Anda di halaman 1dari 56

PROSEDUR PEMERIKSAAN MRI KEPALA KONTRAS DENGAN

KLINIS SOP ARTERI DT MULTIPLE DI INSTALASI RADIOLOGI

RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktik Kerja Lapangan VI

Disusun oleh:

MARTINHO SOARES PINTO

NIM P1337430222167

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI RADIOLOGI PENCITRAAN

PROGRAM SARJANA TERAPAN

JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

SEMARANG

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Telah diperiksa, disetujui, dan disahkan laporan kasus Praktik Kerja Lapangan (PKL) V

atas mahasiswa Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan

Kementrian Kesehatan Semarang yang bernama:

Nama : Martinho Soares Pinto

NIM : P1337430222167

Kelas : Regular Alih Jenjang

Tempat : RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Dengan judul “Prosedur Pemeriksaan MRI Pelvis dengan Klinis Evaluasi Uterus dan

Adnexa Kanan Kiri di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Saiful Anwar”

Malang,…. Desember 2022

Mengetahui

Pembimbing Kepala Urusan Pendidikan

Abdur Rohman Agus Wahyu Jatmiko S.ST


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-

Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang berjudul prosedur

pemeriksaan mri kepala kontras dengan klinis sop arteri dt multiple di instalasi

radiologi rsud dr. Saiful anwar malang untuk memenuhi tugas mata kuliah PKL 5

Program Studi Teknologi Radiologi Pencitraan Program Sarjana Terapan, Jurusan Teknik

Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang.

Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan,

dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang selalu memberikan rahmat-Nya

2. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan semangat dan doa tanpa henti

3. Bapak Marsum, BE, S.Pd, MHP, selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kementrian

Kesehatan Semarang

4. Ibu Fatimah, S.ST, M.Kes, selaku Ketua Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang

5. Ibu Dartini, SKM, M.Kes, selaku Ketua Program Studi Teknologi Pencitraan Radiologi

Program Sarjana Terapan, Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi

6. Bapak Abdur Rahman selaku clinical instructor MRI di RSUD Dr Saiful Anwar

7. Seluruh radiographer, perawat dan staf RSUD Dr. Saiful Anwar

8. Semua dosen dan staf akademik Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi

Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang

9. Semua pihak yang telah membantu penyusunan laporan ini sehingga dapat selesai tepat

waktu.
Penulis menyadari dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak kekurangan, untuk itu

penulis mohon saran dan masukan dari semua pihak. Penulis berharap laporan kasus ini dapat

bermanfaat untuk mahasiswa dan dijadikan studi bersama.

Malang , desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................................2

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................3

DAFTAR ISI...................................................................................................................................5

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................6

Latar Belakang.............................................................................................................................6

Rumusan Masalah........................................................................................................................6

Tujuan penulisan..............................................................................................................................6

BAB II DASAR TEORI..................................................................................................................6

Anatomi dan Fisiologi Pelvis.......................................................................................................6

Patologi........................................................................................................................................6

Komponen MRI...........................................................................................................................6

Parameter Dasar...........................................................................................................................6

Pembobotan MRI.........................................................................................................................6

MRI pulse sequence.....................................................................................................................6

Kualitas Citra MRI.......................................................................................................................6

Prosedur Pemeriksaan..................................................................................................................6

BAB III PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN.........................................................................6

Profil Kasus..................................................................................................................................6
Prosedur Pemeriksaan..................................................................................................................6

Pembahasan..................................................................................................................................6

BAB IV PENUTUP.........................................................................................................................6

Kesimpulan..................................................................................................................................6

Saran.............................................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................6

LAMPIRAN....................................................................................................................................6
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan suatu alat diagnostic canggih

yang digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi bagian tubuh dengan memanfaatkan

medan magnet dan gelombang radiofrekuensi. Hasil pemeriksaan MRI berupa gambaran

melintang dari organ tubuh manusia yang dihasilkan dari medan magnet berkekuatan

tinggi dan pemanfaatan prinsip resonansi getaran terhadap inti atom hydrogen. Dalam

pemeriksaan MRI dihasilkan penampang axial, sagittal, dan coronal tanpa tindakan yang

bersifat invasive.

Uterus merupakan organ yang berongga mempunyai tiga lapisan, sebuah lapisan

endometrium di sebelah dalam, lapisan otot polos dibagian tengah serta disebelah

luar merupakan lapisan jaringan ikat. Ukuran panjang otot uterus 7-7,5 cm, lebar

di atas 2,5 cm, tebal 2,5 cm serta tebal dindingnya 1,5 cm . Uterus mempunyai fungsi

utama yaitu sebagai tempat serta tumbuh berkembangnya janin. Otot pada

uterus bersifat elastis dapat menjaga janin pada proses kehamilan hingga 9 bulan

sampai proses melahirkan (Prawihardjo,2009). Adneksa adalah sebutan bagi organ

penyokong rahim, seperti tuba falopii, ovarium, dan jaringan lain di sekitarnya. Pada

bagian ini sering ditemukan adanya pertumbuhan kista. Kista di area ini ada banyak

jenisnya, contohnya sindroma ovarium polikistik, kista endometriosis, kista dermoid, dan

sebagainya. Pada kebanyakan kasus, kista ini bersifat jinak.


Menurut (Westbrook, 2014) sekuen yang digunakan untuk pemerikaan MRI

Pelvis adalah yaitu coronal breath hold fast oncoherent (spoiled) GRE/SE/FSE T1,

Sagittal SE/FSE T2, Axial SE/FSE T2, Axial SE/FSE T1 ,Coronal SE/FSE T2, SS-FSE/

GRE-EPI/ SE-EPI/ diffusion imaging, sedangkan pada saat penulis praktek kerja

lapangan di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, sekuen yang digunakan

pada pemeriksaan MRI Pelvis adalah Survey, COR T2 Pelvis, SAG T2 Pelvis, AX T2

Pelvis, OBL AX T2 SFOV, SAG T2 SFOV, OBL AX T1 FS SFOV, OBL AX T1 SFOV,

DWI_3b, OBL COR T2 SFOV, OBL AX T1 FS PC SFOV, SAG T1 FS PC SFOV, OBL

COR T1 FS PC SFOV, OBL AX T2 FS SFOV. Pada protocol yang digunakan dapat

dilihat perbedaan pada penggunaan FOV yang lebih kecil dari FOV yang normal dan

penggunaan tambahan FS pada beberapa sekuen yang digunakan pada pemeriksaan yang

dilakukan.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik ingin mengkaji lebih lanjut

tentang prosedur pemeriksaan pada pemeriksaan MRI Pelvis pada kasus evaluasi uterus

dan adnexa kanan kiri. Penulis ingin menuangkannya dalam laporan kasus yang berjudul

prosedur pemeriksaan mri kepala kontras dengan klinis sop arteri dt multiple Di

Instalasi Radiologi Rsud Dr. Saiful Anwar Malang

B. Rumusan Masalah

Dalam penyusunan laporan kasus yang berjudul “prosedur pemeriksaan mri kepala

kontras dengan klinis sop arteri dt multiple Di Instalasi Radiologi Rsud Dr. Saiful Anwar

Malang” penulis merumuskan masalah yang meliputi:

1. Bagaimana prosedur pemeriksaan mri kepala kontras dengan klinis sop arteri dt multiple

Di Instalasi Radiologi Rsud Dr. Saiful Anwar Malang?


1.2 Tujuan penulisan

Tujuan penulis membuat laporan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan MRI kepala kontras dengan klinis sop

arteri dt multiple Di Instalasi Radiologi Rsud Dr. Saiful Anwar Malang.

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pelvis

2.1.1 Anatomi Pelvis


A. Rongga pelvis berbentuk mangkuk dan di bagian superior berbatasan

langsung dengan abdomen dan di bagian inferior dibatasi oleh perineum

(Hansen, 2019). Tulang - tulang pada pelvis membatasi dua wilayah,

yaitu:

1. Pelvis mayor atau false pelvis adalah bagian bawah perut yang terletak di

antara lebar krita iliac atau fossa iliaka kanan dan kiri (Hansen, 2019)

2. Minor atau true pelvis dibatasi oleh pelvic brim, sacrum, dan coccyx, dan

juga berisi organ-organ dalam pelvis. Pintu Atas Panggul (PAP) adalah

batas atas true pelvic (pelvic brim) dan pintu bawah panggul adalah batas

bawah true pelvis (Hansen, 2019)

Gambar 1.1 Anatomi Pelvis

Pelvis mempunyai fungsi untuk menyangga berat tubuh bagian

atas ketika beraktifitas misalnya sedang duduk dan berdiri. Fungsi

lainnya yaitu untuk menggandung ketika hamil melindungi bagian

inferior saluran kemih organ reproduksi internal

(Prawihardjo,2009).

B. Organ Reproduksi pada Wanita

a. Organ Genitalia interna


1. Uterus

Uterus merupakan organ yang berongga mempunyai tiga lapisan,

sebuah lapisan endometrium di sebelah dalam, lapisan otot polos

dibagian tengah serta disebelah luar merupakan lapisan jaringan

ikat. Ukuran panjang otot uterus 7-7,5 cm, lebar di atas 2,5 cm,

tebal 2,5 cm serta tebal dindingnya 1,5 cm . Uterus mempunyai fungsi

utama yaitu sebagai tempat serta tumbuh berkembangnya

janin. Otot pada uterus bersifat elastis dapat menjaga janin pada

proses kehamilan hingga 9 bulan sampai proses melahirkan

(Prawihardjo,2009)

2. Serviks

Serviks atau yang biasa disebut leher rahim merupakan bagian

sistem reproduksi wanita yang terletak di dalam rongga pelvis minor

dan daerahnya sempit pada bagian bawah antara rahim dan kemaluan

wanita memiliki panjang 2 cm. Servik berfungsi untuk membantu

jalannya sperma dari vagina menuju ke rahim. Leher rahim memiliki

Endoserviks bagian dalam leher rahim yang melapisi saluran

menuju ke Rahim dan Ectocervix atau exocervix bagian dari leher

Rahim yang menonjol ke dalam vagina (Revina,2010)

3. Vagina

Vagina merupakan saluran yang dilapisi oleh sel-sel yang

menghasilkan mucus. Vagina memiliki panjang sekitar 8 cm yang

terletak antara kandung kemih dan rectum dengan dinding yang


berlipat. Fungsi dari vagina yaitu sebagai jalan lahir dan

sebagi saluran yang mengalirkan darah dan lender saat menstruasi .

4. Tuba fallopi

Tuba fallopi merupakan organ yang menghubungkan uterus dan

ovarium. Tuba fallopi berukuran 8-20 cm. Fungsi dari tuba

fallopi yaitu sebagai saluran spermatozoa dan ovum, serta sebagai

tempat pertumbuhan hasil pembuahan sebelum masuk ke uterus,

penangkap ovum dan tepat pembuahan (Prawirahardjo,2009).

5. Ovarium

Ovarium adalah bagian dari organ reproduksi wanita yang

memiliki fungsi menghasilkan sel telur (ovum). Panjangnya sekitar 4

cm, tebal dan lebarnya 1,5 cm. Wanita yang sudah pubertas

memiliki 300.000 ovum, yang mana sel terus sebagian besar

mengalami rusak dan kegagalan pematangan.Ovarium kiri dan

kanan secara bergantian mengeluarkan ovum setiap 28 hari pada

saat menstruasi dan ketika benih telur habis terjadilah

menopause.
Gambar 1.2 Organ Genitalia Interna Wanita

b. Organ Genitalia Eksterna (Prawirahardjo, 2009)

1. Mons veneris

Mons veneris adalah bagian yang menutupi symphisis

pubis (tulang kemaluan) yang menonjol yang disusun oleh jaringan

lemak dan jaringan ikat.

2. Labium minor

Labium minor merupakan lipatan yang berada di dalam

labium mayor dan mempunyai banyak saraf sensorik.

3. Labium mayor

Labium mayor diisi oleh jaringan lemak yang terdiri atas

bagian kanan dan kiri lonjong mengecil mengarah ke bawah.

4. Klitoris

Klitoris merupakan bagian organ yang memiliki sifat erektil

terhadap ransangan berada di ujung saraf sehingga sangat sensitf dan

memiliki banyak pembuluh darah .

5. Vestibulum

Vestibulum adalah tempat bermuaranya saluran kencing

memiliki bentuk rongga yang dibatasi labium minor pada bagian sisi

kiri dan kanan .


Gambar 1.3 Anatomi

Genitalia Eksterna Wanita

keterangan :

1. Mons veneris

2. Klitoris

3. Vestibulum

4. Labia minor

5. Labia mayor

2.2 Patologi

Pada pemeriksaan MRI Pelvis ini dilakukan dengan klinis evaluasi ovarium dan

adnexa kanan dan kiri. bersifat invasive.

Uterus merupakan organ yang berongga mempunyai tiga lapisan, sebuah lapisan

endometrium di sebelah dalam, lapisan otot polos dibagian tengah serta disebelah

luar merupakan lapisan jaringan ikat. Ukuran panjang otot uterus 7-7,5 cm, lebar

di atas 2,5 cm, tebal 2,5 cm serta tebal dindingnya 1,5 cm . Uterus mempunyai fungsi
utama yaitu sebagai tempat serta tumbuh berkembangnya janin. Otot pada

uterus bersifat elastis dapat menjaga janin pada proses kehamilan hingga 9 bulan

sampai proses melahirkan (Prawihardjo,2009).

Adneksa adalah sebutan bagi organ penyokong rahim, seperti tuba falopii,

ovarium, dan jaringan lain di sekitarnya. Pada adnexa inilah sering terdapat pertumbuhan

kista. Kista adaalah daging tumbuh yang abnormal, biasanya bukan kanker yang berisi

cairan atau zat setengah padat, terkadang menimbulkan nyeri. Kista dapat tumbuh dibagia

tubuh manapun seperti wajah, kulit kepala, punggung, lengan, kaki, serta organ dalam

tubuh seperti hati, ovarium, rahim, ginjal, atau otak. Pada organ yang akan dilakukan

pemeriksaan mengevaluasi ada atau tidaknya kelaian pada bagian pelvis seperti kista

ovarium.

Sedangkan kista ovarium adalah kantung padat atau berisi cairan (kista) di dalam

atau pada permukaan ovarium.Kista ovarium biasanya hilang dalam waktu beberapa

bulan, tetapi dapat menyebabkan komplikasi jika tidak hilang. Sebagian besar kista

ovarium tidak menimbulkan gejala. Pada beberapa kasus, gejala berupa menstruasi tidak

teratur, nyeri saat berhubungan seksual, atau buang air besar tidak teratur. Banyak kista

akan sembuh sendiri. Jika tidak, penanganan berupa penggunaan pil KB atau operasi.

2.3 Komponen MRI

Komponen utama dalam sistem MRI, yaitu magnet utama, koil gradien, koil pemancar,

koil penerima dan komputer.

2.3.1 Magnet Utama


Magnet utama digunakan untuk memproduksi medan magnet yang besar, yang

mampu menginduksi jaringan atau obyek sehingga mampu menimbulkan

magnetisasi dalam obyek. Beberapa jenis magnet utama adalah:

a. Magnet Permanen

Magnet permanen dibuat dari bahan-bahan feromagnetik.Pada umumnya yang

digunakan sebagai pembuat magnet permanen adalah campuran antara

aluminium, nikel dan cobalt. Magnet permanen tidak memerlukan listrik,

kadang kala dirancang dengan model terbuka dan sangat umum digunakan

pada pasien-pasien claustrophobia, obesitas, ataupun pasien dengan

pemeriksaan muskuloskeletal dan teknik intervensional yang sulit dilakukan

dengan MRI yang tertutup (Westbrook, Roth and Talbot, 2011).

b. Magnet Resistif

Magnet jenis ini dibangkitkan dengan memberikan arus listrik melalui

kumparan. Magnet resistif lebih ringan dibandingkan dengan magnet

permanen, sementara kuat medan magnet maksimum yang dihasilkan kurang

dari 0,3 tesla (Westbrook, Roth and Talbot, 2011).

c. Magnet Superkonduktor

Magnet superkonduktor menggunakan bahan yang terbuat dari miobium dan

titanium. Bahan tersebut akan menjadi superkonduktor pada suhu 4K (Kelvin)

dengan memberikan arus listrik melalui koil. Kemagnetan koil harus dijaga

dalam suhu yang sangat dingin.Biasanya digunakan helium cair. Kuat medan

magnet yang dihasilkan berkisar antara 0,5-3 Tesla untuk penggambaran

diagnostik (Westbrook, Roth and Talbot, 2011).


2.3.2 Koil Gradien

Koil gradien digunakan untuk membangkitkan suatu medan magnet yang

mempunyai fraksi-fraksi kecil terhadap medan magnet utama. Gradien digunakan

untuk memvariasikan medan pada pusat magnet. Terdapat tiga medan yang saling

tegak lurus antara ketiganya, yaitu bidang x, y dan z. Fungsi yang berbeda-beda

sesuai dengan potongan yang dipilih (axial, sagital atau koronal), gradien ini

digunakan sesuai dengan koordinat dimensi ruang. Gradien pemilihan potongan

(slice selection) atau Gz, gradien pemilihan phase (phase encoding) atau Gy dan

gradien pemilihan frekuensi (frequency encoding) atau Gx (Westbrook, Roth and

Talbot, 2011).

2.3.3 Koil Radiofrekuensi

Koil yang umum digunakan, yaitu koil penerima dan koil pemancar-penerima

(transceiver coil). Medan magnet yang tinggi akan lebih efisien menggunakan

transceiver jika dibandingkan dengan penggunaan koil penerima saja, karena koil

transceiver hanya membutuhkan energi radiofrekuensi (RF) yang kecil untuk

menghasilkan magnetisasi transversal, sehingga specific absorbtion rate (SAR)

terhadap pasien dapat dikurangi (Westbrook, Roth and Talbot, 2011).

Koil pemancar berfungsi memancakan gelombang RF pada inti yang

terlokalisir sehingga terjadi eksitasi. Sedangkan koil penerima berfungsi untuk

menerima sinyal output dari sistem setelah eksitasi terjadi (Woodward, Peggy

Freimarck, 2000).

2.3.4 Sistem Komputer


Sistem komputer digunakan sebagai pengendali sebagian besar operasional

peralatan MRI. Kelengkapan perangkat lunak, komputer mampu melakukan

tugas-tugas mulai dari input data, pemilihan protokol pemeriksaan, pemilihan

potongan, mengontrol seluruh sistem, pengolahan data, penyimpanan data,

pengolahan gambar diagnsotik, display gambaran diagnostik sampai rekam data

(Westbrook, Roth and Talbot, 2011)

Gambar 1.4 Komponen Utama Sistem MRI (Westbrook, Roth and Talbot, 2011)

Keterangan:

1. Shim coil 6. Gradien amplifier 11. Komputer

2. Magnet utama 7. Koil penerima 12. Dari koil penerima

3. Active shielding 8. RF transmitter 13. Sistem transport pasien


4. Pipa quench 9. Untuk body coil

10. Untuk koil gradien 10. RF amplifier

2.4 Parameter Dasar

2.4.1.1 Time Repetition (TR)

TR adalah waktu dari penerapan satu eksitasi pulsa RF ke eksitasi pulsa RF

berikutnya untuk setiap irisan dan diukur dalam millisecond. TR menentukan jumlah

relaksasi longitudinal yang terjadi antara ujung satu eksitasi pulsa RF dan penerapan

berikutnya, dengan demikian TR menentukan jumlah relaksasi T1 yang terjadi saat

sinyal dibaca.

2.4.1.2 Time Echo (TE)

TE adalah waktu dari penerapan eksitasi pulsa RF ke puncak sinyal yang

diinduksi dalam receiver coil dan diukur dalam millisecond. TE menentukan

seberapa banyak peluruhan magnetisasi transversal yang terjadi, dengan demikian TE

mengontrol jumlah relaksasi T2 yang terjadi ketika sinyal dibaca.

2.4.1.3 Inversion Time (TI)

TI adalah waktu antara pulsa inversi 180 dan pulsa eksitasi, yang diukur dalam

millisecond. TI digunakan pada sekuen inversion recovery (IR), echo train IR, dan

magnetization-prepared gradient echo. Pemilihan TI yang tepat dapat menekan

sinyal pada jaringan berdasarkan waktu relaksasi T1 (Dale, Brown and Semelka,

2015).

2.4.1.4 Slice Thickness


Slice thickness adalah volume jaringan pada arah pemilihan irisan yang menyerap

energi RF selama eksitasi, diukur dalam mm. Irisan yang tebal memberikan lebih

banyak sinyal per voxel sedangkan irisan yang lebih tipis menghasilkan rata-rata

volume parsial yang lebih sedikit.

2.4.1.5 Field of View (FOV)

FOV menentukan area darimana sinyal MR diambil sampelnya secara akurat,

diukur dalam mm2. Peningkatan resolusi spasial dapat dicapai dengan menurunkan

FOV.

2.4.1.6 Slice gap

Slice gap diukur dalam mm, merupakan jarak antara irisan yang berdekatan. Slice

gap dapat digunakan untuk mengontrol ukuran total volume pencitraan dengan

menambah atau mengurangi jarak antar irisan.

2.4.1.7 Number of Excitation Pulses (NEX)

Number of signal average (NSA) atau yang disebut NEX berfungsi mengontrol

jumlah data yang disimpan disetiap baris k-space. Apabila NEX ditingkatkan, maka

SNR juga akan meningkat.

2.4.1.8 Acquisition matrix (NPE, NRO)

Matriks akuisisi didefinisikan sebagai grid pengambilan sampel raw data yang

digunakan untuk pengukuran dasar citra. Terdiri dari dua number, yaitu number of

phase encoding (NPE) dan number of readout sampling (NRO).

2.5 Pembobotan MRI

Menurut (Westbrook and Talbot, 2019) pembobotan pada MRI terdiri dari:

2.5.1 T1-weighted
Pembobotan T1 yaitu dimana kontras sangat bergantung pada perbedaan

waktu T1 recovery antara lemak dan air. TR mengontrol seberapa jauh setiap

vektor recover sebelum irisan dieksitasi oleh eksitasi pulsa RF berikutnya. Untuk

mencapai pembobotan T1, TR harus cukup pendek sehingga vektor dalam lemak

maupun air tidak memiliki waktu yang cukup untuk kembali sepenuhnya ke B 0.

Jika TR terlalu panjang, kedua vektor dalam lemak dan air kembali ke B 0 dan

magnetisasi longitudinal meluruh sepenuhnya. Pembobotan T1 digunakan untuk

menunjukkan anatomi dan patologi setelah pemasukan media kontras.

2.5.2 T2-weighted

Pembobotan T2 yaitu dimana kontras sangat bergantung pada perbedaan

waktu T2 decay antara lemak dan air. TE mengontrol jumlah peluruhan T2 yang

terjadi sebelum sinyal diterima. Untuk mencapai pembobotan T2, TE harus cukup

panjang untuk memberikan waktu dephase pada vektor di lemak dan air. Jika TE

terlalu pendek, baik vektor dalam lemak maupun air tidak memiliki waktu untuk

dephase. Citra pembobotan T2 digunakan untuk menampilkan patologi karena

sebagian patologi memiliki kadar air tinggi dan relatif hiperintense.

2.5.3 PD-weighted

Citra pembobotan proton density (PD) adalah citra dimana perbedaan jumlah

inti hidrogen bergerak per satuan volume jaringan yang merupakan faktor penentu

utama dalam pembentukan kontras citra. Untuk mencapai pembobotan proton

density, efek kontras T2 dan T1 dikurangi sehingga kontras proton density

mendominasi. Pembobotan proton density digunakan untuk memperlihatkan

anatomi dan patologi.


2.6 MRI pulse sequence

Pulse sequence adalah teknik pengukuran dimana citra MR diperoleh. Berisi

instruksi perangkat keras (pulsa RF, pulsa gradien, dan timing) yang diperlukan untuk

memperoleh data dengan cara yang diinginkan (Westbrook and Talbot, 2019).

a. Spin Echo (SE)

Spin echo memiliki setidaknya dua pulsa RF, pulsa eksitasi (sering disebut

pulsa alfa (𝛼)) dan satu atau lebih 180 refocusing pulses yang menghasilkan spin

echo. Pulse sequence SE dianggap sebagai gold standar dalam menghasilkan

kontras citra yang baik. Sekuen ini menghasilkan citra dengan pembobotan T1, T2,

dan PD dengan kualitas yang baik di sebagian besar bagian tubuh. Namun,

memiliki kelemahan waktu scanning yang lama, PD dan T2W sering digantikan

menggunakan FSE/TSE (Dale, Brown and Semelka, 2015).

Tabel 2.1 Akronim Pulse Sequence SE (Westbrook & Talbot, 2019)


Generic GE Philips Siemens Toshiba Hitachi

Conventiona SE SE SE SE SE

l SE

Fast or FSE TSE TSE FSE FSE

turbo SE

Inversion IR IR IR IR IR

recovery

STIR STIR STIR STIR Fast STIR

STIR

FLAIR FLAIR FLAIR FLAIR Fast FLAIR

FLAIR

DRIVE FR-FSE DRIVE RESTORE T2 Driven

PULSE

FSE

Keterangan :

1. SE (Spin-Echo)

2. FSE (Fast Spin-Echo)

3. TSE (Turbo Spin-Echo)

4. IR (Inversion Recovery)

5. STIR (Short Tau Inversion Recovery)

6. FLAIR (Fluid Attenuated Inversion Recovery)


7. DRIVEN (Drive Equilibrium)

b. Fast Spin Echo (FSE)

Fast atau turbo spin echo (FSE/TSE) adalah pulsa sekuen spin echo tetapi

dengan waktu scanning yang lebih singkat dari spin echo konvensional. Disebut

juga sebagai RARE (Rapid Acquisition with Relaxation Enhancement). Apabila

jumlah phase encoding ditingkatkan, maka k-space terisi lebih efisien dan waktu

scanning berkurang. Semakin tinggi turbo factor, semakin pendek waktu scanning,

karena semakin banyak phase encoding yang dilakukan per TR. Selain memiliki

waktu scanning yang singkat, FSE menghasilkan citra dengan resolusi yang tinggi,

namun dapat meningkatkan flow artifacts dan memungkinkan citra menjadi

blurring.

c. Inversion Recovery (IR)

Inversion Recovery (IR) adalah pulsa sekuen spin echo yang menggunakan

pulsa pembalik RF untuk mensupresi sinyal dari jaringan tertentu.

1) Short TAU Inversion Recovery (STIR)

STIR adalah pulsa sekuen IR yang menggunakan TI yang sesuai dengan

waktu yang dibutuhkan vektor lemak untuk recovery dari inversi penuh ke

bidang transversal sehingga tidak ada magnetisasi longitudinal yang sesuai

untuk lemak. Secara umum, STIR merupakan sekuen yang sangat berguna

untuk mensupresi lemak pada pencitraan MRI.

2) Fluid Attenuated Inversion Recovery (FLAIR)

FLAIR merupakan variasi lain dari sekuen IR. TI terkait dengan

recovery vektor dalam CSF dari inversi penuh ke bidang transversal yang
dipilih. Sinyal TI null dari CSF karena tidak ada magnetisasi longitudinal di

CSF. FLAIR digunakan untuk men-supresi sinyal CSF yang tinggi pada

pembobotan T2 sehingga patologi yang berdekatan dengan CSF terlihat lebih

jelas.

FLAIR berguna dalam memvisualiasikan plak multiple sclerosis,

perdarahan subaraknoid akut, dan meningitis. Kelebihan dari sekuen ini adalah

menghasilkan kualitas citra yang baik karena sensitif terhadap patologi, namun

memiliki keterbatasan waktu scanning yang lama (Westbrook and Talbot,

2019).

d. Gradient Echo (GRE)

Gradient Echo atau gradient recalled echo adalah teknik pencitraan yang

tidak menggunakan pulsa 180 untuk refocus ke suatu proton. Penerapan pulsa

gradien kedua dengan durasi dan besaran yang sama tetapi polaritasnya berlawanan

membalikkan dephasing dan menghasilkan echo, yang disebut gradient echo.

Semua sekuen gradient echo menggunakan pulsa pembalik gradien setidaknya

dalam dua arah, pemilihan irisan dan arah readout menghasilkan sinyal. Sudut

eksitasi kurang dari 90 biasanya digunakan (Dale, Brown and Semelka, 2015)

Tabel 2.2 Akronim Pulse Sequence GRE (Westbrook & Talbot, 2019)

Generic GE Philips Siemens toshiba Hitachi

Coherent or GRASS FFE FISP SSFP Rephased

rewound SARGE

gradient-

echo
Incoherent SPGR T1-FFE FLASH Fast FE RF

or spoiled spoiled

gradient- SARGE

echo

Reverse- SSFP T2-FFE PSIF No Time-

echo sequence reversed

Gradient- SARGE

echo

Balanced FIEST B-FFE True True Balanced

gradient- A FISP FISP SARGE

echo

Fast Fast TFE Turbo Fast FE RGE

gradient- GRASS FLASH

echo or

SPGR

Echo planar EPI EPI EPI EPI EPI

imaging

Keterangan :

1. GRASS (gradient recalled acquisition in the steady

state)

2. SPGR (spoiled GRASS)

3. SSFP (steady state free precession)

4. FIESTA (free induction echo stimulated acquisition)


5. FFE (fast field echo)

6. FISP (fast imaging with steady precession)

7. FLASH (fast low angled shot)

8. PSIF (reverse FISP)

9. EPI (echo planar imaging)

10 RGE (rapid gradient-echo)

11. SARGE (steady acquisition rewound gradient-echo)

1) Incoherent or Spoiled Gradient-Echo

Sekuen ini dimulai dengan variasi flip angle eksitasi pulsa RF dan

menggunakan rephasing gradien untuk menghasilkan gradient-echo.

Kontras citra dipengaruhi oleh FID yang akan menghasilkan citra dengan

pembobotan T1 dan proton density. Namun, cairan seperti darah dan CSF

memiliki sinyal yang agak tinggi karena rephasing gradien. Spoiled

Gradient-Echo digunakan untuk akuisisi 2D dan volume dan karena TR

yang pendek, akuisisi 2D digunakan untuk mendapatkan citra T1W

dengan menahan napas. Sekuen ini menghasilkan anatomi dan patologi T1

yang baik setelah peningkatan kontras dengan gadolinium.

2) Fast Gradient Echo

Fast Gradient Echo menerapkan hanya sebagian dari eksitasi pulsa

RF sehingga membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk on/off. Sistem

fast gradient memungkinkan sekuen multislice gradient echo dengan TE

yang sangat pendek. Citra diperoleh dalam sekali menahan napas dan

bebas dari motion artifacts. Selain itu, akuisisi fast gradient echo berguna
jika resolusi temporal dibutuhkan. Hal ini sangat penting, setelah

pemberian agen kontras saat pemilihan fast gradient echo yang

memungkinkan pencitraan dinamis dari lesi yang meningkat (Westbrook

and Talbot, 2019).

2.7 Kualitas Citra MRI

Menurut Westbrook et al., (2011), parameter pada MRI mempengaruhi kualitas

gambar. Parameter yang diberikan harus universal yaitu dapat diterima pada sebagian

besar sistem. Akan tetapi terdapat parameter pembobotan yang tergantung pada kekuatan

medan magnet. Modifikasi dapat diperlukan jika digunakan pada kekuatan medan yang

sangat rendah atau tinggi. Pertimbangan utama pada kualitas gambar yaitu:

2.7.1 Signal to Noise Rasio

Menurut Westbrook et al., (2011), SNR merupakan perbandingan antara

besarnya amplitude sinyal dengan amplitude noise. SNR dipengaruhi oleh:

1. Pulse sekuen Spin Echo (SE) atau Turbo Spin Echo (TSE).

2. Proton density (PD) pada daerah yang diperiksa, dimana semakin tinggi PD

maka semakin tinggi nilai SNRnya.

3. Slice Thickness, dimana semakin besar ukuran ketebalan irisan atau

potongan akan menghasilkan voxel yang besar maka semakin tinggi pula

SNR.

4. Time Repatition (TR), Time Echo (TE), dan Flip Angle (FA). TR yang

panjang dapat meningkatkan SNR dan TR yang pendek akan mengurangi

nilai SNR. TE panjang dapat mengurangi SNR dan TE yang pendek dapat
meningkatkan SNR. Sedangkan flip angle yang rendah menghasilkan SNR

yang kecil.

5. Number of Excitation (NEX) atau NSA jumlah dari waktu data mengumpul

dengan amplitudo yang sama dari kemiringan phase encoding. NEX dapat

dikontrol dengan jumlah data dari K Space. Data terdiri dari signal dan

noise. Meningkatkan NEX akan mengurangi motion artefact.

6. Receive Bandwidth, semakin kecil bandwidth maka noise akan berkurang.

7. Penggunaan koil yang terpasang dekat dengan objek pemeriksaan

2.7.2 Contrast to Noise Ratio (CNR)

Menurut Westbrook et al., (2011), CNR didefenisikan sebagai

perbedaan SNR diantara dua daerah. CNR dipengaruhi oleh beberapa faktor

yang mempengaruh SNR. CNR yang baik dapat menunjukkan perbedaan

daerah yang patologis dengan daerah yang sehat. CNR dapat ditingkatkan

dengan cara:

1. Menggunakan media kontras.

2. Menggunakan pembobotan gambar T2.

3. Memilih magnetization transf

4. Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan chemical atau spectral

presaturation.

2.7.3 Spatial Resolution

Menurut Westbrook et al., (2011), spatial resolution adalah kemampuan untuk

membedakan antara dua titik secara terpisah. Spatial resolution tergantung dari
ukuran voxel, semakin kecil ukuran voxel, resolusi akan semakin baik. Spatial

resolusi dapat ditingkatkan dengan cara:

1. Slice thickness tipis.

2. Matriks kecil.

3. Field of View (FOV) yang optimal.

2.7.4 Scan Time

Menurut Westbrook et al., (2011), scan time atau waktu scanning adalah

waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan akuisisi data. Waktu scanning

sangat berpengaruh terhadap kualitas citra. Pada umumnya, semakin lama waktu

scanning kualitas citra akan semakin bagus, namun resiko terjadinya motion

artefak juga semakin tinggi. Sehingga untuk mengurangi waktu scanning dapat

dilakukan dengan cara TR sependek mungkin, matriks kasar, NEX sekecil

mungkin. Menurut Westbrook et al., (2019) faktor-faktor yang mempengaruhi

scan time yaitu :

1. Time Repetition (TR)

Pemilihan setiap TR, irisan phase encoded, dan frequency

encoded. Gema sampelnya diambil dan frekuensinya didigitalkan. Oleh

karena itu, setiap TR, satu baris data diletakkan dalam K-space untuk

setiap slice. Setelah ini terjadi system pengulangan, proses ini untuk setiap

irisan yang lain. TR panjang berarti ada waktu yang lama antara mengisi

satu garis K-space dan garis berikutnya untuk setiap area K-space yang
sebaliknya berlaku untuk TR pendek. karena itu dibutuhkan waktu yang

relatif lebih lama untuk mengisi semua area K-space untuk menyelesaikan

scanning ketika TR panjang dibandingkan dengan saat pendek (Westbrook

et al., 2019).

2. Fase Matriks

Menetukan jumlah baris K-space yang di isi untuk menyelesaikan

scanning, jika satu baris di isi per TR, maka jika:

a. Phase matriks dari 128 dipilih, 128 baris di isi, dan 128 TR

diselesaikan untuk menyelesaikan scanning.

b. Phase matriks 256 dipilih, 256 baris di isi, dan 256 TR diselesaikan

untuk menyelesaikan scanning Ketika phase matriks meningkat, waktu

scanning juga meningkat karena membutuhkan waktu lebih lama

untuk menyelesaikan ruang pada saat menggunakan phase matriks

rendah atau kasar (Westbrook et al., 2019).

3. Number of Excitation (NEX)

NEX Adalah berapa kali setiap baris di isi dengan data. Gema

lebih dari satu kali dengan mempertahankan kemiringan gradient fase

yang sama pada beberapa TR. Baris yang sama dari Kspace diulang

beberapa kali sehingga setiap baris mengandung lebih banyak data

daripada jika data ditempatkan disana hanya sekali. Karena ada lebih

banyak data disetiap baris. Gambar yang dihasilkan memiliki Signal to


Noise Ratio (SNR) yang lebih tinggi, tetapi waktu scanning secara

proporsional lebih lama. Sebagai contoh:

a. TR 1000 ms, Phase matriks 256, 1 NEX, waktu scanning= 256 detik.

b. TR 1000 ms, phase matriks 256, 2 NEX, waktu scanning= 512 detik

Biasanya untuk mengisi setiap baris lebih dari satu kali,

kemiringan gradient phase pengkodean yang sama digunakan pada dua

atau lebih TR berturut-turut daripada mengisi semua baris sekaligus dan

kemudian kembali untuk mengulangi proses itu lagi. Jumlah titik data di

setiap baris K-space tidak meningkat ketika NEX meningkat, yaitu ketika

dua rata-rata sinyal digunakan (2 NEX). Rata-rata sinyal kedua tidak

menggandakan jumlah titik data disetiap baris K-space. jumlah titik data

di setiap baris K-space adalah matriks frekuensi. Jadi penting untuk

memastikan bahwa jumlah titik data disetiap baris tetap sama. ketika NEX

meningkat, ada jumlah titik data yang sama disetiap baris tetapi setiap titik

data berisi lebih banyak informasi (Westbrook et al., 2019). Waktu

memegang peranan penting dalam pencitraan dengan MRI. Hal yang harus

diperhatikan adalah dengan meningkatnya waktu pencitraan berarti

potensial untuk meningkatnya pula motion artefact. Untuk mengurangi

artefak yang disebabkan pasien yang tidak dapat bertoleransi, tentu saja

parameter yang diatur adalah yang berhubungan langsung dengan waktu

pencitraan. Dan seringkali hasil citra menjadi menurun kualitasnya seperti

Signal dan resolusi.


2.8 Prosedur Pemeriksaan

2.8.1 Persiapan alat

1. Pesawat MRI

2. Koil tubuh atau koil panggul

3. Bantalan imobilisasi

4. Headphone atau earplugs

5. Alat fiksasi strip

2.8.2 Persiapan pasien

1. Melakukan inform consent kepada pasien atau keluarga pasien

2. Melepas benda benda logam yang ada pada tubuh, melakukan pengecekan

dengan detector logam.

3. Mengganti dengan baju pasien.

4. Sebelum pemeriksaan, diharapkan pasien tidak buang air kecil.

2.8.3 Posisi pasien

1. Pasien supine diatas meja pemeriksaan

2. Bentalan busa dan kompresi dapat diterapkan di panggul bawah pasien untu k

mengurangi pernafasan dan gerakan usus.

3. Kedua tangan pasien di samping tubuh.

4. Meletakkan coil diatas tubuh dengan bagian atas coil setinggi crista iliaca.

5. Memberikan bel alarm atau panic botton pada pasien, untuk tombol

emergency pasien.

6. Lampu longitudinal sejajar dengan MSP pasien dan kolimator horizontal pada

pertengahan simpisis pubis dan crista iliaca.


7. Masukkan objek yang diperiksa kedalam medan magnet.

8. Menjelaskan berapa lama pemeriksaan dan tetap menjaga komunikasi dengan

pasien selama pemeriksaan.

2.8.4 Protokol pemeriksaan

1. Coronal breath-hold fast incoherent (spoiled) GRE/SE/FSE T1

Digunakan sebagai localizer jika tidak terdapat localizer tiga bidang

atau digunakan sebagai sekuens diagnostik. Pengambilan slice yaitu

dari coccyx ke aspek anterior dari symphysis pubis.Area dari symphysis

pubis hingga krista illiaka masuk ke dalam lapangan pencitraan. Localizer

sagittal digunakan untuk mengonfirmasi posisi dari rectal coil dan untuk

mengevaluasi Rahim pasien (Westbrook, 2014)

2. Sagittal SE/FSE T2

Sekuens ini mencitrakan organ-organ yang berada pada midline tubuh

(bladder, uterus, rektum, serviks). Pengambilan slice pada sagittal yaitu dari

kiri ke sisi samping kanan pelvis. Jika dicurigai adanya kelenjar getah

bening, struktur kecil seperti serviks memerlukan pecitraan dengan resolusi

tinggi menggunakan rectal coil dan slice yang tipis ditentukan menggunakan

ROI saja. Saat menggunakan FSE diperlukan penggunaan tissue

suppression pulse (Westbrook, 2014). Irisan Sagittal dibuat mulai dari batas

posterior coccyx sampai batas anterior tubuh. Dengan area pemeriksaan

mulai dari batas atas L4sampai batas bawah Symphisis Pubis.


Gamabar 1.5 Scanogram pelvis irisan sagittal SE T2 (MRI masteer,2017)

Gambar 1.6 Hasil ccitra MRI pelvis irisan sagittal FSE T2 weighted

(westbrook,2014)

3. Axial SE/FSE T2

Sekuens ini mencitrakan organ-organ yang berada pada lateral tubuh

seperti ovarium, limfa, dan nodus. Pengambilan slice pada axial yaitu dari

dasar pelvis hingga krista illiaka. Jika dicurigai adanya kelenjar getah

bening, struktur kecil seperti serviks memerlukan pecitraan dengan

resolusi tinggi menggunakan rectal coil dan slice yang tipis ditentukan

menggunakan ROI saja. Saat menggunakan FSE diperlukan penggunaan

tissue suppression pulse (Westbrook, 2014)


Gambar 1.7 Scanogram pelvis irisan axial SE T2 (MRI Master, 2017)

Gambar 1.8 Hasil citra MRI pelvi irisan axial T2 (Baert dkk, 2007)

4. Axial SE/FSE T1

Rekomendasi pengambilan slice seperti untuk T2 axial. Sekuens fat-

saturated T1WI secara khusus diperlukan untuk mengkarakterisasi lemak

atau perdarahan adnexa ketika ada kecurigaan klinis seperti dermoid atau

endometriosis (Westbrook, 2014). Irisan sama sebagaimana pada Axial T2.

Irisan dibuat mulai dari pelvic floor sampai batasan atas illiac crests.

Gambar 1.9 Scanogram pelvis irisan Axial SE T1 (MRI Master, 2017)


Gambar 2.0 Hasil citra MRI Pelvis irian axial T1 (Baert dkk, 2007)

5. Coronal SE/FSE T2

Rekomendaasi pengambilan slice seperti untuk coronal SE/FSE T1. Saat

menggunakan FSE diperlukan penggunaan tissue suppression pulse

(Westbrook, 2014). Scanogram sagittal dan axial sebagai penentu untuk

membuat irisan coronal dengan batas bawah Symphisis Pubis sampai batas

atas Iliac Crests atau setinggi L4.

Gambar Scanogram pelvis irisan coronal SE T2 (MRI Master, 2017)


Gambar Hasil citra MRI pelvis irisan coronal T2 weighted (Mahajan dkk,

2013)

6. SS-FSE/GRE-EPI/SE-EPI/ diffusion imaging

Real-time imaging memungkinkan biopsi dan ablasi laser pada lesi di

bawah kendali MRI. Selain itu, cine imaging uterus berguna untuk

mengevaluasi kontraktilitas uterus pada berbagai kelainan, dan Teknik ini

dapat digunakan untuk mengevaluasi dasar pelvis. DWI yang dapat

digunakan dengan teknik parallel imaging berfungsi untuk

membedakan lesi ganas (maligna) ataupun lesi jinak (benigna) dan untuk

mengevaluasi respon tumor terhadap terapi (Westbrook, 2014). Diffusion

imaging menggunakan irisan axial dengan batas bawah pelvic floor

sampai batas atas illiac crests.

Gambar Scanogram pelvis Diffusion Imaging (MRI Master, 2017)


Gambar Hasil citra MRI pelvis axial diffusion weighted (semelka, 2014)

BAB III

PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Profil Kasus

3.1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny H

Umur : 36 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

No RM : 20*******
Tanggal Pemeriksaan : 20 Oktober 2022

Jenis Pemeriksaan : MRI Pelvis + kontras

Diagnosa/ klinis : Evaluasi uterus dan adnexa kanan kiri

3.1.2 Riwayat pasien

Pada hari Kamis, 20 Oktober 2022, pasien datang didampingi oleh keluarganya ke

Instalasi Radiologi RSUD Dr. Saiful Anwar Maang dengan membawa lembar

permintaan pemeriksaan MRI Pelvis + kontras. Dalam lembar permintaan foto tertulis

kilinis evaluasi uterus dan adnexa kanan kiri. Setelah itu pasien dilakukan anamnase

terlebih dahulu oleh dokter PPDS Radiologi di ruang anamnase. Selanjutnya pasien

masuk keruang pemeriksaan MRI sesuai prosedur yang ada.

3.2 Prosedur Pemeriksaan

3.2.1 Persiapan Pasien

1. Pasien melakukan cek ureum creatinin.

2. Pasien diberi penjelasan singkat mengenai prosedur pemeriksaan yang akan

dilakukan.

3. Melakukan skrining dan inform consent kepada pasien.

4. Melepaskan semua benda logam yang ada pada tubuh.

5. Memasang abocath nomer 22 kepada pasien sebagai jalan masuk injector

media kontras.

3.2.2 Persiapan Alat dan Bahan

1. Pesawat MRI Philips 3 Tesla

2. Body coil

3. Earphone
4. Selimut

5. Body strap

6. Media kontras gadolinium

7. Saline

8. Work station

9. Film printer

3.2.3 Posisi Pasien

1. Pasien supine di atas meje pemeriksaan dengan kedua tangan disamping tubuh

2. Posisi pasien head first

3. Pasie dipasangkan earphone untuk meredam suara pesawat MRI selama

pemeriksaan berlangsung

4. Memberikan selimut pada pasien lalu dipasang body dtrap sebagai fiksasi

pasien.

5. Memasang coil body diatas pelvis pasien.

3.2.4 Posisi Objek

Posisi pelvis berada didalam body coil dengan iso center berada tepat pada

pertengahan pelvis.

3.2.5 Teknik Pemeriksaan MRI Pelvis Evaluasi Uterus dan adnexa kanan dan kiri

1. Memasukkan data pasien sesuai dengan yang tertera pada lembar permintaan

foto ke work station

2. Memilih jenis protocol pemeriksaan, yaitu pelvis female

3. Membuat localizer/survey
Localizer diakukan sebelum melakukan scanning pada sekuen-sekuen

berikutnya atau berfungsi sebagai dasar dalam planning pemeriksaan MRI

Pelvis. Localizer didapatkan dari axial, sagittal, dan coronal. Selanjutkan hasil

localizer akan digunakan sebagai scanogram pada tiap potongan sekuen yang

akan digunakan.

4. Protocol sekuen

a. Survey/ localizer

Localizer dilakukan sebelum melakukan scanning pada sekuen-sekuen

berikutnya atau berfungsi sebagi dasar atau berfungsi sebagai dasar dalam

planning pemeriksaan MRI Pelvis. Pemeriksaan MRI Pelvis di Instalasi

Radilogi RSUD Dr. Saiful Anwar menggunakan 3 potongan, yaitu

potongan cornal, sagittal, dan axial.

b. COR T2 Pelvis

Pada scanning T2 dengan potongan coronal digunakan untuk mengevaluasi

uterus dan mengetahui lebar tumor dari sisi anterior jika terdapat tumor

pada bagian pelvis atau mengevaluasi jika adanya metastasis. Area

scanning tidak boleh terpotong dengan melihat pengaturan area scan

melalui irisan sagittal dan axial. Seluruh area pelvis masuk ke dalam area

scanning dengan batas atas setinggi L2 dan batas bawah sympisis pubis.
Gambar 3.1 Protokol sekeun dan hasil scaning COR T2 Pelvis

c. SAG T2 Pelvis

Seekuen T2 sagital dibuat untuk melihat adanya patologi pada pasien. Area

scanning tidak boleh terpotong dengan cara melihat pengaturan scanning

atau pengaturan lebar objek yang akan diperiksa atau diihat melalui

scanogram axial dan coronal.

Gambar 3.2 Protokol sekeun dan hasil scaning SAG T2 Pelvis

d. AX T2 Pelvis

Sekuen T2 axial ini dibuat untuk melihat kemungkinanadanya metastasis di

daerah pembuluh darah dari pelvis pada potongan axial. Pembobotan T2


dianggap sebagai patologi karena cairan abnormal terang terhadap jaringan

normal gelap.

Gamabar 3.3 Protokol sekeun dan hasil scaning AX T2 Pelvis

e. OBL AX T2 SFOV

Sekuen OBL AX T2 SFOV memiliki protocol yang sama dengan AX T2

Pelvis yang membedakan hanya posisi scanning obliq dan area scanning

lebih kecil, focus pada objek yang dievaluasi. Pada sekuen ini FOV yang

digunakan lebih kecil dari pemeriksaan Pelvis secara general.

Gambar 3.4 Protokol sekeun dan hasil scaning OBL AX T2 SFOV


f. SAG T2 SFOV

Pada sekuen T2WI SFOV digunakan untuk melihat objek yang diinginkan

dengan lebih jelas dan resolusi yang bagus. T2WI SFOV menggunakan

FOV yang kecil maka detail resolusi meningkat. Dengan begitu, objek kecil

akan tampak jelas dan berukuran besar sehingga tidak perlu di zoom. T2WI

SFOV pelvis dibuat dengan cara posisi oblique.

Gambar 3.5 Protokol sekeun dan hasil scaning SAG T2 SFOV

g. OBL AX T1 FS SFOV

Pada scanning T1 dipergunakan untuk lebih focus melihat anatomi pada

pelvis. Arean scanning didapat dengan mengatur scanogram melalui

ptongan sagittal dan coronal. Pada sekuen ini digunakan tambahan FS yaitu

fat-suppressed yang berfungsi untuk menekan gambran lemak. Sehingga

gambaran lemak tampak hitam (hipointense). Selain FS pada sekuen ini

juga terdapat tambahan SFOV yaitu menggunakan FOV yang lebih kecil

daripada protocol pelvis general dengan memfokuskan pada objek tertentu.


Gambar 3.6 Protokol sekeun dan hasil scaning OBL AX T1 FS SFOV

h. OBL AX T1 SFOV

Pada scanning T1 lebih untuk melihat anatomi pada pelvis dan untuk

pembanding potongn axial dengan sekuan T2. Area scanning tidak boleh

terpotong dengan melihat pengaturan scan melalui scanogram potongan

sagittal dan coronal. Pada sekuen OBL AX T1 SFOV memliki sedikit

perbedaan pada protocol AX T1 berupa posisi scanning obliq dan FOV

yang digunakan lebih kecil dari FOV pada sekuen Pelvis general.
Gambar 3.7 Protokol sekeun dan hasil scaning OBL AX T1 FS SFOV

i. DWI_3b

Pada penggunaan pulse sekuen DWI berfungsi sebagai penentu jaringan-

jaringan yang mengalami kerusakan atau mengalami gangguan akan

hiperintense pada area cervix. Diffusi sangat membantu untuk menentukan

karakteristik suatu kanker atau tumor termasuk jinak atau ganas.

Gambar 3.8 Protkol sekuen DWI_3b

j. OBL COR T2 SFOV

Sekuen ini memiliki prinsip yang sama dengan sekuen COR T2, yang

membedakan hanya pada posisi scan yang obliq dan besar FOV yang lebih

kecil daripada FOV pada protocol FOV Pelvis general.


Gambar 3.9 Protokol sekeun dan hasil scaning OBL COR T2 SFOV

k. Memasukkan kontras kepada pasien

l. OBL AX T1 FS PC SFOV

Pada sekuen ini diambil pada post contrast, sekuen ini memiliki pronsip

yang sama dengan sekuen sebelumnya yang sama sama menggunakan

tambahan SFOV dan FS.

Gambar Protokol sekeun dan hasil scaning OBL AX T1 FS PC SFOV

m. SAG T1 FS PC SFOV

Sekuen ini dilakukan setelah memasukkan kontras pada pasien, prinsipnya

sama dengan SAG T1 yang scanogramnya melalui potongan axial dan

coronal. Pada sekuen ini diberi tambahan FS dan SFOV sama seperti

sekuen yang lain.


Gambar Protokol sekeun dan hasil scaning SAG T1 FS PC SFOV

n. OBL COR T1 FS PC SFOV

Sekuen ini sama seperti sekuen T1 yang lain hanya dibedakan dari

scanogram melalui potongan axial dan sagittal. Selain itu, pada sekuen ini

juga terdapat tambahan FS dan SFOV

Gambar Protokol sekeun dan hasil scaning OBL COR T1 FS PC SFOV

o. OBL AX T2 FS SFOV

Sekuen ini sama prinsip nya dengan OBL AX T2 SFOV hanya saja diberi

tambahan FS untuk menekan gambaran fat agar menghasilkan

gambaramyang gelap.
3.2.5 Filming atau pengolahan film

Filming pada pemeriksaan MRI Pelvis sebanyak 3 lembar. Pada lembar pertama

terdiri dari , lembar kedua, dan lembar ketiga adalah.

3.2.6 Hasil ekspertise

 Adnexa kanan : tampak lesi kistik multilubulated, berseota tipis (1,0 mm),

berdinding tipis (1,0 mm) tidak tampak mural nodu, dengan kmponen

perdarahan subakut didalamnya, hiperintens T1WI/FS/T2WI , non restricted

DWi, tidak menyengat pasca penambahan kontras pada adnexa kanan dengan

ukuran ,6 cm x 5,7 cm x 5,9 cm

 Adnexa kiri :

o Tampak lesi kistik multiple berdinding tipis (1,0 mm) sebagian dengan

komponen perdarahan subakut- kronis didalamnya, hipointens

T1WI/FS, hipo-hiperintens T2WI. Non restricted DWI, yang

menyangat pada bagian dindingnya pada adnexa kirdengan diameter

terbesar 2,5 cm.

o Tampak dilatasi fallopian tube tortuous, dengan komponen perdarahan

subakut didalamnya, hiperintens T1WU/FS/T2WU, non restricted


DWI, tidak menyanagt pasca penambahan kontras. Tidak tampak

nodul didalamnya.

 Uterus : ukuran norma, ketebalan endometrium 9.0 mm, tampak lesi intensitas

darah slightly hiperintens T1WI, hiperintens T2WI, non restricted DWI, tidak

menyangat pasca penambahan kontras pada cavum uteri.

 Vagina : tidak tampak lesi patollogis

 Vesica urinaria : terisi cukup, dinding regular, tidak tampak batu/massa

 Tampak lomfonodi multiple isointens T1WI/T2WI, hiperintens T1FS,

restricted DWI, yang menyangat pasca penambahan kontras pada parailiaca

interna kanan kiri

Kesimpulan :

 Complicated Comlex Cyst (dengan komponen perdarahan), septa dan dinding

tipis pada adnexa kana sesuai O-Rads 3 (low risk)

 Complicated Cst (dengan komponen perdarahan ), dinding tipis, disertai

dilatasi tuba fallopi kiri dengan komponen perdarahan didalamnya sesuai O-

Rads 3 (low risk)

 Hematometra

3.3 Pembahasan

Pada pemeriksaan MRI Pelvis dengan klinis evaluasi uterus dan adnexa terdapat

beberapa perbedaan dengan pemeriksaan MRI Pelvis pada teori. Salah satu perbedaan yang

ditemukan adalah penambahan SFOV pada beberapa sekuen yang digunakan. SFOV ini

digunakan dengan cara memperkecil FOV dan memfokuskan pada objek yang akan dilihat.
SFOV yang kecil berfungasi untuk melihat objek tertentu dengan lebih jelas. SFOV digunakan

setelah protocol MRI general sudah dilakukan. Penggunaan FOV yang kecil akan berperngaruh

pada kualitas citra. FOV yang kecil akan memberikan citra yang lebih detail dengan cara

meningkatkan resolusi (high resolusi). Akan tetapi hal ini juga memiliki beberapa kekurangan

yaitu dengan meningkatkan resolusi secara otomatis scan time yang dibutuhkan akan lebih lama

daripada sukeun normal. Selain itu, penggunaan FOV yang kecil juga dapat meningkatkan noise

pada citra. Maka dari itu, pada penggunaan setiap tambahan protocol yang ada harus

mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan yang didapat. Oleh karena itu penggunaan FOV

yang kecil juga harus dipertimbangkan sesuai permintaan dan kebutuhan pemeriksaan sehingga

hasil pemeriksaan memiliki detiail yang bagus dan resolusi yang tinggi dan informative tetapi

tidak menimbulkan noise yang terlalu banyak dan scan time yang tidak terlalu lama. Oleh karena

itu, pada pemeriksaan MRI Pelvis dengan klinis evaluasi uterus dan adnexa di Instalasi Radiologi

RSUD Dr. Saiful Anwar menggunakan FOV dengan kisaran 24 – 32 cm, sedangkan pada

pemeriksaan MRI Pelvis dengan FOV kecil dgunakan FOV sebesar 150 x 115 mm atau 15 x

11.5 cm.

Pada beberapa sekuen yang digunakan diberi tambahan FS. FS yaitu fat-suppressed yang

berfungsi untuk menekan gambran lemak. Sehingga gambaran lemak tampak hitam

(hipointense). Lemak yang disupresi dan tampak hitam akan berguna untuk membedakan jika

ada kelainan pada pasien yang pada hasil gambaran akan sama dengan gambaran lemak. Begitu

juga sebaliknya, lemak yang tidak disupresi yang tergambaran terang biasanya bias disalah

artikan dengan kelainan. Oleh karena dilakukan fat suppresi untuk menenkan gambaran lemak

sehingga perbedaan antara lemak dan kelainan jelas perbedaan nya.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan ditas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Prosedur pemeriksaan MRI Pelvis di Intalasi Radiologi RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

terdiri dari beberapa sekuen seperti Survey, COR T2 Pelvis, SAG T2 Pelvis, AX T2

Pelvis, OBL AX T2 SFOV, SAG T2 SFOV, OBL AX T1 FS SFOV, OBL AX T1 SFOV,

DWI_3b, OBL COR T2 SFOV, OBL AX T1 FS PC SFOV, SAG T1 FS PC SFOV, OBL

COR T1 FS PC SFOV, OBL AX T2 FS SFOV. Pada beberapa sekuen memiliki hal yang

berbeda dengan protocol MRI Pelvis pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari segi

penggunaan FOV yang kecil pada protocol dengan tambahan SFOV. Selai itu, ada juga

beberapa sekuen yang menggunakan tambahan FS sebagai supresi lemak. Penggunaka

FOV yang lebih kecil berfungsi untuk menghasilkan gambar dengan resolusi yang bagus,

akan tetapi FOV yang terlalu kecil akan meningkatkan noise dan waktu pemeriksaan

semakin lama. oleh karena itu, pada Instalasi Radiologi RSUD Dr. Saiful Anwar

menggunakan FOV pada sekuen dengan SFOV sekita 150 x 115 mm. Selain itu,

penggunaan FS juga sangat bermanfaat untuk membedakan gambaran lemak dan

kelainan yang ada. Gambaran lemak tampak hitamm setelah disupresi dengan FS.

4.2 Saran

Pada pemeriksaan yang dilakukan sudah baik dan memiliki tujuan untuk memberikan

hasil yang lebih maksimal. Oleh karena itu, tata cara atau prosedur pemeriksaan bisa
dipertahankan atau bisa dimodifikasi lebih baik lagi untuk kedepannya untuk hasil yang

lebih optimal lagi.


DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai