Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HALAMAN JUDUL
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA DENGAN METODE GYSSEN
DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT MARGONO SOEKARJO

Disusun oleh :
Kelompok 2
Agung hidayatullah S
Aginasti priyawan A
Hermawan Susilo Sandi
Tionalfa P
Winda Afriani
Anggraini widya astuti

(USB)
(UMS)
(UAD)
(UII)
(Stifar)
(UAD)

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
PERIODE AGUSTUS-SEPTEMBER
2016

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
DAFTAR TABEL....................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
BAB III METODE PENELITIAN..........................................................................6
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................7
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................9

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Hasil Penilaian Penggunaan Antibiotik Dengan Metode Gyssens. .13

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur diagram Gyssens............................................................................9
Gambar 2. Persentasi Kategori IVa dan Kategori V..............................................14

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Tujuan pelayanan farmasi di rumah
sakit, antara lain (Menkes, 2004):
1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal, baik dalam
keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai
dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia.
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi.
3. Melaksanakan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai
obat.
4. Menjalankan

pengawasan

obat

berdasarkan

aturan

yang

berlaku.
5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa,
telaah dan evaluasi pelayanan.
6. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa,
telaah dan evaluasi pelayanan.
7. Mengadakan

penelitian

dibidang

farmasi

dan

peningkatan

metode.

Dari tujuan di atas, apoteker dituntut untuk memahami dan menyadari


kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam
pelayanan kefarmasian.
Evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui
rasionalitas

penggunaan

antibiotik.

Gyssens

mengembangkan

evaluasi

penggunaan antibiotik untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik yang


meliputi ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas,
toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu
pemberian (Gyssens & Meer, 2001). Metode Gyssens merupakan suatu alat untuk

mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang telah digunakan secara luas di


berbagai negara (The Amrin Study, 2005). Berdasarkan uraian di atas, mendorong
peneliti untuk melakukan evaluasi lebih lanjut penggunaan antibiotik pada pasien
pneumonia dengan judul penelitian Evaluasi Penggunaan Antibiotik Dengan
Metode Gyssens di Intensive care Unit Rumah Sakit Margono Soekarjo.
B. Tujuan

Mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik di Intensive Care Unit


Rumah Sakit Margono Soekarjo.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A Antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba (terutama fungi)
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Syarif, et al.,
2007). Menurut Tjay Tan Hoan dan Rahardja Kirana (2007), berdasarkan
mekanisme kerjanya antibiotik dibagi menjadi 2 yaitu kelompok antibiotik
bakterisid (mematikan/membunuh) dan kelompok antibiotik bakteriostatik
(menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri). Kelompok bakterisid
dibagi lagi dalam 2 kelompok yaitu :
1

Bekerja pada fase tumbuh


Contoh

penisilin,

sefalosporin,

polipeptida

(polimiksin

dan

basitrasin), rifampisin, asam nalidiksat dan golongan quinolon.


8. Bekerja pada fase istirahat
Contoh : aminoglikosida, nitrofurantoin, isoniazid, kotrimoksazol,
dan juga polipeptida tersebut diatas.

Antibiotik

bakteriostatik

yang

bekerja

menghentikan/menghambat

pertumbuhan bakteri contohnya sulfonamid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida


dan linkomisin.
Prinsip penggunaan antibiotik didasarkan pada pertimbangan utama, yaitu
(Menkes, 2008) :
1

Penyebab Infeksi

Antibiotik

idealnya

diberikan

berdasarkan

hasil

pemeriksaan

mikrobiologis dan uji kepekaan kuman, namun dalam prakteknya tidak mungkin
melakukan pemeriksaan mikrobiologis untuk setiap pasien yang dicurigai
menderita suatu penyakit. Untuk infeksi berat yang membutuhkan penanganan
segera, pemberian antibiotik dapat segera dimulai setelah pengambilan sampel
bahan biologis untuk biakan dan pemeriksaan kuman. Pemberian antibiotik tanpa
pemeriksaan mikrobiologis dapat didasarkan pada educated guess yakni
penggunaan antibiotik didasarkan pada pemilihan antibiotik untuk organ yang
terkena infeksi dan pola resistensi kuman, tanpa melakukan pembiakan (Menkes,
1995).

