Anda di halaman 1dari 29

i

TEKNIK PEMERIKSAAN MSCT SINUS PARANASAL


TANPA KONTRAS
PADA KASUS RHINOSINUSITIS KRONIS
DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD DR. MOEWARDI SOLO

Laporan Kasus
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mata kuliah PKL III
pendidikan Diploma III Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Bali

Diajukan Oleh :
NAMA : CRISTINA BENDITA L.PEREIRA
NIM : 01.17.10.054

PROGRAM STUDI DIPLOMA III


AKADEMI TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI BALI
2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus ini telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan sebagai laporan guna
memenuhi tugas mata kuliah Praktek Kerja Lapangan 3 Program studi Diploma III Akademi
Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Bali.
Nama : CRISTINA BENDITA LOURENCA PEREIRA
NIM : 01.17.10.054
Judul : “Teknik Pemeriksaan Computed Tomography Sinus Paranasal tanpa kontras
Pada Kasus Rhinosinusitis kronis Di Instalasi Radiologi Rsud Dr. Moewardi Solo”

Surakarta, September 2019

Mengetahui,
Kepala Instalasi Radiologi, Pembimbing,

Dr. Sulistyani Kusumaningrum, M.Sc., Sp.Rad. Ibu Rosalia Herni P. S.ST


NIP.19700916 201001 2 003 NIP.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan yang maha Esa atas berkat dan
rahmatnyalah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus untuk memenuhi syarat Praktek Kerja
Lapangan II dengan judul “TEKNIK PEMERIKSAAN COMPUTED TOMOGRAPHY
SINUS PARANASAL TANPA KONTRAS PADA KASUS RHINOSINUSITIS KRONIS
DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD DR. MOEWARDI SOLO”
Pada kesempatan yang baik ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Direktur Akademi Teknik Radiodiagnosti dan Radioterapi Bali
2. Seluruh dosen Akademi Teknik Radiodiagnosti dan Radioterapi Bali
3. Direktur UtamaRSUD Dr. Moewardi Solo
4. Kepala instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo
5. Kepala ruangan instalasi radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo
6. Pembimbing Ibu Rosalia Herni P. S.ST
7. Para senior Radiografer instalasi radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo
8. Staf instalasi radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo, bahkan seluruh pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
9. Teman-teman seperjuangan pada Praktek Kerja Lapangan III di instalasi radiologi
RSUD Dr. Moewardi Solo.
10. Serta seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan,serta penulis mohon maaf
atas segala kekurangan dalam penulis laporan ini, oleh karena itu penulis mengharap kritik dan
saran sebagai masukan untuk pembuatan laporan selanjutnya agar menjadi lebih baik.

iii
DAFTAR ISI

iv
DAFTAR GAMBAR

v
DAFTAR TABEL

vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Computed Tomography (CT) telah menjadi modalitas diagnostic penting di dalam
bidang kesehatan yang berperan penting dalam bidang dianosa penyakit.Perkembangan
Computed Tomography berawal pada tahun 1970-an oleh Godfrey N. Houndsfield, namun
CT digunakan pertama kali dalam bidang kesehatan pada tahun 1971 di Atkinson-Moreley
Hospital Wimbeldon, England. Kelebihan dari CT scan dari radiografi konvensional mampu
menampilkan struktur anatomi yang saling superposisi serta menghasilkan kualitas gambar
yang lebih baik dan mampu melihat struktur anatomi dari berbagai bidang irisan baik axial,
coronal maupun sagital. CT Scan merupakan suatu modalitas imaging diagnostic yang
menggunakan gabungan dari sinar-x dan computer untuk mendapatkan citra atau gambar
berupa variasi irisan tubuh manusia (.Bontrager’s 2018)
Sinus paranasal merupakan sinus atau rongga pada tulang yang berada pada daerah
sekitar nasal atau hidung.Rongga hidung terisi ruangan-ruangan udara yang berhubungan
dengan rongga hidung.Ruangan-ruangan udara tersebut disebut sinus paranasalis. Sinus
paranasal terdiri dari empat bagian yang terdapat di tulang wajah antara lain sinus frontalis
pada os frontalis, sinus ethmoidalis pada os ethmoidalis, sinus sphenoidalis pada os sphenoid
dan sinus maxillaris pada os maxilla. Sinus yang terbesar dari sinus paranasal adalah sinus
maxillaris dengan bentuk pyramidal (Ellis,2006).
Menurut Jarvis (1998), pemeriksaan MSCT SPN (Sinus Para Nasal) dengan irisan
coronal menjadi metode standar internasional untuk mengevaluasi penyakit
Rhinosinusitis.Teknik pemeriksaan MSCT SPN dilakukan dengan dua irisan yaitu secara
axial dan coronal.Untuk mendapatkan irisan coronal terdapat dua pilihan yang dapat
digunakan, yaitu pertama dengan memposisikan pasien prone pada couch sehingga
mendapatkan irisan coronal langsung dari hasil scanning. Cara kedua yaitu dengan
merekonstruksi irisan coronal dari hasil scanning pada irisan axial pasien dengan posisi
supine (Ballinger, 2013)
Rhinosinusitis merupakan kelainan yang dikategorikan kedalam suatu bentuk
inflamasi nasal dan mucosa sinus paranasal.Rhinosinusitis dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, maupun fungi.Rhinosinusitis diklasifikasikan kedalam beberpa kelompok berdasarkan
penyebab dan waktu tinbulnya gejala dari penyakit ini. Beberapa klasifikasi rhinosinusitis
diantaranya adalah viral rhinosinusitis yang disebabkan oleh virus, acute bacterial
rhinosinusitis yang disebabkan oleh bakteri yang menimbulkan gejala dalam kurun waktu
tidak lebih dari 4 minggu, subacute rhinosinusitis yang disebabkan oleh bakteri dan timbul

