon karena berhubungan dengan penghidu.
i. Serebelum
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fosa kranial posterior, dibawah
tentoriumserebelum bagian posterior dari pons varoli dan medula
oblongata. Serebelum mempunyai dua dua hemisfer yang dihubungkan
oleh fermis serebelum, dihubungkan dengan otak tengah oleh pedenkulus
serebri superior, dengan pons parole oleh pedunkulus serebri media, dan
dengan medula oblongata oleh pedunkulus serebri inferior.
Serebelum berfungsi dalam mengadakan tonus otot dan
mengoordinasikan gerakan otot pada sisi tubuh yang sama. Berat
serebelum lebih kurang 150 g (8- 9%) dari berat otak seluruhnya.
Serebelum merupakan suatu mekanisme umpan balik yang bertujuan
untuk mengendalikan pergerakan-pergerakan selagi pergerakan sedang
berlangsung. Fungsi utama mengemdalikan tonus otot di luar kesadaran,
merupakan suatu mekanisme saraf yang berpengaruh dalam pengaturan
dan pengendalian terhadap perubahan ketegangan dalam otot untuk
mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh, terjadinya kontraksi
dengan lancar dan teratur pada pergerakan dibawah pengendalian kemauan
dan mempunyai aspek keterampilan.
j. Batang otak
Pada permukaan batang otak (trunkus serebri) terlihat medulla
oblongata, pons varoli, mesensefalon, dan diensefalon, thalamus dan
epitalamus terlihat di permukaan posterior batang otak, terletak di antara
serabut kapsula interna. Di sepanjang tepi dorso medial talamus terdapat
sekelompok serabut saraf berjalan ke posterior basis epifise.
 Diensefalon
Diensefalon merupakan bagia dari batang otak yang paling
atas, diantara serebelum dan mesensefalon. Pada bagian tengah
diensefalon terdapat ventrikel III. Bagia kiri dan kanan ventrikel III
bagian dorsal terdapat talamus. Di bawah talamus di sebut
hipotalamus, bagian lateral dari hipotalamus bersambung dengan
mesensefalon, di sebut subtalamus, daerah yang membentuk atap
dari ventrikel III. Bagian belakang sebelah lateral talamus terdapat
nuklei kaudatus, merupakan salah satu ganglia basalis yang
mempunyai ekor berjalan di atas talamus. Bagian lateral nukleus
kaudatus dan talamus terdapat kapsula interna menghadap ke
lateral. Kurs anterior dan kurs posterior mengapit nukleus
lentikularis. Sebelah luar terdapat kapsula eksterna. Insula ke depan
berhubungan dengan lobus frontalis, ke belakan lobus parientalis
dan lobus temporalis merupakan dasar dari fisura silvii.
Diensefalon merupakan suatu struktur dari ventrikel III terdiri dari
talamus, nukleus subtalamus, epitalamus, dan hipotalamus.
 Talamus
Talamus merupakan massa substansia grisea yang terdapat
pada tiap hemisfer, terletak di kedua sisi ventrikel III.
Radiasiotalamus suatu istilah yang digunakan untuk traktus yang
keluar dari permukaan lateral talamus, masuk ke kapsula interna
dan berakhir pada korteks serebri. Nuklei talamus terdiri dari lima
kelompok:
o Anterior nuclear group, menerima serabut dari korpus
mamilaris melalui traktus mamilotalamikus dan berakhir di
korteks singuli.
o Nuclei of medline, menghubungkan talamus dengan
hipotalamus.
o Medial nuclei. Nuklei di daerah ini memberikan masukan
ke korteks frontalis.
o Lateral nuclei mass
o Posterior nuklei.
k. Nukleus subtalamus
Nukleus subtalamus adalah suatu daerah yang terbatas di sebelah
ventrikel, talamus di sebelah medial kapsul interna, bagian ventral talamus,
bagian medial kapsula interna, sebelah lateral hipotalamus, dan di antara
talamus dan tegmentum mesensefalon. Fungsi nukleus subtalamus adalah:
 Nukleus penghubung, mengirim dan menerima serat-serat dari
daerah korteks serebri tertentu yang mempunyai fungsi spesifik.
 Nuklei asosiasi, mengirim serat-seratnya ke daerahdaerah korteks
asosiasi.
 Nuklei proyeksi subkortikal, mengirim seratseratnya ke nuklei
subkortikal
l. Epitalamus
Di sebelah posterior ventrikuls III terdiri dari korpus pniel, strie
medularis talami, trigonum habenulare, dan komisura posterior.
m. Hipotalamus
Bagian terbesar dari otak terletak di bagian ventral dari talamus, di atas
kelenjar hipofisis, dan membentuk dasar dari dinding lateral ventrikel III.
Hipotalamus mempunyai beberapa nuklei, setiap nukleus mempunyai
tugas sendiri-sendiri dalam mengatur fungsi internal tubuh. Salah satu
fungsi penting adalah mengatur keseimbangan tubuh. Pada permuaan asal
otak hipotalamus ditandai oleh struktur khisma optikum, tubersinerium,
dan korpora mamilaria. Efek stimulasi hipotalamus terhadap sistem saraf
simpatis mengintegrasikan respons otonom dengan berbagi area aktivitas
otak. Pengaruh jalur saraf ini disalurkan melalui serat-serat difus yang
disalurkan melalui susunan vibra periventrikularis, vibra hipotalamus dan
fasikulus.
n. Mesensefalon
Mesensefalon adalah bagian otak yang terletak di antara pons varoli
dan hemisfer serebri. Bagian dorsal mempunyai tonjolan yang disebut
korpora quadrigemina dan terdiri dari dua kolikulus superior yang
berhubungan dengan sistem penglihatan dan dua kolikulus inferior yan
berhubungan dengan sitem pendengaran.
o. Pons varoli
Dalam pons varoli aquadukus silvii semakin ke bawah semakin lebar
membentuk ventrikel IV. Dinding lateral atas pons dibentuk oleh brakium
konjungtivum dan brakium pontis yang berhubungan dengan mesensefalon
dan pons varoli dengan serebelum. Dasar dari pons varoli dibentuk oleh
traktus piramidalis, nukleipons varoli dan saraf pons. Bagian tengah pons
terdapat pusat nervus trigeminus (saraf V), nuklei nervus VI, VII dan VIII.
B. Patofisiologi Vertigo
Vertigo ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa berputar-putar, atau rasa
bergerak dari lingkungan sekitar (vertigo sirkuler) namun kadang-kadang ditemukan
juga keluhan berupa rasa didorong atau ditarik menjauhi bidang vertical (vertigo
linier).
Vertigo bukan merupakan suatu penyakit suatu penyakit, tetapi merupakan
suatu kumpulan gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada
system vestibular ataupun gangguan pada system saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat
pula terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor
pada visual (reina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptik (tendon,
sendi dan sensibilitas dalam).

