Menurut (Kemenkes R1, 2011) penggunaan antibiotik dapat dievaluasi dengan
kuantitatif maupun kualitatif. Evaluasi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan penghitungan DDD per 100 hari rawat (DDD per 100 bed days) yang dipelopori oleh WHO Regional Office for Europe pada tahun 1966-1967. DDD yaitu asumsi dari penggunaan dosis rata-rata per hari dari antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa. Penilaian penggunaan antibiotik di rumah sakit dengan satuan DDD/100 hari rawat; dan di komunitas dengan satuan DDD/1000 penduduk, rumus perhitungan konsumsi antibiotik, DDD per 100 hari rawat: (𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝐴𝐵 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛) 100 𝐷𝐷𝐷 𝑝𝑒𝑟 100 ℎ𝑎𝑟𝑖 = 𝑟𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑎𝑝 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑙𝑚 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 (𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑥 365) (𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝐴𝐵 𝑦𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 100 𝐷𝐷𝐷 100 𝑝𝑎𝑡𝑖𝑒𝑛𝑡 = 𝑑𝑎𝑦 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 (𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆) Evaluasi secara kualitatif dapat dilakukan antara lain dengan metode Gyssen, untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik yang dipelopori oleh I C Gyssens dan J W van der Meer. Penilaian dilakukan untuk program edukasi yang lebih tepat terkait kualitas penggunaan antibiotik (Gyssen IC, 2005). tahapan dalam penilaian kualitas penggunaan antibiotik yaitu (1) melakukan penilaian, dibutuhkan data diagnosis, keadaan klinis pasien, hasil kultur, jenis dan regimen antibiotik yang diberikan. (2) setiap data pasien, dilakukan penilaian kesesuaian. (3)Hasil penilaian dibagi menjadi beberapa kategori (Gyssen IC, 2005), Evaluasi penggunaan antibiotik (kualitatif) dimulai dari kotak teratas dengan melihat kelengkapan data untuk mengkategorikan penggunaan antibiotika. (1) Bila data tidak lengkap berhenti di kategori VI, data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau terdapat halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi. Bila data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada infeksi yang membutuhkan antibiotika, (2) jika tidak ada indikasi pemberian antibiotika, berhenti di kategori V. Bila antibiotika memang terindikasi, lanjutkan mengenai pemilihan antibiotika sudah tepat, (3) bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVa. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya mengenai alternatif lain yang kurang toksik, (4) bila ada pilihan antibiotika lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVb. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lebih murah, (5) bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVc. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit, (6) bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di kategori IVd. Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit maka lanjutkan dengan pertanyaan mengenai durasi antibiotika yang diberikan terlalu panjang, (7) jika tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotika terlalu singkat, (8) bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori IIIb. Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis antibiotika yang diberikan sudah tepat, (9) bila penggunaan dosis tidak tepat maka berhenti di kategori IIa. jika dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, mengenai interval antibiotika yang diberikan sudah tepat atau tidak (10) Bila interval tidak tepat dari pemberian antibiotika, berhenti di kategori IIb. Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah rute pemberian antibiotika sudah tepat, (11) Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIc. Bila rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya. (12) Bila tidak termasuk kategori I sampai dengan VI maka antibiotika tersebut merupakan kategori I. Penggunaan AB pada skenario 1 dengan metode gyssens dilakukan analisis dengan pertanyaan pertama dimana data pasien sudah lengkap dengan diagnosis dari dokter dan kejelasan terkait penggunaan antibiotik, selanjutnya dari data diagnosis pasien sudah diketahui adanya indikasi penggunaan AB pada penyakit pneumonia, dilanjutkan dengan analisis terkait antibiotik yang lebih efektif, dari penggunaan seftriakson pada pasien pediatric pneumonia menjadi salah satu lini pertama sehingga tidak ada yang lebih efektif dari seftriakson, dilanjutkan analisis berikutnya apakah ada yang lebih aman, jawabannya adalah tidak karena seftriakson sudah menjadi paling aman dan dijadikan sebagai pengobatan lini pertama, apakah ada yang lebih murah, tidak ada, sehingga analisis dilanjutkan dengan pertanyaan apakah ada spektrum AB yang lebih sempit, jawabannya tidak ada, dilanjutkan analisis dengan pertanyaan apakah pemberiannya terlalu lama atau terlalu singkat, jawabannya tidak karena pasien belum keluar dari rumah sakit dan masih menjalani terapi sehingga analisis dilanjutkan ke pertanyaan berikutnya yaitu apakah sudah tepat dosis, pasien mendapatkan dosis 600 mg 2 kali sehari sehingga tidak tepat dosis dan analisis dengan metode gyssens dihentikan (Dipiro, et al, 2020). Sehubungan dengan dihentikannya analisis dengan metode gyssens maka penggunaan antibiotik pada pasien dikategorikan IIa Penggunaan Antibiotik Kombinasi digunakan untuk lebih dari satu jenis untuk mengatasi infeksi. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah (1) Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis) : seperti penggunaan gentamisin dengan beta laktam pada endokarditis streptococcus, dan kombinasi inhibitor beta laktam-beta laktamase. (2) Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten, seperti penggunaan kombinasi obat yang digunakan untuk tuberkulosis, dan penggunaan kombinasi dari seftriakson dan azitromisin untuk pengobatan gonorrhoea. (3) Infeksi polimikroba seperti infeksi pada rongga perut, yang menggunakan kombinasi dari antibiotik yang spektrum sempit. (4) Untuk meningkatkan spektrum empiris antimikroba jika terdapat perhatian khusus terkait multiresisten. (Edwards dll, 2021) Indikasi penggunaan antibiotik kombinasi : infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri), Abses intra abdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi campuran aerob dan anaerob, terapi empiris pada infeksi berat. Hal-hal yang harus diperhatikan : kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik, suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditi atau super aditif dan diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan efek efektif. (Kemenkes, 2013) Peralihan antibiotik dari IV ke oral dilakukan pada pasien yang tepat dengan mempertimbangkan waktu yang tepat. Peralihan antibiotik dari IV ke oral bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi dari jalur IV, menurunkan risiko tromboflebitis, secara signifikan terapi antibiotik oral lebih murah daripada terapi IV, mengurangi biaya lain-lain (pengencer, peralatan, jarum), dan lebih ramah pasien. Terdapat beberapa kriteria pasien yang dapat dilakukan peralihan terapi iv ke oral yaitu (Southern Health Pharmacy Department, 2009): - Cairan/makanan oral dapat ditoleransi - Suhu kurang dari 38°C selama 24 hingga 48 jam - Tidak ada tanda-tanda sepsis - Tersedia antibiotik oral yang sesuai - Konsentrasi antibiotik jaringan ekstra tinggi atau antibiotik IV yang berkepanjangan tidak penting Peralihan terapi iv ke oral dipertimbangkan ketika infeksi didapat dari rumah sakit, bakteri gram negatif, infeksi intra-abdomen, radang paru-paru, infeksi kulit dan jaringan lunak dan infeksi saluran kemih. Pilihan antimikroba harus selalu dipandu oleh kepekaan mikrobiologi bila tersedia. Flowchart identifikasi pasien yang sesuai untuk beralih ke antibiotik oral dapat dilihat pada skema berikut (Southern Health Pharmacy Department, 2009). Antibiotik biasanya diresepkan untuk anak-anak di rumah sakit, tetapi hanya sedikit data yang tersedia untuk menginformasikan durasi terapi yang optimal. Kriteria untuk penggantian intravena ke oral biasanya termasuk penurunan suhu tubuh dan perbaikan klinis dengan atau tanpa perbaikan pada penanda laboratorium (McMullan et al, 2016). Optimalisasi durasi pemberian antibiotik intravena dan oral bertujuan untuk memberikan durasi antibiotik aman terpendek untuk mengobati infeksi. Berikut tabel durasi antibiotik intravena dan total minimum untuk semua infeksi bakteri yang ditinjau, dan menilai rekomendasi sesuai dengan kualitas bukti (McMullan et al, 2016).
Daftar Pustaka
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk
Terapi Antibiotik. Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Gyssens, I.C. 2005. Audits for Monitoring the Quality of Antimicrobial Prescriptions, Gould, I.M., dan Meer, J.W.M.. Antibiotic Policies. Springer: New York Dipiro, J. T., Yee, G. C., Posey, L. M., Haines, S. T., Nolin, T. D., & Ellingrod, V. 2020. Pharmacotherapy Eleventh Edition. Edwards, F., MacGowan, A., & Macnaughton, E. 2021. Antimicrobial therapy: principles of use. Medicine, 49(10), 624–631. Southern Health Pharmacy Department. 2009. Switch - IV to Oral Antibiotics Guidelines. McMullan, B. J., Andresen, D., Blyth, C. C., Avent, M. L., Bowen, A. C., Britton, P. N., ... & Bryant, P. A. 2016. Antibiotic duration and timing of the switch from intravenous to oral route for bacterial infections in children: systematic review and guidelines. The Lancet Infectious Diseases, 16(8), e139-e152. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.