1
2

gejala antara minggu ke-4 hingga minggu ke-12, dan chronic rhinosinusitis yang gejalanya
timbul lebih dari minggu ke-12 baik bacterial maupun viral (Thaler, 2009)
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini
kedalam sebuah Laporan Kasus dengan judul “Teknik Pemeriksaan CT-scan Sinus Paranasal
tanpa kontras pada kasus Rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Moewardi Solo”.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Teknik Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal tanpa kontras pada kasus
Rhinosinusitis kronis di RSUD Dr. Moewardi Solo?
1.2.2 Apakah Teknik Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal tanpa kontras pada kasus
Rhinosinusitis kronis di RSUD Dr. Moewardi Solo sudah mampu untuk menegakan
diagnosa?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk Mengetahui bagaimana teknik pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal tanpa
kontras di RSUD Dr. Moewardi Solo.
1.3.2 Untuk mengetahui apakah Teknik Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal tanpa kontras
pada kasus Rhinosinusitis kronis di RSUD Dr. Moewardi Solo sudah mampu untuk
menegakan diagnosa.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Institusi RSUD Dr. Moewardi Solo
Mampu memberikan masukan dan saran yang berguna bagi rumah sakit,
dalam hal ini instalasi Radiologi pada umumnya dan Radiografer pada khususnya
mengenai teknik pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal tanpa kontras pada kasus
Rhinosinusitis kronis .
1.4.2 Bagi Institusi ATRO Bali
Dapat digunakan sebagai tambahan referensi bahan ajar dan keperluan
pendidikan khususnya dibidang radiologi.
1.4.3 Bagi Penulis dan Pembaca
Menambah wawasan dan pengetahuan tentang teknik pemeriksaan MSCT
Sinus Paranasal tanpa kontras pada kasus Rhinosinusitis kronis.
1.5 Tempat dan Waktu Kegiatan
Tempat dan waktu yang penulis ambil dalam membuat laporan kasus ini adalah
sebagai berikut:
Tempat : RSUD Dr. Moewardi Solo
3

Waktu : September 2019


BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Anatomi
2.1.1 Hidung dan Rongga Hidung
Udara masuk dan keluar dari sistem pernapasan melalui hidung, yang
terbentuk dari tulang dan ditutupi cartilage dengan kulit. Terdapat rambut didalam
rongga hidung yang disebut dengan nama nostrils yang membantu menjaring partikel
berbahaya yang hendak masuk kedalam tubuh (Scanlon, 2007).
Terdapat dua rongga hidung didalam tengkorak, yang dipisahkan oleh septum
nasi yang termasuk tulang pipih yang dibentuk oleh tulang ethmoid dan
vomer.Mucosa nasal yang melapisi cavum nasi bagian dalam adalah epithelium silia,
dan terdapat sel goblet yang memproduksi mucus.Terdapat tiga tulang yang
menyerupai gulir yang disebut conchae yang terdapat pada masing-masing dinding
cavum nasi (Scanlon, 2007).

Gambar 2.1 Nasal Cavities (Gylys, 2009)


2.1.2 Sinus Paranasalis
Sinus paranasal adalah rongga yang berisikan udara yang dilapisi oleh
epithelium silia dan berhubungan dengan cavum nasi. Antrum maxilla dan sinus
sphenoid sudah ada sejak lahir, dan mulai membesar pada usia 8 tahun, tapi akan
terbentuk sempurna saat dewasa (Ellis, 2006).

