Anda di halaman 1dari 54

TEKNIK PEMERIKSAAN MSCT SINUS PARANASAL NON KONTRAS

PADA KASUS RHINUSINUSITIS KRONIS

DI RSUD DR. MOEWARDI

Laporan Kasus

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk laporan PKL IIIPendidikan Diploma III

Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Bali

Diajukan Oleh :

CRISTINA BENDITA LOURENCA PEREIRA

011710054

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

AKADEMI TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI BALI

(ATRO BALI)

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah diperiksa dan disetujui sebagai laporan kasus untuk menyelesaikan

tugas Praktek Kerja Lapangan III Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Bali

(ATRO Bali) di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi.

Nama : CRISTINA BENDITA LOURENCA PEREIRA

NIM : 011710054

Judul Laporan : “Teknik Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal Non kontras

pada Kasus Rhinusinusitis kronik RSUD Dr. Moewardi

Surakarta”

Surakarta, September 2019

ClinicalInstructure

RSUD Dr. Moewardi

1
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapanTuhan Yang MahaEsa, karena

atas berkat danrahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikanlLaporan Kasus

tentang “Teknik PemeriksaanMSCT Sinus Paranasal Non kontras pada

Kasus Rhinusinusitis kronik di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi”

Penyusunan laporan kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat

Praktik Kerja Lapangan III Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi Bali di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi.

Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis telah banyak mendapat

bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis

tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Dr. Sulistyani Kusumaningrum,dr.M.Sc.,Sp.Rad selaku Kepala

Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi.

2. Ibu Rosalia Herni P. S.ST selaku pembimbing laporan kasus di

Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi.

3. Seluruh Radiografer di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi

yangtelah membimbing penulis selama PKL III.

4. Keluarga tercinta yang selalu memberi dukungan, semangat dan doa

tanpa henti.

5. Rekan-rekan mahasiswa Akademi Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi Bali (ATRO Bali)

2
6. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu penyusunan laporan kasus ini selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak

kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua

pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat

bermanfaat bagi penulis sendiri dan juga bagi para pembaca.

Surakarta, September 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

COVER

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... i

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................ 3

C. Tujuan Penelitian.............................................................................. 3

D. Manfaat Penelitian............................................................................ 4

E. Sistematika Penulisan....................................................................... 4

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Sinus Paranasal.................................................................. 6

B. Fisiologi Sinus paranasal.................................................................. 15

C. Rhinosinusitis................................................................................... 16

D. Pengetahuan Dasar MSCT............................................................... 20

E. Teknik MSCT Sinus Paranasal Tanpa Kontras................................ 25

F. Proteksi Radiasi................................................................................ 29

4
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Paparan Kasus................................................................................... 34

1. Identitas dan Riwayat pasien......................................................... 34


................................................................................................

Teknik Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal pada Kasus

Rhinusinusitis kronik di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”

B. Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta........................ 35

1. Persiapan pemeriksaan.................................................................. 35

2. Persiapan pasien............................................................................ 36

3. Posisi Pasien.................................................................................. 37

4. Posisi objek................................................................................... 37

5. Memasukkan data pasein.............................................................. 37

6. Pemilihan protokol........................................................................ 38

7. Pembuatan scanogram.................................................................. 39

8. Parameter MSCT SPN pada kasus Rhinusinusitis kronis ............ 39

9. Proses rekonstruksi gambar........................................................... 40

10. Dibuat irisan axial....................................................................... 41

11. Dibuat irisan coronal................................................................... 41

12. Proses pencetakan gambar.......................................................... 42

13. Hasil Radiograf........................................................................... 42

C. Proteksi Radiasi................................................................................ 43

D. Pembahasan...................................................................................... 44

5
BAB IV PENUTUP

A. Simpulan......................................................................................... 46

B. Saran............................................................................................... 47

DAFTAR PUSTAKA

6
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Computed tomography atau biasa disebut dengan CT-scan adalah suatu

alat penunjang diagnosis yang mempunyai aplikasi yang universal untuk

pemeriksaan seluruh organ tubuh. Pada CT-scan tersebut memiliki prosedur

pencitraan diagnostik yang menggunakan kombinasi dari sinar-x dan

teknologi komputer untuk menghasilkan gambar penampang (yang sering

disebut irisan atau slice), baik horisontal maupun vertikal dari tubuh.

Generasi terbaru dari CT-scan yaitu MSCT-scan (Multi Slice Computed

Tomography Scanning) yang mampu menghasilkan gambar secara detail dari

bagian tubuhmanusia seperti Sinus paranasal   cranium, cardiovascular,

cardiac, otak, abdomen, colon,  dan sebagainya. MSCT dengan kecepatannya

merupakan generasi CT-scan canggih dengan peningkatan kecepatan yang

sangat signifikan dari generasi terdahulu, sehingga penegakan diagnosa dapat

lebih akurat (Sofiana, 2013).

Sinus paranasal adalah rongga yang berisikan udara yang dilapisi

oleh epithelium silia dan berhubungan dengan cavum nasi. Antrum maxilla

dan sinus sphenoid sudah ada sejak lahir, dan mulai membesar pada usia 8

tahun, tapi akan terbentuk sempurna saat dewasa (Ellis, 2006). Salah satu

kelainan yang terjadi pada sinus paranasal yaitu Rhinosinusitis tumor, polip,

trauma, fraktur, dan sinusitis.

7
Rhinosinusitis kronis merupakan kondisi inflamasi pada hidung dan

sinus paranasalis (Benninger et al, 2007). Penyakit ini dapat diakibatkan oleh

infeksi virus, infeksi bakteri, infeksi jamur, infeksi gigi,dan yang lebih jarang

fraktur dan tumor. Rhinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita

dibandingkan laki-laki dengan perbandingan sebesar 6:4. Prevalensi

rhinosinusitis kronis di indonesia pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6%,

dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rhinosinusitis kronis

(Budiman, 2010). Pemeriksaan imaging radiologi untuk mengetahui adanya

Rinoshinusitis kronis secara lebih teliti ada MSCT Sinus paranasal non

kontras.

Pada MSCT sinus paranasal non kontras, scaning dilakukan

berdasarkan kasus atau klinis pasien dan hal tersebut menentukan pemelihan

parameter scaning untuk menghasilkan informasi citra diagnostik yang

optimal.

Teknik pemeriksaan MSCT sinus paranasal (SPN) non kontras di

Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi menggunakan window SPN, dengan

slice thiknes 3mm baikpotongan axial maupun coronal, sedikit berbeda

dengan teori MSCT sinus paranasal menurut Seeram,(2001) pada potongan

axial menggunakan slicethiknes 5 mm dan potongan coronal mengunakan 3

mm.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih dalam

tentang “TeknikPemeriksaan MSCT Sinus Paranasal Non kontras pada Kasus

8
Rhinosinusitis Kronis” sebagai laporan kasus di Instalasi Radiologi RSUD Dr.

Moewardi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penyusun mendapatkan pokok

permasalahan dan membatasi rumusan masalah pada kasus ini untuk

memfokuskan pembahasan, yaitu

1. Bagaimanakah teknik pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal Non kontras

pada kasus Rhinusinusitis kronik RSUD Dr. Moewardi?

2. Apakah teknik pemeriksaan MSCT sinus paranasal Non kontras pada

kasus Rhinusinusitis kronis di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi

sesuai dengan teori?

C. Tujuan

Adapun beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penulisan laporan

kasus ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal Non kontras

pada kasus Rhinusinusitis kronik di Instalasi RadiologiRSUD Dr.

Moewardi.

2. Untuk mengetahui apakah teknik pemeriksaan MSCT sinus paranasal Non

kontras pada kasus Rhinusinusitis kronik Instalasi Radiologi RSUD Dr.

Moewardi sesuai dengan teori.

9
D. Manfaat

Dari laporan kasus ini, terdapat beberapa manfaat yang diharapkan, yaitu:

1. Bagi Institusi Rumah Sakit

Memberikan masukan dan saran-saran yang berguna bagi rumah

sakit, dalam hal ini instalasi radiologi umumnya dan radiografer

khususnya mengenai teknik MSCT Sinus Paranasal Non kontras pada

kasus Rhinusinusitis kronik.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sumber pustaka bagi mahasiswa Akademi Teknik

Radiodiagnostik dan Radiotherapi Bali (ATRO Bali).

3. Bagi Penulis

Menambah dan memperdalam pengetahuan tentang teknik MSCT

Sinus Paranasa Non kontras pada kasus Rhinusinusitis kronis.

E. Sistematika penulisan

Untuk memudahkan memahami isi laporan kasus ini, maka penulis

membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penulisan laporan kasus, manfaat penulisan laporan kasus dan

sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Teori

10
Bab ini berisi teori tentang anatomi dan fisiologi Kepala.Definisi

MSCT dan teknik pemeriksaan.

Bab IIIHasil dan Pembahasan

Dalam bab ini berisi tentang hasil dan pembahasan penulisan laporan

kasus.

Bab IV Penutup

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari penulisan laporan kasus.

Daftar Pustaka

Lampiran

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga yang berisikan udara yang dilapisi oleh

epithelium silia dan berhubungan dengan cavum nasi. Bagian lateralnya

merupakan sinus maxilla (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid. Sebelah cranial

adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus paranasal

terletal tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi

dengan epitel berambut getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal

dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel

ethmoid anterior, dan sinus maxilla kemudian masuk ke dalam mearus medius.

Sedangkan aliran dari sel ethmoid posterior dan sinus ethmoid masuk ke meatus

superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui

duktus nasolakrimalis. (Broek,2010)

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan berkembangannya dimulai dari fetos usia 3-4 bulan, kecuali sinus

sphenoid dan sinus frontal. Sinus maxilla dan sinus ethmoid sudah ada sejak saat

bayi lahir, sedangkan sinus friontal berkembang dari sinus ethmoid anterior pada

anak yang berusia kurang lebih 8 bulan. Pneumatiasi sinus sphenoid dimulai pada

usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-

sinus ini umumnya mencapai besal maksimal pada usia antara 15-18

tahun(Soetjipto 2010).

12
Gambar Anatomi Sinusparanasal (patel,2007)

a. Sinus Frontal

13
Frontal terletak pada tulang frontal. Sinus frontal memiiki

ukuran yang sangat berbeda satu dengan lainnya dan keduannya

terkadang tidak ada atau tidak terlihat. Jika dilihat bentuknya seperti

segitiga kasar yang mebentuk dinding anterior dari kening dan

bagian posteriornya melindungi otak frontal, bagian dasarnya terdapat

sel ethmoid dan sebagai atap dari fossa nasal dan orbita (Ellis, 2006).

Sinus frontal dipisahkan masing-masing oleh septum median.

Masing-masing sinus menyebar kedalam bagian anterior meatus nasal

media melalui infundibulum kedalam hiatus semulunaris (Ellis, 2006).

b. Sinus Maxillary

Sinus maxillary juga biasa disebut dengan

namaantrumHighmoreberbentuk pyramid yang mengisi pada bagian

tulang maxilla. Dinding medialnya tersusun dari bagian

lateralcavumnasi dan menyangga bagian conchae nasal inferior.

Diatas conchae ini adalah orifisium atau ostium dari

14
sinusmaxillaryyang menyebar kedalam meatus media pada hiatus

semilunaris (Ellis, 2006).

c. Sinus Ethmoid

Sinus ethmoid merupakan susunan dari kelompok 8 -10 sel udara

didalam tulang ethmoid dan terletak diantara sisi dinding cavum nasi

superior dan orbita. Pada bagian superior, sinus ethmoid terletak pada

masing-masing sisi palatum cribiform dan relatif terletak diatas

lobus frontal otak (Ellis, 2006).

15
d. Sinus Sphenoid

Sinus sphenoid terletak pada satu sisi dipertengahan, didalam

tulang sphenoid. Sinus sphenoid memiliki ukuran yang sesuai dan

mungkin meluas kearah lateral kedalam greater wing tulang

sphenoidatau kebelakang kedalam bagian dasar tulang occipital.

Masing-masing sinus menyebar kedalam cavum nasi diatas conchae

nasal superior (Ellis, 2006).

16
B. Fisiologi Sinus paranasal

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengaturkelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah

ternyata tidakdidapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan

rongga hidung.Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang

lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan

beberapa jam untukpertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa

sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa

hidung.

2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas,

melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-

ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di

antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

17
3. Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat

tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang

hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,

sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

4. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara

danmempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat ,

posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai

resonatoryang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan

besarnya sinuspada hewan-hewan tingkat rendah.

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak,misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

6. Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya

kecildibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif

untukmembersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi

karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

18
C. Rinoshinusitis kronis

Rhinosinusitis kronis merupakan kondisi inflamasi pada hidung dan

sinus paranasalis (Benninger et al, 2007). Penyakit ini dapat diakibatkan

oleh infeksi virus, infeksi bakteri, infeksi jamur, infeksi gigi,dan yang lebih

jarang fraktur dan tumor. Rhinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada

wanita dibandingkan laki-laki dengan perbandingan sebesar 6:4. Prevalensi

rhinosinusitis kronis di indonesia pada tahun 2004 dilaporkan sebesar

12,6%, dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita

rhinosinusitis kronis (Budiman, 2010).

1. Definisi

Rhinosinusitis kronis merupakan kondisi inflamasi pada hidung dan

sinus paranasalis (Benninger et al, 2007). Penyakit ini dapat diakibatkan

oleh infeksi virus, infeksi bakteri, infeksi jamur, infeksi gigi,dan yang lebih

jarang fraktur dan tumor.

2. Gejala rinushinusitis kronis

Rinishinusitis dikelompokan menjadi gejala mayor dan gejala

minor Gejala mayor rinushinusitis meliputi nyeri/rasa tebal pada wajah,

hidung tersumbat, ingus kental, postnasal drip purulen, gangguan

penghidu, demam dan adanya secret purulen pada pemeriksaan endoskopi

nasal. Gejala minor rinushinusitis meliputi sakit kepala, napas berbau,

nyeri telinga, dan rasa penuh di telinga .(Busquets dan hwang,2006)

19
3. Komplikasi Rinushinusitis kronis

Rinushinusitis kronis dapat menyumbat ostium sinus, sehingga

merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu,

Rinushinusitis kronis juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat

membentuk polip.

D. Pengetahuan Dasar MSCT

Pengetahuan mengenai dasar-dasar MSCT sangat penting, mengingat

hal tersebut akan berpengaruh pada teknik pemeriksaan yang akan

dilakukan. Dibawah ini akan dijelaskan seputar dasar MSCT.

1. Definisi MSCT

Prinsip dasar multislice computed tomography (MSCT) adalah

pergerakan tabung sinar-X yang berputar secara stasioner dan

memancarkan sinar-X secara kontinyu, sambil diiringi dengan pergerakan

pasien oleh meja pesawat, melewati bidang penyinaran sehingga akan

sehingga akan dihasilkan banyak potongan (multislice) dalam satukali

pergerakan pasien (Said,2008).

Teknologi MSCT dimulai pada tahun 1992 dengan memperkenalkan

Elscint CT Twin yang merupakan dual slice scanner. Keuntungan dari

MSCT meliputi karakter resolusi sepanjang Z-axis meningkat, kecepatan

scan yang semakin cepat dan volume gambaran lebih baik.

20
Pada tahun 1998, scanner 4 sliceyang pertama kali diperkenalkan,

diikuti dengan perkenalan 16 slice pada tahun 2001. Kemudian disusul

dengan perkembangan yang sangat cepat scanner 32 dan 40 slice, yang

terakhir adalah 64 slice diperkenalkan 2003 pada pertemuan RSNA.

MSCT tidak hanya meningkatkan jumlah slice , tetapi juga waktu sekali

rotasi dari yang 1 detik hingga sekarang yang mecapai 0,375 detik

perrotasi (Nagel,2004).

2. Komponen Dasar MSCT

MSCT mempunyai 2 komponen utama yaitu scan unit dan operator

konsul. Scan unit biasanya berada di dalam ruang pemeriksaan sedangkan

konsul letaknya terpisah dalam ruang kontrol. Scan unit terdiri dari 2

bagian yaitu meja pemeriksaan (couch) dan gantry (Bontrager, 2001).

Bagian-bagian dari scan unit:

a. Gantry

Di dalam MSCT, pasien berada di atas meja pemeriksaan dan

meja tersebut bergerak menuju gantry. Gantry ini terdiri dari beberapa

perangkat yang keberadaannya sangat diperlukan untuk menghasilkan

suatu gambaran, perangkat keras tersebut antara lain tabung sinar-X,

kolimator, dan detektor.

b. Meja Pemeriksaan (gouch)

Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan

pasien. Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan adanya

bahan ini maka sinar-X yang menembus pasien tidak terhalangi

21
jalannya untuk menuju ke detektor. Meja ini harus kuat dan kokoh

mengingat fungsinya untuk menopang tubuh pasien selama meja

bergerak ke dalam gantry.

c. Sistem Konsul

Konsul tersedia dalam berbagai variasi. Model yang lama masih

menggunakan dua sistem konsul yaitu untuk pengoperasian MSCT

sendiri dan untuk perekaman dan untuk pencetakan gambar. Model

yang terbaru sudah memakai sistem satu konsul dimana memiliki

banyak kelebihan dan banyak fungsi. Bagian dari sistem konsul yaitu,

sistem kontrol, sistem pencetak gambar, dan sistem perekaman gambar.

3. Parameter MSCT (Bontrager, 2011)

Parameter yang digunakan dalam MSCT untuk pengontrolan

eksposi dan output gambar yang optimal, yaitu:

a. Slice Thickness

Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari obyek

yang diperiksa. Nilainya dapat dipilh antara 1 mm-10 mm sesuai

dengan keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan menghasilkan

gambaran dengan detail yang rendah sebaliknya ukuran yang tipis akan

menghasilkan detail yang tinggi. Jika ketebalan meninggi maka akan

timbul artefak dan bila terlalu tipis akan terjadi noise. MSCT sinus

paranasal, slice thickness yang digunakan yaitu 5 mm axial dan 3mm

coronal (Seeram, 2001)

22
b. Range

Range adalah perpaduan/kombinasi dari beberapa slice

thickness. Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan ketebalan

irisan yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.

c. Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

eksposi meliputi tegangan tabung (KV), arus tabung (mA) dan waktu

eksposi (s). Besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis

pada tiap-tiap pemeriksaan.

d. Field Of View (FOV)

FOV adalah diameter maksimal dari gambaran yang akan

direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada rentang

12-50 cm. FOV yang kecil akan meningkatkan resolusi karena FOV

yang kecil mampu mereduksi ukuran pixel, sehingga dalam

rekonstruksi matriks hasilnya lebih teliti. Namun bila ukuran FOV

lebih kecil maka area yang mungkin dibutuhkan untuk keperluan klinis

menjadi sulit untuk dideteksi.

e. Rekonstruksi Matriks

Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom dari

picture element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar.

23
Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu struktur elemen dalam

memori komputer yang berfungsi umtuk merekonstruksi gambar. Pada

umumnya matriks yang digunakan berukuran 512 x 512 yaitu 512

baris dan 512 kolom. Rekonstruksi matriks berpengaruh terhadap

resolusi gambar. Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin

tinggi resolusinya.

f. Rekonstruksi Algorithma

Rekonstruksi algorithma adalah prosedur metematis yang

digunakan dalam merekonstruksi gambar. Penampakan dan

karakteristik dari gambar MSCT tergantung pada kuatnya algorithma

yang dipilih. Semakin tinggi resolusi algorithma yang dipilih maka

semakin tinggi resolusi gambar yang akan dihasilkan. Dengan adanya

metode ini maka gambaran seperti tulang, soft tissue, dan jaringan-

jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.

g. Window level

Window level adalah nilai tengah dari window yang digunakan

untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih dan tergantung pada

karakteristik perlemahan dari struktur obyek yang diperiksa. Window

level menentukan densitas gambar yang akan dihasilkan.

h. Window Width

24
Window width adalah rentang nilai computed tomography yang

dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan dalam TV monitor.

Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui

rekonstruksi matriks dan algorithma maka hasilnya akan dikonversi

menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai computed

tomography. Nilai ini mempunyai satuan Hu (Hounsfield Unit).Nilai

CT pada jaringan yang berbeda penampakannya pada layar monitor

(Bontrager, 2001).

E. Teknik MSCT Sinus Paranasal Non Kontras

1. Pengertian

Teknik pemeriksaan MSCT sinus paranasal merupakan

pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan irisan dari sinus paranasal baik

secara axial maupun coronal. MSCT SPN memberikan tampilan yang

memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas, penyebab, dan jenis

kelainan dari sinus (Amstrong, 1989).

2. Indikasi

a. Sinusitis, peradangan pada sinus paranasal

b. Rhinosinusitis, peradangan pada sinus paranasal dan mukosa hidung

c. Infeksi atau alergi

d. Mucocelle, merupakan sinus yang mengalami obstruksi

e. Karsinoma hidung atau sinus

f. Septum deviasi, peralihan posisi dari septum nasi.

25
3. Prosedur Pemeriksaan

a. Persiapan Pasien (Seeram, 2001)

Persiapan pasien untuk pemeriksaan MSCT SPN adalah sebagai

berikut :

1) Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa,

termasuk anting, kalung, dan jepit rambut.

2) Pemberian informasi kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan

sejelas-jelasnya agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan

sehingga menghasilkan kualitas citra yang baik.

b. Persiapan Alat dan Bahan

Alat dan bahan untuk pemeriksaan MSCT SPN, antara lain :

1) Pesawat MSCT

2) Printer

3) Tabung oksigen

4) Alat-alat fiksasi kepala

5) Selimut

c. Teknik Pemeriksaan

Pemeriksaan MSCT sinus paranasal dengan kasus Septum

Deviasi menggunakan dua jenis potongan , yaitu potongan axial dan

potongan coronal.

1) Posisi Pasien

26
Pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan di

samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas

headrest (bantalan kepala ). Posisi pasien diatur senyaman mungkin.

2) Posisi Objek

MSP kepala pasien sejajar dengan garis laser longitudinal gantry dan

MCP sejajar dengan garis laser horizontal

3) Scan Parameter

Scanogram : ap lateral

Slice thickness (Saunders, 2001)

Axial : 5 mm

Coronal : 3 mm

Standar algoritma (Dankbaar, 2015)

Axial : bone window dan soft tissue window

Coronal : bone window dan soft tissue window

Factor Eksposi

kV : 120

mAs : 60 (Seeram, 2001)

4) Gambar yang dihasilkan

Keterangan :

1. Nasal septum

2. Inferior nasal conchae

3. Maksila

4. Zigomaticum

27
5. Sinus maksilaris

Gambar 2. Axial I

28
Keterangan :

1.sphenoid sinus

2. lakrimal bone

3.ethmoid bone

4. Zygomaticum

5.Superior orbital fissure

Gambar 3. Axial II

29
Keterangan :

1.Optic canal

2.Ethmoid sinus

3.Zygomaticum

4.Anterior clinoid process

5.Dorsum sella

Gambar 4. axial III

Keterangan :

30
1.Foramen rotundum

2.Superior orbital fissure

3.Anterior clinoid process

4.Sphenoid process

5. Middle nasal conchae

Gambar 4. Coronal I

Gambar 5. Coronal II

Keterangan :

1.Maksilari sinus

2.Ethmoid bone

3. Ethmoid sinus

4.Upper nasal concha

5. Middle meatus

F. Proteksi Radiasi

1. Asas Proteksi Radiasi

31
Asas-asas dalam proteksi radiasi atau disebut juga prinsip-prinsip

proteksi radiasi ini terdiri atas beberapa macam yaitu asas legislasi yang

sering disebut asas justifikasi yang artinya pembenaran, asas optimalisasi

dan asas limitasi. Penjelasannya adalah sebagai berikut :

a. Asas Limitasi

Penerapan asas ini dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut

agar dosis radiasi yang diterima oleh seseorang dalam menjalankan

suatu kegiatan tidak boleh melebihi nilai batas yang telah ditetapkan

oleh instansi yang berwenang. Yang dimaksud Nilai Batas Dosis

(NBD) ini adalah dosis radiasi yang diterima dari penyinaran eksterna

dan interna selama 1 (satu) tahun dan tidak tergantung pada laju dosis.

Penetapan NBD ini tidak memperhitungkan penerimaan dosis untuk

tujuan medik dan yang berasal dari radiasi alam. NBD yang berlaku

saat ini adalah 50 mSv (5000 mrem) pertahun untuk pekerja radiasi

dan 5 mSv (500 mrem) per tahun untuk anggota masyarakat.

Sehubungan dengan rekomendasi IAEA agar NBD untuk

pekerja radiasi diturunkan menjadi 20 mSv (2000 mrem) per tahun

untuk jangka waktu 5 tahun (dengan catatan per tahun tidak boleh

melebihi 50 mSv) dan untuk anggota masyarakat diturunkan menjadi 1

mSv (100 mrem) per tahun, maka tentunya kita harus berhati-hati

dalam mengadopsinya

b. Asas Jastifikasi atau Legislasi

32
Penerapan asas justifikasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir

menuntut agar sebelum tenaga nuklir dimanfaatkan, terlebih dahulu

harus dilakukan analisis resiko manfaat. Apabila pemanfaatan tenaga

nuklir menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan

resiko akibat kerugian radiasi yang mungkin ditimbulkannya, maka

kegiatan tersebut boleh dilaksanakan. Sebaliknya, apabila manfaatnya

lebih kecil dari resiko yang ditimbulkan, maka kegiatan tersebut tidak

boleh dilaksanakan

c. Asas Optimasi

Penerapan asas ini dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut

agar paparan radiasi yang berasal dari suatu kegiatan harus ditekan

serendah mungkin dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan

sosial. Asas ini dikenal dengan sebutan ALARA (As Low As

Reasonably Achievable). Dalam kaitannya dengan penyusunan

program proteksi radiasi, asas optimalisasi mengandung pengertian

bahwa setiap komponen dalam program telah dipertimbangkan secara

saksama, termasuk besarnya biaya yang dapat dijangkau. Suatu

program proteksi dikatakan memenuhi asas optimalisasi apabila semua

komponen dalam program tersebut disusun dan direncanakan sebaik

mungkin dengan memperhitungkan biaya yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ekonomi.

Tujuan dari asas optimalisasi dalam proteksi radiasi adalah

untuk mendapatkan hasil optimum yang meliputi kombinasi

33
penerimaan dosis yang rendah, baik individu maupun kolektif,

minimnya resiko dari pemaparan yang tidak dikehendaki, dan biaya

yang murah. Asas optimalisasi sangat ditekankan oleh ICRP. Setiap

kegiatan yang memerlukan tindakan proteksi, terlebih dahulu harus

dilakukan analisis optimalisasi proteksi. Penekanan ini dimaksudkan

untuk meluruskan kesalahpahaman tentang sistem pembatasan dosis

yang sebelumnya dikenal dengan konsep ALARA (As Low As

Reasonably Achievable). Baik asas optimalisasi maupun ALARA

keduanya sangat menekankan pada pertimbangan faktor-faktor

ekonomi dan sosial, dan tidak semata-mata menekankan pada

rendahnya penerimaan dosis oleh pekerja maupun masyarakat.