9. Faktor Pasien

Faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik antara


lain fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi, daya
tahan terhadap obat, beratnya infeksi, etnis, usia, penggunaan pengobatan
konkomitan, untuk wanita sedang hamil atau menyusui, serta menggunakan
kontrasepsi oral.
Banyak orang yang mengira antibiotik diberikan untuk mengobati flu.
Memang antibiotik dapat diberikan bersamaan dengan obat flu, tetapi tujuannya
hanyalah untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder seperti sakit
tenggorokan, bukan untuk mengobati flu yang disebabkan oleh virus.
Berikut ini merupakan penggolongan jenis antibiotik berdasarkan
mekanisme kerjanya (Menkes, 2011) :
1

Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti


beta-laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem,
inhibitor beta-laktamase), basitrasin, dan vankomisin.
10.Memodifikasi

atau

menghambat

sintesis

protein,

misalnya

aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin,


azitromisin,

klaritromisin),

klindamisin,

mupirosin,

dan

spektinomisin.
11.Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat,
misalnya trimetoprim dan sulfonamid.
12.Mempengaruhi

sintesis

atau

misalnya kuinolon, nitrofurantoin.

metabolisme

asam

nukleat,

C. Diagram Alur Gyssens

Gambar 1. Alur diagram Gyssens

Evaluasi antibiotik dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan
menilai kelengkapan data pasien (Kemenkes RI, 2011).
1

Jika data tidak lengkap, berhenti di kategori VI.

Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis, atau ada
halaman rekam medis yang hilang. Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik pasien. Jika data lengkap, dilanjutkan pada pertanyaan,
apakah ada infeksi yang membutuhkan antibiotik?
13.Jika pemberian antibiotik tanpa indikasi, berhenti di kategori V.

Jika pemberian antibiotik memang diindikasikan dilanjutkan pada pertanyaan


selanjutnya, apakah antibiotik yang diberikan sudah tepat?
14.Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di
kategori IVa.

Jika tidak ada pilihan antibiotik yang lebih efektif, maka dilanjutkan
pertanyaan, apakah ada antibiotik lain yang lebih aman?
15.Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih aman, berhenti di
kategori IVb.

Jika tidak ada pilihan antibiotik yang lebih aman, maka dilanjutkan
pertanyaan, apakah ada antibiotik yang lebih murah?
16.Jika ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti di
kategori IVc.

Jika tidak, maka dilanjutkan pada pertanyaan, apakah ada antibiotik lain yang
mempunyai spektrum yang lebih sempit?
17.Jika ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih
sempit, berhenti di kategori IVd.

Jika tidak ada antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, maka
dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah durasi pemberian antibiotik terlalu
lama?
18.Jika durasi pemberian antibiotik terlalu lama, berhenti di kategori
IIIa.

Jika tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi pemberian antibiotic


terlalu singkat?
19.Jika durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti di

kategori IIIb.

Jika tidak, diteruskan dengan pertanyaan, apakah dosis antibiotik yang


digunakan tepat?
20.Jika dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori
IIa.

Jika dosisnya tepat, maka dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah interval


antibiotik yang diberikan sudah tepat?
21.Jika interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di
kategori IIb.

Jika interval pemberian sudah tepat, dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah


rute pemberian antibiotik sudah tepat?
22.Jika rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori
IIc.

Jika rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.


23.Jika waktu pemberian tidak tepat, berhenti di kategori I.

Jika sudah tepat, lanjut ke step berikutnya.


24.Jika antibiotik tidak termasuk kategori I sampai VI, antibiotik
tersebut merupakankategori 0 yaitu antibiotik yang tepat atau
rasional.

