Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Lisa Permitasari (2012), Cedera kepala adalah serangkaian kejadian

patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala,

tulang dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala (trauma capitis) adalah

cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang

mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan

kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.

Jika dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh yang lain, trauma kepala

dapat menimbulkan gangguan yang lebih kompleks dikarenakan struktur anatomis dan

fisiologis dari isi tengkorak lebih bervariasi. Kulit kepala juga memiliki pembuluh darah

yang banyak, sehingga apabila terjadi laserasi akan menyebabkan perdarahan yang

massif serta dapat menurunkan kualitas hidup penderita (Zwingly, Oley and Limpeleh,

2015).

Kasus cedera kepala merupakan kasus terbanyak yang dapat ditemukan di unit

gawat darurat (UGD). Di Indonesia diperkirakan terdapat 500.000 kasus kecelakaan lalu

lintas mengakibatkan trauma kapitis tiap tahunnya (Djaja et al., 2016). Di negara-negara

maju kejadian cedera kepala mencakup 26% dari jumlah seluruh kasus kecelakaan yang

menyebabkan seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari selama jangka panjang

(Salim, 2015),(Christanto et al., 2015). Untuk menghindari efek samping berat dari

cedera kepala tersebut, maka dibutuhkan penangan medis yg cepat dan tepat sesuai

dengan tingkat keparahannya. Salah satu modalitas yang digunakan untuk mendiagnosa

secara tepat cedera kepala adalah modalitas MSCT. Modalitas CT-Scan memiliki

kemampuan untuk membedakan bagian-bagian yang kecil dan saling superposisi,


dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi konvensional. Sehingga pemeriksaan ini

sesuai untuk membantu menegakkan diagnosa cedera kepala.

Pemeriksaan CT-Scan dapat menampakkan kelainan yang terjadi di dalam otak,

biasanya pada kasus cedera, pemeriksaan CT-Scan sangat membantu dalam menampakan

pedarahan di otak dan dapat mengetahui ada tidaknya fraktur yang tidak dapat

ditampakkan dengan pemeriksaan radiografi konvensional.

Menurut Bruce W. Long (2016) posisi pasien pada pemeriksaan MSCT kepala

adalah supine di atas meja pemeriksaan dengan kepala pasien berada pada head holder,

range scanning meliputi Skull base sampai dengan vertex. Sedangkan di instalasi

Radiologi RSUD Tabanan range scanning untuk MSCT kepala dengan kasus cedera

kepala adalah semaksimalnya mencakup vertex hingga tampak columna vertebrae

cervical. Tentunya metode khusus seperti ini mempunyai maksud dan fungsi tersendiri

dalam rangka penegakan diagnosis suatu penyakit.

Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai teknik

pemeriksaan MSCT kepala di Instalasi Radiologi RSUD Tabanan dan mengangkatnya

dalam bentuk laporan kasus dengan judul: “Teknik Pemeriksaan MSCT kepala pada

Kasus Post Trauma di Instalasi Radiologi RSUD Tabanan”.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagimana teknik pemeriksaan MSCT kepala pada Kasus Post Trauma di

Instalasi Radiologi RSUD Tabanan?

1.2.2 Bagaimana informasi citra anatomi pada pemeriksaan MSCT kepala dengan

kasus post trauma di Instalasi Radiologi RSUD Tabanan?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui teknik pemeriksaan MSCT kepala pada Kasus Post Trauma

di Instalasi Radiologi RSUD Tabanan.


1.3.2 Untuk mengetahui informasi citra anatomi pada pemeriksaan MSCT kepala

dengan kasus post trauma di Instalasi Radiologi RSUD Tabanan.

1.4 Manfaat

Manfaat penulisan laporan kasus ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Bagi Penulis

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Praktek Kerja Lapangan (PKL) serta

menambah wawasan pengetahuan mengenai teknik pemeriksaan MSCT kepala

pada kasus cedera kepala ringan (CKR).

1.4.2 Bagi Rumah Sakit

Dengan hasil laporan kasus ini dapat memberi masukan dan saran yang

berguna bagi rumah sakit, dalam hal ini instalasi radiologi pada umumnya dan

radiografer pada khususnya. Terlebih lagi pada teknik pemeriksaan MSCT

kepala pada kasus cedera kepala ringan (CKR).

1.4.3 Bagi Instalasi Radiologi

Diharapkan hasil laporan kasus ini dapat menambah kepustakaan dan

pertimbangan referensi tentang teknik pemeriksaan MSCT kepala pada kasus

cedera kepala ringan (CKR).

1.4.4 Bagi Pembaca

Memberiksan gambaran yang lebih jelas tentang teknik pemeriksaan MSCT

kepala pada kasus cedera kepala ringan (CKR).


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak

Otak merupakan organ yang sangat penting dalam tubuh manusia. Otak sebagai

pusat kendali segala kegiatan yang dilakukan organ-organ tubuh yang lain. Menurut

Cinamon VanPutte (2016), pada umumnya otak dibagai menjadi empat bagian utama,

yaitu:

2.2.1 Brainstem (Batang Otak)

Batang otak adalah penghubung antara susunan syaraf tepi dengan otak.

Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mid brain (otak tengah).

Fungsi utama dari batang otak antara lain untuk mengatur detak jantung, tekanan

darah, dan pernafasan.

Keterangan Gambar :

1. Thalamus

2. Infundibulum

3. Pons

4. Pyramid

5. Medulla oblongata

6. Diancephalon

7. Midbrain

8. Brainstem

Gambar 2.1. Anatomi Batang Otak dan Diancephalon (VanPutte, 2016)


2.1.2 Medulla oblongata

Medulla oblongata terletak pada bagian inferior dari batang otak dan

merupakan kelanjutan dari spinal cord. Medulla oblongata berada setinggi

Foramen magnum sampai dengan pons. Medulla oblongata memiliki fungsi yang

spesifik seperti untuk mengatur detak jantung, diameter pembuluh darah,

pernafasan, fungsi dalam menelan, muntah, batuk, bersin, keseimbangan dan

koordinasi.

