Anda di halaman 1dari 18

Pasien Tidak Langsung Dirujuk ke Rumah Sakit

Jiwa, Berikut Prosesnya

   
Orang-orang yang memiliki gangguan jiwa dengan kondisi yang berat dan
sering kambuh membutuhkan rehabilitasi khusus. Proses rehabilitasi secara
terpadu pada umumnya dijalani di fasilitas kesehatan khusus yaitu rumah
sakit jiwa. Namun ada beberapa prosedur yang perlu dilalui sebelum pasien
diputuskan membutuhkan rehabilitasi.
Pelayanan kesehatan untuk penderita penyakit jiwa umumnya dapat didapatkan di
rumah sakit jiwa. Alasan utama pasien dengan gangguan kejiwaan membutuhkan
penanganan khusus di rumah sakit jiwa yakni:

 Memastikan bahwa kondisi pasien dapat dievaluasi lebih ketat.


 Mendapatkan supervisi agar pasien tidak membahayakan dirinya sendiri atau
orang lain.
 Memberikan perawatan yang lebih menyeluruh seperti pemenuhan kebutuhan
gizi dan sosial.
 Memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi.

Penanganan gangguan kejiwaan di rumah sakit dalam jangka panjang bertujuan


tidak hanya mencegah kekambuhan gejala pasien, namun juga melatih dan
mendorong pasien dan keluarganya untuk menciptakan lingkungan yang suportif,
tidak terpaku stigma, agar pasien dapat kembali hidup bermasyarakat.
Prosedur yang dilalui Sebelum Dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa
Dalam menyatakan apakah seseorang mengalami gangguan mental atau tidak
harus ditentukan oleh seorang psikiater. Jangan pernah memvonis seseorang
terkena penyakit kejiwaan sebelum orang tersebut menjalani pemeriksaan medis
kejiwaan dari ahlinya. Adapun pemeriksaan mental seseorang harus melewati
beberapa tahap berikut.

 Wawancara psikiatri dengan dokter ahli


Selama melakukan proses wawancara, dokter akan mengamati seseorang
dari berbagai sisi. Dokter akan menggali lebih lanjut apa keluhan utama
pasien, dan memerhatikan status mental pasien yang dipantau dari sikap,
suasana hati, dan perilaku pasien selama wawancara.
Pengamatan oleh dokter ini akan dilakukan serinci mungkin untuk
menghindari adanya kesalahan diagnosis. Jika seseorang pernah mengalami
gejala terkait, menceritakannya pada dokter akan menambah akurasi
perkiraan tentang kondisi pasien tersebut.
Saat mewawancarai dan berinteraksi dengan pasien, dokter juga mengkaji
kemampuan pasien dalam berpikir, mengemukakan alasan, dan mengingat
(fungsi kognitif pasien) melalui beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang
diajukan kemungkinan juga berkaitan dengan perasaan pasien tentang
kehidupan pribadinya dan apakah dia berniat untuk melakukan bunuh diri.
Riwayat penyakit sebelumnya, riwayat obat-obatan, atau riwayat
penyalahgunaan zat juga akan ditanyakan dokter.
 Pemeriksaan fisik
Untuk memberikan diagnosis mengenai kondisi kesehatan
mental seseorang, pemeriksaan fisik juga perlu dilakukan. Dalam
pemeriksaan ini, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan
kondisi umum pasien dan menentukan kemungkinan diagnosis.
 Tes penunjang
Agar penilaian yang dilakukan dokter makin akurat, maka terkadang
diperlukan tes tambahan seperti tes laboratorium. Tes ini biasanya
membutuhkan sampel darah atau urine pasien. Jika terdapat kecurigaan
adanya gangguan pada sistem saraf, maka dokter akan menyarankan pasien
untuk menjalani tes MRI, EEG, atau CT scan. Tes lainnya yang mungkin
diperlukan untuk mendeteksi masalah pada tubuh adalah:
o Tes fungsi tiroid.
o Kadar elektrolit tubuh.
o Skrining toksikologi.

