Orang-orang yang memiliki gangguan jiwa dengan kondisi yang berat dan
sering kambuh membutuhkan rehabilitasi khusus. Proses rehabilitasi secara
terpadu pada umumnya dijalani di fasilitas kesehatan khusus yaitu rumah
sakit jiwa. Namun ada beberapa prosedur yang perlu dilalui sebelum pasien
diputuskan membutuhkan rehabilitasi.
Pelayanan kesehatan untuk penderita penyakit jiwa umumnya dapat didapatkan di
rumah sakit jiwa. Alasan utama pasien dengan gangguan kejiwaan membutuhkan
penanganan khusus di rumah sakit jiwa yakni:
Meski kriteria di atas menjadi semacam pertanda bahwa penderita gangguan mental
sebaiknya dirawat di rumah sakit jiwa, namun kesediaan secara sukarela dari pasien
bisa menjadi langkah awal yang lebih baik. Di sisi lain, untuk pasien dengan tilikan
yang rendah, maka keputusan untuk merawatnya di rumah sakit jiwa akan
didasarkan pada kepentingan klinis dan persetujuan keluarga. Di sini, dokter
berperan memberi advokasi dan saran terbaik terkait langkah penanganan pasien di
rumah sakit jiwa.
Gangguan jiwa beragam jenisnya, mulai dari yang ringan sampai akut. Keterbukaan
dari pihak keluarga akan membantu dokter ahli kejiwaan (psikiater) dalam
melakukan diagnosis dan menentukan perawatan yang tepat bagi pasien.
Rumah Berdaya Denpasar,
Tempat Rehabilitasi
Gangguan Jiwa Untuk
Kurangi Korban
Pemasungan
Rabu, 24 April 2019 16:46 WIB
“Syarat ke sini cuma dua, orang yang alami gangguan kejiwaan dan keluarga
mau nuntun bareng. Kami tidak mau hanya ODGJ-nya saja yang beubah tapi
keluarganya juga,” papar dr. Rai.
Saat ini ada 28 pasien yang reguler datang ke Rumah Berdaya, dan ada 67
orang yang pernah rehabilitasi. Beberapa alumni ada yang bekerja sebagai
tukang ojek online, memiliki usaha sablon, hingga bekerja menjadi staf di
Rumah Bentara.
Meskipun saya hanya dapat memahami dari raut wajah dan emosi yang terlihat saat
masing-masing ODGJ mulai berpendapat mengenai topik yang baru saja
disampaikan oleh anggota kelompok yang lain. Setelah semua artikel selesai
dibaca, perawat mengajak semua yang hadir untuk memberikan applause, lalu
kegiatan itu ditutup dengan ucapan terimakasih untuk setiap orang yang sudah
membacakan berita hari ini.
Disinilah saya merasa takjub. Di Indonesia, selama lima tahun menempuh
pendidikan sarjana keperawatan, saya belum pernah menemukan terapi sederhana
namun sangat bermanfaat ini dilaksanakan baik di rumah sakit jiwa (RSJ) baik
swasta maupun pemerintah, atau di Dinas Sosial yang juga menampung dan
memberikan perawatan dan terapi bagi pasien ODGJ. Tetapi di Taiwan, ODGJ
diperlakukan tidak seperti pasien jiwa kebanyakan yang di kucilkan, dianggap
tidak tahu menahu, keterbelakangan dan terkungkung dalam pikirannya sendiri.
Tujuan dari terapi rehabilitasi bagi pasien jiwa adalah membantu individu dengan
kondisi disableduntuk mengembangkan kemampuan emosi, sosial dan intelektual
untuk hidup, belajar dan bekerja kembali di kehidupan normal bermasyarakat
dengan bantuan beberapa tenaga professional kesehatan.
Ada dua prinsip strategis dalam pelaksanaan terapi rehabilitasi, antara
lain individual-centered therapy yang bertujuan mengembangkan kemampuan
pasien dengan cara meningkatkan interaksi dengan situasi
yang stressful (mengancam). Strategi yang kedua adalah menyediakan sebuah
lingkungan yang aman dan mengurangi stressor potensial yang dapat memicu
kembali kondisi ketidakstabilan jiwa.
Membaca koran dan mendiskusikannya, menjadi sebuah terapi rehabilitatif yang
efektif dan efisien serta sesuai dengan tujuan terapi rehabilitasi bagi pasien dengan
gangguan jiwa. Tidak perlu memakan waktu lama untuk menyiapkan ide terapi
atau mengerjakan proposal terapi, informasi terbaru dan bahan diskusi dapat
dengan mudah di dapat melalui koran, perawat sebagai leadermemberikan tugas
untuk membaca dan menuliskan topik bacaan di papan tulis, kemudian cukup
mendengarkan dan memberikan feedback, serta menciptakan diskusi aktif di
tengah kelompok terapi.
Secara tidak langsung pasien diajak berfikir, dituntut berani berbicara dan
presentasi di tengah kelompok. Kegiatan mengutarakan pendapat dan diskusi aktif
sebagai bentuk pengembalian kepercayaan diri, komentar yang keluar dari setiap
orang dalam kelompok terapi ini, baik positif maupun negatif memberikan makna.
Berita hangat yang disampaikan pun membantu pasien untuk merasakan aktualisasi
diri, termasuk sebagai bentuk latihan dan adaptasi dengan kehidupan normal yang
harus dijalani pasien ODGJ ketika kembali bermasyarakat dan bertemu dengan
keluarganya.
Melalui kegiatan rutin membaca ini pula perawat mampu melaksanakan evaluasi
terhadap kemampuan mengontrol emosi, interaksi sosial antar-pasien, dan
kemampuan intelektual dalam menyampaikan kembali topik berita. Akan tersaring
pula siapa saja pasien yang potensial untuk diberikan terapi rehabilitasi tahap lanjut
dan dinilai sanggup dipekerjakan sebagai pegawai rumah sakit (beberapa dari
pasien bahkan menjadi sekretaris asisten perawat, membantu administrasi dan
diberikan pekerjaan sebagai tenaga pembantu harian di rumah sakit,
sebagai volunteer).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kegiatan membaca menjadi salah satu
alternatif solusi terapi rehabilitasi bagi ODGJ yang bermanfaat, berpotensi
mengurangi beban negara dalam pembiayaan perawatan dan pengobatan pasien
jiwa, serta menunggu untuk diaplikasikan di Indonesia. (*)
Program Kesehatan Jiwa Berbasis
Masyarakat
Program kesehatan jiwa berbasis masyarakat adalah salah satu program rintisan
Pusat Rehabilitasi YAKKUM yang berlangsung selama 4 tahun dan ditujukan bagi
Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berada di 3 wilayah yaitu:
Program ini diinisiasi untuk memberikan pendampingan kepada ODGJ agar dapat
meningkatkan kualitas hidup mereka dan agar mereka terintegrasi dalam sistem di
masyarakat.
Kunjungan rumah
Terapi Aktivitas Kelompok bagi ODGJ
Support Help Group atau kelompok swabantu bagi keluarga atau pendamping ODGJ
Pendampingan kepada ODGJ untuk mengakses layanan kesehatan, meningkatkan
keterampilan dan aktivitas produktif
Edukasi kepada keluarga atau pendamping ODGJ mengenai kesehatan jiwa
Sosialisasi isu kesehatan jiwa kepada masyarakat
Peningkatan kapasitas kader kesehatan jiwa dan petugas kesehatan di Puskesmas
Pembentukan sistem untuk pemberian layanan kepada ODGJ dari beberapa stakeholder
terkait
Kontak kami
Kontak kami bila Anda ingin mengetahui lebih lanjut mengenai program kesehatan
jiwa berbasis masyarakat di wilayah Gunungkidul, Kulon Progo dan Sleman.
Kontak kami melalui:
Telepon: (0274) 895386
Email: support@pryakkum.org.au
Facebook, Twitter, Instagram: @PRYAKKUM
STOP STIGMA DAN DISKRIMINASI TERHADAP ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA (ODGJ)
DIPUBLIKASIKAN PADA : JUMAT, 10 OKTOBER 2014 07:40:00, DIBACA : 120.222 KALIJakarta, 10 Oktober 2014
Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, merasa prihatin saat mendengar berbagai
stigmatisasi dan diskriminasi yang masih sering dialami oleh anggota masyarakat yang dinilai berbeda
dengan masyarakat pada umumnya, termasuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), antara lain
dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga ditelantarkan
oleh keluarga, bahkan dipasung, serta dirampas harta bendanya.