2. Teknik Proteksi radiasi

Radiasi eksterna yang berasal dari zat radioaktif atau dari pesawat

sinar X yang dirancang khusus memproduksi sinar X baik untuk keperluan

diagnostic maupun terapi dan sumber lainnya. Mengingat disamping

manfaat dari radiasi eksterna yang merupakan radiasi pangion potensial

menimbulkan bahaya radiasi, sedangkan secara teknik mustahil meniadakan

sumber tersebut, maka bahaya penyinaran radiasi eksterna terhadap petugas

ataupun lingkungannya dapat dikendalikan dengan tiga aturan dasar proteksi

radiasi.

a. Faktor waktu

Perencanaan dan persiapan harus dilakukan dengan hati-hati agar

waktu penyinaran sependek mungkin. Hal ini memerlukan seorang

34
pekerja tradisi yang terlatih dan terdidik dan berpengalaman, sehingga

dia terampil dan melaksanakan pekerjaan pada waktu yang relative

pendek namun tidak tergesa-gesa.

b. Faktor jarak

Suatu sumber berbentuk titik akan memancarkan radiasi secara

seragam ke segala arah. Fluks radiasi pada jarak r dari sumber mengikuti

hukum kebalikan jarak kwadrat. Oleh karena ; laju dosis berhubung

langsung dengan fluks, maka laju dosis juga mengikuti hukum kebalikan

jarak kwadrat. Hal ini hanya benar jika sumebr radiasi berupa titik, dan

mengabaikan penyerapan radiasi antara sumber dan detector. Dalam

pekerjaan radiografi diasumsikan sumber berbentuk titik. Maka

diusahakan jarak dari sumber radiasi sejauh mungkin dan pemanfaatan

jarak seoptimal mungkin.

c. Faktor penahan

Metode ketiga untuk mengendalikan bahaya radiasi eksterna adalah

dengan menggunakan penahan radiasi. Metode ini yang biasanya lebih

disukai, oleh karena menciptakan kondisi kerja yang aman. Disamping

itu factor waktu dan jarak dapat dipantau terus menerus pada waktu

pelaksanaan kerja, agar pekerja radiasi dapat terjamin keselamatannya.

d. Faktor eksposi

Pemanfaatan radiasi harus seoptimal mungkin, karena radiasi yang

dimanfaatkan akan menimbulkan dampak jika terpapar. Dalam

35
radiodiagnostok, pengaturan faktor eksposi harus seminimal dan

seoptimal mungkin untuk menekan dosis yang diterima oleh pasien.

e. Ketelitian

Seorang radiografer harus teliti dalam melakukan pengambilan foto

agar tidak terjadi pengulangan pemeriksaan.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

36
A. Paparan Kasus

1. Identitas dan Riwayat pasien

a. Identitas Pasien

Nama : Ms AS

Tgl lahir : 06-10-1995

Umur : 24

Jenis kelamin :P

RM : 0147---------------

Alamat :

Asal rujukan : Poli THT

Tgl pemeriksaan : 13-09-2019

Klinis : Rinushinusitis kronis

Permintaan Foto : MSCT SPN non kontras

b. Riwayat Pasien

Pada tanggal 13 september 2019, pasien datang ke Instalasi

Radiologi RSUD Dr. Moewardi pada kasus septum Deviasi. Pasien

mengeluhkan sakit pada kepala, sakit pada hidung kiri dan mata kiri.

Dilakukan pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal non kontras sesuai

dengan lembar permintaan foto dari dokter untuk menegakkan

diagnosa.

B. TeknikPemeriksaan MSCT Sinus Paranasal Non kntras pada Kasus

Rhinosinusitis Kronik di Instalasi RadiologiRSUD Dr. Moewardi

1. Persiapan pemeriksaan

37
a. Pesawat MSCT multi slice

Merk : Siemen

Kv maximal : 130 kV

mAs maximal : 120 Mas

Gambar 7. MSCT Siemen

b. Computer consule

38
Gambar 3.2 Computer consule

c. Printer

Corestream, DryView 6850 Laser Imager

Gambar 8. Printer

d. Selimut

Digunakan untuk kenyamanan pasien diruang pemeriksaan MSCT

dengan suhu yang cukup dingin, karena penggunaan AC.

e. Film laser ukuran 14 x 17 inchi

f. Head holder

Sebuah alat bantu untuk imobilisasi dan fiksasi kepala pasien agar

pasien merasa nyaman.

2. Persiapan pasien

39
Tidak ada persiapan khusus saat pemeriksaan MSCT kepala polos

pada Tn. Sn hanya benda-benda yang dapat mengganggu radiograf

dilepas. Pasien diberi selimut agar tidak dingin dan terasa nyaman.

Komunikasi dengan keluarga pasien sangat diperlukan mengenai prosedur

pemeriksaan yang dilakukan.

3. Posisi Pasien

Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala pada

arah gantry (head first). Kedua lengan diletakkan disamping tubuh, kedua

kaki lurus ke bawah, mid sagital plane (MSP) tubuh berada pada tengah

meja pemeriksaan.

4. Posisi objek

Mid sagital plane (MSP) kepala sejajar terhadap lampu kolimator

vertical setinggi MAE. Mengatur Inter Pupillary line (IPL) sejajar dengan

lampu indikatorhorizontal dan mengatur batas atas di vertek kepala.

5. Memasukkan data pasein

Setelah mendapat surat permintaan pemeriksaan dari dokter,

memasukkan semua data pasien yang tertera kedalam patient registration

secara lengkap antara lain:

Patient Name : Nama pasien

Patien ID : Nomor Foto

Date of birth : tanggal lahir

Sex : Jenis kelamin

40
Admitting diagnosis : klinis pasien

Pada kotak dialog patient registrasion harus lengkap, karena jika tidak

lengkap icon “EXAM” tidak aktif dan pemeriksaan tidak dapat

dilakukan....gambar

Gambar 3.3 Patient registration

6. Pemilihan protokol

Setelah pasien diposisikan dengan benar, petugas kembali ke

operator konsul dan klik tombol “EXAM” . Maka akan muncul kotak

“patient model dialog” pilih posisi pasien yang akan digunakan yaitu

supine dengan protocol head first. Lalu pilih pemeriksaan yang akan

dilakukan yaitu kepala, pilih jenis pemeriksaan klik gambar kepala

kemudian pilih Sinus Paranasal lalu “OK”

41
......

Gambar 3.4 Pemilihan Protokol

7. Pembuatan scanogram

Maka pemeriksaan akan berlangsung dengan pembuatan

scanogram dari kepala yang akan diperiksa, scanogram dengan batas atas

vertek dan batas bawah yaitu basis cranii sesuai dengan yang akan diambil

dalam pemeriksaan. Setelah ditentukan batas atas dan bawahnya lalu

scanning dilakukan. Pada saat scanning dilakukan , hasil scanning dapat

42
dilihat pada layar monitor sebelah kanan dari gambar topogram. Kemudian

setelah selesai tutup pemeriksaan.

Gambar 3.5 Scanogram

8. Parameter MSCT SPN pada kasus Rhinosinusitis Kronis

a. Protokol pemeriksaan : Sinus Paranasal Adult

b. Scanogram : kepala lateral

c. Volume of Investigation : dari inferior maksila sampai superior sinus

frontalis

d. Kernel : H30 medium smooth

e. Window :Sinus Paranasal

f. FOV :237 mm

g. kV :130

h. mAs :32

43
i. Slice thickness :

- axial 3 mm

- coronal 3 mm

j. Topogram : legth 512 mm

9. Proses pengolahan dan pencetakan gambar

a. Memilih menu viewing kemudian buka folder yang tadi sudah di save

as. Kemudian dilihat adakah kelainan dari gambaran slice perslice,

jika adanya kelainan diberi ROI. Selanjutnya klik kanan kemudian

pilih “select series” dan copy to film.

b. Memilih menu filming disana sudah ada gambaran MSCT yang siap

dicetak. Kemudian blok keseluruhan gambar lalu pilih ukuran film

14x17 inch dengan format 5x6

Catatan : masing masing gambar irisan axial dan coronal digunakan

15 gambar termasuk scanogram. Gambar yang digunakan dipilih

berdasarkan informasi kelainan yang lebih jelas ditampakan.

44
10. Hasil Radiograf

Gambar 14. Foto radiograf Pemeriksaan MSCT SPN Non kontas pada

kasus Rinushinusitis kronis.

Dari pemeriksaan kepala polos menggunakan MSCT non kontras

dengan kasus Rinushinusitis kronis di instalasi radiologi RSUD dr.

Moewardi Surakarta didapatkan hasil bacaan sebagai berikut:

a. Sinus Maksila dextra dan sinistra: tampak lesi densitas cairan

maxilaris sinistra ostium meatal complex tampak baik.

45
b. Sinus frontalis dextra dan sinistra : tidak tampak lesi densitas cairan

maipun solid recessus dari sinus frontalis tampak baik.

c. Sinus ehmoidalis dextra dan sinistra: tampak lesi cairan di sinus

ethmoidalis bilateral recessus dari sinus ethmoidalis tampak baik.

C. Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi yang dilakukan pada teknik pemeriksaan MSCT sinus

paranasal pada pasien Tn.sn

1. Menggunakan protocol sesuai dengan usia pasien , sehingga radiasi yang

diterima minimal sesuai dengan kebutuhan.

2. Diusahakan tidak terjadi pengulangan pemeriksaan

3. Keluarga pasien yang menemani menggunakan baju pelindung (apron).

4. Proteksi radiasi untuk lingkungan dilakukan dengan cara menutup dan

mengunci pintu.

D. Pembahasan

Teknik MSCT Sinus Paranasal Non kontras pada Kasus Rinushinusitis

kronis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi

Surakarta mulai dari persiapan pasien hingga teknik pemeriksaan sudah sesuai

dengan teori. Namun terdapat sedikit perbedaan pada penggunaan

slicethickness. Faktor eksposi yang digunakan dipertahankan seminimal

mungkin namun tidak mengurangi kualitas gambar dan tetap

mempertimbangkan asas-asas proteksi radiasi.

46
Teknik pemeriksaan MSCT SPN ini menggunakan reformat gambar

axial dan coronal.Kemudian dilakukan pengaturan parameter MSCT sinus

paranasal yaitu volume of investigation (VOI) reformat axial mulai dari

superior sinus frontalis sampai inferior sinus maksilaris dan coronal dari sinus

frontalis sampai pertengahan brain. Terdapat sedikit perbedaan mengenai slice

thickness untuk di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi dengan yang ada

pada teori yaitu 3 mm untuk axial dan coronal. Sedangkan pada teori menurut

Seeram (2001) 5 mm untuk axial dan 3 mm untuk coronal.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan respondent yaitu

radiographer alasan menggunakan slice thickness 3mm pada pemeriksaan

MSCT sinus paranasal pada kasus Rinushinusitis kronis karena ranggrnya

kecil,kemudian agar memperoleh informasi yang lebih banyak di anatomi

maupun di kelainan objek yang di foto. Kemudian dibuat dengan dua

potongan irisal yaitu axial dan coronal. Namun hal tersebut tidak berpengaruh

besar pada visualisasi gambar karena dengan menggunakan slice thickness 3

mm untuk kasus Rinushinusitis kronis pada potongan coronal sudah dapat

menampakkan informasi citra yang optimal. Semakin kecil irisan akan

memberikan informasi yang lebih detail namun akan menimbulkan noise yang

lebih banyak dan sebaliknya, jika irisan yang dibuat semakin tebal maka noise

akan semakin sedikit.

Proteksi radiasi untuk pemeriksaan MSCT sinus paranasal dilakukan

menggunakan faktor eksposi yang seminimal mungkin, diusahakan tidak

47
terjadi pengulangan pemeriksaan dan keluarga penunggu pasien di dalam

ruangan pemeriksaan dikenakan apron.

48
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Dari pembahasan Tehnik MSCT Sinus Paranasal pada kasus

Rinushinusitis kronis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah

Dr. Moewardi, penulis menarik kesimpulan bahwa teknik pemeriksaan

MSCT Sinus Paranasal menggunakan protokol sinus paranasal adult

dengan parameter scaning yaitu Scan area dimulai dari mandibular sampai

vertex, Window Sinus Paranasal, Volume of Investigation : dari inferior

maksila sampai superior sinus frontalis, 130 kV, 32 mAs dan

menggunakan slice thickness axial dan coronal 3 mm.Proses scaning

dilakukan mulai dari posisi pasien, input data pasien, pengaturan

parameter sampai filming atau pencetakan film. Gambar dicetak

menggunakan film ukuran 14 x 17 inchi dengan frame 5x6.

2. slice thickness 3 mm pada pemeriksaan MSCT sinus paranasal pada kasus

Rinushinusitis kronis karena di sesuaikan dengan ketebalan objek yang di

foto. Kemudian dibuat dengan dua potongan irisal yaitu axial dan coronal.

Namun hal tersebut tidak berpengaruh besar pada visualisasi gambar

karena dengan menggunakan slice thickness 3 mm untuk kasus

Rhinosinusitis pada potongan coronal sudah dapat menampakkan

informasi citra yang optimal. Semakin kecil irisan akan memberikan

informasi yang lebih detail namun akan menimbulkan noise yang lebih

49
banyak dan sebaliknya, jika irisan yang dibuat semakin tebal maka noise

akan semakin sedikit.

B. SARAN

Sebaiknya untuk teknik MSCT sinus paranasal pada kasus

Rinushinusitis kronis menggunakan slice thickness untuk potongan axial 5mm

dan potongan coronal 3mm agara tidak ada informasi gambar yang

terlewatkan bila menggunakan slice thickness yang lebih kecil.

50
DAFTAR PUSTAKA

Ballinger, Philip W. & Eugene D. Frank: Merrill's Atlas of Radiographic

Positions and Radiologic Procedures, 12th Edition. St. Louis 2013, Mosby,

Drake, Richard L, Wayne Vogl, Adam W. M. Mitchell, Henry Gray: Gray's

Anatomy for Students, 3th Edition. Philadelphia 2010, Churchill Livingstone /

Elsevier,

Ellis, Harold: Clinical Anatomy (A Revision and Applied Anatomy for Clinical

Student), 11th Edition, Australia 2006, Harold Ellis,

Gylys, Barbara A. & Marry Ellen Wedding: Medical Terminology System (A

Body System Approach), 6th Edition. Philadelphia 2009, by F. A. Davis

Company,

Jarvis, D & P Burney: ABC of Allergies. New York 1998, by British Medical

Journal,

Lalwani, Anil K: Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology (Head &

Neck Surgey). New York 2011, by McGraw Hill Professional,


Lavoie, Jean Pierre & Kenneth Hinchcliff: Blackwell's Five-Minute Veterinary

Consult (Equine). New Jersey 2008, by John Wiley & Sons,

Moeller, Torsten B. & Emil Reif: Pocket Atlas of Sectional Anatomy (Computed

Tomography and Magnetic Resonance Imaging). Stuttgart 2005, by Thieme

Verlag,

Palange, Paolo & Anita K. Simonds: ERS Handbook of Respiratory Medicine.

2nd Edition. Sheffield 2013, by European Respiratory Society,

Prokop, Mathias & Michael Galanski: Spiral and Multislice Computed

Tomography of the Body. Stuttgart 2011, by Thieme Verlag,

Scanlon, Valerie C & Tina Sanders: Essentials of Anatomy and Physiology,

5th Edition. Philadelphia 2007, by F. A. Davis Company,

Sofiana, Lidya & Johan A.E Noor. 2013. Estimasi Dosis Efektif pada

Pemeriksaan Multi Slice Ct-Scan Kepala dan Abdomen Berdasarkan

Rekomendasi Icrp 103. Universitas Brawijaya: Malang,

Thaler, Erica & David W. Kennedy: Rhinosinusitis: A Guide for Diagnosis and

Management. Berlin 2009, by Springer Science & Business Media,

2
3

Anda mungkin juga menyukai