Pengujian toksikologi dilakukan untuk mendeteksi apakah pasien memiliki


riwayat penyalahgunaan obat-obatan atau konsumsi minuman beralkohol secara
berlebihan. Pasien juga mungkin diminta untuk mengisi daftar pertanyaan secara
tertulis (psikotes) untuk mengevaluasi kemampuan berpikir, logika, dan mengingat,
serta kebiasaan sehari-hari.

Kriteria Pasien yang Harus Dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa


Rumah sakit jiwa masih memiliki stigma negatif dalam pandangan masyarakat.
Meski sebenarnya, tidak serta merta yang mengalami kelainan jiwa harus masuk ke
tempat rehabilitasi tersebut. Ada beberapa kriteria pasien yang diharuskan menjalani
perawatan di rumah sakit jiwa, yaitu:

 Pasien menunjukkan gejala dan niat melakukan bunuh diri. Termasuk


kecenderungan untuk melukai diri sendiri atau orang lain.
 Pasien dengan gejala psikosis atau gangguan halusinasi.
 Pasien tidak bisa melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik secara mandiri.
 Pasien tidak aman jika dibiarkan tanpa pengawasan ketat.
 Pasien terlantar yang tidak mendapat perawatan di luar rumah sakit. Pasien
gangguan jiwa yang terlantar di masyarakat lazimnya dibantu oleh dinas
sosial setempat.

Meski kriteria di atas menjadi semacam pertanda bahwa penderita gangguan mental
sebaiknya dirawat di rumah sakit jiwa, namun kesediaan secara sukarela dari pasien
bisa menjadi langkah awal yang lebih baik. Di sisi lain, untuk pasien dengan tilikan
yang rendah, maka keputusan untuk merawatnya di rumah sakit jiwa akan
didasarkan pada kepentingan klinis dan persetujuan keluarga. Di sini, dokter
berperan memberi advokasi dan saran terbaik terkait langkah penanganan pasien di
rumah sakit jiwa.
Gangguan jiwa beragam jenisnya, mulai dari yang ringan sampai akut. Keterbukaan
dari pihak keluarga akan membantu dokter ahli kejiwaan (psikiater) dalam
melakukan diagnosis dan menentukan perawatan yang tepat bagi pasien.
Rumah Berdaya Denpasar,
Tempat Rehabilitasi
Gangguan Jiwa Untuk
Kurangi Korban
Pemasungan
Rabu, 24 April 2019 16:46 WIB

Tribunnews.com/Apfia Tioconny Billy


Suasana tempat rehabilitasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bernama Rumah Berdaya Denpasar, Bali,
Selasa (24/4/2019). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Apfia Tioconny Billy


TRIBUNNEWS.COM, BALI — Di Denpasar, Bali, terdapat rumah khusus
yang menampung orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau Orang
dengan Skizofrenia (ODS) yang disebut dengan Rumah Berdaya Denpasar.
Rumah Berdaya Denpsar ini berada di bawah naungan Dinas Sosial
Pemerintahan Kota Denpasar yang bekerja sama dengan Komunitas
Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Bali dan organisasi Ketemu
Project.
Dr. I Gusti Rai Wiguna SpKJ, dokter spesialis kejiwaan yang bertugas
di Rumah Berdaya Denpasar menyebutkan terapi yang diberikan kepada
ODGJ pertama adalah rehabilitasi proses lain penyembuhan masalah
kejiwaan selain dengan obat.
“Banyak orang enggak paham bahwa sebenarnya gangguan jiwa itu bisa
diobati dan selain minum obat juga perlu direhabilitasi,” kata dr. Rai saat
ditemui di Rumah Berdaya di Bali, Rabu (24/4/2019).

Baca: Gatal-gatal Bukan Selalu karena Alergi, Diabetes Bisa Jadi Biang


Keladi

Rumah Berdaya Denpasar ini juga sebagai sarana untuk mengurangi


korban pemasungan akibat gangguan kejiwaan yang masih banyak dilakukan
keluarga pasien.
“Kami bosen lah orang dipasung diberitain sebentar lalu hilang beritanya, tapi
dia masih dipasung juga kami ingin justru kami obati, jadi kami hadir,” papar
dr. Rai.
Kemudian ditempat ini juga pasien dirawat diajarkan kemampuan untuk
pengembangan diri bagi OGHJ seperti pelatihan pembuatan dupa, tas, sablon
baju dan karya seni serta kerajinan lainnya.
Barang-barang hasil karya seni tersebut kemudian ada yang dijual yang
mampu membangkitkan semangat para ODGJ karena mereka mampu
menghasilkan karya dan dihargai oleh orang lain.
“Banyak yang beli barang mereka itu rasa percaya diri mereka muncul,
halusiasi berkurang, makin dekat dengan dunia nyata tidak larut dengan dunia
mereka,” ujar dr. Rai.

Baca: Ani Yudhoyono Idap Kanker Darah, Berikut 5 Gejala Leukemia


yang Sering Disepelekan
Mengenai biaya, dr. Rai menyebut biayanya gratis asalkan keluarga dari
pasien mau bersama-sama dengan Rumah Berdaya Denpasar mendukung
kesembuhan mereka.
Setiap dua minggu Rumah Berdaya mengadakan pertemuan dengan keluarga
pasien untuk mengedukasi keluarga cara merawat mereka, cara memberi
dukungan kepada pasien, sehingga keluarga yang merupakan orang terdekat
dari pasien tidak menjauhi mereka.

Baca: Diabetes dan Hipertensi Picu Kerusakan Ginjal

“Syarat ke sini cuma dua, orang yang alami gangguan kejiwaan dan keluarga
mau nuntun bareng. Kami tidak mau hanya ODGJ-nya saja yang beubah tapi
keluarganya juga,” papar dr. Rai.
Saat ini ada 28 pasien yang reguler datang ke Rumah Berdaya, dan ada 67
orang yang pernah rehabilitasi. Beberapa alumni ada yang bekerja sebagai
tukang ojek online, memiliki usaha sablon, hingga bekerja menjadi staf di
Rumah Bentara.

Membaca Sebagai Terapi


Rehabilitasi Bagi Orang
dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ)
Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi

MENJALANI pendidikan pascasarjana di Taiwan, membuka lebar-lebar


pengalaman, pemahaman, dan memperdalam ketertarikan saya di bidang kesehatan
jiwa. Ini yang saya alami selama menjadi mahasiswa Program Master of Nursing
di Taipei Medical University. Clinical practicum yang saya jalani selama enam
minggu di Taipei Medical University Hospital membuat saya takjub melihat cara
orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) diperlakukan. Bagian paling menarik adalah
adanya terapi membaca.
Setiap pagi dalam enam hari selama seminggu, ODGJ yang sedang menjalani
pengobatan jalan mereka dengan sukarela datang ke Daycare Unit (unit rawat
jalan). Setelah bersama melaksanakan senam pagi, para ODGJ berkumpul di satu
ruangan kerja. Sembari setengah berebut, mereka memilih satu artikel di koran
baru yang terbit hari itu untuk dibaca. Koran itu disediakan oleh perawat ruangan.
Setelah dibaca, setiap orang memiliki tugas untuk menuliskan judul atau topik
artikel tersebut di papan tulis secara berurutan. Kemudian dibacakan dan
dipresentasikan di tengah kelompok terapi tersebut. Sesuai dan dengan tepat
waktu, perawat ruangan datang untuk memulai kegiatan membaca di pagi itu. Satu
persatu artikel dibacakan bergiliran. Setiap satu artikel selesai dibaca, perawat
ruangan dengan tegas dan cekatan membimbing diskusi, mengungkapkan apa yang
menjadi pendapatnya dan menanyakan pendapat masing-masing orang dalam
kelompok terapi itu, sehingga terciptalah diskusi aktif dan menarik.