2.1.3 Pons

Dari superiormedulla oblongata terdapat pons. Pons ini terdiri syaraf-syaraf

ascenden dan descenden. Beberapa syaraf berfungsi sebagai “jembatan” atau

penghubung antara cerebrum dan cerebellum. Pada bagian inferior pons memiliki

fungsi pernafasan, menelan dan keseimbangan. Bagian lain dari pons berguna

dalam fungsi mengunyah dan pengaturan air liur.

2.1.4 Mid Brain (Otak Tengah)

Terletak pada bagian superior dari pons dan merupakan bagian terkecil dari

batang otak. Otak tengah berfungsi pada pengaturan pergerakan mata, pengaturan

diameter pupil dan bentuk lensa.

2.1.5 Cerebellum (Otak Kecil)

Otak kecil terletak menempel dengan batang otak, dengan beberapa konektor

yang disebut Cerebellar penducles. Cerebellar penducles menguhubungkan antara

cerebellum dengan bagian lain di susunan syaraf pusat.


Gambar 2.2Anatomi otak secara keselurhan dan letak Cerebellum berada
pada inferior dari batang otak (VanPutte, 2016)
Keterangan Gambar:
1. Cerebrum 6. Diencephalon
2. Corpus callosum 7. Midbrain
3. Cerebellum 8. Pons
4. Thalamus 9. Medulla Oblongata
5. Hypothalamus 10. Brainstem

2.1.6 Diancephalon

Diancephalon adalah bagian dari otak antara batang otak dan cerebrum.

Diancephalon terdiri dari thalamus, epithalamus dan hypothalamus.

2.1.7 Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian otak terbsesar, yang terdiri dari hemisphere kanan

dan kiri dan dipisahkan dengan longitudinal fissure. Bagian dari permukaan

hemisphere yang mencolok atau nampak pada permukaan disebut gyrus,

sedangkan lipatan kedalam disebut sulcus.


Setiap hemisphere terdiri dari lobus-lobus dengan sebutan sesuai dengan

tulang yang menutupinya. Terdapat lobus frontalis, lobus parietalis, lobus

occipatilis dan lobus temporalis. Di antara lobus frontalis dan parietalis dipisahkan

dengan central sulcus.

Keterangan Gambar:

1. Sulcus

2. Gyrus

Gambar 2.3 Anatomi Gyrus dan Sulcus (VanPutte, 2016)

Gambar 2.4 Anatomi Lobus dari pandangan superior (Netter, 2014)

Keterangan Gambar :
1. Polus frontalis 6. Lobus temporalis
2. Fisura longitudinalis cerebri 7. Sulcus parietooccipitalis
3. Lobus frontalis 8. Lobus occipitalis
4. Sulcus centralis 9. Polus occipitalis
5. Lobus parietalis

Gambar 2.5 Anatomi Lobus dari pandangan lateral (Netter, 2014)

Keterangan Gambar:
1. Polus frontalis 7. Lobus occipitalis
2. Lobus frontalis 8. Incisura preoccipitalis
3. Sulcus centralis 9. Polus temporalis
4. Lobus parietalis 10. Sulcus lateralis
5. Sulcus parietooccipital 11. Lobus temporalis
6. Polus occipitalis

Fungsi masing-masing lobus antara lain:

a. Lobus Frontal, berhubungan dengan penalaran, ketrampilan motorik, kognisi t

ingkat yang lebih tinggi, dan bahasan ekspresif, serta fungsi syaraf motorik.

b. Lobus Parietal, mengatur sentuhan rasa sakit, tekanan, suhu dan

keseimbangan

c. Lobus Temporal, sebagai fungsi pendengaran dan penaksiran suara yang

didengar, serta pembentukan ingatan

d. Lobus Occipital, berhubugnan dengan rangsangan visual dan menafsirkan

informasi, khsususnya untuk penglihatan.


2.2 Anatomi Tulang Tengkorak (Cranium)

Menurut Frank H. Netter (2011) Tulang tengkorak atau Cranium atau Skull terdiri

dari Neurocranium (Calvaria) yang berfungsi untuk melindungi otak dan

Viscerocranium (facial skeleton) sebagai penyusun tulang wajah. Terdapat 22 tulang

yang menyusun Cranium dengan delapan tulang yang berada pada neurocranium dan 14

tulang berada pada viscerocranium.

Berikut tulang-tulang penyusun cranium yang dituliskan dalam tabel sebagai

berikut.

Tabel 2.1 Nama tulang penyusun Cranium dan jumlahnya (Netter 2011)

Neurocranium Viscerocranium

Tulang Jumlah Tulang Jumlah

Ethmoid 1 Zygomatic 2

Frontal 1 Vomer 1

Occipital 1 Inferior Nasal Concha 2

Sphenoid 1 Maxilla 2

Parietal 2 Nasal 2

Temporal 2 Palatine 2

Lacrimal 2

Mandible 1

Jumlah 8 Jumlah 14

Fungsi dari cranium sendiri antara lain:

2.2.1 Menutup, menopang dan melindungi otak dan meningens

2.2.2 Cranium terdiri dari berbagai


2.2.3 foramen yang berfungsi untuk jalan keluar masuknya syaraf dan pembuluh

darah.