4
5

Gambar 2.2 Sinus Paranasal (Gylys, 2009)


a. Sinus Frontal
Sinus frontal terletak pada tulang frontal.Sinus frontal memiiki ukuran
yang sangat berbeda satu dengan lainnya dan keduannya terkadang tidak ada
atau tidak terlihat.Jika dilihat bentuknya seperti segitiga kasar yang mebentuk
dinding anterior dari kening dan bagian posteriornya melindungi otak frontal,
bagian dasarnya terdapat sel ethmoid dan sebagai atap dari fossa nasal dan
orbita (Ellis, 2006).
Sinus frontal dipisahkan masing-masing oleh septum median.Masing-
masing sinus menyebar kedalam bagian anterior meatus nasal media melalui
infundibulum kedalam hiatus semulunaris (Ellis, 2006).

b. Sinus Maxillary
Sinus maxillary juga biasa disebut dengan nama antrum Highmore
berbentuk pyramid yang mengisi pada bagian tulang maxilla. Dinding
medialnya tersusun dari bagian lateral cavum nasi dan menyangga bagian
conchae nasal inferior.Diatas conchae ini adalah orifisium atau ostium dari
6

sinus maxillary yang menyebar kedalam meatus media pada hiatus


semilunaris (Ellis, 2006).

c. Sinus Ethmoid
Sinus ethmoid merupakan susunan dari kelompok 8 -10 sel udara
didalam tulang ethmoid dan terletak diantara sisi dinding cavum nasi superior
dan orbita.Pada bagian superior, sinus ethmoid terletak pada masing-masing
sisi palatum cribiform dan relatif terletak diatas lobus frontal otak (Ellis,
2006).

d. Sinus Sphenoid
Sinus sphenoid terletak pada satu sisi dipertengahan, didalam tulang
sphenoid. Sinus sphenoid memiliki ukuran yang sesuai dan mungkin meluas
kearah lateral kedalam greater wing tulang sphenoid atau kebelakang kedalam
bagian dasar tulang occipital. Masing-masing sinus menyebar kedalam cavum
nasi diatas conchae nasal superior (Ellis, 2006).
7

2.2 Patologi
2.2.1 Rhinitis
Rhinitis didefenisikan sebagai kondisi peradangan yang mempengaruhi
mucosa nasal.Gejala rhinitis seperti nasal obstruksi, hiperiritabilitas, dan
hipersekresi.Rhinitis dapat dikarenakan oleh berbagai macam kondisi alergi dan non-
alergi (Lalwani, 2011).
2.2.2 Sinusitis
Sinusitis adalah suatu inflamasi dari sinus paranasal yang biasanya
disebabkan oleh bakteri primer maupun sekunder atau infeksi mycotic (Lavoie,
2008).Sinusitis menyebabkan disfungsi mucosa dan obstruksi saluran sinus. Seluruh
sinus dihubungkan oleh suatu saluran yang disebut dengan nama ostiomeatal unit.
Sinusitis dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu acute, subacute dan
chronic.Sinusitis acute gejala timbul pada minggu ke-3, subacute antara minggu ke-3
hingga minggu ke-6, dan yang chronic bisa muncul lebih dari minggu ke-6.Faktor
terpenting dalam perkembangan sinusitis adalah rhinitis.Untuk memeriksa penyakit
ini modalitas yang dapat digunakan adalah MSCT (Rakel, 2015).
2.2.3 Rhinosinusitis kronis
Rhinosinusitis kronis merupakan kelainan yang dikategorikan kedalam suatu
bentuk inflamasi nasal dan mucosa sinus paranasal.Rhinosinusitis dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, maupun fungi.Rhinosinusitis diklasifikasikan kedalam beberapa
kelompok berdasarkan penyebab dan waktu tinbulnya gejala dari penyakit ini.
Beberapa klasifikasi rhinosinusitis diantaranya adalah viral rhinosinusitis yang
disebabkan oleh virus, acute bacterial rhinosinusitis yang disebabkan oleh bakteri
yang menimbulkan gejala dalam kurun waktu tidak lebih dari 4 minggu, subacute
rhinosinusitis yang disebabkan oleh bakteri dan timbul gejala antara minggu ke-4
hingga minggu ke-12, dan chronic rhinosinusitis yang gejalanya timbul lebih dari
minggu ke-12 baik bacterial maupun viral (Thaler, 2009).
8

a) Gejala rinushinusitis kronis

Rinishinusitis dikelompokan menjadi gejala mayor dan gejala minor Gejala mayor

rinushinusitis meliputi nyeri/rasa tebal pada wajah, hidung tersumbat, ingus kental,

postnasal drip purulen, gangguan penghidu, demam dan adanya secret purulen pada

pemeriksaan endoskopi nasal. Gejala minor rinushinusitis meliputi sakit kepala, napas

berbau, nyeri telinga, dan rasa penuh di telinga .(Busquets dan hwang,2006) .

b) Komplikasi Rinushinusitis kronis

Rinushinusitis kronis dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor

predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, Rinushinusitis kronis juga menyebabkan

ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip.

2.3 Multislice Computed Tomography( MSCT)


Multislice Computed Tomography yang sering disingkat MSCT, atau multidetector-
raw CT, multidetector CT, volume CT, disebut juga sebagai terobosan dari teknologi CT.
MSCT Scanner memberikan keuntungan yang besar dalam penggunaannya karena dapat
digunakan dengan mengurangi ukuran kolimasi, atau secara substansial menambah panjang
scanning. MSCT merubah CT dari sebuah teknik transaxial kedalam sebuah teknik
pencitraan tiga dimensi (Prokop,2011).
2.3.1 Prinsip Scanning
Ketika sinar-x melewati pasien, sinar-x mengalami perlemahan dan
selanjutnya ditangkap oleh detector, detector mengkonversi foton sinar-x menjadi
sinyal elektrik atau sinyal analog yang kemudian diubah menjadi data digital
(numeric) untuk masukan dalam computer. Computer lalu melakukan proses
rekonstuksi, gambar direkonstruksi dalam bentuk numeric dan harus diubah menjadi
sinyal listrik untuk dapat dilihat pada monitor, proses tersebut dilakukan oleh DAS
(Data Aquasition System). Tidak seperti sistem standar yang digunakan pada single
detector atau detector ring, sistem MSCT dilengkapi dengan dua atau lebih detector
array yang disusun secara parallel dan selalu menggunakan teknologi generasi ketiga
dengan sinkronisasi rotasi tabung dan detector array yang merupakan detector solid
(Proskop, 2011)
9

Gambar 2.3 Prinsip Scanning MSCT (Prokop, 2011)

MSCT tidak selalu melibatkan akuisisi data secara spiral. Pada


mode sequential (step-by-step scanning) seperti dalam CT konvensional dengan
perubahan citra yang memungkinkan untuk dilakukan, walaupun itu hanya akan
digunakan didalam kasus tertentu seperti HRCT (High Resolution Computed
Tomography) pulmonary atau prosedur intervensi (Prokop, 2011)
a. Kelebihan Multislice Computed Tomography
Performa MSCT modern setidaknya 4 kali lebih tinggi daripada spiral
CT scanner konvensional. Dalam performanya, MSCT dapat digunakan
dengan durasi scan yang lebih singkat, area scan yang panjang, dan ukuran
yang lebih tipis. Durasi scan yang lebih singkat akan mengurangi bahaya dari
artefak akibat pergerakan, khususnya pada anak-anak atau pasien kritis.
Durasi scan yang singkat memungkinkan untuk dilakukannya scanning pada
organ hepar atau organ pharencym lainnya yang biasanya dilakukan dengan
fase untuk menampilkan enhancement dari media kontras yang dimasukan
kedalam tubuh (Prokop, 2011).
Area scan lebih panjang khususnya untuk CT angiografi (CTA) sangat
penting karena harus memeriksa bagian aorta abdominalis hingga ke vena
yang ada pada bagian pedis. Selain itu, seluruh aorta dapat discan dengan
high spatial resolution. Ukuran yang lebih tipis dan bahkan gambaran
isotropic akan mungkin dihasilkan. Gambaran isotropic akan dihasilkan
dengan spatial resolution yang baik pada berbagai irisan (Prokop, 2011).
10