BAB III
METODE PENELITIAN
A Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan


pengambilan data secara prospektif dengan melihat data medis pasien dan
pemantauan terapi obat pasien. Data diambil pada tanggal 22-27 Agustus 2016 di
Intensive Care Unit Rumah Sakit Margono Soekarjo. Data yang diambil adalah
data semua pasien yang mendapat terapi antibiotik pada periode penelitian.
A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Intensive Care Unit Rumah Sakit Margono


Soekarjo pada tanggal 22-27 Agustus 2016.
B. Alat dan Bahan

Alat : Seperangkat Komputer yang disertai program Microsoft Excel.


Bahan : Data medis dan Pemantauan terapi obat pasien
C. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data antibiotik yang didapatkan


oleh pasien pada tanggal 22-27 Agustus 2016. Data diambil dengan melihat data
medis dan pemantauan terapi obat pasien. Setelah itu data langsung di masukkan
ke dalam diagram Gyssens untuk dicari tahu termasuk dalam kategori berapakah
penggunaan antibiotika tersebut. Setelah itu diolah dengan program Microsoft
Excel untuk melihat prosentase dari tiap kategori yang telah didapatkan
sebelumnya.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A Hasil Penelitian

Selama penelitian didapatkan jumlah sampel sebanyak 20 pasien yang


mendapatkan terapi antibiotika di ICU Rumah Sakit Margono Soekarjo. Dari 21
sampel tersebut selanjutnya diolah dan didapatkan data sebagai berikut :
N
o.

L/
P

Um
ur

20

22

49

12

22

83

45

52

50

10

61

11

35

12

45

13

57

14

45

15

20

16

21

17

18

53

19

67

No
RM
2569
32
2536
96
2491
00
2572
58
2569
63
2571
65
2516
48
2578
00
6265
77
2569
61
2452
49
2578
12
2545
70
2551
76
2537
69
2582
89
2569
25
9868
29
1407

Diagnosa
CKB-ICH
Post
Laparotomy
Tumor Cerebri
Post Craniotomy
Post
Laparotomy
SDH-Cron
Post Craniotomy
Post
Laparotomy
Post Colestasis
Post
Laparotomy
Post Craniotomy
Post Craniotomy
Post
Laparotomy
Post subtotal
lobectomy
Post VE + udem
paru
Post
Laparotomy
Prolonged Febris
Susp typhoid
Post
Laparotomy
Post

Antibioti
k
Ceftriaxon
e
Meropene
m
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Levofloxa
cin
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ceftriaxon
e
Ciprofloxa

aturan
pakai
2x1
gram

Kateg
ori

3 x 1 amp

2x1
gram
3x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
2x1
gram
1 x 750
mg
2x1
gram
2 x 500
mg
2x2
gram
1x1

V
V
V
V
V
V
V
IVa
V
IVa
V
V
IVa
IVa
IVa
IVa
V

20

34

26
2572
80

Laparotomy
Fusi Posterior

cin
Ceftriaxon
e

gram
2x2
gram

Tabel 1. Data Hasil Penilaian Penggunaan Antibiotik Dengan Metode Gyssens

Persentase Perbandingan
Kategori IVa dan V

Kategori IVa

30%
Kategori
V

70%

Gambar 2. Persentasi Kategori IVa dan Kategori V


Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa penggunaan antibiotik di ICU RSMS
pada kategori V sebanyak 70% dan kategori IVa sebanyak 30%.
Pada Kategori IVa terdapat sebanyak 30% sampel atau 6 pasien. Kategori
IVa berarti memang sudah ada indikasi untuk pemberian antibiotik, namun
pemberian antibiotik ini belum diketahui dengan jelas keefektifannya.
Pada Kategori V terdapat sebanyak 70% sampel atau 14 pasien. Kategori
V berarti penggunaan antibiotika kurang tepat, karena tidak terdapat indikasi
adanya infeksi pada pasien.