Untuk itu, Menkes mengajak seluruh jajaran kesehatan untuk segera dapat melaksanakan Empat Seruan
Nasional Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap ODGJ, yaitu: 1) Tidak melakukan stigmatisasi dan
diskriminasi kepada siapapun juga dalam pelayanan kesehatan; 2) Tidak melakukan penolakan atau
menunjukkan keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ODGJ; 3) Senantiasa
memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi
maupun reintegrasi ke masyarakat pasca perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial; serta 4)
Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan,
mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, meminimalisasi faktor risiko masalah kesehatan
jiwa, serta mencegah timbulnya dampak psikososial.
Untuk menyikapi masalah kesehatan jiwa di Indonesia, Pemerintah dan masyarakat telah melakukan
upaya-upaya, antara lain: 1) Menerapkan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi,
dan berkesinambungan di masyarakat; 2) Menyediakan sarana, prasarana, dan sumberdaya yang
diperlukan untuk pelayanan kesehatan jiwa di seluruh wilayah Indonesia, termasuk obat, alat kesehatan,
dan tenaga kesehatan dan non-kesehatan terlatih; 3) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan upaya
preventif dan promotif serta deteksi dini gangguan jiwa dan melakukan upaya rehabilitasi serta reintegrasi
OGDJ ke masyarakat.
Disamping itu, upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah Pemberdayaan ODGJ, yang bertujuan agar
dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di tengah masyarakat, bebas dari stigma, diskriminasi atau
rasa takut, malu serta ragu-ragu. Upaya ini sangat ditentukan oleh kepedulian keluarga dan masyarakat di
sekitarnya, kata Menkes.
Berkaitan dengan hal tersebut, Menkes mengharapkan agar seluruh jajaran Pemerintah dan lapisan
masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, orbanisasi
profesi, dan dunia usaha dan swasta, dapat mendukung upaya Pemerintah dalam memberikan pelayanan
kesehatan jiwa terbaik kepada Masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap siapa pun juga harus
dihapuskan dari bumi Indonesia karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan berdampak pada
munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, dan keamanan di masyarakat, tandas Menkes.
Komitmen dalam pemberdayaan ODGJ diperkuat dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 18 tahun
2014 tentang Kesehatan Jiwa yang baru saja disahkan pada 8 Agustus 2014 lalu. Undang-Undang Nomor
18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai
kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Secara garis besar, Undang-undang tersebut mengamanatkan tentang: 1) Perlunya peran serta masyarakat
dalam melindungi dan memberdayakan ODGJ dalam bentuk bantuan berupa: tenaga, dana, fasilitas,
pengobatan bagi ODGJ; 2) Perlindungan terhadap tindakan kekerasan, menciptakan lingkungan yang
kondusif, memberikan pelatihan keterampilan; dan 3) Mengawasi penyelenggaran pelayanan di fasilitas
yang melayani ODGJ.
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan
harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah baik di tingkat
Pusat maupun Daerah, serta perhatian dari seluruh masyarakat.
Beban penyakit atau burden of disease penyakit jiwa di Tanah Air masih cukup besar. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke
atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah
1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.
Berdasarkan jumlah tersebut, ternyata 14,3% di antaranya atau sekira 57.000 orang pernah atau sedang
dipasung. Angka pemasungan di pedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan
dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7%.
Bagikan
Photo Source: petras gagilas
DokterSehat.Com – Penyakit mental dapat menyebabkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, tidak hanya dapat merusak hubungan dengan orang
lain, hal itu juga bisa mengganggu produktivitas sehari-hari.
Keluarga mana pun tidak tega sanak saudaranya menderita gangguan jiwa.
Di mana dampak sosialnya sangat serius berupa penolakan, pengucilan dan
diskriminasi.
BACA JUGA: MACAM-MACAM
PENYAKIT GANGGUAN JIWA YANG
ANEH
Oleh karena itu, memerlukan penanganan sedini mungkin agar gejala-gejala
yang ditimbulkan tidak berkembang menjadi gangguan jiwa yang kronis.
Memang bukan berarti sembuh total, karena kepekaan untuk terganggu lagi
pada penderita skizofrenia lebih besar daripada orang normal. Tetapi,
gangguan psikosis yang disebabkan oleh kelainan anatomi otak sembuh total
karena sebagian besar bersifat sementara.
Berikut ini adalah beberapa pengobatan gangguan jiwa yang bisa dilakukan,
di antaranya:
1. Psikofarmakologi
2. Psikoterapi
3. Terapi psikososial
4. Terapi psikoreligius