Meskipun saya hanya dapat memahami dari raut wajah dan emosi yang terlihat saat
masing-masing ODGJ mulai berpendapat mengenai topik yang baru saja
disampaikan oleh anggota kelompok yang lain. Setelah semua artikel selesai
dibaca, perawat mengajak semua yang hadir untuk memberikan applause, lalu
kegiatan itu ditutup dengan ucapan terimakasih untuk setiap orang yang sudah
membacakan berita hari ini.
Disinilah saya merasa takjub. Di Indonesia, selama lima tahun menempuh
pendidikan sarjana keperawatan, saya belum pernah menemukan terapi sederhana
namun sangat bermanfaat ini dilaksanakan baik di rumah sakit jiwa (RSJ) baik
swasta maupun pemerintah, atau di Dinas Sosial yang juga menampung dan
memberikan perawatan dan terapi bagi pasien ODGJ. Tetapi di Taiwan, ODGJ
diperlakukan tidak seperti pasien jiwa kebanyakan yang di kucilkan, dianggap
tidak tahu menahu, keterbelakangan dan terkungkung dalam pikirannya sendiri.

Tujuan dari terapi rehabilitasi bagi pasien jiwa adalah membantu individu dengan
kondisi disableduntuk mengembangkan kemampuan emosi, sosial dan intelektual
untuk hidup, belajar dan bekerja kembali di kehidupan normal bermasyarakat
dengan bantuan beberapa tenaga professional kesehatan.
Ada dua prinsip strategis dalam pelaksanaan terapi rehabilitasi, antara
lain individual-centered therapy yang bertujuan mengembangkan kemampuan
pasien dengan cara meningkatkan interaksi dengan situasi
yang stressful (mengancam). Strategi yang kedua adalah menyediakan sebuah
lingkungan yang aman dan mengurangi stressor potensial yang dapat memicu
kembali kondisi ketidakstabilan jiwa.
Membaca koran dan mendiskusikannya, menjadi sebuah terapi rehabilitatif yang
efektif dan efisien serta sesuai dengan tujuan terapi rehabilitasi bagi pasien dengan
gangguan jiwa. Tidak perlu memakan waktu lama untuk menyiapkan ide terapi
atau mengerjakan proposal terapi, informasi terbaru dan bahan diskusi dapat
dengan mudah di dapat melalui koran, perawat sebagai leadermemberikan tugas
untuk membaca dan menuliskan topik bacaan di papan tulis, kemudian cukup
mendengarkan dan memberikan feedback, serta menciptakan diskusi aktif di
tengah kelompok terapi.
Secara tidak langsung pasien diajak berfikir, dituntut berani berbicara dan
presentasi di tengah kelompok. Kegiatan mengutarakan pendapat dan diskusi aktif
sebagai bentuk pengembalian kepercayaan diri, komentar yang keluar dari setiap
orang dalam kelompok terapi ini, baik positif maupun negatif memberikan makna.
Berita hangat yang disampaikan pun membantu pasien untuk merasakan aktualisasi
diri, termasuk sebagai bentuk latihan dan adaptasi dengan kehidupan normal yang
harus dijalani pasien ODGJ ketika kembali bermasyarakat dan bertemu dengan
keluarganya.

Melalui kegiatan rutin membaca ini pula perawat mampu melaksanakan evaluasi
terhadap kemampuan mengontrol emosi, interaksi sosial antar-pasien, dan
kemampuan intelektual dalam menyampaikan kembali topik berita. Akan tersaring
pula siapa saja pasien yang potensial untuk diberikan terapi rehabilitasi tahap lanjut
dan dinilai sanggup dipekerjakan sebagai pegawai rumah sakit (beberapa dari
pasien bahkan menjadi sekretaris asisten perawat, membantu administrasi dan
diberikan pekerjaan sebagai tenaga pembantu harian di rumah sakit,
sebagai volunteer).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kegiatan membaca menjadi salah satu
alternatif solusi terapi rehabilitasi bagi ODGJ yang bermanfaat, berpotensi
mengurangi beban negara dalam pembiayaan perawatan dan pengobatan pasien
jiwa, serta menunggu untuk diaplikasikan di Indonesia. (*)
Program Kesehatan Jiwa Berbasis
Masyarakat
Program kesehatan jiwa berbasis masyarakat adalah salah satu program rintisan
Pusat Rehabilitasi YAKKUM yang berlangsung selama 4 tahun dan ditujukan bagi
Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berada di 3 wilayah yaitu:

 Puskesmas Godean 1, Sleman


 Puskesmas Temon 1, Kulon Progo
 Puskesmas Wonosari 1, Gunungkidul

Program ini diinisiasi untuk memberikan pendampingan kepada ODGJ agar dapat
meningkatkan kualitas hidup mereka dan agar mereka terintegrasi dalam sistem di
masyarakat.

Layanan yang kami berikan


Program kesehatan jiwa berbasis masyarakat ini berawal dari masih tingginya
stigma negatif yang ditujukan kepada ODGJ dari masyarakat. Selain itu, banyak
ODGJ yang belum memiliki kepatuhan dalam mengkonsumsi obat secara rutin.
Mereja pun masih belum mengakses fasilitasi kesehatan setempat (Puskesmas)
karena belum adanya sistem rujukan yang efektif untuk kasus kesehatan jiwa di
dalam masyarakat. Peningkatan kualitas hidup ODGJ juga semakin sulit dilakukan
karena masih rendahnya pengetahuan ODGJ, keluarga dan masyarakat mengenai
isu kesehatan jiwa. Antar stakeholder pun belum ada koordinasi dalam penanganan
kasus gangguan jiwa.

Melalui program kesehatan jiwa berbasis masyarakat, kami berusaha untuk


mencapai tujuan-tujuan berikut ini:

 Mengingkatnya kualitas hidup ODGJ


 Terwujudnya masyarakat yang berkontribusi secara pro-aktif kepada berbagai usaha
kesehatan jiwa berbasis masyarakat yang menyeluruh dan berbasis hak asasi

Secara umum, kami melakukan pendampingan kepada ODGJ dan keluarganya,


masyarakat dan pemerintah terkait melalui:

 Kunjungan rumah
 Terapi Aktivitas Kelompok bagi ODGJ
 Support Help Group atau kelompok swabantu bagi keluarga atau pendamping ODGJ
 Pendampingan kepada ODGJ untuk mengakses layanan kesehatan, meningkatkan
keterampilan dan aktivitas produktif
 Edukasi kepada keluarga atau pendamping ODGJ mengenai kesehatan jiwa
 Sosialisasi isu kesehatan jiwa kepada masyarakat
 Peningkatan kapasitas kader kesehatan jiwa dan petugas kesehatan di Puskesmas
 Pembentukan sistem untuk pemberian layanan kepada ODGJ dari beberapa stakeholder
terkait

Bagaimana program ini membantu penyandang disabilitas?


Program ini berpedoman pada Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama pada Pasal 19 - Hidup mandiri dan
termasuk dalam masyarakatyang menekankan pada “Hidup secara mandiri dan
diikutsertakan di dalam masyarakat.”
Melalui program ini, kami membantu penyandang disabilitas melalui
pendampingan individu kepada ODGJ agar dapat mengakses fasilitas medis secara
mandiri, memiliki kepatuhan minum obat dan memiliki kegiatan produktif.
Pendampingan ini dapat membantu pemulihan ODGJ dan meningkatkan kualitas
hidup mereka. Kami juga membantu dalam peningkatan kapasitas keluarga, kader
dan petugas Puskesmas di dalam mendampingi ODGJ. Melalui koordinasi antar
stakeholder terkait, kami juga membantu dalam menyediakan layanan-layanan
terintegrasi untuk ODGJ.