b. Kekurangan Multislice Computed Tomography


Kekurangan yang nyata adalah banyaknya data yang harus diload,
khususnya jika gambaran near-isotropic.Scanning untuk thorax dan abdomen
(60cm) dapat dilakukan dengan ukuran kolimasi 4 x 1 mm dalam 50 detik
dan menghasilkan 500-800 gambar. Scanning thorax dengan kolimasi yang
serupa akan menghasilkan banyak gambar jika direkontruksi dengan filter
atau kernel smoothing convolution untuk mediastinum dan kernel edge-
enhancing untuk pulmo. CTA aorta dan arteri peripheral akan menghasilkan
1000 gambaran bahkan lebih. Banyaknya gambar yang dihasilkan akan
menghasilkan data yang banyak, data tersebut harus dapat dihadle oleh
workstations dan image noise akan muncul jika ukuran kolimasi atau irisan
dikurangi (Prokop, 2011).
2.3.2 Tipe Detektor
Sistem detektor pada MSCT dibagi menjadi dua, yaitu sistem dual detector
dan sistem multidetector-row. Sistem dual atau split detector adalah dasar dari
detektor array. Sedangkan sistem multidetector-row atau multislice mampu
mendapatkan sedikitnya empat ukuran yang simultan.Untuk memilih antar ukuran
kolimasi, detektor array harus dipisahkan kedalam multi detektor row. Data dari
masing-masing hasil scan akan direkam oleh sistem akuisisi data (DAS), yang terdiri
dari satu detektor row atau kombinasi dari detektor row (Prokop, 2011).
a. Detektor Matrix
Detektor matrix terdiri dari banyak row detektor yang serupa.Harus
diperhatikan bahwa tebal detektor yang tertera bukan merupakan tebal
elemen detektor sebenarnya, tapi ketebalan dari detektor row yang terkena
sinar dari kolimator, diukur pada pertengahan lapangan scan.Ketebalan
sebenarnya dari elemen detektor adalah dua kali lipat besarnya, tergantung
pada pengukuran scanning dan jarak dari pusat lapangan scan ke detektor
aktual (Prokop, 2011).
b. Detektor Array Adaptif
Detektor array adaptif terdiri dari detektor rows yang muncul dalam
ketebalan tertentu dari pertengahan irisan ke batas luar. Philips (Asymmetrix
detectors) dan Siemens (AAD) mengadopsi konsep ini dan menggunakan tipe
detektor yang sama pada mesin scannya (Prokop, 2011).
11

c. Detektor Hybrid
Detektor hybrid mirip dengan detektor matrix hanya pada detektor
hybrid, detektor row terjauh lebih tipis dari lainnya.Konsep ini diginakan oleh
Toshiba yaitu SSMD (Selectable Slicethickness Multirow Detector) (Prokop,
2011).
2.3.3 Sistem Performa
Performa MSCT akan meningkat sebanding dengan jumlah detektor rows
yang diaktifkan, kecepatan rotasi tabung sinar-X, dan dengan kemampuan faktor
picth. Peningkatan performa ini dapat digunakan untuk mengurangi waktu scan,
mengurangi ukuran kolimasi, atau untuk menambah panjang scan. Pada waktu yang
bersamaan, peningkatan performa menjadi penyeimbang jumlah induksi artefak yang
muncul (Prokop, 2011).
a. Rotation Speed (Kecepatan Rotasi)
Kecepatan rotasi tabung sinar-X biasanya diartikan sebagai waktu
yang diperlukan untuk satu kali tabung berevolusi, atau disebut juga waktu
rotasi (RT).Seluruh MSCT memiliki waktu rotasi 0.8 detik atau
kurang.Paling tinggi bahkan hingga 0.5 detik dan generasi terbaru telah
mencapai waktu rotasi 0.375 detik (Prokop, 2011).
b. Pitch
Terdapat dua defenisi dari faktor pitch yang ada pada MSCT,
tergantung apakah kolimasi single section (SC) atau kolimasi total dari
detektor array (N x SC) yang dipilih sebagai referensi. Defenisi yang paling
banyak digunakan untuk MSCT 4-slice disebut dengan volume pitch (P*),
juga disebut slice pitch atau pitch detektor dan dalam internasional disebut
juga beam pitch (Prokop, 2011).
c. Relative System Performance
Sistem performa adalah proporsional dari jumlah detektor rows (N)
dan peningkatan waktu rotasi (RT) dari tabung sinar-X. Konsep ini dapat
dipakai pada standar CT spiral maupun dual detector scanner atau MSCT
(Prokop, 2011).
2.3.4 Image Reconstruction (Rekonstruksi Gambar)
Rekonstruksi gambar pada CT-scan terdiri dari image Noise (Noise
Gambaran). Image noise di MSCT tergantung pada z-filter (atau algoritma cone
12