Figure 2.3: Etiologi dan Klasifikasi Vertigo


Vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Jika ada kelainan pada lintasan informasi dari
indera keseimbangan yang dikirim ke system saraf pusat, atau kelainan pada pusat
keseimbangan, maka proses adaptasi yang normal tidak akan terjadi tetapi akan
menimbulkan reaksi alarm. Keadaan ini berhubungan dengan serat serat di formasio
retikularis batang otak yang berhubungan dengan aktivitas system kolinergik dan
adrenergic.
Peningkatan kegawatan ini sesuai dengan peningkatan aktivitas kolinergik dan
menurunkan tanda kegawatan sesuai dengan aktivitas system adrenergic.
Teori- teori yang dapat menjelaskan tentang terjadinya vertigo adalah:
a. Teori overstimulation
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa rangsangan yang berlebihan
akan menyebabkan terjadinya hiperemi kanalis semisirkularis sehingga
terjadi gangguan fungsi. Akibat gangguan fungsi ini maka akan
menyebabkan timbulnya vertigo.
b. Teori konflik sensoris
Dalam keadaan normal, informasi untuk alat keseimbangan tubuh
ditangkap oleh tiga jenis pusat saraf, sehingga timbul respons seperti
nistagmus, ataksia, rasa melayang atau rasa berputar.
c. Teori neural mismatch
Otak mempunyai memori tentang suatu pola gerakan tertentu, sehingga
jika pada suatu saat terjadi gerakan yang tidak sesuai dengan pola gerakan
tersebut, maka akan timbul reaksi dari susunan saraf otonom.
d. Teori neurohumoral
Neurotransmitter mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi
system saraf otonom yang menyebabkan timbulnya vertigo.
e. Teori otonomik
Jika terjadi perubahan gerakan atau posisi tubuh maka akan
menimbulkan perubahan reaksi sisten saraf otonom. Jika system simpatis
terlalu dominan, namun gejala tersebut hilang jika system parasimpatis
mulai berperan.
f. Teori sinaps
Rangsangan gerakan akan menimbulkan stress, yang memicu skresi
CRF (corticoltropin releasing factor). Peningkatan kadar CRF akan
mengaktifkan system saraf simpatis yang selanjutnya menimbulkan
mekanisme adaptasi melalui peningkatan aktivitas system saraf
parasimpatis.
Keadaan tersebut akan menimbulkan gejala penyerta akan
menimbulkan gejala penyerta pada awal serangan vertigo berupa pucat
dan berkeringat akibat aktivitas saraf simpatis, yang selanjutnya menjadi
gejala mual, muntah dan hipersalivasi.
C. Dasar-Dasar MRI
1. Definisi MRI
MRI adalah teknik pencitraan pilihan dalam berbagai tugas diagnostic
mengenai gangguan neurologis, penyakit otot dan tulang. Yang paling penting,
MRI dapat menampakkan jaringan lunak yang lebih baik daripada modalitas
pencitraan lainnya tanpa menggunakan radiasi pengion (Nordbeck, 2015).
2. Instrument Dasar MRI
a. Magnet Utama
Magnet utama berfungsi untuk menghasilkan medan magnet yang
besar sehingga mampu menginduksi jaringan atau objek yang dapat
menimbulkan magnetisasi dalam objek tersebut (Westbrook,2011). Beberapa
jenis magnet utama yaitu:
 Diamagnetic
Senyawa diamagnetic memiliki karateristik yang
menunjukkan tolakkan yang lemah terhadap medan magnet
eksternal atau memiliki kerentanan magnetic negative kecil.
Elemen diamagnetic memiliki atom yang bermuatan electron
yang merata dan partikel bermuatan negative yang berputar
cepat, electron tunggal yang tidak berpasangan akan
menginduksi momen magnet yang kuat.
Figure 2.4: Pengaruh Zat Diamagnetik pada Medan Magnet
yang Homogen (Westbrook,2011).