2.2.4 Sebagai dasar wajah

2.2.5 Terdiri dari beberapa rongga dengan fungsi tertentu. Dari beberapa rongga,

terdapat rongga yang terbuka yang menghubungkan terhadap organ lain

(nasal, oral)

Gambar 2.6Tulang Cranium pandangan anterior (Saladin, 2010)

Keterangan Gambar:

1. Frontal bone 9. Inferior nasal concha 17. Ethmoid bone


2. Glabella 10. Vomer 18. Zygomatic bone
3. Coronal suture 11. Mandible 19. Infraorbital
4. Squamous suture 12. Mental Protuberantia foramen
5. Sphenoid bone 13. Supraorbital foramen 20. Intermaxillary
6. Lacrimal bone 14. Parietal bone suture
7. Nasal bone 15. Supraorbita margin 21. Maxilla
8. Middle nasal concha 16. Temporal bone 22. Mental foramen
Gambar 2.7 Tulang Cranium dari pandangan lateral (Saladin, 2010)

Keterangan Gambar:

1. Parietal bone 9. Mastoid process 18. Zygomaticofacial


2. Lambdoid suture 10. Styloid process foramen
3. Sphenoid bone 11. Mandibular condyle 19. Infraorbital
4. Occipital bone 12. Coronal suture foramen
5. Squamous suture 13. Frontal bone 20. Zygomatic bone
6. Temporal bone 14. Temporal line 21. Maxilla
7. Zygomatic process 15. Ethmoid bone 22. Temporal process
8. External acoustic 16. Nasal bone 23. Mandible
meatus (EAM) 17. Lacrimal bone 24. Mental foramen

Hampir seluruh tulang cranium dihubungkan dengan sutura. Sutura dapat dikatakan

sebagai persendian antara tulang yang berada pada cranium. Dengan bertambahnya usia,

sutura akan terbuntuk sempurna sehingga setiap tulang dapat menjadi terhubung satu

sama lain. Terdapat beberapa sutura, antara lain:

2.2.1 Suruta coronalis, yang memisahkan tulang frontal dan parietal


2.2.2 Sutura sagittalis, yang memisahkan kedua tulang parietal

2.2.3 Sutura lambdoidea, yang memisahkan tulang parietal dan temporal dari occipital

2.2.4 Sutura squamosa, yang memisahkan bagian squamosa tulang temporal dan

parietal

2.2.5 Sutura sphenosquamosa, yang memisahkan bagian squamos tulang temporal dari

ala major sphenoid

2.2.6 Sutura frontalis (Metopic), yang memisahkan kedua tulang frontalis. Sutura ini

muncul saat bayi baru dilahirkan dimana kedua tulang frontal masih terpisah.

Keterangan Gambar:

1. Frontal bone

2. Coronal suture

3. Bregma

4. Parietal bone

5. Sagittal suture

6. Parietal foramen

7. Lambda

8. Lambdoid suture

9. Sutural bone

10. Occipital bone

Gambar 2.8Tulang Cranium dari pandangan superior (Netter, 2014)

2.3 Patologi Cedera Kepala


2.3.1 Pengertian

Menurut Lisa Permitasari (2012), Cedera kepala adalah serangkaian kejadian

patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit

kepala, tulang dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala (trauma

capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung

mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang

tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta

mengakibatkan gangguan neurologis.

2.3.2 Etiologi

Etologi dari cedera kepala anatara lain:

a. Kecelakaan lalu lintas (KLL)

b. Kecelakaan kerja

c. Trauma pada saat olah raga

d. Kejatuhan benda

e. Luka tembak

2.3.3 Klasifikasi

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang

muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam

menentukan derajat cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi

aspek, secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:

a. Mekanisme Cedera Kepala

Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas cedera kepala

tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan

dengan kecelakaan mobil, motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera

kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera

tumpul.

b. Beratnya Cedera

Glascow coma scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif

kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya

penderita cedera kepala.

1) Cidera Kepala Ringan (CKR)

GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30

menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,

tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.

2) Cidera Kepala Sedang (CKS)

GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograde lebih dari 30

menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3) Cidera Kepala Berat (CKB)

GCS< 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.

Penghitungan GCS berdasar repon yang diberikan. Respon tersebut trcantum dalam

tabel seagai berikut.


Tabel 2.2 Penentuan Nilai GCS berdasar respon yang diberikan
(Permitasari, 2012)
No Respon Nilai
1 Membuka Mata Spontan 4
Terhadap rangsangan suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2 Verbal Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3 Motorik Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
TOTAL 3 – 15

c. Morfologi Cedera

Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :

1) Fraktur cranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat

terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.

Pemeriksaan MSCT dapat membantu untuk memperjelas garis fraktur yang

terjadi. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan

petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.


Tanda-tanda tersebut antara lain :

a) Ekimosis periorbital (Raccoon eye sign)

b) Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign)

c) Kebocoran CSS (rhonorrea, ottorhea) dan

d) Parese nervus facialis (N VII)

2) Lesi Intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua

jenis lesi sering terjadi bersamaan. Yang termasuk dalam lesi lokal yaitu:

a) Kontusio Cerebri (Memar Otak)

Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat

diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak

menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh

darah dalam otak pecah dan terjadi perdarahan. Pasien dapat pingsan,

dan pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga

berminggu-minggu. Terdapat amnesiaretrograde, amnesia

pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada

daerah yang luka dan luasnya lesi.

b) Perdarahan Intracerebral (ICH)

Perdarahan yang paling sering timbul pada parenkim otak terjadi di

daerah arteri kecil yang melayani ganglia basal, thalamus, dan batang

otak dan oleh arteriopathy karena hipertensi kronik atau micratheroma.

Penyakit ini, sering berhubungan dengan arteriosklerosis, karena terjadi

penyumbatan pada infark lakunar atau kebocoran yang menyebabkan

perdarahan otak.
c) Perdarahan Subdural hematoma

Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan

dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang

menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam

durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak

adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang semakin

bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin

menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy,

dan edema papil.

d) Perdarahan Epidural Hematoma

Perdarahan terjadi di antara durameter dan tulang tengkorak.

Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang

arteriameningeamedia, robeknya sinus venosus durameter atau

robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya

fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya

suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran

menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang

semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat,

hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.

e) Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi

perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer.

Perdarahan ini kebanyakan berasal dari perdarahan arterial akibat

pecahnya suatu aneurisma pembuluh darah serebral atau malformasi

arterio-venosa yang rupture, di samping juga ada sebab-sebab lainnya.


Perdarahan yang menumpuk dalam ruang subarachnoid dapat

mencetuskan terjadinya stroke, kejang dan komplikasi lainnya.

Gambar 2.9 Perdarahan pada otak

f) Cedera Difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat

akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering

terjadi pada cedera kepala.

2.4 Dasar-Dasar CT-Scan

2.4.1 Komponen CT-Scan

Menurut Bontrager, 2010, sistem CTScan terdiri dari tiga komponen utama

yaitu gantry, komputer, dan operator console. Ketiga sistem tersebut termasuk

dalam sitem computing dan peralatan imaging yang memiliki tingkat kerumitan

yang tinggi.
Gambar 2.10 Unit CTScan (John P. Lampignano, 2018)

a. Gantry

Gantry terdiri dari tabung sinar-x, susunan detektor dan kolimator.

Berdasarkan spesifikasi teknis dari unit, gantrydapat disudutkan hingga

300pada arah yang berbeda, sesuai dengan yang dibutuhkan untuk

pemeriksaan kepala atau spine. Meja CTScan (atau yang biasa disebut

dengan patient couch) secara elektronik berhubungan dengan gantryuntuk

mengontrol pergerakan selama scanning.

Gambar 2.11 Unit CTScan, meja pemeriksaan (couch) dan gantry. (John
P. Lampignano, 2018)

b. Tabung Sinar-x

Berdasarkan strukturnya tabung sinar-x pada CTScan sangat mirip

dengan tabung sinar-x konvensional, namun perbedaannya terletak pada


kemampuannya untuk menahan penambahan panas karena peningkatan

waktu eksposi.

c. Detektor

Detektor merupakan bagian solid (solid-state) dan terdiri dari

pasangan photodioda dengan material kristal scintilasi. Bahan solid

detektor mentransmisikan energi sinar-x menjadi cahaya, dengan cara

mengkonversikan ke dalam energi elektrik, kemudian mengubahnya

menjadi sinyal digital. Susunan detektor mempengaruhi dosis pada pasien

dan keefisiensian dari unit CT-Scan.

d. Kolimator

Kolimator pada CT-Scan sangat penting karena dapat mengurangi

dosis yang diterima tubuh pasien dan dapat meningkatkan kualitas

gambar. Pada CTScan menggunakan dua buah kolimator Kolimator

pertama diletakkan pada rumah tabung sinar-x yang disebut pre pasien

kolimator dan kolimator yang kedua diletakkan antara pasien dan detektor

yang disebut per detektor kolimator atau post pasien kolimator.

e. Komputer

Komputer pada CTScan membutuhkan dua buah tipe software dengan

tingkat kecanggihan yang tinggi. Satu buah komputer untuk sistem operasi

dan yang lainnya untuk pengaplikasiannya. Sistem operasi mengelola

hardware, sedangkan software aplikasi mengelola pre-processing,

rekonstruksi gambar, dan berbagai macam dari post-pre-processing

operation. Komputer pada CTScan harus memiliki kecepatan dan

kapasitas memori yang tinggi.


f. Operator Console

Komponen dari operator console diantaranya yaitu keyboard, mouse,

single atau dual monitor, tergantung dari sistemnya. Operator console

menyediakan teknologi untuk mengontrol parameter-parameter dari suatu

pemeriksaan, yang disebut dengan protocol. Selain itu juga dapat melihat

dan memanipulasi gambar. Protocol ditentukan sebelum dilakukannya

prosedur lainnya. Protocol meliputi parameter-parameter scanning seperti

kV, mA, slice thickness, pitch, field of view, dan lain-lain. Parameter

tersebut dapat dimodifikasi apabila dibutuhkan berdasarkan diagnosa atau

clinical history pasien.

g. Jaringan dan Pengarsipan

Jaringan workstation komputer, sebuah setup dimana workstation

berada di lokasi lain atau digunakan oleh ahli radiologi atau teknolog.

Workstation ini mungkin berada dalam departemen pencitraan atau

mungkin berada di daerah terpencil dengan transmisi data secara

elektronik.

Pengarsipan gambar atau sebagian besar sistem CT melibatkan

penggunaan media digital yang tersimpan dalam arsip PACS (picture

archiving and communications system). Gambar yang tidak tersimpan

pada PACS dapat menggunakan kombinasi optical disk dan hard disk

drive atau penyimpanan data berkapasitas tinggi secara permanen. Printer

laser juga bisa digunakan untuk mencetak gambar atau penyimpanan hard

copy. Interpretasi temuan pemeriksaan umumnya dilakukan oleh

radiologis pada workstation beresolusi tinggi.


2.4.2 Parameter CT-Scan

Menurut Bontrager, 2018, gambaran pada CT-Scan dapat terjadi sebagai

hasil dari berkas-berkas sinar-x yang mengalami perlemahan serta menembus

objek, ditangkap detektor, dan dilakukan pengolahan di dalam komputer.

Penampilan gambar yang baik tergantung dari kualitas gambar yang dihasilkan

sehingga aspek klinis dari gambar tersebut dapat dimanfaatkan dalam rangka

untuk menegakkan diagnosa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam

MSCT dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan output

gambar yang optimal.

a. Slice Thickness

Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari objek yang

diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1-10 mm sesuai dengan

keperluan klinis. Pada umumnya ukuran yang tebal akan menghasilkan

gambaran dengan detail yang rendah, sebaliknya yang tipis akan

menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.

b. Range

Range atau rentang adalah perpaduan atau kombinasi dari beberapa

slice thickness. Sebagai contoh untuk MSCTthorax, range yang digunakan

adalah sama yaitu 5-10 mm mulai dari apeks paru sampai diafragma.

Pemanfaatan dari range adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan yang

sama pada satu lapangan pemeriksaan.

c. Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksposi

meliputi tegangan tabung (kV), arus tabung (mA) dan waktu eksposi (s).

Besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada tiap-tiap


pemeriksaan. Namun kadang-kadang pengaturan tegangan tabung diatur

ulang untuk menyesuaikan ketebalan objek yang akan diperiksa

(rentangnya antara 80-140 kV). Tegangan tabung yang tinggi biasanya

dimanfaatkan untuk pemeriksaan paru dan struktur tulang seperti pelvis

dan vertebra. Tujuannya adalah untuk mendapatkan resolusi gambar yang

tinggi sehubungan dengan letak dan struktur penyusunnya.

d. Field of View (FoV)

Field of View adalah maksimal dari gambaran yang akan

direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada rentang 12-

50 cm. FoV yang kecil maka akan mereduksi ukuran pixel (picture

element), sehingga dalam proses rekonstruksi matriks gambarannya akan

menjadi lebih teliti. Namun, jika ukuran FoV terlalu kecil maka area yang

mungkin dibutuhkan untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.

e. Gantry Tilt

Gantry tilting adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertikal

dengan gantry (tabung sinar-x dan detektor). Rentang penyudutan –

300sampai +300. Penyudutan dari gantry bertujuan untuk keperluan

diagnosa dari masing-masing kasus yang harus dihadapi. Di samping itu,

bertujuan untuk mereduksi dosis radiasi terhadap organ-organ yang

sensitif seperti mata.

f. Rekonstruksi Matriks

Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom pada picture

element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar. Pada umumnya

matriks yang digunakan berukuran 512 x 512 (512 2) yaitu 512 baris dan

512 kolom. Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap resolusi


gambar yang akan dihasilkan. Semakin tinggi matriks yang dipakai maka

semakin tinggi resolusi yang akan dihasilkan.

g. Rekonstruksi Algorithma

Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis (algorithma) yang

digunakan dalam merekonstruksi gambar. Hasil dan karakteristik dari CT-

Scan tergantung pada kuatnya algorithma yang dipilih. Sebagian besar

CT-Scan sudah memiliki standar algorithma tertentu untuk pemeriksaan

kepala, abdomen, dan lain-lain. Semakin tinggi resolusi algorithma yang

dipilih, maka semakin tinggi pula resolusi gambar yang akan dihasilkan.

Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti tulang, soft tissue, dan

jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.

h. Window Width

Window Width adalah rentang nilai computed tomography yang akan

dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV

monitor.Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui

rekonstruksi matriks dan algorithma maka hasilnya akan dikonversi

menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai computed

tomography. Nilai ini mempunyai satuan HU (Hounsfield Unit) yang

diambil dari nama penemu MSCT kepala pertama kali yaitu Godfrey

Hounsfield.
Berikut ini tabel nilai CT pada jaringan yang berbeda penampakannya

pada layar monitor (Bontrager, 2018).

Tabel 2.3 Nilai CT pada jaringan yang berbeda penampakannya


pada layar monitor (John P. Lampignano, 2018).
Tipe jaringan Nilai CT (HU) Penampakan
Tulang +1000 Putih
Otot +50 Abu-abu
Materi putih +45 Abu-abu menyala
Materi abu-abu +40 Abu-abu
Darah +20 Abu-abu
CSF +15 Abu-abu
Air 0
Lemak -100 Abu-abu gelap ke hitam
Paru -200 Abu-abu gelap ke hitam
Udara -1000 Hitam

Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU. Untuk tulang

mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai +3000 HU. Sedangkan untuk

kondisi udara nilai ini adalah–1000 HU. Diantara rentang tersebut merupakan

jaringan atau substansi lain dengan nilai berbeda-beda pula tergantung pada

tingkat perlemahannya. Dengan demikian penampakan tulang dalam monitor

menjadi putih dan penampakan udara hitam. Jaringan dan substansi lain akan

dikonversi menjadi warna abu-abu yang bertingkat yang disebut Gray Scale.

Khusus untuk darah yang semula dalam penampakannya berwarna abu-abu

dapat menjadi putih jika diberi media kontras Iodine.

i. Window Level

Window level adalah nilai tengah dari window yang digunakan untuk

penampakan gambar. Nilainya dapat dipilih tergantung pada karakteristik

perlemahan dari struktur objek yang diperiksa. Window level ini menentukan

densitas gambar yang akan dihasilkan.


j. Pitch

Pitch adalah jangka waktu yang berhubungan dengan suatu kecepatan dan

jarak. Pada MSCT helical, pitch didefinisikan sebagai jarak (mm) pergerakan

meja MSCT selama satu putaran tabung sinar-X. Pitch digunakan untuk

menghitung pitch ratio, yang mana merupakan suatu rasio pada pitch untuk

slice thickness/beam collimation.

2.4.3 Teknik Pemeriksaan CT-ScanKepala

Menurut Bruce W. Long (2016) teknik pemeriksaan CT-Scan kepala secara

singkat adalah sebagai berikut:

a. Posisi pasien dan objek : Pasien supine di atas meja pemeriksaan


dengan kepala pasien berada pada head
holder. Memastikan bahwa kepala pasien
tidak rotsai.
b. Area scanning : Skull base sampai dengan vertex
c. Tipe scanning : Axial, sequential
d. Scan Localizer : Cranium AP dan Lateral
e. Tegangan Tabung : 120 Kv
f. Arus tabung x waktu : 250 mAs, Auto mAs
g. FOV : 22 cm
h. Scan slice thickness : 5.0 mm
i. Recon slice thickness : 2.5 mm
j. Gantry tilt : Disesuaikan dengan skull base
k. Recon kernel : Medium average
l. IV contrast : No
m. Oral contrast : No
Gambar.2.12 Scanogram Skull

Sedangkan menurut John P. Lampignano (2017) teknik pemeriksaan CT-Scan

kepala secara keseluruhan hampir sama, hanya terdapat persiapan pasien seperti

melepas benda-benda logam di sekitar kepala (anting-anting, penjepit rambut, dll)

dan gigi palsu dengan tujuan agar tidak timbul artefak. Selain itu untuk

memastikan bahwa kepala tidak rotasi dan miring, disebutkan bahwa dilihat dari

Midsagital Plane(MSP) pasien yang sudah tegak lurus dengan lantai. Sedangkan

untuk memastikan tidak adanya rotasi dengan cara dilihat dari kedua sisi kepala

kanan dan kiri yang saling simetris. Apabila keadaan pasien gelisah, sebaiknya

diberikan sedasi agar pemeriksaan dapat berlangsung dengan baik.


BAB III

PEMAPARAN KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Pemaparan Kasus

3.1 Profil Kasus

Pada hari Kamis, 4 Januari 2024, seorang pasien datang ke Instalasi Radiologi

diantar oleh perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan data pasien sebagai

berikut:

Nama : Mr. X

Umur : 54 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir : 1 Januari 1970

No. RM : 810xxx

Klinis : CKR

Permintaan Foto : MSCT Kepala polos

3.2 Riwayat Pasien

Pasien datang ke Instalasi Radiologi RSUD Tabanan dengan diantar oleh

perawat IGD saja tanpa diantar oleh pihak keluarga karena pada saat awal

kejadian identitas pasien belum diketahui. Perawat IGD datang dengan lembar

permintaan pemeriksaan CT-Scan kepala atas permintan dokter jaga IGD, yakni

dr. Dian.. Dalam lembar permintaan pemeriksaan radiologi tertulis klinis CKR

(cedera kepala ringan) dengan kesadaran pasien menurun dan kondisi pasien

gelisah. Kemudian kami melakukan pemeriksaan MSCT kepala sesuai

permintaan dokter pengirim.


3.3 Teknik Pemeriksaan

Pelaksanaan Pemeriksaan MSCT Kepala di Instalasi Radiologi RSUD Tabanan

adalah sebagai berikut:

1) Persiapan Alat dan Bahan

1) Alat

a) Pesawat MSCT

Merk : SIEMENS

Type : SOMATOM Perspective 128 slice

Product’s Registration : AKL 21501613442

Tahun Keluar : 2018

Kondisi : Baik

Gambar 3.1 Pesawat MSCT merk SIEMENS


b) Operator Console

Gambar 3.2 Operator Console


c) Alat fiksasi kepala

Gambar 3.3alat fiksasi kepala (head holder)


2) Bahan

Tidak ada persiapan bahan-bahan khusus karena melakukan

pemeriksaan CT-Scan Kepala non-kontras.

2) Persiapan Pasien

Tidak ada persiapan khusus pada pasien. Hanya melakukan identifikasi

pada pasien sesuai dengan prosedur. Berhubung pasien tidak kooperatif,

maka tidak diberikan edukasi mengenai pemeriksaan yang akan

dilaksanakan. Selain persiapan tersebut diatas, petugas juga memastikan

tidak terdapat benda logam di daerah kepala dan leher.

3) Proses Pemeriksaan MSCT Kepala

1) Posisi Pasien

Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala dekat

dengan gantry (head first).

2) Posisi objek

Tempatkan kepala pasien pada head holder. Atur kepala sehingga MSP

kepala sejajar dengan lampu indikator longitudinal dan lampu indikator


horizontal setinggi MAE. Kepala di fiksasi dengan head cleam. Central

point lampu indikator 2 jari superior kepala. Tubuh pasien di fiksasi

dengan body strap agar selama pemeriksaan tidak bergerak. Dan pasien

diberi selimut agar lebih nyaman mengingat ruangan pemeriksaan yang

ber-AC

3) Proses Scanning

MSCT merk SIEMENS ini mengadopsi sistem yang bernama syngo.

Dimana dalam sistem ini terdapat lima jendela utama yaitu Examination,

Viewing, Filming, 3D, dan Volume. Setelah selesai memposisikan pasien,

maka langkah berikutnya adalah melakukan registrasi pasien yang

dilakukan di jendela Examination. Tekan tombol register pada menu bar

kemudian input data pasien dan klik Exam.

Gambar 3.4 Kotak Dialog Patient Registration.


Setelah mengisi data pasien, kemudian dilanjutkan dengan memilih

jenis pemeriksaan yang akan dilakukan yakni head trauma, kemudian

Klik OK dan Load. Setelah menunggu beberapa saat akan muncul

perintah START. Klik tombol yang berlambang radiasi pada kontrol box

untuk melaksanakan perintah START.


Gambar 3.5 Kontrol box

Setelah menekan tombol START maka akan muncul gambar

scanogram pada layar work station, kemudian atur luas lapangan

penyinaran (FOV) dengan batas atas vertex dan batas bawah colurmna

vertebrae cervical 7

Gambar 3.6luas penyinaran (FOV)

Kemudian muncul perintah MOVE. Untuk melaksankannya tekan

tombol pada kontrol box. Lalu tekan START kembali. Proses scanning

dimulai dan dihasilkan gambar MSCT. Berikut ini adalah protocol MSCT

Head Trauma dengan parameter sebagai berikut:


Tebal Slice : 1 mm

Tegangan tabung : 130 Kv

Arus Tabung : 300 mAs

Penyudutan : 00
Gantry
Pitch : 0,55

Direction : Cranoicaudal

FOV : 206 mm

Setelah selesai melakukan scanning, maka dilanjutkan dengan


membuar recon job kondisi tulang dengan cara menekan angka 2 pada
icon recon job, kemudian pada kolom slice pilih 1 mm, algorithm J80S
Very Sharp dan window bone, kemudian klik RECON.
4) Membuat Potongan Gambar kondisi Brain dan Bone

Proses ini berlangsung pada jendela utama 3D. Proses ini diwali dengan

menekan tombol Patient Browser pada keyboard. kemudian akan muncul kotak

dialog seperti di bawah ini.

Gambar 3.7 Kotak Dialog Patient Browser.


Untuk membuat potongan gambar pada kondisi brain maka pilih folder dengan

nama Head Trauma 1.0 J30s 3 dan untuk kondisi bone pilih Head Trauma 1.0

80S 3. Setelah memilih folder akan muncul gambaran CT-Scan potongan


axial, coronal, dan sagital, kemudian simetriskan gambar dengan klik pada

potongan axial dengan mengaktikan icon rotate image. Jika sudah simetris

kemudian klik icon ortho sync untuk mengunci posisi gambar.

Untuk membuat potongan axial klik pada gambar potongan coronal

kemudian klik icon parallel ranger, maka akan muncul tampilan sebagai

berikut:

Gambar 3.8 Kotak dialog Parallel Ranger


Langkah selanjutnya adalah menekan icon Horizontal Ranges, kemudian atur

Image Thicness 5,0 mm dan distance between images 5,0mm juga sedangkan

untuk number of images menyesuakin kebutuhan. Selanjutnya klik start,

kemudian save as dan ganti nama folder pada kolom range series name menjadi

Axial Brain.

Untuk membuat potongan coronal langkahnya hampir sama dengan membuat

potongan axial, hanya saja pada kotak dialog parallel ranger pilih menu

vertical ranges. Kemudian dilanjutkan dengan langkah yang sama dengan

langkah membuat potongan axial. Nama foldernya diganti dengan nama

Coronal Brain.
Untuk membuat potongan sagital klik pada gambar potongan sagital

kemudian klik icon parallel ranger, selanjutnya adalah menekan icon vertical

Ranges, kemudian atur Image Thicness 5,0 mm dan distance between images

5,0mm juga sedangkan untuk number of images menyesuakin kebutuhan.

Selanjutnya klik start, kemudian save as dan ganti nama folder pada kolom

range series name menjadi Sagital Brain. Lakukan langkah yang sama seperti

diatas untuk membuat potongan gambar pada kondisi tulang, hanya saja pilih

folder gambar 1,0J80S 3. Untuk masing-masing potongan gambar diberi nama

Axial Bone, Coronal Bone dan Sagital Bone.

5) Membuat Gambaran 3D

Gambaran 3D bertujuan untuk melihat lebih jelas patologi (fraktur) dan

untuk mempermudah pasien dan keluarga pasien dalam memahami daerah

yang mengalami kerusakan. Untuk membuat gambaran 3D digunakan gambar

pada folder 1,0 J30S 3, dengan langkah awalnya adalah double klik pada

potongan coronal kemudian ganti kondisi gambar dengan cara klik kanan pada

menu VRT dan pilih osseous_shaded. Hilangkan objek yang mengganggu

seperti gambaran head holder dengan menggunakan menu VOI Punch Mode.
Gambar 3.9 Tampilan gambaran 3D sebelum dan sesudah menggunakan menu VOI Punch
Mode

Buat gambaran 3D dari berbagai sudut rotasi dengan menggunakan menu

Radial Ranges. Pada kotak dialog Radial Ranges, yakni tepatnya pada kolom

Number of Images ketik angka 180., sehingga akan muncul seperti gambar

berikut:

Gambar 3.10 Radial Ranges

Tarik garis kuning pada tengah gambar berlawanan arah dengan jarum jam,

kemudian klis start dan klik save as untuk menyimpan gambar.

6) Mengukur Perdarahan

Pengukuran perdarahan dilakukan pada komputer Syngovia. Cari nama

pasien, kemudian buka dengan MM Reading. Untuk mengukur perdarahan

lakukan pada gambar kondisi brain potongan 1,0mm. Langkah pertama adalah

simetriskan gambar, kemudian cari gambar dengan perdarahan terbesar. Klik

menu region growing pada pojok kiri atas, maka akan muncu gambar seperti

berikut:
Gambar 3.11 Menu Ragion Growing

Klik lama pada area perdarahan hingga seluruh area perdarahan berubah

warna, jika sudah klik menu threshold, kemudian masukan nilai threshold

terrendah dan tertinggi sesuai dengan nilai HU pada area perdarahan tersebut.

Kemudian dilanjutkan dengan klik menu create a finding from the selected

object yang berlogo seperti bendera kuning, akan muncul volume perdarahan

secara otomatis.

Gambar 3.12 Proses pengukuran perdarahan


Setelah selesai proses pengukuran perdarahan, maka hasil pengukuran tersebut

disimpan dan dikirim ke komputer work statioan dengan cara double klik pada

masing-masing potongan kemudian klik snapshot. Kirim hasil snapshot tesebut

dengan cara klik kanan pilih export series.

7) Hasil Pemeriksaan dan Pembacaan Radiolog

a) Gambar hasil pemeriksaan dengan keadaan window soft tissue (brain)

Gambar 3.13 Potongan Axia, coronal dan sagittal window brain

b) Gambar hasil pemeriksaan dengan keadaan window bone

Gambar 3.14 Potongan Axial, coronal dan sagital window bone


c) Gambar hasil 3D

Gambar 3.15 Citra 3D

d) Gambar hasil pengukuran perdarahan

Gambar 3.16 gambar hasil pengukuran perdarahan

e) Hasil Bacaan Radiolog

Adapun hasil bacaan Dokter Radiolog pada kasus ini adalah adanya

SDH frontotemporoparietal kiri dengan volume 48.22 cc dan tebal 1.11cm

dengan herniation subflaxin ke kanan. Terdapat SAH pada mild hydrocephalus

serta sinusitis max kid an hematomastoid kanan. Terdapat fracture

temporoparietal kanan dan scalp hematoma.


Gambar 3.17 hasil experitise dokter spesialis radiologi

3.1.4 Alasan FOV dibuat semaksimal mungkin

Dari hasil diskusi penulis dengan radiolog dan radiographer di Instalasi

radiologi RSUD Tabanan dijelaskan bahwa cedera kepala baik yang ringan,

sedang dan berat biasanya erat kaitannya dengan fraktur cervical. Dulu sebelum

kebijakan FOV MSCT kepala pada kasus cedera kepala dibuat semaksimal

mungkin, biasanya dokter jaga IGD selain mengirim permintaan MSCT kepala

juga disertai dengan pemeriksaan konvensional columna vertebra cervical.

Namun dikarenakan kondisi pasien terkadang ada yang tidak kooperatif

sehingga hasil foto konvensional columne vertebrae cervical menjadi tidak

maksimal dan tidak dapat memberikan informasi yang cukup mengenai

kecurigaan fraktur pada daerah tersebut. Sehingga muncul gagasan untuk


membuat lapangan penyinaran MSCT dengan kasus cedera kepala semaksimal

mungkin dari vertex hingga nampak columna vertebrae cervical. Dengan

kebijakan tersebut maka selain dapat menunjukan gambaran potongan axial,

coronal dan sagital kepala dengan sangat baik juga dapat meunjukan gambaran

potongan coronal dan sagital columna vertebrae dengan baik.

3.2 Pembahasan

Berdasarkan prosedur pemeriksaan yang dilakukan di Instalasi Radiologi RSUD

Tabanan, terdapat beberapa perbedaan dengan teori yang disampaikan Bruce W.

Long (2016) dan John P. Lampignano (2017), antara lain:

3.2.1 Teknik Pemeriksaan

Dari segi persiapan pasien, tidak terdapat persiapan khusus, hal ini

dikarenakan pemeriksaan yang dilakukan tidak menggunakan media kontras.

Hanya Pada kondisi pasien yang gelisah, diberikan sedasi agar keadaan pasien

tenang dan dapat dilakukan pemeriksaan dengan baik sehingga mengurangi

adanyashading artifact.

Dari segi Pelaksanaan pemeriksaan, pemeriksaan MSCT kepala yang

dilakukan memiliki area scanning yang berbeda dengan teori yang

disampaikan. Karena kondisi pasien memiliki keadaan luka yang serius

sehingga memerlukan area scanning yang luas yaitu dari vertex sampai dengan

columna vertebrae cervical agar tampak seluruh kelainan yang akan dinilai.

Pengolahan citra yang dilakukan pada pemeriksaan CT-Scan kepala

dengan kasus cedera kepala dilakukan dengan Image Thickness 5 mm, dan

sudah sesuai dengan terori yang disampaikan. Salain perbedaan Image

Thickness, pengolahan citra yang dilakukan juga meliputi perubahan window,

yaitu window brain menjadi window bone. Hal ini bertujuan untuk
memperjelas adanya patologis bila pada windowbrain tidak dapat

ditampakkan, maka dapat ditampakkan pada window bone seperti fraktur,

begitu juga sebaliknya. Dan juga ditambah dengan permintaan gambaran 3D

dan pengukuran perdarahan jika terjadi perdarahan intra cranial.

3.2.2 Alasan FOV dibuat semaksimal mungkin

Pembuatan lapangan penyinaran MSCT kepala pada kasus cedera kepala

dibuat semaksimal mungkin dari vertex hingga nampak columna vertebrae

cervical adalah agar dapat menunjukan gambaran potongan axial, coronal dan

sagital kepala dengan sangat baik juga dapat meunjukan gambaran potongan

coronal dan sagital columna vertebrae dengan baik. Dikarenakan cedera

kepala baik yang ringan, sedang dan berat biasanya erat kaitannya dengan

fraktur cervical
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari seluruh isi laopran kasus ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

4.1.1 Keseluruhan teknik pemeriksaan MSCT kepala pada klinis Cedera Otak

Ringan (CKR) yang dilaksanakan di RSUD Tabanan dengan protokol “Head

Trauma” hampir keseluruhan sudah sesuai dengan teori dengan posisi pasien

supine (head first ) dan Image Thickness dibuat 5 mm sudah sesuai dengan

teori yang ada. Pengolahan citra yang dilakukan meliputi perubahan window,

yaitu window brain menjadi window bone dan juga ditambah dengan

permintaan gambaran 3D dan pengukuran perdarahan jika terjadi perdarahan

intra cranial.

4.1.2 Pembuatan lapangan penyinaran MSCT kepala pada kasus cedera kepala

dibuat semaksimal mungkin dari vertex hingga nampak columna vertebrae

cervical adalah agar selain dapat menunjukan gambaran potongan kepala juga

dapat menunjukan gambaran potongan coronal dan sagittal columna vertebrae

cervical sehingga tidak diperlukan lagi melakukan pemeriksaan konvensional

columna vertebrae cervical.

4.2 Saran

Saran yang dapat disampaikan oleh penulis yakni sebaiknya tidak seluruh

pemeriksaan MSCT kepala dengan klinis cedera kepala lapangan penyinarannya

dibuat semaksimal mungkin, dikarenakan dengan lapangan penyinaran yang terlalu

luas dapat memberikan radiasi hambur yang besar kepada pasien dan juga kepada

radiographer di ruang operator. Sebaiknya lapangan penyinaran aksimal tersebut

dilakukan kepada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala dan juga kecurigaan

adanya fraktur cervical.


DAFTAR PUSTAKA

Lampignano, P. John. Leslie E. Kendrick. 2017. Bontrager’s Textbook of Radiographic

Positioning and Related Anatomy 9th Ed. Missouri: Elsevier

Long, Bruce W. Jeannean Hall Rollins. Barbara J. Smith. 2016. Merrill’s Atlas of

Radiographic Positioning & Procedures Vol. III 13th Ed. Missouri: Elsevier

Netter, Frank H. 2011. Atlas of Human Anatomy 5th Ed. Missouri: Elsevier

_____. 2014. Atlas of Human Anatomy 6th Ed. Missouri: Elsevier

Permitasari, Lisa. 2012. Pengertian Cedera Kepala.

https://sugengmedica.wordpress.com/2012/03/09/cedera-kepala/diakses pada tanggal

13 Oktober 2019 pukul 5:14

Saladin, Keneth S. 2010. Anatomy & PhysiologyThe Unity of Form and Function 8 th Ed. New

York: Mc Graw Hill

Seeram, Euclid. 2009. Computed Tomography Physical Principles, Clinical Application, and

Quality Control 3rd Ed. Missouri: Saunders

VanPutte, Cinamon, Jenifer Regan, Andrew Russo. 2016. Seeley’s Essential of Anatomy &

Physiology. New York: McGrawEducation


Lampiran 1

Lembar Permintaan Pemeriksaan

Anda mungkin juga menyukai