beam) dan pemilihan ketebalan irisan.Untuk mengerti bagaimana, kita kembali lagi
pada CT spiral konvensional (Prokop, 2011).
2.3.5 Parameter Scanning
Pada scanning CT spiral, ukuran kolimasi (SC), table feed per rotation (TF),
dan picth (P) adalah parameter akuisisi yang paling penting di MSCT. Dalam
penambahannya pada reconstruction increment (RI), bagaimanapun juga terdapat
pemilihan ketebalan efektif atau ketebalan irisan dari gambaran yang telah
direkontruksi yang memberikan kontribusi kepada parameter rekontruksi yang
terpenting (Prokop, 2011).
2.4 Teknik Pemeriksaan MSCT SINUS PARANASAL
2.4.1 MSCT Sinus Paranasal
Positioning pasien maupun objek pada pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal
Tanpa kontras dapat dilakukan dengan dua cara yakni:
a. Direct coronal: Letakan pasien pada posisi prone dengan menengadahkan
dagu pada penyanggah kepala.
b. Indirect coronal: Letakan pasien pada posisi supine dengan kepala pada
penyanggah kepala (posisi dasar kepala). Atur pasien agar tidak berotasi dan
miring. Atur meja pemeriksaan sehingga sinar coronal alignment light tepat
berada pada midcoronal plane kepala. Lakukan topogram. Menentukan lokasi
scan dari sinus sphenoid hingga seluruh sinus frontal dangan kesudutan
gantry 90̊ berorientasi ke base dari sinus maxillary. Volume scan dapat
dilakukan dengan pengaturan posisi lainnya dengan MPR’s. Pemposisian
coronal langsung memberikan informasi lebih baik mengenai meatus
maxillary (Ballinger, 2013).

Gambar 2.4 Topogram CT-Scan SPN (Ballinger, 2013)


13

Rentang anatomical scan : Sinus sphenoid hingga sinus frontal


Tipe scan : Axial sequential
Lokalisir scan : Anteroposterior atau lateral
kVp : 120
mAs : 200 otomatis
Field of view : 16 cm
Ketebalan irisan scan : 5 mm atau 3 mm
Ketebalan irisan recon : 2.5 mm atau 1.5 mm
Kemiringan gantry : Tegak lurus dengan sinus maxillary
Inti recon : Sharp bone
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Identitas Pasien
Nama Pasien : Ny. RWH
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 24 tahun
Alamat : Soropadan- Laweyan Surakarta
Nomor RM : 0089000xx
Status : Rawat Jalan Poli THT Otologi
Pemeriksaan : CT-Scan Sinus Paranasal (Adult)
Tanggal Pemeriksaan : 13September 2019
3.1.2 Riwayat Klinis
Pasien datang ke Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo dengan
keluhan mengalami pilek yang berulang-ulang.Pasien mengaku sudah beberapa
bulan ini merasakan ada yang tidak beres pada rongga hidungnya.Kemudian pasien
memeriksakan dirinya di poli cendana THT (Telinga dan Hidung) RSUD Dr.
Moewardi Solo.Dokter poli THT mendiagnosa pasien mengalami penyakit
Rhinosinusitis kronis. Untuk mengetahui kebenaran diagnosis yang dibuat oleh
dokter poli THT, maka dokter poli THT menyarankan untuk melakukan pemeriksaan
MSCT dengan membuatkan surat pengantar pemeriksaan MSCT ke bagian Instalasi
Radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo. Pasien kemudian mendaftar ke Instalasi
Radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo, kemudian pasien diperiksa.
3.1.3 Prosedur Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal Non kontras
a. Persiapan Alat dan Bahan
Pada pemeriksaan ini alat dan bahan yang digunakan adalah:
1. Unit pesawat CT-scan dengan spesifikasi:
a) Merk : Siemens
b) Model : SomatomEmotion CT 16-Slice
c) Type : M-CT-172
d) Nomor Seri : 07398980
2. IRS (Image Reconstruction System),
3. Workstation,
4. Dry Printer dengan spesifikasi:
a) Merk : Carestream
b) Type : Dryview 5950 Laser Image
14
15

b. Persiapan Pasien
Pasien melepas benda-benda yang mengandung logam yang berada pada
sekitar kepala dan leher.
c. Teknik Pemeriksaan MSCT Kepala
1) Posisi Pasien
Letakkan pasien pada posisi supine orientasi head first dengan head
holder.Pastikan pasien tidak miring. Atur meja pemeriksaan sehingga coronal
alignment light tepat berada pada pertengahan midcoronal plane kepala dan
sagital alignment light tepat pada midsagittal plane kepala.
2) Topogram
Gambaran topogram untuk pemeriksaan MSCT kepala dilakukan
dengan gambaran topografi kepala dari aspek lateral yang diambil dari basis
crania hingga ke bagian vertex..
Kemudian atur parameter pemeriksaan MSCT kepala sebagai berikut:
Rentang anatomical scan : Dari superior frontalis sampai inferior
maxillary.
Protokol scan : Axial non helix
Posisi pasien : Head First-Supine
kVp : 130
mA : 32
Scan Time : 5.9s
Topogram Length : 512 mm
Tube Position : Lateral
Field of view(FOV) : 237 mm
Ketebalan irisan scan : 0.6 mm
Ketebalan irisan recon : 3-3mm
Kemiringan gantry : Sejajar Orbitomeatal Line
3) Bidang Irisan
a. Axial
Gambaran irisan axial yang dihasilkan merupakan hasil scanning
langsung terhadap pasien Ny. RWH. Berikut gambaran irisan axial yang
didapatkan dari hasil pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal terhadap Ny.
RWH dengan kasus rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi RSUDsolo.
16