Yang telah dicapai


Hingga akhir tahun 2017 ini, kami telah mendampingi 103 ODGJ dan keluarganya
yang tersebar di 3 wilayah dampingan. Kami juga telah memberikan
pendampingan berupa pelatihan-pelatihan, koordinasi rutin ataupun kerjasama
dengan 219 pekerja sosial & petugas medis (termasuk dokter dan perawat), 56
pegawai pemerintah dan 9 pegawai non-pemerintah.

Kontak kami
Kontak kami bila Anda ingin mengetahui lebih lanjut mengenai program kesehatan
jiwa berbasis masyarakat di wilayah Gunungkidul, Kulon Progo dan Sleman.
Kontak kami melalui:

Telepon: (0274) 895386
Email: support@pryakkum.org.au
Facebook, Twitter, Instagram: @PRYAKKUM
STOP STIGMA DAN DISKRIMINASI TERHADAP ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA (ODGJ)
DIPUBLIKASIKAN PADA : JUMAT, 10 OKTOBER 2014 07:40:00, DIBACA : 120.222 KALIJakarta, 10 Oktober 2014

Menteri  Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, merasa prihatin saat mendengar berbagai
stigmatisasi dan diskriminasi yang masih sering  dialami oleh anggota masyarakat yang dinilai berbeda
dengan masyarakat pada umumnya, termasuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), antara lain
dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga ditelantarkan
oleh keluarga, bahkan dipasung, serta dirampas harta bendanya.

Untuk itu, Menkes mengajak seluruh jajaran kesehatan untuk segera dapat melaksanakan Empat Seruan
Nasional Stop Stigma dan Diskriminasi terhadap ODGJ, yaitu: 1) Tidak melakukan stigmatisasi dan
diskriminasi kepada siapapun juga dalam pelayanan kesehatan; 2) Tidak melakukan penolakan atau
menunjukkan keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ODGJ; 3) Senantiasa
memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi
maupun reintegrasi ke masyarakat pasca perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial; serta 4)
Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan,
mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, meminimalisasi faktor risiko masalah kesehatan
jiwa, serta mencegah timbulnya dampak psikososial.

Untuk menyikapi masalah kesehatan jiwa di Indonesia, Pemerintah dan masyarakat telah melakukan
upaya-upaya, antara lain: 1) Menerapkan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi,
dan berkesinambungan di masyarakat; 2) Menyediakan sarana, prasarana, dan sumberdaya yang
diperlukan untuk pelayanan kesehatan jiwa di seluruh wilayah Indonesia, termasuk obat, alat kesehatan,
dan tenaga kesehatan dan non-kesehatan terlatih; 3) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan upaya
preventif dan promotif serta deteksi dini gangguan jiwa dan melakukan upaya rehabilitasi serta reintegrasi
OGDJ ke masyarakat.

Disamping itu, upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah Pemberdayaan ODGJ, yang bertujuan agar
dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di tengah masyarakat, bebas dari stigma, diskriminasi atau
rasa takut, malu serta ragu-ragu. Upaya ini sangat ditentukan oleh kepedulian keluarga dan masyarakat di
sekitarnya, kata Menkes.

Berkaitan dengan hal tersebut, Menkes mengharapkan agar seluruh jajaran Pemerintah dan lapisan
masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, orbanisasi
profesi, dan dunia usaha dan swasta, dapat mendukung upaya Pemerintah dalam memberikan pelayanan
kesehatan jiwa terbaik kepada Masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap siapa pun juga harus
dihapuskan dari bumi Indonesia karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan berdampak pada
munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, dan keamanan di masyarakat, tandas Menkes.

Undang-Undang No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa

Komitmen dalam pemberdayaan ODGJ diperkuat dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 18 tahun
2014 tentang Kesehatan Jiwa yang baru saja disahkan pada 8 Agustus 2014 lalu. Undang-Undang Nomor
18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai
kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Secara garis besar, Undang-undang tersebut mengamanatkan tentang: 1) Perlunya peran serta masyarakat
dalam melindungi dan memberdayakan ODGJ dalam bentuk bantuan berupa: tenaga, dana, fasilitas,
pengobatan bagi ODGJ; 2) Perlindungan terhadap tindakan kekerasan, menciptakan lingkungan yang
kondusif, memberikan pelatihan keterampilan; dan 3) Mengawasi penyelenggaran pelayanan di fasilitas
yang melayani ODGJ.

Masalah Kesehatan Jiwa di Indonesia

Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat penting dan
harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah baik di tingkat
Pusat maupun Daerah, serta perhatian dari seluruh masyarakat.

Beban penyakit atau burden of disease penyakit jiwa di Tanah Air masih cukup besar. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional
yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke
atas  atau  sekitar 14 juta orang.  Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah
1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.

Berdasarkan jumlah tersebut, ternyata 14,3% di antaranya atau sekira 57.000 orang pernah atau sedang
dipasung. Angka pemasungan di pedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan
dengan angka di perkotaan, yaitu  sebesar 10,7%.

Penanganan Gangguan Jiwa


yang Harus Anda Tahu
 

Bagikan
Photo Source: petras gagilas
DokterSehat.Com – Penyakit mental dapat menyebabkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, tidak hanya dapat merusak hubungan dengan orang
lain, hal itu juga bisa mengganggu produktivitas sehari-hari.

Meski bukan penyebab utama kematian, menurut dr. Vijay Chandra


dari Health and Behaviour Advisor WHO wilayah Asia Tenggara (WHO-
SEARO), gangguan jiwa merupakan penyebab utama disabilitas
(ketidakmampuan, cacat) pada kelompok usia paling produktif yakni antara
15-44 tahun.

Apa saja yang perlu dilakukan dan bagaimana cara


menyembuhkan sakit jiwa?

Keluarga mana pun tidak tega sanak saudaranya menderita gangguan jiwa.
Di mana dampak sosialnya sangat serius berupa penolakan, pengucilan dan
diskriminasi.

Begitu pula dampak ekonomi yang ditimbulkan berupa hilangnya


produktivitas untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang
harus merawat serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung
keluarga maupun masyarakat.

BACA JUGA: MACAM-MACAM
PENYAKIT GANGGUAN JIWA YANG
ANEH
Oleh karena itu, memerlukan penanganan sedini mungkin agar gejala-gejala
yang ditimbulkan tidak berkembang menjadi gangguan jiwa yang kronis.

Penderita gangguan jiwa, baik skizofrenia maupun psikosis sebenarnya


masih dapat ditolong. Syaratnya pengobatannya baik dan tidak terlambat.
Kalau syarat itu dipenuhi 25 persen penderita skizofrenia bisa disembuhkan.

Memang bukan berarti sembuh total, karena kepekaan untuk terganggu lagi
pada penderita skizofrenia lebih besar daripada orang normal. Tetapi,
gangguan psikosis yang disebabkan oleh kelainan anatomi otak sembuh total
karena sebagian besar bersifat sementara.

Gejala-gejala awal orang yang menderita psikosis sangat banyak wujudnya


tidak menyangkut kondisi fisik, bisa berupa perasaan curiga, depresi, cemas,
suasana perasaan yang mudah berubah, tegang, cepat tersinggung, atau
marah tanpa alasan yang jelas.

Bisa juga gangguan kognitif seperti timbul pikiran aneh, merasa


mengambang, sulit konsentrasi atau menurunnya daya ingat. Gangguan pola
tidur, perubahan nafsu makan, keluhan badan yang tidak jelas dasarnya,
kehilangan tenaga atau dorongan kehendak antara lain gejala-gejala yang
perlu diwaspadai.

Menurut Prof. dr. Sasanto Wibisono, SpKJ (K) dari Perhimpuan Dokter


Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), bila gejala itu sudah
diidentifikasi, salah satu titik penting untuk memulai pengobatan adalah
keberanian keluarga untuk menerima kenyataan.
Mereka juga harus menyadari bahwa gangguan jiwa memerlukan
pengobatan sehingga tidak perlu dihubungkan kepercayaan yang macam-
macam. Terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat
dan rehabilitasi medik, namun diperlukan peran keluarga dan masyarakat
dibutuhkan guna resosialisasi dan pencegahan kekambuhan.

Berikut ini adalah beberapa pengobatan gangguan jiwa yang bisa dilakukan,
di antaranya:

1. Psikofarmakologi

Penanganan penderita gangguan jiwa dengan cara ini adalah


dengan memberikan terapi obat-obatan yang akan ditujukan pada
gangguan fungsi neuro-transmitter sehingga gejala-gejala klinis tadi
dapat dihilangkan. Terapi penyembuhan sakit jiwa ini diberikan
dalam jangka waktu relatif lama, bisa berbulan-bulan hingga
memakan waktu bertahun-tahun.

2. Psikoterapi

Terapi gangguan jiwa yang harus diberikan apabila penderita telah


diberikan terapi psikofarmaka dan telah mencapai tahapan di mana
kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman
diri sudah baik.

Psikoterapi ini bermacam-macam bentuknya antara lain psikoterapi


suportif dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan
motivasi agar penderita tidak merasa putus asa.

Psikoterapi re-eduktif dimaksudkan untuk memberikan pendidikan


ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu
lalu. Sedangkan psikoterapi rekonstruktif dimaksudkan untuk
memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami keretakan
menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit.
Sementara psikologi kognitif, dimaksudkan untuk memulihkan
kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga
penderita mampu membedakan nilai- nilai moral etika.

Psikoterapi perilaku dimaksudkan untuk memulihkan gangguan


perilaku yang terganggu menjadi perilaku yang mampu
menyesuaikan diri, psikoterapi keluarga dimaksudkan untuk
memulihkan penderita dan keluarganya (Maramis, 1990)

3. Terapi psikososial

Terapi penyembuhan sakit jiwa ini dimaksudkan agar penderita


mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dan
mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang
lain sehingga tidak menjadi beban keluarga. Penderita selama
menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap
mengonsumsi obat psikofarmaka (Hawari, 2007).

4. Terapi psikoreligius

Terapi gangguan jiwa lainnya adalah terapi keagamaan. Terapi ini


berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa,
mamanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, mendengar ceramah
keagamaan, atau kajian kitab suci. Serangkaian penelitian terhadap
pasien pasca epilepsi menemukan bahwa, sebagian besar
mengungkapkan pengalaman spiritualnya dengan menemukan
kebenaran tertinggi karena merasa berdekatan dengan cahaya Ilahi.

BACA JUGA: KENALI GEJALA


GANGGUAN JIWA MANUSIA DI
SEKITAR ANDA
5. Rehabilitasi
Penyembuhan sakit jiwa yang paling banyak dilakukan adalah
program rehabilitasi. Hal ini penting dilakukan sebagi persiapan
penempatan kembali ke keluarga dan masyarakat. Program ini
biasanya dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi.

Dalam program rehabilitasi dilakukan berbagai kegiatan antara lain;


dengan terapi kelompok yang bertujuan membebaskan penderita
dari stres dan dapat membantu agar dapat mengerti sebab dari
kesukaran serta membantu terbentuknya mekanisme pembelaan
yang lebih baik dan dapat diterima oleh keluarga/masyarakat.

Selain itu, menjalankan ibadah keagamaan bersama, kegiatan


kesenian, terapi fisik berupa olahraga, keterampilan, berbagai
macam kursus, bercocok tanam, dan rekreasi (Maramis, 1990).

Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6


bulan. Secara berkala dilakukan evaluasi paling sedikit dua kali
yaitu evaluasi sebelum penderita mengikuti program rehabilitasi dan
evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga dan
ke masyarakat (Hawari, 2007).

Selain itu, peran keluarga adalah sesuatu yang penting dalam


penyembuhan sakit jiwa ini. Keluarga adalah orang-orang yang
sangat dekat dengan pasien dan dianggap paling banyak tahu
kondisi pasien serta dianggap paling banyak memberi pengaruh
pada pasien.

Anda mungkin juga menyukai