 Paramagnetik
Senyawa paramagnetic memiliki karakteristik bahwa
menunjukkan daya Tarik yang lemah terhadap medan magnet
eksternal atau kerentanan magnetic positif kecil. Elemen
paramagnetic meningkatkan kakuatan medan magnet eksternal
yang disebabkan karena adanya electron yang tidak
berpasangan sehingga menghasilkan net magnetic moment.

Figure 2.5: Pengaruh Zat Paramagnettik pada Medab Magnet


yang Homogen (Wstbrook,2011).

 Feromagnetik
Senyawa feromagnetik memiliki kerentanan magnetic positif
yang besar dan sangat tertarik pada medan magnet eksternal.
Garis fluks medan magnet eksternal sangat terdistorsi oleh
objek feromagnetik, dan ini menyebabkan distorsi oleh
geometris gagmbar pada pasien MRI dengan impaln
feromagnetik.

Figure 2.6: Zat Feromagnetik pada Medan Magnet yang


Homogen (Westbrook,2011)

b. Gradien Koil
Gradien koil digunakan untuk membangkitkan suatu medan magnet
yang mempunyau fraksi-fraksi kecil terhadap medan magnet utama. Gradien
koil terdapat tiga medan magnet yang saling tegak lurus antara ketiganya,
yaitu bidang x, y, z. fungsi dari tiga medan magnet tersebut berbeda-beda
sesuai dengan potongan yang dipilih (sagital, coronal. Atau axial), digunakan
sesuai koordinat dimensi ruang yang meliputi gradien pemilihan fase (phase
encode), yaitu Gy dan gradien pemilihan frekuensi (frequency encode), yaitu
Gx (Westbrook,2011).
c. Radio Frekuensi (RF) Koil
RF koil terdiri dari RF koil pemancar dan RF koil penerima. RF koil
pemancar juga dikenal sebagai koil resonator. Koil ini berfungsi untuk
mentransfer energi ke inti hidrogen sehingga terjadi eksitasi anatomis.
Sedangkan RF koil penerimsa untuk menerima sinyal output dari system
setelah proses eksitasi (Westbrook,2011).
d. Sistem Komputer
System komputer berfungsi mengatur seluruh proses akuisisi MRI
sehingga gambar dapat diproses rekonstruksi dan system komputer dapat juga
digunakan sebagai system pengarsipan gambar yang terhubung dengan server.
(Westbrook,2011)
3. Prinsip Dasar MRI
Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air (H2O) yang mengandung 2 atom
hydrogen yang memiliki no atom ganjil (1) yang ada pada intinya terdapat satu
proton. Inti hydrogen merupakan kandungan inti terbanyak dalam jaringan tubuh
manusia yaitu 1019 inti/mm3, memiliki konsentrasi tertinggi dalam jaringan
100mmol/kg dan memiliki gaya magnetic terkuat dari elemen lain.
Dalam aspek klinisnya, perbedaan jaringan normal dan bukan normal
didasarkan pada deteksi dari kerelatifan kandungan air (proton hydrogen) dari
jaringan tersebut, proton-proton memiliki perilaku yang hamper sama dengan
perilaku sebuah magnet. Sebab proton merupakan suatu partikel yang bermuatan
positif dan aktif melakukan gerakan mengintari sumbunya (spin) secara kontinyu.
Secara teori jika suati muatan listrik melakukan pergerakan maka disekitarnya
akan timbul gaya magnet dengan demikian proton-proton dapat diibaratkan seperti
magnet magnet kecil (Bar Magnetic). Secara ringkas prosedur pembentukan
gambar pada pemeriksaan MRI adalah pasien diletakkan dalam medan magnet
yang kuat selanjutnya dipancarkan sebuah gelombang radio, ketika gelombang
radio dimatikan (turn off) pasien memancarkan signal yang berasal dari proton-
proton tubuh pasien dan signal tersebut akan diterima oleh antenna dan dikirim ke
system komputer untuk direkonstruksi menjadi gambar. Proses terjadinya signal
MRI yang berasal dari pasien tersebut melalui 3 fase fisika yaitu fase presesi
(Magnetisasi), Fase Resonansi dan Fase Relaksasi.
a. Presesi dan Frekuensi Lamor
Setiap inti hidrogen berputar pada sumbunya. Pengaruh B 0
menghasilkan putaran tambahan momen magnet hydrogen di sekitar B 0
yang disebut dengan presesi. Frekuensi presesi sering disebut dengan
frekuensi lamor. Rasio giromagnetik atom hydrogen adalah sebuah
ketetapan, yaitu 42,57 MHz/T. frekuensi larmor berbanding lurus dengan
kuat medan magnet eksternal. Semakin kuat medan magnet eksternal,
semakin besar nilai frekuensi larmor (Westbrook,2011)