D. Pembahasan

Dari hasil yang didapatkan diatas dapat diketahui bahwa penggunaan


antibiotik di ICU RSMS kurang rasional karena belum diketahui dengan jelas
tujuan dari penggunaan antibiotika tersebut. Dari data diatas tidak ditemui
penggunaan antibiotik dengan kategori 0 atau penggunaan antibiotika yang
rasional. Terdapat 70% data penggunaan antibiotika dengan kategori V yang
berarti bahwa tidak ada indikasi pemberian antibiotika tersebut. Pada kategori IVa
hanya terdapat 30% atau 6 pasien yang mendapat terapi antibiotika dengan adanya
indikasi. Pada penelitian ini, indikasi yang dimaksud adalah indikasi adanya
tanda-tanda infeksi seperti naiknya suhu badan dan angka leukosit. Kesulitan
dalam penelitian ini yaitu tidak adanya data secara lengkap mengenai data lab dan
hasil kultur bakteri dari pasien sehingga peneliti sulit untuk mengetahui apakah
pemberian antibiotika tersebut sudah efektif dan rasional atau tidak. Selain itu
juga terkadang dilakukan kultur bakteri, namun hasil kultur tersebut lama
keluarnya. Sehingga terkadang hasil kultur belum keluar, namun pasien sudah
pindah dari ICU. Hal tersebut juga menjadi salah satu kesulitan selama penelitian
berlangsung.
Dari penelitian tersebut diatas dapat diketahui bahwa penggunaan
antibiotika paling banyak di ICU RSMS yaitu Ceftriaxone. Ceftriaxone
merupakan golongan sefalosporin yang mempunyai spektrum luas dengan waktu
paruh eliminasi panjang antara 5,8 dan 8,7 jam antara 33 dan 67 persen dosis
diekskresikan dalam urin, dan sisanya disekresi dalam empedu dan akhirnya
ditemukan dalam kotoran senyawa yang mikrobiologis tidak aktif. Dalam
prakteknya Ceftriaxone sering digunakan sebagai antibiotik profilaksis sebelum
pembedahan dan juga sebagai antibiotik pasca operasi jika diketahui hasil kultur
bakteri.
Dalam penelitian ini dimungkinkan penggunaan antibiotik di ICU RSMS
dilakukan untuk tujuan mencegah terjadinya infeksi pasca bedah. Kebanyakan
pasien yang masuk ICU adalah pasien-pasien pasca bedah dan belum diketahui
bagaimana kondisi ruangan di kamar bedah apakah sudah steril atau belum.
Sehingga untuk mencegah terjadinya infeksi pasca bedah, dokter meresepkan

antibiotik untuk pasien-pasien pasca bedah walaupun belum ada hasil kultur yang
mennyatakan bahwa pasien tersebut terinfeksi bakteri.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian diketahui 70% penggunaan antibiotika masuk dalam


kategori V dan 30% masuk dalam kategori IVa.
2. Penggunaan antibiotika di ICU RSMS belum rasional, karena tidak ada
indikasi yang jelas menganai tujuan penggunaan antibiotika tersebut dan
juga tidak ada hasil kultur sebagai acuan untuk pemilihan antibiotika yang
tepat.
3. Antibiotika yang paling banyak digunakan di ICU RSMS yaitu
Ceftriaxone sebanyak 17 pasien,
E. Saran

1. Perlu dilakukan pengkajian lebih jauh mengenai penggunaan antibiotika


kepada pasien mulai dari pasien masuk rumah sakit hingga pasien keluar.
2. Penggunaan antibiotika yang lebih rasional dengan melihat hasil kultur
bakteri setelah dilakukan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

Gyssens, I.C. & Meer, V.D., 2001, Quality of Antimicrobial Drug Prescription in
Hospital, Clinical Microbiology and Infection, Volume 7, Supplement 6,
12-15, New York, Kluwer Academic Publishers
Gyssens, I.C., 2005, Audit for Monitoring the Quality of Antimicrobial
Prescription, 197- 226, New York, Kluwer Academic Publishers.
Kemenkes RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Jakarta,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Menkes,
2004,
Keputusan
Menteri
Kesehatan

RI

Nomor

1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah


Sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Menkes, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta.
Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., Muchtar, A., Arif, A., Bahry, B.,
Suyatna, F.D., et al., 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
The Amrin Study Group, 2005, Antimicrobial resistance, antibiotic usage and
infection control; a self assessment program for Indonesian hospitals,
Jakarta, Directorate General of Medical Care
Tjay, T.H., Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Edisi 6, Elex Media
Komputindo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai