Anda di halaman 1dari 2

Laut Bercerita

Karya: Zita Kaysha Azzahra

Di Hadapan Laut, di Bawah Matahari

Saya bertiga mendapat tugas untuk mewawancarai pegawai kantor bangunan yang menjadi pemborong
bangunan-bangunan megah. Kantor itu dicat merah menyala, mencolok dibandingkan dengan kantor
sejenis di kompleks itu. Ketika kami masuk, kami melihat lobi kantor yang cukup berantakan. Meski
berantakan, fasilitas di kantor itu lengkap. Masih ada sofa yang bisa dipakai duduk. Di belakang lobi ada
ruangan tertutup dengan menyisakan lorong untuk masuk ke lantai atas. Di dinding lorong tertempel
gambar bangunan-bangunan yang akan dikerjakan kantor itu.

Salah satu gambar bangunan jatuh dan terinjak kakiku. Bumi seperti bergetar dan saya terseret ke dalam
bangunan megah yang belum pernah aku kenal. Bangunan itu terus bergetar.

Kudengar ada yang memanggilku, Kak tolong kami. Tampak sekumpulan anak seragam biru putih
berlarian.

"Ada apa ini?" tanyaku pada anak anak itu.

"Kak, apakah kakak tau kita sedang di dasar laut yang gelap, bagaimana caranya kita keluar dari sini"
ucapnya kepadaku.

Aku tampak kebingungan dan melihat ke arah jendela yang tertutup rapat itu bahwa ada sekumpulan
ikan yang sedang berenang renang. Tiba tiba listrik mendadak mati. Anak anak itu ketakutan aku terus
mempercayai nya bahwa kita semua akan keluar dari sini dengan selamat.

Hening. Begitu sunyi. Begitu sepi. Bangunan itu lalu bergetar lebih kencang semuanya runtuh membuat
aku dan anak itu terbawa keluar dari bangunan. Aku terpisah dengan anak itu karena arus laut yang
semakin kencang, aku berharap dia akan selamat. Tak lama aku mendengar alunan musik, mencium
aroma masakan Ibu, aku mendengar suara Kinan berdebat dengan Daniel, suara Sunu yang mencoba
menengahi, suara anjani yang halus mengusap telinga yang kemudian tergilas oleh nyaringnya suara
asmara. Itu semua perlahan menghilang tergantikan suara langkah Bapak yang perlahan lahan menuju
dapur sambil menanyakan apa yang sedang dimasak Ibu.

Semua berbaur, saling berkelebatan seperti sebuah pemutaran film hitam putih yang dipercepat. Aku
merasakan arus bawah laut itu berputar putar memelukku. Begitu erat, begitu hangat, seolah aku
adalah bagian dari laut ini. Mungkin itu sebabnya Ibu dan Bapak memberiku nama Biru Laut.

Dan akhirnya tubuhku berdebam melekat ke dasar laut, di antara karang dan rumput laut disaksikan
serombongan ikanikan kecil yang tampaknya iba melihatku. aku menyadari aku telah mati. Tubuhku
akan berada di dasar laut ini selamalamanya, dan jiwaku telah melayang entah ke mana. Sementara ikan
ikan biru, kuning, ungu, jingga mencium pipiku, seekor kuda laut melayang layang di hadapanku, aku
mendengar suara ketukan yang keras. Sebuah ketukan pada sebilah papan kayu….

Saat ini aku berada di perut laut, menunggu cahaya datang.Ini sebuah kematian yang tidak sederhana.
Terlalu banyak kegelapan. Terlalu penuh dengan kesedihan.Kegelapan yang kumaksud adalah karena
kau tak tahu aku berada di sini dan mencari-cari di mana aku berada. Karena itu, bayangkan saja,
namaku Laut, di sanalah tempatku. Di dasar yang gelap, sunyi, diam, dan tanpa suara. Menurut Sang
Penyair, kita jangan takut pada gelap. Gelap adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Pada setiap
gelap ada terang meski hanya secercah, meski hanya di ujung lorong, demikian ujarnya.

Seandainya belum ada satu pimpinan pun yang menunaikan janjinya untuk mengungkap kasus
kematianku dan kematian semua kawan-kawan, maka inilah saranku: kalian semua harus tetap
menjalankan kehidupan dengan keriaan dan kebahagiaan.

Sampaikan pada Ibu, Bapak, dan Anjani: jangan hidup di masa lalu, di saat aku masih menjadi abangmu
yang jahil dan sering membuat dapur Ibu berantakan. Jangan terjebak pada kenangan yang membuat
kalian semua tak bisa meneruskan hidup.

Sampaikan kepada Ibu bahwa beliau adalah koki terhebat yang pernah kukenal. Semua bumbu dan
resep kupelajari darinya dan jangan pernah berhenti menciptakan resep baru seperti halnya jangan
pernah berhenti memulai hari baru tanpa aku.

Kukirimkan semua pesan ini melalui sayap-sayap ikan pari, melalui bunyi rintik hujan ketika menyentuh
tanah dan melalui bunyi kepak burung gereja yang hinggap di jendela kamarmu. Aku yakin kau akan bisa
menangkap pesanku, membaca ceritaku. Dan aku percaya kau akan menceritakan kisahku kepada dunia.

Biru Laut Wibisana

Ibu menyalakan lilin itu satu per satu sebelum akhirnya Ibu mencoba ikhlas melepas krans itu seolah dia tengah
melepas jenazah Mas Laut. Ibu mengusapusap karangan bunga dan foto itu sembari mengucap doa dan
berlinangan air mata. Tulisan nama BIRU LAUT (1971…) itu diciumnya dan barulah ia melepasnya ke tengah laut
menyusul karangan bunga kawankawannya.

Anda mungkin juga menyukai