Figure 2.7: Presesi (Westbrook,2011)

b. Resonansi
Resonansi adalah fenomena yang terjadi ketika suatu benda dikenai
gelombang dengan frekuensi yang sama atau mendekati presesi alami
objek tersebut. Pada MRI, untuk beresonansi atom hidrogen perlu
diberikan gelombang radiofrekuensi larmor NMV hidrogen. Sehingga
akan membentuk sebuah sudut yang disebut dengan flip angle. Besar flip
angle biasanya 90o tergantung pada besar energi yang berasal dari RF
(Westbrook,2011).
c. Relaksasi
Relaksasi adalah proses hilangnya energi dari inti atom hidrogen
moment magnetic mengalami diphase akibat aplikasi RF dimatikan.
Menurut westbrook (2011), ada dua jenis relaksasi, yaitu:
 T1 Recovery
T1 recovery disebabkan oleh inti atom hidrogen yang
melepaskan energinya ke lingkungan sekitar (spin-lattice
energy transfer). Recovery mengacu pada peluruhan
magnetisasi lobgitudinal akan semakin menguat dengan waktu
recovery yang tetap, dan waktu relaksasi T1 berkaitan dengan
waktu yang diperlukan suatu jaringan untuk mencapai
pemulihan magnetisasi longitudinal hingga 63%. Pada jaringan
manusia, nilai T1 akan pendek pada jaringan lemak dan
panjang untuk cairan dalam tubuh.
Jaringan Waktu T1 Recovery (ms)
Water 2500
Fat 200
CSF 2000
White Matter 500
Tabel 2.1: Waktu T1 Recovery dari jaringan pada brain di
MRI 1T

Figure 2.8: Kurva T1 Recovery (Westbrook,2011)

 T2 Decay
T2 decay disebabkan oleh medan magnet inti atom
hidrogen sekitar yang saling berinteraksi (spin-spim
relaxation). Decay mengacu pada hilangnya magnetisasi pada
bidang transversal, dan waktu yang dibutuhkan suatu jaringan
untuk kehilangan (decay) 63%. Hingga tersisa 37% dikenal
dengan Wktu relaksasi T2. Waktu yang digunakan pada T2
lebih singkat daripada T1, pada jaringan dengan pembobotan
T2 panjang (water) akan tampak terang dan jaringan dengan T2
pendek (fat) akan tampak gelap.
Jaringan Waktu T2 Decay (ms)
Water 2500
Fat 100
CSF 300
White Matter 100
Tabel 2.2: Waktu T2 Decay dari Jaringan pada Brain di MRI
1T

Figure 2.9: Kurva T2 Decay (Westbrook, 2011)

4. Parameter Dasar MRI


Pada dasarnya citra MRI dapat dibuat se-optimal mungkin dengan mengatur
beberapa parameter pembentukan citra MRI. Parameter dasar pada MRI yaitu :
a. Time Repetition (TR)
Time Repetition merupakan waktu dari penerapan satu pulsa RF untuk
aplikasi RF pulsa berikutnya untuk setiap slice dan diukur dalam milidetik
(ms). TR menentukan jumlah relaksasi longitudinal yang diizinkan terjadi
antara akhir satu pulsa RF dan penerapan berikutnya. TR sehingga
menentukan jumlah relaxati T1 pada yang telah terjadi ketika sinyal
dibaca.
b. Time Echo (TE)
Time Echo merupakan waktu dari penerapan pulsa RF ke puncak
sinyal diinduksi dalam kumparan dan juga diukur dalam ms. TE
menentukan berapa banyak pembusukan magnetisasi transversal diizinkan
terjadi. TE sehingga mengontrol jumlah relaksasi T2 yang telah terjadi
ketika sinyal dibaca.
c. Flip Angke (FA)
Flip Angle adalah sudut yang ditempuh NMV pada waktu relaksasi.
Flip Angle menentukan seberapa banyak Net Magnetic Vector yang
berputar terhadap bidang XY. Pada pulsa sekuen fast spin echo, SNR yang
dihasilkan akan lebih baik karena menggunakan flip angle 90 derajat
sehingga magnetisasi longitudinal menjadi magnetisasi transversal
dibandingkan dengan gradient echo yang flip anglenya kurang dari 90
derajat.
d. Time Inversion (TI)
Time Inversion adalah waktu antara pulsa eksitasi 180o dan 90o. TI
hanya digunakan dalam sekuen IR, TI mempunyai efek tertinggi pada
kontras citra dalam sekuen IR.
e. NEX (Number of Excitation)
Number of Excitation merupakan nilai yang menunjukkan jumlah
pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan amplitudo dan fase
enkoding yang sama. NEX mengontrol sejumlah data yang masing-masing
disimpan dalam lajur K space. K space merupakan area frekuensi spasial
dimana sinyal berupa frekuensi yang berasal dari pasien akan disimpan.
f. Matrix
Matrix akuisisi menentukan resolusi spasial dari citra. Meningkatkan
matrix akan menurunkan sinyal sehingga SNR menurun, spatial resolution
meningkat dan waktu scanning menjadi lebih lama.
g. Field of View
FOV menentukan berapa banyak informasi yang akan kita lihat.
Memperbesar ukuran FOV membuat ukuran voxel juga meningkat. Selain
itu FOV yang lebar akan menaikkan SNR, menambah informasi anatomi
dan mengurangi aliasing namum menurunkan resolusi spasial citra.
h. Slice Thickness
Slice Thickness adalah tingkat ketebalan irisan/potongan. Besarnya
slice thickness akan mempengaruhi spatial resolusi gambar yang
dihasilkan. Slice thickness yang tipis akan menghasilkan resolusi yang
baik, namun pada besar FOV yang sama akan membutuhkan waktu
akuisisi data yang lebih lama.
i. Receive Bandwith
Ketika bandwidth semakin sempit, SNR akan meningkat. SNR
berbanding terbalik dengan akar dari bandwidth. SNR juga berbanding
lurus dengan volume pixel dan akar dari phase encode (Ny) dan jumlah
eksitasi (NEX).
5. Pulse Sequence MRI
Pulsa sekuen adalah serangkaian peristiwa yang meliputi pulsa radiofrekuensi,
pengaktifan gradien, dan pengumpulan sinyal yang dilakukan untuk menghasilkan
citra MRI. Setiap sekuen memiliki parameter yang berbeda-beda untuk
menghasilkan pembobotan (weighted) yang berbeda – beda pula. Pembobotan
kontras pada masing – masing sekuen tersebut memiliki karakteristik tertentu
sehingga dapat digunakan untuk menilai suatu patologis ( Bitar, et, al, 2006).
Beberapa jenis sekuen yang sering digunakan dalam diagnostik klinis yaitu :
a. Spin Echo
Spin echo (SE) dimulai dari aplikasi RF 90o untuk eksitasi pulsa
hingga refocusing pulsa dengan RF 180o untuk rephase magnetization
atom agar didapatkan sinyal yang lebih baik. Spin echo terbentuk ketika
terjadi magnetisasi transversal in phase signal maksimum yang
menginduksi coil.
b. Fast Spin Echo (FSE)
Fast spin echo (FSE) sama dengan spin echo akan tetapi waktu
scanning jauh lebih singkat. Pada SE sekuens-nya adalah 90° kemudian
diaplikasi 180° (refocusing echo), dan hanya satu phase encoding step per
TR pada masing-masing slice sehingga hanya satu baris K-space yang
terisi per TR. Sedangkan pada FSE terdapat lebih dari satu kali aplikasi RF
180 sehingga terdapat lebih dari satu kali phase encoding dalam satu TR.
FSE banyak digunakan untuk image T2 weighted karena waktu bisa
lebih singkat. FSE digunakan pada pemeriksaan sistem syaraf pusat, pelvis
dan muskuloskeletal yang sudah menggantikan penggunaan SE thorax dan
abdomen, kadang dapat menimbulkan respiratori artefak sehingga perlu
adanya teknik respiratory compensation.
c. Inversion Recovery
Inversion recovery merupakan sekuens yang urutan pulsanya dimulai
dari pulsa RF inversi 180° yang dilanjutkan dengan pulsa RF eksitasi 90°,
dan kemudian pulsa rephase 180°. Dengan adanya pulsa inversi 180° ini
maka NMV akan disaturasi penuh. Ketika pulsa inversi dihentikan, maka
NMV akan mengalami relaksasi dan kembali menuju B0. IR digunakan
untuk menghasilkan pembobotan Heavily T1 Weighted dengan perbedaan
kontras yang tinggi antara cairan dan lemak. IR terdiri dari Short Tau
Inversion Recovery (STIR) dan Fluid Attenuated Inversion Recovery
(FLAIR) (Westbrook dan Kaut, 2011).
d. Gradien Echo
Gradient Echo disebut juga Gradient Recalled Echo (GRE). Pulse
sekuens GRE menggunakan pulsa RF yang bervariasi denga flip angle
kurang dari 90°. Tujuan utama digunakannya sekuens GRE adalah
mereduksi waktu scanning, oleh karena itu nilai TR yang dipilih pendek
dan flip angle yang kecil.
e. Fat Saturation (Fat Sat)
Chemical shift selective adalah pulsa RF yang dapat dialikasikan
hanya pada lemak atau air saja. Pulsa selektif yang diaplikasikan pada
lemak disebut dengan SPECIAL ( Spectral Inversion at Lipid) atau lebih
dengan dengan fat saturation atau fat sat (Higgins, 2010).
Fat saturation direkomendasikan untuk menekan sinyal lemak dalam
jumlah besar dan hal tersebut ditunjukan dengan gambaran atau citra yang
enhance pada penggunaan media kontras. Fat saturation juga bermanfaat
untuk menghindari terjadinya misregistration artefak, sehingga dapat
digunakan dalam berbagai macam sekuen imaging. Salah satu keunggulan
dari fat saturation adalah waktu yang digunakan lebih cepat, dan pada
umumnya fat saturation mempercepat waktu pemeriksaan.
6. Pembobotan Citra MRI
Seluruh gambar diagnostik klinis harus menunjukkan kontras antara fitur
anatomi normal dan antara anatomi dan patologi apapun. Jika tidak ada perbedaan
kontras, mustahil untuk mendeteksi abnormalitas dalam tubuh. Salah satu
keuntungan utama dari MRI dibandingkan dengan modalitas pencitraan lain
adalah pencitraan jaringan lunak yang sangat baik. Karakteristik kontras setiap
gambar tergantung pada banyak variabel, dan mekanisme yang mempengaruhi
kontras gambar di MRI perlu dipahami.
a. Pembobotan T1
Pembobotan citra T1 adalah citra yang kontrasnya tergantung pada
pemberian T1 time. T1 time adalah waktu yang diperlukan proton untuk
melakukan longitudinal recovery hingga 63% setelah aplikasi RF terhadap
atom. T1 time dikontrol oleh nilai TR, karena nilai TR mengontrol
seberapa jauh vektor dapat recover sebelum aplikasi RF berikutnya.
T1WI (T1 weighted image) adalah scan parameter dengan nilai TR
(time repetition) dan TE (time echo) pendek. Dengan nilai TR pendek,
jaringan yang memiliki T1 recovery pendek (contoh : lemak) akan
terecovery semua, sedangkan jaringan dengan nilai T1 recovery panjang
(contoh : CSF) akan terecovery sebagian. Hal itulah yang menyebabkan
kekontrasan antara kedua jaringan tersebut. Lemak akan tampak lebih
terang dari air pada T1 WI.
Pada T1 WI, dorsal root mempunyai intensitas signal yang rendah
dikelilingi epidural fat yang mempunyai intensitas signal yang tinggi.
Nerve root keluar dari root ganglion yang disebut sebagai struktur linear
dengan intensitas signal yang rendah. Korpus vertebra, pedikel, lamina dan
procesus spinosus mempunyai intensitas signal yang tinggi. Intensitas
signal lebih tinggi dari intensitas signal discus vertebralis. Sementara
korteks tulang mempunyai intensitas signal yang lebih rendah karena lack
resonating proton. Ligamentum flavum dan nucleus pulposus mempunyai
intensitas signal intermediate. Selain itu, gambaran annulus dan nucleus
hampir tidak dapat dibedakan. Pada T1 WI SE, ligamentum posterior sulit
dibedakan dari dura dan annulus (Charles, 1992).
b. Pembobotan T2
T2 WI (T2 weighted image) adalah scan parameter dengan nilai TR
dan TE panjang. Nilai TR panjang untuk mencapai full longitudinal
recovery dan nilai TE panjang menyebabkan banyak sinyal yang hilang
(dephasing) saat terjadi tranversal decay. T2 WI atau yang disebut juga
dengan waktu relaksasi tranversal atau spin-spin (Bontanger, 2001)
didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan magnetisasi transversal
untuk meluruh 37 % dari nilai awalnya (Bushberg, 2002).
T2 WI mempunyai karakteristik patologis. Air akan tampak lebih cerah
dari lemak pada T2 WI. Pada T2 WI, gambaran cairan (misal : CSF)
tampak dengan intensitas signal yang tinggi. Demikian juga dengan
gambaran nucleus pulposus. Nerve root mempunyai intensitas signal yang
rendah, sehingga dapat dibedakan dari CSF yang mengelilinginya
(Charles, 1992).
c. Pembobotan Proton Density
Proton Density (PD) merupakan jenis pembobotan yang diperoleh dari
nilai TR panjang dan TE pendek. Pada PD intensitas sinyal yang diperoleh
berdasarkan kandungan atom hydrogen (H) dalam jaringan. Jaringan yang
memiliki jumlah proton hydrogen banyak, menghasilkan intensitas signal
yang kuat sedangkan jaringan yang mempunyai jumlah proton hydrogen
sedikit menghasilkan intensitas signal yang lemah. Nilai kontras PD WI
tergantung pasien dan area yang discaning. Pada PD WI, efek dari T1 WI
dan T2 WI diminimalisasi. TR yang panjang akan mengurangi dominasi
T1 kontras sedangkan TE pendek akan mengurangi dominasi T2 kontras.
Pada PD WI, jaringan yang banyak mengandung atom hydrogen
(missal : CSF) menghasilkan signal yang kuat. Di dalam thecal sac yang
memiliki intensitas signal yang rendah, nerve root tampak dengan
intensitas signal yang lebih tinggi dari CSF yang mengelilinginya. Selain
itu, pada PD WI FSE gambaran cauda ekuina dan thecal sac tervisualisasi
lebih baik daripada T1 WI SE.
D. Teknik Pemeriksaan MRI Brain
Tujuan pemeriksaan MRI kepala adalah untuk mengevaluasi kelainan yang ada di
otak dan sekitarnya misalnya pada kasus-kasus:
1. Multiple sclerosis.
2. Tumor primer atau metastases.
3. AIDS / toxoplasmosis.
4. Infark.
5. Vertigo.
6. Deficit neurologist atau gejala neurologist yang tidak bisa dijelaskan.
Permintaan dilakukan atas permintaan dokter dan bila menggunakan kontras
media dibuatkan inform consent. Alat yang dipersiapkan antara lain Head koil
quadratus, busa / foam /pad untuk immobilisasi. Prosedur persiapan dan posisi
pemeriksaan yaitu:
1. Persiapan pemeriksaan umum
a. Sebaiknya jangan makan kenyang sebelum pemeriksaan.
b. Jangan memakai perhiasan atau bahan make up dengan kadar logam
tinggi.
c. Semua bahan logam, kartu kredit, kartu telepon dan lain-lain yang sejenis
supaya dilepas sebelum masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
d. Sebelum masuk ke ruang pemeriksaan pasien melakukan pengosongan
buli terlebih dahulu.
2. Persiapan Pemeriksaan Khusus:
a. Tidak dapat dilakukan pada penderita yang memakai alat pacu jantung,
protese dengan kandungan logam, operasi klips ataupun alat-alat lainnya
yang berada di dalam tubuh yang mengandung logam.
b. Kehamilan dalam trimester I.
c. Penderita dengan alat batu ventilator tidak dapat masuk ke dalam ruang
MRI.
d. Selama dalam pemeriksaan pasien harus dalam keadaan diam atau
bergerak sedikit mungkin.
3. Positioning Pasien
a. Pasien dalam posisi supine di meja MRI dengan kepala di dalam head coil.
b. Central point berada pada glabella.
c. Sequences yang di ambil :
 Axial T1 dan T2.
 Sagital T1.
 Koronal T2.
 FLAIR.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Kasus
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. E D
Usia : 68 tahun
Alamat : Panjunan Wetan, Kudus
Pemeriksaan : MRI Brain (Tanpa Kontras)
No. RM : 461xxx
Tanggal Pemeriksaan : 27 Oktober 2021
2. Riwayat Pasien
Pasien datang ke instalasi radiologi dan sudah dijadwalkan melakukan
pemeriksaan pada tanggal 27 Oktober 2021. Formulir pendaftaran foto dibawakan
oleh petugas administrasi. Pasien datang dengan menggunakan alat bantu jalan,
namun pasien dapat berjalan dengan pelan-pelan dan dibantu saya untuk
memasukki ruang pemeriksaan. Kemudian sebelum melakukan pemeriksaan
pasien dilakukan screening up dan menandatangani informed consent.
B. Teknik Pemeriksaan
1. Persiapan Alat dan Bahan
a. Pesawat MRI Siemens 1,5T
b. Head and Neck Coil
c. Headset
d. Selimut
2. Persiapan Pasien
a. Pasien diharuskan untuk tidak memakai logam ataupun membawa barang
dengan komponen logam atau magnet yang dapat mengganggu jalannya
pemeriksaan.
b. Pasien harus melaporkan jika ada ketakutan pada lorong pada petugas.
c. Sebelum dilakukan pemeriksaan pasien dipersilahkan kencing terlebih dahulu
dikarenakan didalam ruang pemeriksaan akan dingin dan dapat
memungkinkan pasien ingin kencing ditengah-tengah pemeriksaan.
d. Selama pemeriksaan pasien tidak boleh melakukan gerakan berarti dan akan
mendengar bunyi ketukakn berirama maupun tak berirama. Pasien hanya
diperkenankan tidur terlentang diatas meja pemeriksaan.
3. Posisi Pasien
a. Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan tangan berada diatas perut
pasien dan menggenggam bel alarm untuk alarm emergency jika terjadi
sesuatu yang emergency didalam lorong gantry selama pemeriksaan.
b. Posisi pasien adalah head first.
c. Pasien menggunakan koil head and neck yang sudah disediakan.
d. Pasien diberikan headset untuk meredam suara dari kebisingan magnet
pesawat MRI.
e. Beri selimut kepada pasien.
C. Parameter dan Hasil Citra MRI
Parameter dan Hasil citra MRI pada sekuen – sekuen yang digunakan:
1. Scout atau Localizer
Scout atau localizer dibuat untuk menghasilkan potongan sagittal, axial, dan
coronal. Ketiga potongan tersebut digunakan sebagai acuan untuk pembuatan
sekuen berikutnya.

Gambar 3.1: Scout Sagital, Axial, Coronal

2. T2 TSE AXIAL
Sekuen ini menghasilkan potongan axial dengan tujuan untuk menggambarkan
keadaan patologis kelainan yang ada pada objek dengan pulse sequence Turbo
Spin Echo.

Figure 3.2: T2 TSE AXIAL

3. T1 TSE SAGITAL
Sekuen ini menghasilkan potongan axial T1 yang bertujuan untuk
menggambarkan keadaan anatomi fisiologi pada objek. Dengan pulse sequence
Turbo Spin Echo.
Figure 10: T1 TSE SAGITAL

4. T1 SE AXIAL
Sekuen ini menghasilkan potongan axial T1 yang bertujuan untuk
menggambarkan keadaan anatomi fisiologi pada objek. Dengan pulse sequence
Spin Echo.

Figure 3.4: T1 SE AXIAL

5. SWI AXIAL
Susceptibility weighted imaging (SWI) merupakan teknik neuroimaging baru
yang menggunakan perbedaan kerentanan magnetic jaringan untuk menghasilkan
kontras yang berbeda dari intensitas sinyal sekuen T1 FLAIR dan T2 spin echo
(Mark & Jurgen,2011). Tujuan dari sekuen ini dibuat adalah untuk mengetahui
adanya pendarahan dengan sangat jelas.
Figure 3.5: SWI AXIAL

6. DWI AXIAL
Tujuan dari sekuen ini dibuat adalah untuk mengetahui adanya restricted
diffusion area pada otak, dengan scan time yang lebih pendek. Dari sekuen ini
dapat memberikan informasi mengenai keadaan kerusakan sel dan status
metabolism jaringan parenkhim otak. Axial DWI juga berguna untuk melihat
pergerakan molekul otak

Figure 3.6: DWI AXIAL

7. T2 TSE dark fluid (FLAIR) AXIAL


Sekuen ini menghasilkan potongan axial T2 yang bertujuan untuk
menggambarkan keadaan patologis kelainan yang ada pada objek. Dengan pulse
sequence FLAIR yang berfungsi untuk mensupress cairan dengan waktu scanning
yang lebih cepat.
Figure 3.7: T2 TSE dark fluid (FLAIR) AXIAL

D. Hasil Expertise Radiologi


Telah dilakukan pemeriksaan MRI Brain tanpa kontras dengan menggunakan head
and nexk koil, T1-T2 Axial-Sagital, FLAIR axial, SWI. Dengan hasil sebagai berikut:
Sulci kortikalis, fissure sylvii relative melebar.
Differensiasi substansia alba dan grisea tampak jelas.
Tampak lesi hiperintense lakuner dikedua frontal, sentrum semiovale kanan, pada T2
dan FLAIR. Pada T1 relatif hipointens.
Tampak leso hipointense lakuner di kedua crus anterior capsula interna, kedua
nucleus lentiformis pada T1 dan FLAIR, pada T2 relatif hiperintense. Tak tampak
microbleeding pada SWI.
Tak tampak efek massa.
Sisterna basalis dan perimesensefalika baik.
System ventrikel lateral III, IV normal.
Tak tampak mid line shifting.
Pons, batang otak dalam batas normal.
Kesuraman di kedua sinus ethmoid, hypertrophy konkha nasi kanan yang relative
hiperintens pada T2. Tampak devisiasi septum nasi ke kiri.
Sinus paranasalis lainnya, mastoid serta orbita kanan-kiri tampak tenang.
Kesan:
Atrofi serebri senile.
Infark lakuner akut-subakut pada kedua region frontal dan sentrum semiovale kanan.
Infark lakuner subakut-kronis di kedua crus posterior capsula interna dan kedua
nucleus lentiformis
Ethmoiditis bilateral dan rhinitis serta deviasi sepum nasi (minimal) ke kiri.
E. Pembahasan
Prosedur pemeriksaan MRI Brain pada klinis vertigo di instalasi radiologi RS
Mardi Rahayu diawali dengan melakukan menginput data pasien dengan memasukan
nama lengkap pasien, No RM, Tanggal lahir, umur, jenis kelamin pasien, tinggi dan
berat badan pasien, dokter pengirim, study, posisi pasien.
Kemudian melakukan persiapan pasien dengan melepas benda benda logam
yang sekiranya masih dipakai oleh pasien, kemudian pasien dipersilahkan kencing
terlebih dahulu, dan terakhir pasien diberi penjelasan tentang jalannya pemeriksaan
termasuk tidak diperkenankan untuk bergerak selama pemeriksaan berlangsung.
Setelah persiapan sudah selesai pasien dipersilahkan masuk ruang
pemeriksaan kemudian diposisikan dengan posisi supine head first diatas meja
pemeriksaan dan kedua lengan derada diatas perut dengan memegang bel alarm
emergency, pasien diberi headset untuk meredam suara pesawat MRI dan pasang head
and neck coil, kemudian setelah semuanya siap dari persiapan sampai positioning,
pasien dimasukan kedalam lorong gantry dan terakhir lakukan scanning.
Pada pemeriksaan MRI Brain di instalasi radiologi RS Mardi Rahayu
menggunakan sequence antara lain, scout/localizer, T2 TSE AXIAL, T1 TSE
SAGITAL, T1 SE AXIAL, SWI AXIAL, DWI AXIAL, T2 TSE dark fluid (FLAIR)
AXIAL. Gambaran citra T1 pada sekuen Axial T1 SE bertujuan untuk
memperlihatkan keadaan anatomis dari objek, Gambaran T2 pada potongan Axial,
Sagital, dan Coronal disemua sekuen bertujuan untuk menunjukan kelainan
(patologis) pada objek yang diperiksa.
Hasil ekspertise dari radiolog menyimpulkan Atrofi serebri senile. Infark
lakuner akut-subakut pada kedua region frontal dan sentrum semiovale kanan. Infark
lakuner subakut-kronis di kedua crus posterior capsula interna dan kedua nucleus
lentiformis. Ethmoiditis bilateral dan rhinitis serta deviasi sepum nasi (minimal) ke
kiri.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Prosedur pemeriksaan MRI Brain di instalasi radiologi RS Mardi Rahayu
sudah dapat mengetahui klinis vertigo dengan teknik pemeriksaan MRI Brain adalah
sebagai berikut: persiapan pasien dilakukan dengan melepas benda benda logam yang
sekiranya masih dipakai oleh pasien, kemudian pasien dipersilahkan kencing terlebih
dahulu, dan terakhir pasien diberi penjelasan tentang jalannya pemeriksaan termasuk
tidak diperkenankan untuk bergerak selama pemeriksaan berlangsung. Setelah
persiapan sudah selesai pasien dipersilahkan masuk ruang pemeriksaan kemudian
diposisikan dengan posisi supine head first diatas meja pemeriksaan dan kedua lengan
derada diatas perut dengan memegang bel alarm emergency, pasien diberi headset
untuk meredam suara medan magnet pesawat MRI dan pasang head and neck coil,
kemudian setelah semuanya siap dari persiapan sampai positioning, pasien dimasukan
kedalam lorong gantry dan terakhir lakukan scanning. Dengan menggunakan
sequence antara lain, scout/localizer, T2 TSE AXIAL, T1 TSE SAGITAL, T1 SE
AXIAL, SWI AXIAL, DWI AXIAL, T2 TSE dark fluid (FLAIR) AXIAL.
B. Saran
Instalasi radiologi di RS Mardi Rahayu diperlukan RIS (radiologi informasi
system) untuk mendukung alur kerja biar tidak naik turun waktu konsul dokter dan
juga pasien tidak disuruh nunggu didalam ruangan.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Bitar, Richard. 2006. MRI Pulse Sequences : What Every Radiologist Wants to Know but its
Afraid to Ask. Toronto University : Medical Imaging Departement.
Brown, M. A., and Richard C. Semelka; 2003; MRI Basic Principle and Applications, Third
Edition; John Wiley and Sons Inc.; New Jersey
Bushong, Stewart C.; 2003; Magnetic Resonance Imaging, Physical and Biological
Principles, Second Editions; Mosby; Washington DC
Cha, Soonmee MD, dkk; 2003; Perfusion MR : Basic Principles and Clinical Applications;
MRI Clinics of North America : WBS
Jurnal Kesehatan ; 2004; Media Litbang Kesehatan Vol XIV No 3.
Westbrook, Catherine and Caroline Kaut; 2011; Handbook of MRI Technique, Fourth
Edition; London : Blackwell Science
Westbrook, Catherine and Caroline Kaut; 2011; MRI at Glance; London : Blackwell Science

Anda mungkin juga menyukai