Gambar 3.1 Rekonstruksi Irisan Axial

Gambar 3.2 Hasil Irisan Axial

b. Coronal
Gambaran irisan coronal merupakan hasil rekontruksi data yang
didapatkan dari scanning irisan axial dengan ketebalan irisan rekontruksi 3
mm. Berikut adalah gambaran irisan coronal dari hasil pemeriksaan CT-
scan Sinus Paranasal Ny. RWH di Instalasi Radiologi RSUD Dr.
Moewardi Solo.
17

Gambar 3.3 Rekonstruksi Irisan Coronal

Gambar 3.4 Hasil Irisan Coronal

3.1.4 Hasil Bacaan

Sinus Maksila dextra dan sinistra: tampak lesi densitas cairan maxilaris sinistra

ostium meatal complex tampak baik.

Sinus frontalis dextra dan sinistra : tidak tampak lesi densitas cairan maipun solid

recessus dari sinus frontalis tampak baik.

Sinus ehmoidalis dextra dan sinistra: tampak lesi cairan di sinus ethmoidalis

bilateral recessus dari sinus ethmoidalis tampak baik.

Kesimpulan:
1. Rhinosinusitis ethmoidalis bilateral et maksilaris sinistra disertai antrolitihs
didalamnya mengarah gambaran fungal rhinosinusitis kronis
2. Osteoma sinus frontalis sinistra
18

3.2 Pembahasan
3.2.1 Teknik Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal tanpa kontras Pada kasus
Rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi Dr. Moewardi Solo.
Teknik MSCT Sinus Paranasal Non kontras pada Kasus Rinushinusitis kronis

di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Umum Dr. Moewardi mulai dari persiapan pasien

hingga teknik pemeriksaan sudah sesuai dengan teori. Namun terdapat sedikit

perbedaan pada penggunaan slicethickness. Faktor eksposi yang digunakan

dipertahankan seminimal mungkin namun tidak mengurangi kualitas gambar dan

tetap mempertimbangkan asas-asas proteksi radiasi.

Teknik pemeriksaan MSCT SPN ini menggunakan reformat gambar axial dan

coronal.Kemudian dilakukan pengaturan parameter MSCT sinus paranasal yaitu

volume of investigation (VOI) reformat axial mulai dari superior sinus frontalis

sampai inferior sinus maksilaris dan coronal dari sinus frontalis sampai pertengahan

brain. Terdapat sedikit perbedaan mengenai slice thickness untuk di Instalasi

Radiologi RSUD Dr. Moewardi dengan yang ada pada teori yaitu 3 mm untuk axial

dan coronal. Sedangkan pada teori menurut Seeram (2001) 5 mm untuk axial dan 3

mm untuk coronal.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan respondent yaitu radiographer alasan

menggunakan slice thickness 3mm pada pemeriksaan MSCT sinus paranasal pada

kasus Rinushinusitis kronis karena ranggrnya kecil,kemudian agar memperoleh

informasi yang lebih banyak di anatomi maupun di kelainan objek yang di foto.

Kemudian dibuat dengan dua potongan irisal yaitu axial dan coronal. Namun hal

tersebut tidak berpengaruh besar pada visualisasi gambar karena dengan

menggunakan slice thickness 3 mm untuk kasus Rinushinusitis kronis pada

potongan coronal sudah dapat menampakkan informasi citra yang optimal. Semakin
19

kecil irisan akan memberikan informasi yang lebih detail namun akan menimbulkan

noise yang lebih banyak dan sebaliknya, jika irisan yang dibuat semakin tebal maka

noise akan semakin sedikit.

Kelebihan teknik pemeriksaan MSCT di Instalasi Radiologi RSUD Dr.


Moewardi Solo adalah dengan mengupayakan limitasi dosis terhadap pasien dan
waktu pemeriksaan yang digunakan akan lebih cepat dibandingkan harus mengatur
ulang pasien pada posisi prone untuk mendapatkan irisan coronal secara langsung.
Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo juga mengutamakan kenyamanan
pasien, pada posisi prone dengan posisi kepala hyperextension, pasien akan merasa
kurang nyaman sehingga teknik pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal pada kasus
rhinosinusitis kronis hanya dilakukan dengan posisi supine dan melakukan
rekontruksi data untuk mendapatkan irisan coronalnya. Namun disamping memiliki
kelebihan, ternyata teknik pemeriksaan yang dimiliki Instalasi Radiologi RSUD Dr.
Moewardi Solo memiliki beberapa kekurangan.
Kekurangan tersebut adalah kualitas citra irisan coronal yang dihasilkan dari
rekontruksi data akan menghasilkan gambaran atau citra yang lebih rendah
dibandingkan dengan gambaran yang dihasilkan dari scanning langsung walaupun
sudah direkontruksi dengan ketebalan irisan rekontruksi yang lebih tipis. Kekurangan
yang berikutnya adalah jika irisan coronal dibuat dari hasil rekontruksi data scanning
axial, gambaran didapatkan dengan posisi pasien supine sehingga jika ada cairan
pada daerah tertentu maka air-fluid level akan tidak dapat terlihat. Sebaliknya jika
irisan coronal dibuat dengan scanning langsung dengan posisi pasien prone dan
posisi kepala tegak lurus terhadap couch, maka jika terdapat cairan pada suatu daerah
akan tampak gambaran air-fluid level pada citra irisan coronal yang dihasilkan.
3.2.2 Kemampuan Teknik Pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal tanpa kontras Dalam
Menegakan Diagnosa Pada kasus Rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi
Dr. Moewardi Solo
Gambaran irisan coronal hasil rekontruksi memperlihatkan adanya suatu
gambaran inflamasi pada sinus maxillary dextradan kalsifikasi di sinus frontalis
bagian Dextra serta polip pada sinus maxillary Dextra Ny. RWH, ini menunjukan
bahwa irisan coronal yang dihasilkan dari teknik pemeriksaan MSCT sinus paranasal
pada Kasus rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Solos
sudah dapat memperlihatkan kelainan yang terjadi terhadap pasien Ny. RWH, sama
20

hasilnya dengan irisan axial yang memperlihatkan inflamasi yang terjadi yaitu pada
sinus maxillary dextra dan kalsifikasi pada sinus frontalis bagian sinistra serta polip
pada sinus maxillary sinistra.
1

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo teknik
pemeriksaan MSCT Sinus Paranasal non kontras pada kasus rhinosinusitis
kronis dilakukan dengan mengatur scan range dari vertex hingga ke bagian
inferior os palatum dan posisi pasien supine dengan orientasi head first. Irisan
coronal yang didapatkan hanya berupa gambaran hasil rekontruksi dari data
scanning irisan axial.
Untuk menilai suatu kelainan pada cavum nasi, irisan axial dan coronal
yang dihasilkan pada teknik pemeriksaan MSCT sinus paranasal pada kasus
rhinosinusitis kronis di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Solo sudah
mampu untuk menegakkandiagnosa.
4.2 Saran
Sebaiknya untuk teknik MSCT SPN pada kasus Rhinusinusitis kronis

menggunakan slice thickness untuk potonggan axial 5mm dan potongan

coronal 3mm agar tidak ada informasi pada gambar yang terlewatkan bila

menggunakan slice thickness yang lebih kecil.


.
DAFTAR PUSTAKA

Ballinger, Philip W. & Eugene D. Frank: Merrill's Atlas of Radiographic Positions and
Radiologic Procedures, 12th Edition. St. Louis 2013, Mosby,

Bontrager, Kenneth L. 2018. Textbook of Radiographic Positioning and Related anatomy,


Nineth Edition.St. Louis, Mosby Elsevier

Ellis, Harold: Clinical Anatomy (A Revision and Applied Anatomy for Clinical Student), 11th
Edition, Australia 2006, Harold Ellis,

Gylys, Barbara A. & Marry Ellen Wedding: Medical Terminology System (A Body System
Approach), 6th Edition. Philadelphia 2009, by F. A. Davis Company,

Jarvis, D & P Burney: ABC of Allergies. New York 1998, by British Medical Journal,

Lalwani, Anil K: Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology (Head & Neck Surgey).
New York 2011, by McGraw Hill Professional,

Prokop, Mathias & Michael Galanski: Spiral and Multislice Computed Tomography of the Body.
Stuttgart 2011, by Thieme Verlag,

Rakel, David & Robert E. Rakel: Textbook of Family Medicine. 9th Edition. Philadelphia 2015,
by Elsevier Health Sciences,

Scanlon, Valerie C & Tina Sanders: Essentials of Anatomy and Physiology, 5th Edition.
Philadelphia 2007, by F. A. Davis Company,

Thaler, Erica & David W. Kennedy: Rhinosinusitis: A Guide for Diagnosis and Management.
Berlin 2009, by Springer Science & Business Media,

Anda mungkin juga menyukai