Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI

1. Anatomi Fisiologi Otak dan Hipokampus

Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan

pusat komputer dari semua alat tubuh (Setiadi, 2015). Bagian dari saraf

sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) dibungkus oleh

selaput otak yang kuat (Setiadi, 2015). Otak berfungsi sebagai pusat

pengaturan dari semua alat tubuh.

Secara anatomi terdiri dari cerebrum (otak besar), batang otak,

cerebelum (otak kecil) dan system limbrik (Sherwood, 2011).

a. Serebrum (Otak Besar)

Serebrum merupakan bagian terluas, terbesar dan teratas dari otak

terdiri dari hemisfer kanan dan hemisfer kiri . Otak besar terdiri dari

korteks, ganglia basalis dan sistem limbik.

b. Batang Otak (Trunkus serebri)

Menurut Pearce (2015) batang otak terdiri dari tiga bagian yaitu,

mesensepalon (otak tengah), diensefalon (bagian batang otak paling

atas) terdapat diantara cerebelum dengan mesencephalon, pons varoli

(terletak di depan cerebelum diantara otak tengah dan medula

oblongata) dan medula oblongata ( bagian dari batang otak yang

paling bawah, menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis)


10

c. Serebellum (Otak kecil)

Serebellum terletak pada bagian bawah dan belakang rongga

tengkorak dan berbentuk oval Pearce (2015). Serebrum dibatasi oleh

fisura tranversalis, bagian depan berbatasan dengan pons vareli dan

berada di atas medula oblongata. Permukaan serebellum berlipat-lipat

tetapi lipatannya lebih kecil dan lebih teratur dibanding dengan

serebrum 1
2

Keterangan Gambar :
1. Cerebrum(otak besar),
2. Diensefalon,
3 3. Brain stem (batang otak),
4. Cerebellum (otak kecil).
3
4

Gambar 2.1: Anatomi Otak (Brain) potongan sagittal Pearce (2015).

d. Sistem Limbik

Sistem limbik terletak di dalam otak besar diatas batang otak.

Sistem limbik adalah bagian otak yang terlibat dalam respons perilaku

emosi, kenangan dan gairah (stimulasi) (Sherwood, 2011). Komponen

sistem limbik antara lain thalamus, hipotalamus, amigdala, hipokampus

dan kelenjar pituitari.

1) Talamus, terletak di batang otak dan merupakan bagian dari jalur

informasi ke dalam otak, bertanggung jawab untuk berfikir dan

gerakan.
11

2) Hipotalamus, terletak dibawah talamus. Hipotalamus bertanggung

jawab untuk memproduksi hormon. Hormon ini berfungsi

mengontrol kadar air dalam tubuh, siklus tidur, suhu tubuh dan

asupan makanan.

3) Hipokampus, bagian dari lobus temporal yang berfungsi untuk

pembelajaran dan penyimpanan serta pengolahan memori jangka

Panjang. Kerusakan hipokampus dapat menyebabkan amnesia

(hilang ingatan).

4) Amigdala, berkaitan dengan perkembangan emosional, keadaan

darurat, mempunyai peran dalam kesenangan dan gairah

(stimulasi).

1
2
Keterangan:
1. Hipokampus
2. Thalamus
3. Hipothalamus
4. Amigdala
5. Kelenjar Pituitari

3 4 5

Gambar 2.2.Anatomi otak manusia (Sherwood, 2011)

e. Anatomi Cross-sectional Otak pada MRI

White matter (WM) otak tersusun oleh serabut saraf myelin yang

menghubungkan daerah gray matter (GM) dan tersusun oleh unsur air

(70%), protein (10%) dan phospholipid (20%). White matter pada

telechephalon dan dienchepalon tampak dalam potongan axial, sagital

dan coronal, kecuali bagian corpus callosum dan fornix. Dalam

potongan axial tampak centrum semiovale, cortex gray matter dan


12

lateral ventricle. White matter dalam mid brain dan brainstem, tampak

sangat baik dalam potongan axial (Moeller, 2010).

Gray matter tersusun dari air (80%), protein (10%) dan

phospholipids (9%). Cortex gray matter secara khas berupa konfigurasi

gyrus dapat dilihat dengan MRI dari berbagai potongan. Secara umum

waktu relaksasi T1 dan T2 white matter lebih cepat daripada gray

matter. Pada pembobotan T1 gray matter tampak gambaran

intermediate (abu-abu) yang lebih gelap dari white matter, sedangkan

pada pembobotan T2 gray matter tampak lebih terang dari white

matter (Sherwood, 2011).

Cairan cerebrospinal (CSF) memiliki konsentrasi air yang tinggi

sehingga waktu relaksasi T1 dan T2 sangat panjang. Pada citra

pembobotan T1, CSF akan tampak gelap dan pada citra pembobotan

T2 CSF akan tampak terang (Sherwood, 2011).

Hipokampus paling baik dicitrakan pada bidang coronal

(Cendes,2017) yaitu bidang yang membagi tubuh menjadi irisan

anterior (ventral) dan posterior (dorsal) karena lebih jelas

membandingkan hipokampus sisi kanan dan kiri. Irisan coronal

hipokampus diambil miring tegak lurus terhadap sumbu panjang

hipokampus dengan irisan tipis (Westbrook, 2014).


13

1
2 10

3 11
3 12
4

5
13
6
14
7
8
8 15
9

Gambar 2.3.Anatomi seksional potongan coronal (Moller,2007)

1. Sinus Sagitalis 8. Spinal Cord


Superior 9. Corpus collosum
2. Gray matter 10. Ventrikel lateral
3. Nukleus kaudatus 11. White matter
4. Vena internal 12. Tentorium cerebri
5. Thalamus 13. Semilunar canalis
6. Hipokampus 14. Arteri vertebralis
7. Pons

2. Epilepsi

a. Pengertian Epilepsi

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, epilambanmein yang berarti

serangan. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak

dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu

kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neutron otak secara

berlebihan dan paroksimal (tiba-tiba).

b. Etiologi

Menurut Kusumastuti dan Basuki (2014) etiologi epilepsi dapat

dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu:


14

1). Idiopatik (penyebab tidak diketahui)

Tidak ada kelainan neurologi, seringkali ditemui riwayat epilepsy

pada keluarga. Terjadi pada umur berapa saja, terutama

kelompok umur 5 sampai 20 tahun.

2). Kriptogenik

Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.

Termasuk di sini adalah sindrom West, Lennox-Gastaut, dan

epilepsi Juvenile mioklonik.

3). Simptomatis (penyebabnya diketahui)

Bangkitan (serangan) epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi

struktural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi Susunan

Saraf Pusat (SSP), kelainan kongenital, tumor, gangguan

peredaran darah otak, toksik, (alkohol, obat), metabolik, kelainan

neurodegeneratif (penurunan fungsi saraf).

Beberapa penyebab yang secara spesifik dapat menimbulkan

serangan epilepsi menurut Harsono (2005) adalah:

1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan

ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat

merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau

mengalami cidera (trauma) atau mendapat penyinaran

(iradiasi).

2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang

oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena

tindakan (forsep), atau trauma lain pada otak bayi.


15

3. Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan pada otak.

Kejang dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau

baru terjadi 2-3 tahun kemudian. Bila serangan terjadi

berulang pada saat yang berlainan baru dinyatakan sebagai

penyandang epilepsi.

4. Tumor otak, merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum,

terutama pada anak-anak.

5. Penyumbatan atau kelainan pembuluh darah otak.

6. Radang atau infeksi. Radang selaput otak (meningitis) atau

radang otak dapat menyebabkan epilepsi.

7. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (kelainan genetic

langka yang ada sejak lahir, dimana tubuh tidak dapat

mengurai asam amino fenilalanin), sklerosis tuberose

(penyakit genetik dimana tumor kecil berkembang di banyak

anggota tubuh) dan neurofibromatosis (kelainan genetik

dimana pertumbuhan sel terganggu sehingga tumbuh tumor

pada jaringan saraf).

8. Kecenderungan timbul epilepsi yang disebabkan ambang

rangsang serangan lebih rendah dari normal yang diturunkan

pada anak.

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Adalah suatu alat kedokteran di bidang pemeriksaan diagnostik

raadiologi yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang

tubuh / organ manusia dengan menggunakan medan magnet


16

berkekuatan antara 0,064-1,5 tesla (1 tesla = 10.000 Gauss) dan

resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen.

a. Prinsip Dasar MRI

1) Konsep Dasar Inti Atom Hidrogen

Struktur atom hidrogen dalam tubuh manusia saat diluar medan

magnet mempunyai arah yang acak dan tidak membentuk

keseimbangan. Kemudian saat diletakkan dalam alat MRI (gantry),

maka atom H akan sejajar dengan arah medan magnet. Demikian

juga arah spinning dan precessing akan sejajar dengan arah

medan magnet. Saat diberikan frequensi radio, maka atom H akan

mengabsorpsi energi dari frequens radio tersebut. Akibatnya

dengan bertambahnya energi, atom H akan mengalami

pembelokan, sedangkan besarnya pembelokan arah, dipengaruhi

oleh besar dan lamanya energi radio frequensi yang diberikan.

Sewaktu radio frequensi dihentikan maka atom H akan sejajar

kembali dengan arah medan magnet. Pada saat kembali inilah,

atom H akan memancarkan energi yang dimilikinya. Kemudian

energi yang berupa sinyal tersebut dideteksi dengan detektor yang

khusus dan diperkuat. Selanjutnya komputer akan mengolah dan

merekonstruksi citra berdasarkan sinyal yang diperoleh dari

berbagai irisan (Notosiswoyo dan Suswati, 2004).


17

Gambar 2.4.Net Magnetisation Vector (NVM) menunjukkan adanya


perbedaan arah atom hidrogen menjadi parallel dan anti-paralel pada
saat obyek berada dalam medan magnet external dan Arah
magnetisasi longitudinal dan transversal (Westbrook dan Kaut, 2019).

2) Presesi dan Frekuensi Larmor Jaringan

Di dalam medan magnet eksternal inti atom akan mengalami

gerakan perputaran menyerupai gerakan sebuah gasing. Gasing

berputar di atas sumbu bidang vertikal yang bergerak membuat

bentuk seperti sebuah kerucut. Gerakan ini disebut dengan presesi.

Frekuensi presesi ini besarnya sebanding dengan kekuatan medan

magnet eksternal dan nilai gyromagnetic inti atom. Apabila atom

dengan frekuensi gyromagnetic yang berbeda berada dalam suatu

medan magnet eksternal yang sama maka masing-masing atom

mempunyai frekuensi presesi yang berbeda. Sebaliknya walaupun

atomnya sama (misalnya atom hidrogen), namun bila diletakkan

dalam medan magnet eksternal dengan kekuatan yang berbeda

maka akan menghasilkan frekuensi presesi yang berbeda pula. Inti

atom hidrogen mempunyai frekuensi presesi 42,6 MHz/ Tesla.

Frekuensi presesi ini disebut juga dengan frekuensi Larmor

jaringan.

Tiap-tiap inti hidrogen membentuk NMV spin pada sumbu atau

porosnya. Pengaruh dari Bo akan menghasilkan spin sekunder atau


18

”gerakan” NMV mengelilingi Bo. Spin sekunder ini disebut

precession, dan menyebabkan momen magnetik bergerak secara

sirkuler mengelilingi Bo. Jalur sirkulasi pergerakan itu disebut

”precessional path” dan kecepatan gerakan NMV mengelilingi Bo

disebut ”frekuensi presesi” . Satuan frekuensinya MHz, 1 Hz = 1

putaran per detik.

Kecepatan atau frekuensi presesi proton atom hidrogen tergantung

pada kuat medan magnet yang diberikan pada jaringan. Semakin

kuat medan semakin cepat presesi proton dan frekuensi presesi

yang tergantung pada kuat medan magnet disebut dengan

frekuensi Larmor yang mengikuti persamaan :

ω=γB
Keterangan:
ω adalah frekuensi Larmor (Mhz),
γ adalah rasio giromagnetik (Mhz/T) dan
B adalah Kekuatan dari field (medan) eksternal magnetik (T)
(Westbrook,C, dan Kaut,C, 2019).

Gambar 2.5. Presesi (Westbrook,C, dan Kaut,C, 2019).

3) Resonansi

Resonansi adalah peristiwa bergetarnya suatu materi akibat

getaran materi lain yang mempunyai frekuensi yang sama. Dalam


19

MRI resonansi merupakan peristiwa perpindahan energi dari pulsa

RF ke proton hidrogen karena kesamaan frekuensi. Karena adanya

penyerapan energi dari RF inilah pada dasarnya yang

mengakibatkan terjadinya magnetisasi transversal sehingga

magnetisasi yang diakibatkan oleh pembangkit magnet eksternal

dapat diukur berupa pulsa signal MRI. Signal MRI dikenal dengan

FID (free induction decay).

Resonansi terjadi bila atom hidrogen dikenai pulsa radiofrekuensi

(RF) yang memiliki frekuensi yang sama dengan frekuensi Larmor

atom hidrogen tersebut. Normalnya tubuh manusia mempunyai

muatan magnet yang arahnya acak sehingga Net Magnetization

Vektor (NMV) nilainya nol, Apabila tubuh manusia dimasukkan

dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat sebagaimana

pada pemeriksaan MRI, maka akan terjadi magnetisasi longitudinal

pada inti-inti atom hidrogen. Magnetisasi longitudinal ini sangat kecil

bila dibandingkan dengan kuat medan magnet eksternal dari

pesawat MRI dan oleh karenanya belum dapat diukur. Untuk dapat

mengetahui besarnya magnetisasi inti-inti atom Hidrogen maka inti-

inti atom Hidrogen harus mempunyai magnetisasi yang arahnya

berbeda dengan medan magnet eksternal. Resonansi pulsa RF

mengakibatkan terjadinya magnetisasi transversal yang secara

vektor mempunyai arah berbeda dengan medan magnet eksternal

sehinga memungkinkan dilakukannya pengukuran NMV.

Untuk dapat terjadi proses resonansi maka besarnya frekuensi RF

harus disesuaikan dengan kekuatan medan magnet eksternal dan


20

frekuensi Larmor jaringan. Agar resonansi terjadi pada atom

hidrogen pada medan magnet eksternal dengan kekuatan 1 Tesla

(10.000 Gauss), maka frekuensi RF yang diberikan adalah 42.6

MHz sedang untuk medan magnet eksternal dengan kekuatan 1.5

Tesla diperlukan 63.2 MHz. Hasil dari peristiwa resonansi adalah

adanya perubahan arah NMV pada magnetisasi longitudinal ke arah

magnetisasi transversal dan magnetik moment menjadi dalam

keadaan in phase. Peristiwa resonansi ini pada dasarnya adalah

suatu transfer energi dari gelombang RF ke inti atom Hidrogen yang

mengalami magnetisasi oleh pembangkit magnet eksternal.

4) Sinyal MRI

Pada saat terjadi magnetisasi transversal maka terjadi pula

keadaan in phase pada bidang transversal sehingga akan terjadi

induksi dari medan magnet terhadap koil penerima yang akan

tercatat sebagai sinyal. Kuat dan lemahnya magnetisasi pada

bidang transversal ini akan berpengaruh pada kekuatan signal MRI

dan berpengaruh pada intensitas gelap dan terang pada citra MRI.

Bila signal MRI kuat maka akan memberikan gambaran citra yang

terang atau hiperintens, sedangkan apabila signal MRI lemah akan

memberikan citra MRI gelap atau hipointens.

Bila pulsa RF dihentikan, magnetik moment pada bidang

transversal yang dalam keadaan in phase akan mengalami dephase

kembali sehingga magnetisasi pada bidang transversal akan

menurun, akibatnya induksi pada koil penerima juga akan semakin

melemah yang dikenal dengan sinyal Free Induction Decay (FID).


21

5) Fenomena T 1 dan T2

Setelah RF diberikan dan terjadi peristiwa resonansi maka

pulsa lalu dihentikan (off) maka NMV kehilangan energi yang

dikenal dengan relaksasi. Ada dua fenomena yang terjadi pada

peristiwa relaksasi, yaitu jumlah magnetisasi pada bidang

longitudinal meningkat kembali atau recovery dan pada saat yang

sama jumlah magnetisasi pada bidang transversal akan meluruh

yang dikenal dengan decay.

Recovery magnetisasi longitudinal disebabkan oleh suatu

proses yang disebut dengan T1 recovery, dan decay pada

magnetisasi transversal disebabkan suatu proses yang disebut

dengan T2 decay. T1 recovery disebabkan oleh karena nuklei

memberikan energinya pada lingkungan sekitarnya atau lattice,

sehingga disebut juga dengan Spin-Lattice Relaxation. Energi yang

dibebaskan ke lingkungan sekitar akan menyebabkan magnetisasi

bidang longitudinal akan semakin lama semakin menguat dengan

waktu recovery yang disebut waktu relaksasi T1. T1 didefinisikan

sebagai waktu yang diperlukan suatu jaringan untuk mencapai

pemulihan magnetisasi longitudinal hingga mencapai 63% dari nilai

awalnya.

Sebagai contoh adalah lemak dan cairan cerebrospinal.

Lemak memiliki waktu relaksasi T1 yang pendek sekitar 180 ms

sedangkan cairan cerebrospinal memiliki waktu relaksasi T1 cukup

panjang berkisar 2000 ms. Sehingga waktu relaksasi T1 lemak lebih


22

cepat dibandingkan dengan waktu relaksasi cairan cerebrospinal.

Dengan demikian untuk pembobotan T1, jaringan dengan waktu

relaksasi T1 pendek (lemak) akan tampak terang (hiperintens) dan

jaringan dengan waktu relaksasi T1 panjang (cairan cerebrospinal)

akan tampak lebih gelap (hipo-intens).

Relaksasi T2 disebabkan oleh adanya pertukaran energi

antara inti atom hidrogen dengan inti atom di sekitarnya. Pertukaran

energi antar nuklei ini dikenal dengan Spin-Spin Relaxation dan

akan menghasilkan decay pada magnetisasi transversal. Waktu

yang diperlukan suatu jaringan untuk kehilangan energinya hingga

37% dikenal dengan waktu relaksasi T 2 (Snopek, 1992). Waktu

relaksasi T2 akan lebih pendek dari pada waktu relaksasi T1. Pada

pembobotan T2 dengan waktu relaksasi T2 panjang (seperti cairan

cerebrospinal sekitar 300 ms) akan tampak terang (hiperintens) dan

jaringan dengan waktu relaksasi T2 pendek (seperti lemak sekitar 90

ms) akan tampak lebih gelap (hipo-intens).

b. Instrumen Dasar MRI

1) Magnet Utama

Magnet utama digunakan untuk memproduksi medan magnet

yang besar, yang mampu menginduksi jaringan atau obyek

sehingga mampu menimbulkan magnetisasi dalam obyek.

Beberapa jenis magnet utama adalah:

a) Permanen Magnet
Permanen magnet dibuat dari bahan-bahan ferromagnetic

dan memiliki kuat medan magnet maksimal 0,3 Tesla. Bahan


23

yang umum digunakan sebagai pembuat magnet permanen

adalah campuran antara alumunium, nikel, dan kobalt, disebut

juga alnico. Permanen magnet tidak memerlukan listrik,

kadangkala dirancang dengan model terbuka dan sangat umum

digunakan pada pasien-pasien klaustrophobia, obesitas,

ataupun pasien dengan pemeriksaan musculo skeletal dan

teknik intervensional yang sulit dilakukan dengan MRI yang

tertutup (Westbrook, 2012)

Gambar 2.6.Permanen Magnet (Westbrook 2012)

b) Resistive Magnet

Magnet jenis ini dibangkitkan dengan memberikan arus

listrik melalui kumparan. Resistive magnet lebih ringan

dibandingkan dengan permanen magnet, sementara kuat

medan magnet maksimum yang dihasilkan kurang dari 0,3

Tesla.

Gambar 2.7.Resistive Magnet (Westbrook 2012)


24

c) Superconducting Magnet

Super conducting magnet menggunakan bahan yang terbuat

dari miobium dan titanium. Bahan tersebut akan menjadi

superconductive pada temperatur 4K (Kelvin) dengan

memberikan arus listrik melalui kumparan-kumparan. Untuk

menjaga kemagnetan kumparan harus dalam temperatur yang

sangat dingin. Biasanya digunakan helium cair yang disebut

juga dengan cryogen bath. Kuat medan magnet yang dihasilkan

berkisar antara 0,5-4 Tesla untuk pencitraan diagnostik, dan

lebih dari 8 Tesla untuk penelitian spectroscopic dan high

resolution.

2) Koil

a) Koil Gradient

Koil gradien digunakan untuk membangkitkan suatu medan

magnet yang berfungsi menentukan irisan, pengkodena

frekuensi, dan pengkodean fase. Terdapat tiga medan yang

saling tegak lurus antara ketiganya, yaitu bidang x, y, dan z.

Fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan irisan yang dipilih

(axial, sagital, atau koronal), gradien ini digunakan sesuai

dengan koordinat dimensi ruang sebagai berikut:

i. Gradien pemilihan irisan (slice selection) yaitu Gz.

ii. Gradien pemilihan fase (phase encode), yaitu Gy.

iii. Gradien pemilihan frekuensi (frequency encode), yaitu Gx.


25

Gambar 2.8. Kumparan gradien pada MRI menunjukkan


tiga kumparangradien yang saling tegak lurus pada
bidang x, y, dan z (Westbrook 2012).

Gambar 2.9. Menunjukkan pemilihan gradien sepanjang


sumbu x, y, dan z dengan z axis pasien sejajar dengan z
axis magnet (Westbrook 2012.

b) Koil Radiofrekuensi

Koil yang umum digunakan, yaitu koil penerima dan koil

pemancar-penerima (transceiver coil). Dengan medan magnet

yang tinggi akan lebih efisien menggunakan koil transceiver jika

dibandingkan dengan penggunaan koil penerima saja, karena

koil transceiver hanya membutuhkan energi Radio-Frekuensi

(RF) yang kecil untuk menghasilkan magnetisasi transversal,

sehingga SAR (Specific Absorbtion Rate) terhadap pasien

dapat dikurangi. Koil pemancar berfungsi memancarkan

gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi

eksitasi. Sedangkan koil penerima berfungsi untuk menerima

sinyal output dari sistem setelah eksitasi terjadi.


26

Semakin dekat objek terhadap koil, kemampuan koil

menerima sinyal semakin baik. Receive Only Coils, koil jenis ini

hanya menerima sinyal, didesain untuk dapat ditempatkan pada

organ-organ tertentu seperti caudorectal untuk melihat prostat,

rectum, atau uterus. Koil jenis ini disebut juga local coil.

Beberapa jenis koil (Westbrook, 2011), diantaranya :

i. Koil Volume. Koil Volume dapat menangkap sinyal lebih

besar dari jaringan yang tereksitasi sehingga Signal to

Noise Ratio (SNR) menjadi lebih baik. Koil ini merupakan

koil transceiver yang berfungsi sebagai pemancar

sekaligus penerima, digunakan untuk pemeriksaan kepala,

ekstremitas, abdomen, dan pelvis.

ii. Koil Permukaan (Surface Coil), merupakan penguat sinyal

yang diterima dan dapat ditempatkan dekat dengan objek

(sumber sinyal). Surface coil juga meningkatkan SNR

iii. Koil Linier, merupakan koil yang sensitif terhadap

perubahan arah medan magnet atau perubahan medan

magnet sepanjang axis.

iv. Koil Kuadrat, merupakan koil yang sensitif terhadap

perubahan medan magnet sepanjang axis ganda.

v. Koil Phased Array, disebut juga multicoil yang dapat

mencakup objek lebih besar tanpa menimbulkan noise

sebagaimana jika digunakan dua koil yang diletakkan

berdekatan. Pada Koil Phased Array, masing-masing koil

tidak saling berhubungan sehingga SNR (Signal to Noise


27

Ratio) tidak terganggu. Kondisi tersebut sangat

menguntungkan dalam mencakup obyek yang lebih

panjang, seperti pada kasus-kasus multilevel metastasis,

karena tidak perlu memanipulasi pasien terlalu banyak

sehingga penderita tidak merasa kesakitan.

3) Sistem Komputer

Sistem komputer digunakan sebagai pengendali sebagian

besar operasional peralatan MRI. Dengan kelengkapan perangkat

lunaknya, computer mampu melakukan tugas-tugas mulai dari input

data, pemilihan protokol pemeriksaan, pemilihan irisan, mengontrol

seluruh sistem, pengolahan data, penyimpanan data, pengolahan

citra, display citra sampai rekam data.

c. Pembobotan Citra (Weighted Image)

Secara umum ada tiga pembobotan citra yaitu: pembobotan T1-,

pembobotan T2, dan proton density.

1) Kontras Citra Pembobotan T1 (T1-Weighted Image)

Pada pembobotan T1 diberikan TR yang cukup pendek

sehingga baik jaringan lemak maupun air tidak cukup waktu untuk

dapat kembali recovery pada nilai magnetisasi awal (B0), dengan

demikian terjadi perbedaan yang cukup besar pada signal MR dari

air dan lemak. Pada pembobotan T1 air mempunyai signal yang

lemah sehingga memiliki gambaran yang kurang terang, gelap atau

hipointens, sedangkan lemak mempunyai signal yang lebih kuat

sehingga memiliki gambaran yang lebih terang atau hiperintens.


28

Waktu relaksasi T1 lemak lebih pendek (180 ms) dari pada

waktu relaksasi T1 air (2500 ms), maka recovery lemak akan lebih

cepat dari pada air sehingga komponen magnetisasi lemak pada

bidang longitudinal lebih besar dari pada magnetisasi longitudinal

pada air. Dengan demikian lemak memiliki intensitas sinyal yang

lebih tinggi dan tampak terang pada kontras citra T1. Sebaliknya air

akan tampak dengan intensitas sinyal yang rendah dan tampak

gelap pada kontras citra T1. Citra yang demikian itu (lemak tampak

terang dan air tampak gelap) dalam MRI dikenal dengan

pembobotan T1 (T1-Weighted Image/ T1-WI). Jadi untuk

menghasilkan kontras citra pembobotan T1, dipilih parameter waktu

TR yang pendek (berkisar antara 300-700 ms) dan waktu TE yang

pendek (berkisar antara 10 -30 ms).

2) Kontras Citra Pembobotan T2 (T2-Weighted Image)

Pada pembobotan T2 air mempunyai signal yang lebih kuat

sehingga memiliki gambaran lebih terang atau hiperintens

sedangkan lemak mempunyai signal yang lebih lemah sehingga

memiliki gambaran yang lebih kurang terang, gelap atau hipointens.

Hal ini disebabkan pada pembobotan T2 diatur TE yang cukup

panjang sehingga baik air maupun lemak cukup waktu untuk

mengalami decay dan mengakibatkan terjadinya perbedaan signal

yang cukup besar.

Karena waktu relaksasi T2 lemak (90 ms) lebih pendek dari

pada air (2500 ms), maka komponen magnetisasi transversal

lemak akan decay lebih cepat dari pada air sehingga akan
29

menghasilkan intensitas sinyal yang kuat dan akan tampak terang

pada kontras citra T2. Sebaliknya magnetisasi transversal pada

lemak lebih kecil dan menghasilkan citra intensitas rendah dan

tampak gelap pada kontras citra T2. Citra yang demikian itu (lemak

tampak gelap dan air tampak terang) dalam MRI dikenal dengan

pembobotan T2 (T2-Weighted Image/ T2 WI). Jadi untuk

menghasilkan kontras citra pembobotan T2, dipilih waktu TR yang

panjang (800 ms hingga 2000 ms atau lebih) dan waktu TE yang

panjang (80 ms).

3) Kontras Citra Proton Density-Weighted Image

Apabila diberikan TR cukup panjang maka baik air maupun

lemak akan sama-sama mempunyai cukup waktu untuk mengalami

recovery menuju magnetisasi longitudinal awal sehingga

menghilangkan gambaran pembobotan T1. Apabila pada saat yang

bersamaan juga diberikan TE yang sangat pendek maka tidak

cukup waktu bagi air maupun lemak untuk terjadinya relaksasi

transversal sehingga menghilangkan gambaran pembobotan T 2.

Dengan demikian apabila TR panjang dan TE pendek maka

gambaran yang terjadi bukan T1 WI ataupun T2 WI. Gambaran

yang terjadi semata mata diakibatkan oleh perbedaan densitas atau

kerapatan proton, yaitu jumlah proton persatuan volume. Suatu area

dengan kerapatan proton yang tinggi akan memberikan gambaran

yang terang atau hiperintens sebaliknya suatu area dengan

kerapatan proton yang rendah akan tampak gelap atau hipointens.


30

Gambaran Proton Density-Weighted Image (PDWI) bergantung

dari banyak sedikitnya jumlah proton per unit volume. Kontras citra

diperoleh berdasarkan perbedaan banyak sedikitnya proton pada

masing-masing jaringan. Misalnya jaringan otak dengan proton

yang tinggi akan menghasilkan komponen magnetisasi transversal

besar dan tampak terang pada kontras citra PDWI. Sedangkan

tulang memiliki proton yang rendah dan tampak gelap pada kontras

citra PDWI. Untuk memilih kontras citra PDWI, diatur dengan waktu

TR yang panjang dan waktu TE yang pendek.

d. Sekuens MRI

Beberapa urutan pulsa yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :

1) Spin Echo (SE)

Urutan pulsa Spin Echo terdiri dari 90˚ pulsa excitation yang

diikuti 180˚ pulsa rephasing, dan hanya dengan satu langkah

Phase encoding per TR. Pembobotan gambar meliputi T1, T2 dan

PD. Spin Echo digunakan hampir disemua pemeriksaan dengan

hasil citra yang sangat baik karena memiliki nilai SNR yang tinggi.

Pembobotan T1 menghasilkan gambaran anatomi, sedangkan

pembobotan T2 menunjukkan patologinya, yang akan tampak

terang jika ada cairan. Tetapi kerugian SE adalah waktu yang

relatif panjang.

2) Fast Spin Echo (FSE)

Disamping SE (Spin Echo) ada juga FSE (Fast Spin Echo),

yaitu pencitraan cepat, pada awalnya dikenal dengan RARE


31

(Rapid Acquisition With Recofussed Echos). FSE ini

menggunakan pulsa 90˚ yang diikuti rangkaian pulsa 180˚ untuk

menghasilkan rangkaian echo yang disebut ETL ( Echo Train

Length). Setiap echo pada FSE memiliki sejumlah sinyal fase yang

bersesuaian dengan jalur-jalur berbeda pada K-Space (Osborn

A.G, 1992).

Pencitraan FSE biasanya digunakan untuk menghasilkan citra

dengan karakteristik T2 weighting dengan TR lebih besar dari

3000 ms. FSE mempunyai cara yang sangat fantastis untuk

memanipulasi teknik SE konvensional dengan cara

mempersingkat waktu scanning.

3) Inversion Recovery

Rangkaian pulsa RF yang digunakan pada metode ini sedikit

berbeda dengan metode SE yaitu pulsa RF 180 sebelum pulsa 90.

Waktu antara pulsa 180 yang pertama dengan pulsa 90 disebut

sebagai Inversion Time (TI), karena adanya proses inversi

(pembalikan) dari magnetisasi (M). Waktu antara pulsa 90 dengan

timbulnya sinyal echo sebagai echo time (TE). Sedangkan yang

dimaksud dengan TR atau Repetition Time adalah waktu antara

pulsa 180 dengan timbulnya pulsa 180 yang lain, yang memulai

lagi proses IR ini. Magnetisasi (M) dengan pulsa RF 180 yang

diberikan, dibalik selama suatu waktu lebih kurang T1, sebelum

rangkaian pulsa yang biasa diberikan. Proses selanjutnya seperti

yang terjadi pada metode SE, yaitu diberikan pulsa 90 yang

menyebabkan magnetisasi (M) berputar ke bidang XY. Kemudian


32

terjadi penyebaran moment magnetic inti-inti atom sehingga timbul

perbedaan phase. Pulsa 180 diberikan setelah periode t, yang

mengakibatkan magnetisasi (M) terfokus kembali dan timbulnya

setelah periode t.

IR secara conventional digunakan untuk menghasilkan citra

T1-weighted heavily (secara berat) untuk menunjukkan anatomi.

180 ° RF inverting pulse menghasilkan perbedaan kontras yang

besar antara lemak dan air karena saturasi penuh lemak dan

vector air dicapai pada awal setiap TR. Dua sekuens dalam

kategori ini adalah STIR dan FLAIR.

a) Short Tau Inversion Recovery (STIR)

STIR adalah pulsa IR yang menggunakan T1 sesuai

dengan waktu yang dibutuhkan lemak untuk recoveri dari

inversi penuh ke bidang transversal, sehingga tidak ada

magnetisasi longitudinal yang berkaitan dengan lemak. T1

100-175 ms mencapai penekanan lemak. STIR sangat

penting dalam pencitraan musculoskeletal. Sekuens ini

sangat berguna untuk menekan lemak dalam pencitraan MRI.

Gambar 2.10: Citra Coronal STIR lutut.


(Westbrook 2014)
33

b) Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR )

Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR) merupakan

salah satu variasi sequence inversion recovery dengan

menulkan sinyal CSF (cerebro spinal fluid) dengan memilih TI

yang sesuai dengan waktu recovery CSF dari pulsa 180° ke

arah bidang transversal sehingga tidak terjadi magnetisasi

longitudinal pada CSF. Ketika diaplikasikan pulsa 90° eksitasi,

vector CSF disudutkan melewati 90° sampai mencapai

saturasi penuh kembali sehingga CSF menjadi nol.

FLAIR digunakan untuk menekan sinyal CSF pada

pembobotan T2 dan proton density sehingga kelainan-

kelainan patologis dapat tervisualisasi lebih jelas. FLAIR

digunakan dalam pencitraan otak dan tulang belakang untuk

melihat plak multiple sclerosis, subarachnoid hemorrhage

(pendarahan subaraknoid) akut, dan meningitis. Modifikasi lain

dari sequence (urutan) ini dalam pencitraan otak adalah

memilih TI yang sesuai dengan titik null white matter. Nilai TI

ini nulls (membatalkan) signal dari white matter normal

sehingga lesions di dalamnya tampak lebih cerah jika

dibandingkan. Sequence ini (yang membutuhkan TI sekitar

300 ms) sangat berguna untuk lesions white matter seperti

periventricular leukomalacia dan untuk kelainan bawaan abu-

abu/ white matter. Keuntungan sekuens Flair, untuk

mendeteksi lesi yang hiperintens dengan Cerebro Spinal Fluid

serta mendeteksi lesi yang sangat kecil.


34

Gambar 2.11: Axial T2-weighted FLAIR dari otak.


(Westbrook 2014 )

Gambar 2.12: Citra coronal IR-TSE T2-weighted dengan TI yang


dipilih untuk null white matter.( Westbrook, 2014)

4) Gradient Echo (GRE)

Gradien Echo disebut juga Gradient Recalled Echo (GRE).

Pulse sekuens GRE menggunakan pulsa RF yang bervariasi

dengan flip angles (sudut balik) kurang dari 90°. Memiliki TE dan TR

lebih pendek dari pada sekuens spin echo, TR 50-100 ms, TE 5-25,

Flip angle 30-70. Tujuan utama digunakannya sekuens GRE

adalah mereduksi waktu scanning. Ada 4 modifikasi GRE menurut

Westbrook, (2011):

a) Steady State

Steady State istilah yang digunakan dalam konteks ilmiah

yang didefinisikan sebagai kondisi stabil yang tidak berubah


35

dari waktu ke waktu. Stedy State pada GRE adalah kondisi

dimana TR lebih pendek dari waktu relaksasi T1 dan T2

jaringan. Dengan TR yang pendek tersebut maka tidak ada

waktu bagi magnetisasi transversal untuk decay (meluruh)

sebelum pengulangan pulsa sekuens berikutnya. Hal ini

berakibat pada kontras citra.

b) Gradient Echo Koheren

GRE Koheren menggunakan variasi flip angle yang diikuti

dengan gradient rephrasing untuk memproduksi GRE. Pada

GRE koheren residual magnetization diproses agar koheren

dengan dengan proses yang dikel dengan istialh Rewinding.

Rewinding adalah proses pembalikan slope gradient phase

encoding setelah read out.

GRE koheren menghasilkan pembobotan T2*. Pada

pembobotan ini cairan tampak terang sehingga cocok untuk

angiografi, mielografi dan arthrografi. Tetapi GRE koheren

menurunkan nilai SNR dan meningkatkan magnet susceptibility

serta meningkatkan gradient noise.

c) Gradien Echo Inkoheren (Spoiled)

GRE inkoheren (spoiled) dimulai dengan menggunakan

gradient rephrasing untuk memproduksi GRE. Sekuen ini

bersifat merusak (spoil) magnetisasi sehingga berdampak pada

rendahnya kontras. Pada sekuen ini hanya menggunakan

magnetisasi transversal dari eksitasi sebelumnya yang

memungkinkan kontras T1 mendominasi.


36

Sinyal dari Spoiled GRE tergantung pada tiga parameter

yang dapat dipilih operator Time Repetition (TR) adalah waktu

pengulangan antara pulsa sekuen yang satu dengan yang

berikutnya sedangkan waktu tengah antara pulsa 90˚ dan sinyal

maksimum (echo) disebut dengan Time Echo (TE) serta Flip

Angle (α) adalah rotasi vector magnetisasi oleh pulsa frekuensi

terhadap medan magnet utama. Ditambah tiga parameter

jaringan intrinsik (T1, T2 *, dan spin-density [H]).

Pengaruh TR, TE dan Flip Angle terhadap kontras gambar:

1). TE mengontrol T2 *-weighting

Semakin besar TE kontras gambar pada T2 *-

weighting meningkat.

2). Sudut flip (α) mengontrol T1-weighting

Flip angle yang kecil meminimalkan T1-weighting

karena magnetization longitudinal dari berbagai jaringan

tidak dibedakan banyak dengan perpindahan sudut kecil.

Sebaliknya Oleh karena itu pada sudut flip kecil, [H] dan

T2 * lebih dominan. Sebaliknya, sebagai α → 90 º, T1-

pemboboan meningkat mengontrol T1 weighting,

3). TR mengontrol T1-weighting.

TR yang kecil lebih menonjolkan efek T1, TR yang

besar meminimalkan efek T1 dan lebih menonjolkan efek

T2 *-weighting.
37

d) Fast Spoiled Gradient Echo (FSPGR 3D)

Sekuens FSPGR (Fast Spoiled Gradient Echo) cukup mirip

dengan sekuens SPGR (Spoiled Gradient Echo) dengan

menggunakan pembobotan T1. Namun sekuen FSPGR

menggunakan durasi echo parsial yang lebih pendek dan

bandwith receiver yang lebih tinggi. Menggunakan nilai TR: 20-

50 ms dan flip angle yang lebih sedikit: 30-45° dengan waktu

akuisisi yang lebih singkat serta penggunaan TE yang lebih

pendek 5-10 ms dapat mengurangi artefak kerentanan dan

meningkatkan SNR (Elmaoglu,2012)

FSPGR 3D adalah sekuen yang dimulai dengan variable flip

angle RF eksitasi pulsa dan menggunakan gradient rephasing

untuk menghasilkan gradien echo. Pada sekuen ini hanya

menggunakan magnetisasi transversal dari eksitasi

sebelumnya yang memungkinkan kontras T1 mendominasi.

Sekuen spoiled magnetisasi ini menghasilkan kontras citra

yang minimal. Sekuen 3D FSPGR menunjukkan anatomi yang

baik setelah peningkatan kontras gadolinium.

e) IR-Fast Spoiled Gradient Echo(IR-FSPGR 3D)

Sekuen IR FSPGR 3D adalah sekuen 3D FSPGR yang

menggunakan nilai TR, TE dan Flip Angle sangat pendek

dengan pembobotan T1 untuk menampilkan anatomi.

Parameter yang disarankan untuk sekuen 3D-IR(FSPGR)

pembobotan T1 adalah dengan nilai TR: 20-50 ms, nilai Flip

Angle: 30-40°, nilai TE pendek: 5-10 ms dan nilai TI: 400-800


38

ms (Westbrook,2014). Sekuen ini menghasilkan gambar yang

kurang baik, sehingga jaringan memiliki sinyal pencitraan

yang buruk kecuali menggunakan media kontras. Oleh karena

itu magnetisasi disiapkan, paling sering dengan pulsa inversi.

Untuk mempertahankan kontras T1 pulsa inversi 180°

digunakan sebagai persiapan magnetisasi sebelum

pengulangan sekuen IR FSPGR 3D . Waktu inversi yang

efektif akan sesuai dengan delay antara pulsa inversi dan

akuisisi garis k-space. Pengisian K-space dapat mengikuti

lintasan variable untuk menentukan kontras gambar.

Penambahan pulsa inversi pada sekuen 3D-FSPGR terdapat

pemusatan perolehan data berikutnya disekitar waktu inversi

TI, menyebabkan di salah satu jaringan memiliki sinyal yang

sedikit karena z-magnetisasi melewati nol. Sekuen ini

mengunakan nilai TI pendek sehingga terdapat penekanan

sinyal lemak jaringan, yang mengakibatkan visualisasi

patologi, anatomi dan peningkatan perbedaan kontras menjadi

lebih baik pada pembobotan T1 (Westbrook,2011).

e. Teknik 3D

Teknik 3D adalah teknik pencitraan akuisisi 3D yang diperoleh

dari mengumpulkan data dari volume pencitraan atau slab

kemudian menerapkan pengkodean fase tambahan di sepanjang

sumbu irisan. Dengan cara ini, irisan yang sangat tipis tanpa celah

diperoleh dan kumpulan data dapat dilihat pada bidang apapun.

Sekuen 3D mempunyai keunggulan memiliki resolusi isotropik yang


39

tinggi, mempunyai parsial volume yang lebih kecil karena irisan

yang lebih tipis serta mampu menghasilkan reformat gambar

multiplanar. Kelemahan sekuen ini menggunakan waktu pemindaian

yang lebih lama dibanding pencitraan 2D (Brown,2003).

(A) (B)
Gambar 2.13 (A)Citra 3D-IR(FSPGR), (B) Citra 3D-(FSPGR)

Pada gambar 2.13, citra 3D-IR(FSPGR) tampak lebih jelas

dan tegas dalam menampilkan white matter dan gray matter

dibanding citra 3D-(FSPGR).

f. Kualitas Citra MRI

Faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas citra MRI adalah

spatial resolution, Signal to Noise Ratio (SNR), Contrast to Noise

Ratio (CNR), dan waktu scanning, ( Westbrook ,2014)

1. Spatial resolution

Spatial Resolution adalah kemampuan untuk membedakan

dua titik yang berbeda. Spatial Resolution ini tergantung dari

ukuran voxel, sedangkan ukuran voxel, dipengaruhi oleh

perubahan pada slice thickness, FOV dan matrix. Namun,

bila spatial resolution semakin meningkat maka sinyal citra

menjadi semakin turun.


40

2. Signal to noise ratio (SNR)

Menurut Westbrook (2011), SNR adalah perbandingan

antara kekuatan sinyal asli dengan kekuatan sinyal

gangguan (noise). SNR dipengaruhi oleh:

1). Tebal Irisan, yaitu semakin besar ukuran ketebalan irisan atau

potongan akan menghasilkan volume voxel, maka akan

semakin tinggi pula nilai SNR

2). TR, TE, dan Flip Angle

3). NEX ganda berarti jumlah data yang tersimpan pada K-Space

juga ganda. Namun karena deraunya acak, yaitu dimana saja

data dicatat, sedangkan sinyalnya tetap, maka NEX ganda

hanya meningkatkan SNR sebesar 1,4.

4). Bandwidth

Bandwidth adalah rentang frekuensi yang digunakan untuk

akuisisi data. Lebar bandwidth ditentukan oleh kekuatan

gradien readout dan data sampling rate yang secara khusus

berpengaruh pada sistem MRI. Bandwidth tidak

mempengaruhi kekuatan sinyal, tetapi berhubungan erat

dengan banyaknya derau. Jadi SNR dapat dipengaruhi oleh

bandwidth (Westbrook, 2011). Semakin kecil bandwidth, maka

deraunya akan semakin mengecil.

5). Penggunaan koil yang dipasang sedekat mungkin dengan

obyek
41

3. Contrast to noise ratio (CNR)

Menurut Westbrook (2011), Contrast to Noise Ratio (CNR)

adalah perbedaan SNR antara dua area yang berdekatan. CNR

yang baik dapat menunjukan perbedaan daerah yang patologis

daerah yang sehat. Dalam hal ini, CNR dapat ditingkatkan dengan

cara :

1) Menggunakan media kontras

2) Menggunakan pembobotan gambar T2

3) Memilih magnetization transfer

4) Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan spectral

pre-saturation

4. Waktu scanning

Waktu pencitraan, dipengaruhi oleh Time Repetition (TR),

jumlah phase encoding (Ny), dan NEX. Sehingga untuk

mengurangi waktu dilakukan dengan cara :

1. TR sependek mungkin

2. Matriks yang kasar

3. NEX sekecil mungkin

4. Prosedur Pemeriksaan MRI Kepala Epilepsi

a. Prosedur Keamanan MRI

Meskipun MRI tidak menggunakan radiasi pengion tetapi harus

diyakinkan bahwa telah dilakukan pengecekan sehingga aman bagi

radiografer, staf lain dan masyarakat. Kepedulian semua pihak pada

keamanan pengoperasian MRI perlu ditekankan. MRI merupakan


42

kontra indikasi pada pasien dengan cardiac pace marker, klip

aneurisma, protheses (alat bantu yang didesain untuk menggantikan

bagian tubuh tertentu), cochlear implants (alat bantu dengar yang

dipasang dalam cochlear), kartu kredit, uang, jam (logam yang

dipasang dalam tubuh) atau alat logam lainnya yang bersifat

feromagnetik. Pengaruh medan magnet yang sangat kuat terhadap

kehamilan telah diteliti, sebaiknya wanita hamil tidak berada dalam

ruang periksa terutama pada trimester pertama dari kehamilannya.

Resiko terbesar dari MRI bukan karena efek biologi tetapi resiko

dari benda-benda logam yang dapat meluncur karena tarikan magnet

yang sangat kuat. Benda-benda logam dapat meluncur cepat sampai

40 km/ jam tergantung dari ukuran dan kuat medan magnet sehingga

dapat menyebabkan cedera yang serius. Harus diperiksa benar

bahwa tabung oksigen, kursi roda, penyangga infus, dan gunting

tidak berada dekat sumber magnet utama (Westbrook,2014).

b. Imobilisasi dan Fiksasi Pasien

Imobilisasi pasien dengan hati-hati selalu diperlukan untuk

mendapatkan hasil yang optimal. Imobilisasi sangat penting terutama

pada pemeriksaan yang memerlukan waktu yang cukup panjang,

lebih-lebih apabila daerah yang diperiksa sangat kecil dan

memerlukan resolusi yang sangat baik. Kunci dari imobilisasi yang

baik adalah pengaturan posisi pasien yang tepat, pasien difiksasi

pada posisi yang senyaman dan serileks mungkin. Harus diingat pula

bahwa meskipun pada awalnya pasien merasa nyaman tetapi waktu


43

pemeriksaan yang cukup lama mungkin akan mengakibatkan pasien

menjadi gelisah dan kurang nyaman.

Apabila pasien telah diatur dengan benar pada meja

pemeriksaan, kemudian coils yang sesuai telah dipasang pada

tempat yang seharusnya, kemudian dilakukan tindakan imobilisasi

untuk mencegah pasien bergerak. Biasanya tersedia bantalan foam

dengan variasi bentuk dan ukuran. Beberapa alat fiksasi

dikombinasikan dengan coil yang sesuai dengan anatomi tubuh.

Diperlukan tindakan untuk meyakinkan bahwa alat fiksasi tidak

menyebabkan cedera pada pasien. Kadang diperlukan plester atau

tape untuk membantu alat fiksasi. Pita kompresi (compression band)

pada abdomen dan pelvis biasanya cukup efektif untuk mereduksi

gerakan usus. Bantalan kecil di bawah lutut juga dapat membuat

pasien merasa lebih nyaman (Westbrook, 2014).

c. Persiapan Alat

Persiapan alat menurut Westbrook (2014) adalah:

1) Head coil

2) Perangkat komputer

3) Alat Imobilisasi dan tali pengikat

4) Penutup telinga (earplug) dan headphone

5) Emergenzy buzzer

6) Selimut

d. Persiapan Pasien

Menurut Westbrook (2014), bahwa persiapan pasien terdiri dari

pasien diminta melengkapi checklist yang tersedia.


44

Isi checklist adalah sebagai berikut:

1) Apakah pasien claustrophobia.

2) Apakah pasien pernah dipasang implant sehubungan dengan

operasi jantung atau pembuluh darah ataupun operasi orthopedic

dan jenis lainnya.

3) Apakah pasien menggunakan gigi palsu.

4) Apakah pasien ada riwayat alergi dan lain-lain.

5) Pasien diminta untuk ganti baju pasien dan meninggalkan semua

barang yang dibawa.

e. Posisi pasien

Pasien berbaring telentang (supine) pada meja pemeriksaan

dengan posisi kepala berada di dalam coil. Posisi kepala diatur

sehingga garis yang menghubungkan kedua sudut mata kanan dan

kiri (interpupillary line) menjadi parallel terhadap permukaan meja dan

MSP tepat pada longitudinal alignment light. Horisontal alignment

light tepat melewati nasion, kemudian dipasang alat imobilisasi.

Untuk menambah kenyamanan genu dapat sedikit diangkat dan

diberi pengganjal spon di bawahnya. Kedua lengan diatur lurus di

samping badan. Emergenzy buzzer diberikan kepada pasien dan

dijelaskan kapan harus digunakan. Agar pasien lebih merasa rileks

dapat pula ditawarkan musik sesuai selera pasien.


45

Gambar 2.14. Posisi kepala sesuai horizontal dan longitudinal light.


(Elmaoglu, 2012)

Gambar 2.15. Koil kepala dan posisi pasien (Elmaoglu, 2012).

f. Sekuen dan Parameter

Elmaoglu M & Celik A,( 2012) menjelaskan bahwa sekuens dan

parameter yang ada pada pemeriksaan MRI Kepala epilepsi, yaitu :

1) Sekuen T1 SE Sagital

Sekuen ini bertujuan untuk mengetahui gambaran brain


dari arah sagital mulai dari cerebelum hingga lobus frontal.
Sagital SE T1 irisan 5 mm sejajar dengan mid brain line, dipakai
sebagai orientasi untuk membuat axial oblique dan coronal.
46

Gambar 2.17.Neurocranium. Orientasi sekuen Sagital.


(Moeller, Torsten B. 2003)

(a) Coronal (b) Axial (c) Sagital


Gambar 2.18: Planning Brain (c) Sagital dari pencitraan (a) coronal dan
(b) axial (Elmaoglu, 2012)

Area : Dari lobus temporal kanan sampai lobus temporal kiri.


Slice Angle : Sejajar dengan Midsagital Plane

2) Sekuen T2 Flair FRSE/ T2 FRSE Coronal oblique

Sekuen coronal T2WI FRSE irisan tipis 4 mm diambil


tegak lurus dengan hipokampus yang dapat dilihat pada irisan
lateral pada gambar sagital.
47

Gambar 2.19.orientasi untuk membuat axial oblique dari pencitraan


sagital. (Westbrook, 2014)

3) 3DT1-IR FSPGR (Fast Spoiled Gradien Echo) coronal

Coronal 3D-IR FSPGR (Fast Spoiled Gradien Echo) irisan

tipis 2 mm diambil tegak lurus dengan hipokampus. Untuk

pengukuran hipokampus, irisan dari bagian posterior serebelum ke

perbatasan anterior dari genu Corpus callosum. Reformat irisan

yang diinginkan, maka set data isotropik harus diperoleh.

(a) Sagital (b) Axial (c) Coronal Oblique

Gambar 2.20.Planing untuk membuat sekuens (c) coronal oblique


dari pencitraan (a) Sagital dan (b) Axial (Elmaoglu, 2012).
48

Gambar 2.21: Coronal inkoheren T1- GRE diperoleh dari akuisisi


3D ( Westbrook, 2014)

4) Sekuen T2 IR-FSE coronal oblique

T2 IR FSE coronal oblique ini sering memberikan gambar

dengan kontras yang tinggi antara Grey matter dan White Matter.

Sebuah TI yang dipilih untuk null sinyal dari White Matter (sekitar

300 MS) dapat digunakan untuk meningkatkan Grey/putih kontras

di wilayah hipokampus. Sekuen T2 IR FSE coronal oblique

diambil irisan tipis 4 mm tegak lurus dengan hipokampus.

(a) White matter

(b) Grey matter

Gambar 2.21.Coronal IR-FSE T2.(Westbrook, 2014)


49

5) Sekuen T1 FSE Axial

Irisan rutin 5,5 mm diambil sejajar dengan corpus

callosum

(a) Sagital (b) Coronal (c) Axial


Gambar 2.23.orientasi untuk membuat (c) axial dari pencitraan
(b) sagital T1 (Elmaoglu, 2012).

6) Sekuens Diffusion Axial

Irisan rutin 5,5 mm sejajar corpus callosum, dengan b value

1000 ml/s. Sekuens ini untuk melihat kelainan otak yang lain yaitu

kelainan infark akut atau kronik. Orientasi untuk membuat

sekuens diffusion axial sama seperti membuat sekuens T1 FSE

axial

7) Parameter sekuen 3DT1-IR FSPGR

Parameter sekuen 3DT1-IR FSPGR (Elmaoglu, 2012) adalah

TE: min-full, TR: min, bandwith: 15,63, slice thickness: 2mm, slice

spacing:-1, FOV; 22mm, NEX: 1, freq-direction: superior inferior.


50

B. Kerangka Teori

Prosedur Parameter Sekuen

-Indikasi umum -FOV -3DT1- IR(FSPGR)


-Instrumen -Slice Thickness -3DT1-(FSPGR)
-Posisi Pasien -Bandwidth
-Rekomendasi -NEX
Protokol -Slice spacing
-Optimasi citra -Freq-direction
-TR
-Flip angle

-Resolusi spasial

-Waktu scan
Kualitas citra
-SNR

-CNR

Informasi anatomi

C. HIPOTESA

Ha : Ada perbedaan informasi anatomi pada MRI Brain epilepsI

irisan coronal antara sekuen 3DT1-IR (FSPGR) dan 3DT1-

(FSPGR).

Ho : Tidak ada perbedaan informasi anatomi pada MRI Brain

epilepsI irisan coronal antara sekuen 3DT1-IR (FSPGR) dan

3DT1-(FSPGR).

Anda mungkin juga menyukai