Anda di halaman 1dari 8

Busana Tradisional Aceh

Peta budaya Aceh Barat adalah wilayah pesisir bagian barat propinsi Aceh yang dewasa
ini meliputi 2 kabupaten luas yakni Aceh Barat dan Aceh Selatan. Dua kota yang
berkembang di daerah tersebut adalah Tapaktuan, ibukota Aceh Selatan dan Meulaboh
ibukota Aceh Barat. Meulaboh, dimasa lalu menjadi bandar yang cukup ramai didatangi
oleh para niagawan manca negara. Mereka membawa serta aneka keterampilan serta
kebiasaan yang memperkaya budaya setempat sehingga tampil sebagaimana dewasa ini
dikenal dengan gaya Aceh Barat. Oleh karena itu masyarakat Aceh Barat (dan Selatan)
memiliki ciri tersendiri dalam ungkapan budayanya dibandingkan dengan kawasan Aceh
lainnya. Sementara itu produk-produk asli yang merupakan bagian utama dari ungkapan
budaya masyarakat tampak pada ukiran kayu, pembuatan senjata tajam, seni kerajinan
sulam benang emas, sulam perca dan tenunan sutra.

Pakaian upacara adat gaya Aceh Besar dengan tata warna dan corak-corak sulaman
benang emas yang khas. Sulaman khusus pada latar hitam untuk baje meukasah (jas),
sarung songket pinggang pria (ija lamgugap) dan wanita (ija pinggang).

Meulaboh dan daerah-daerah sekitarnya seperti Bubon dan Lamnau merupakan pusat-
pusat kerajinan sulaman yang amat terkemuka untuk baju adat perkawinan dan terkenal
dengan sebutan bajee cop meulaboh.

Detail kopiah mukeutop Aceh Besar dan pinggir krah boy meukasah yang dihiasi dengan
corak sulaman emas. Detail hiasan-hiasan dada, pinggang dan tangan pada busana
wanita, upacara adat Aceh Besar yang terdiri atas kaluny bahru (leher). taloesusun Ihee
(dada) dan taloe keuing (pinggang). Pergelangan tangan dihias oleh yleung pucok
reubany (gelang pucuk rebung).

Sebagaimana dengan daerah-daerah Aceh lainnya, masyarakat serta adat Aceh Barat
berangkat dari ketaatan yang kuat pada agama Islam. Peranan agama Islam membentuk
kebudayaan Aceh Barat sebagai kebudayaan Islam ditengah-tengah perbaurannya dengan
pengaruh-pengaruh luar dan pada gilirannya menjadi agama dan budaya semua kelompok
yang ada disitu.

Jenis-jenis pakaian adat Aceh Barat


Pada masa larnpau pelapisan status sosial yang ada di masyarakat menyebabkan busana-
busana adat Aceh Barat tampil dalam beberapa variasi yaitu pakaian :

1. Ulee Balang untuk raja beserta keluarganya


2. Ulee Balang Cut dan Ulama
3. Patut-patut (pejabat negara), tokoh masyarakat clan cerdik pandai
4. Rakyat jelata

Dimasa kini walaupun masih ada aspresiasi dari masyarakat , khususnya terhadap para
pemegang gelar kebangsawanan atau jabatan masa lalu, pelapisan sosial berikut-
tatabusananya sudah amat jarang ditemui. Busana yang menonjol dewasa ini adalah yang
dikenakan pada upacara adat perkawinan, khususnya akibat munculnya kembali apresiasi
terhadap budaya ash daerah akhirÂakhir ini.

Busana adat perkawinan - Linto Baro


Linto Baro, mempelai pria mengenakan perangkat busana yang pada hakekatnya
terdiri.dari tutup kepala, baju, celana, kain sarung,Âsenjata, sepatu clan hiasan-hiasan
aksesoris lain.
Linto dan Dara baro didampingi kedua orang tua Dara baro dalam busana upacara adat
perkawinan Aceh Barat. Orang tua Dara baro menggunakan pakaian adat dalam versi
Melayu. Pria memakai kopiah dan menyandang rencong, wanita mengenakan baju kurung
dengan selendang dan sarung songket. Sumber : Kel. AD Pirous. Bandung.

Tutup kepala adalah meukutop dililit oleh tengkulok clan tompok dari emas. Tangkulok
terbuat dari kain tenunan, sedangkan tampok (tampuk) berupa hiasan berbentuk binatang
persegi 8, bertingkat clan terbuat dari logam mulia atau sepuhannya.

Baju, atau dalam bahasa daerah baje, berupa jas terbuka berkancing dua, disebut baje kot
dengan hiasan-hiasan kecemasan pada krah yakni sulu bayung. Disaku baju disematkan
rantai emas berujung arloji. Dibagian dalam baju dikenakan kemeja tangan panjang
berwarna putih. Gaya baje lainnya adalah berbentuk jas tutup berkancing lima. Hiasan
sulu bayung tersemat di dada membentuk huruf v, lengkap dengan rantai arloji. Gaya
baje ini tidak berbaju dalam putih sebagaimana pada baje jas terbuka.

Linto baro. mempelai pria dalam busana adat perkawinan Aceh Barat. mengenakan gaya
jas tutup berkancing lima. Selain gaya ini terdapat pula gaya jas terbuka berkancing dua
disebut baje kot.
Sumber : Kel. AD Pirous, Bandung.
Celana dalam bahasa daerah disebut siluweue, berbentuk runcing kebawah, terbuat dari
kain wol serupa dengan baju (jas). Sarung, istilah daerahnya adalah ija krong, terbuat dari
sutera dalam teknik songket, umumnya dengan warna dasar gelap.
Senjata yang disandang adalah rencong atau siwah berkepala emas atau perak yang
berukir clan bertahtakan permata.

Sepatu, berwarna hitam sedangkan aneka aksesoris terbuat dari emas antara lain talo
takue, sejenis kalung pada leher.

Perhiasan pada bagian kepala meliputi sunting-Âsunting keemasan yang amat dekoratif
clan terdiri atas berbagai bentuk flora yang disebut culok. Culok Dara Baro, mempelai
wanita, memakai perangkat busana yang lebih rumit dari mempelai pria, mulai dari
berbagai perhiasan kepala, baju, celana, kain sarung, selendang, tali pinggang serta
aksesorisÂaksesoris lainnya pada leher dan jari ini memiliki namanya masing-masing
seperti culok ok bungong, got-got, bungong sunting clan sisir. Selain itu ada juga hiasan
bunga-bungaan asli, bungong pekan, seperti bungan jeumpa, bungong seulango clan
sebagainya. Pada telinga terpasang subangÂsubang besar yang bertatahkan permata
subang meukundam walaupun dewasa ini sudah amat jarang dipakai dan diganti dengan
kerabu.

Dahi dihiasi phatam doi, berbentuk mahkota melingkar dari kiri kekanan terbuat dari
emas berukir.
Baju terbuat dari kain bermutu, biasanya sutera, berlengan panjang dalam pilihan warna
kuning, merah, hijau atau lembayung. Warna kuning biasanya dikenakan oleh keturunan
bangsawan. Kancing baju terbuat dari emas atau perak, terletak pada lengan clan bagian
dada. Kalung tergantung pada leher yaitu talo taku boh aron, talo gulee clan lain-lainnya,
terbuat dari emas. Selain itu terdapat pula simplah,sejenis perhiasan
Dara baro, mempelai wanita dalam busana adat perkawinan Aceh Barat. Aneka perhiasan
emas di kepala, dada, tangan dan pinggang mengungkapkan pengaruh-pengaruh asing
yang ikut memperkaya budaya lokal seperti pengaruh Minangkabau, India, Arab dan
Cina. Sumber : Kel. AD Pirous, Bandung.

berbentuk bintang yang terangkai oleh rantai dan digantung pada kedua pundak dalam
posisi tersilang didada dan kebelakang. Celana terbuat dari sutera, berwarna hitam atau
lembayung tidak serupa dengan warna baju. Istilah Aceh Barat untuk celana ini adalah
siluweue meutunyong, berbentuk lurus dengan sulaman terbuat dari kain berwarna
merah.

Kain sarung yang dipakai ada kain ija plang dan ija lunggi, yang dililit di luar baju dari
pinggang sampai sejengkal di atas ujung celana sehingga hiasan pada celana masih
tampak. Tali pinggang, sebagai pengikat kain sarung disebut talo kiing mue ulee terbuat
dari emas atau perak.

Hiasan pada lengan dan dahi adalah gelang meupeuta, pucok, puta awe, berbentuk bulat,
dari emas, perak atau suasa. Sedang jari-jemari tangan dihiasi cincin emas berbagai jenis
bertatahkan intan berlian.

BUSANA ADAT GAYO

Wilayah "asal" sukubangsa Gayo terletak di bagian tengah daerah propinsi Daerah
Istimewa Aceh. Mereka pendukung suatu kebudayaan yakni kebudayaan Gayo.
Kebudayaan ini masih bisa dilihat dalam tiga variasi, yakni variasi kebudayaan Gayo Lut,
Gayo Deret (Gayo Luwes), dan Gayo Serbejadi. Dewasa ini jumlah keseluruhan
pendukung kebudayaan ini diperkirakan sekitar 300 ribu jiwa.

Di masa silam orang Gayo pernah mengenal bahasan busana dari kulit kayu nanit, hasil
tenunan sendiri dari bahan kapas, dan bahan kain yang didatangkan dari luar daerah
Gayo. Periode pemakaian nanit sudah jauh dari ingatan orang sekarang, yang konon
dipakai pada masa-masa sulit di zaman kolonial Belanda atau masa sebelumnya.
Kegiatan bertenun pun sudah lama tak tampak dalam kehidupan mereka, kecuali pada
masa pendudukan balatentara Jepang di mana kehidupan serba sulit. Busana yang
diperkenalkan di sini dibatasi pada busana sub kelompok Gayo Lut yang berdiam di
Kabupaten Aceh Tengah. Uraian tentang busana atau pakaian ini termasuk unsur
perhiasan atau assesorisnya yang dikenakan dalam rangka upacara perkawinan, karena di
luar upacara itu tidak tampak . adanya ciri busana khas Gayo, lebih-lebih pada zaman
masa belakangan ini.

Unsur-unsur pakaian pengantin wanita adalah baju, kain sarung pawak, dan ikat pinggang
ketawak. Unsur-unsur perhiasan adalah mahkota sunting, sanggul sempol gampang,
cemara, lelayang yang menggantung di bawah sanggul, ilung-ilung, anting-anting subang
gener clan subang ilang, yang semuanya itu ada di seputar kepala. Di bagian leher
tergantung kalung tangang terbuat dari perak atau uang perak tangang ringit dan tangang
birah-mani; clan belgong yang merupakan untaian manik-manik. Kedua lengan sampai
ujung jari dihiasi dengan bermacam-macam gelang seperti ikel, gelang iok, gelang puntu,
gelang berapit, gelang bulet, gelang beramur, topong, dan beberapa macam cincin sensim
belah keramil, sensim genta, sensim patah paku, sensim belilit, sensim keselan, sensim ku
I. Bagian pinggang selain ikat pinggang dari kain ketawak, masih ada tali pinggang
berupa rantai genit rante; clan di bagian pergelangan kaki ada gelang kaki. Unsur busana
lain yang sangat penting adalah upuh ulen-ulen selendang dengan ukuran relatif lebar.

Berbagai gaya sulaman pada baju lengan pendek gaya Gayo. Umumnya baju seperti ini
dikenakan oleh anak-anak wanita atau pria.
Busana adat perkawinan Gayo, Aceh Tenggara, mengetengahkan kekayaan teknik
sulaman benang warna putih, merah, kuning dan hijau. Pakaian pria dikenal dengan
sebutan baju Aman mayak, pakaian wanita disebut Ineun mayak.

Pengantin pria mengenakan bulang pengkah, yang sekaligus berfungsi tempat


menancapkan sunting. Unsur lain adalah baju putih, tangang, untaian gelang pada lengan,
cincin, kain sarung, genit rante, celana, ponok yakni semacam keris yang diselipkan di
pinggang.

Sanggul sempol gampang dengan bentuk tertentu sempol gampang bulet dipakai pada
saat akad nikah, dan ada bentuk lain sempol gampang kemang yang dipakai selama 10
hari setelah akad nikah. Sunting yang semacam mahkota itu merupakan susunan perca
kertas minyak warna-warni sebagai simbol kebesaran atau keanggunan. Baju pria dan
wanita clan celana pria biasanya berwarna hitam. Sedangkan kain sarung adalah
semacam songket yang disebut upuh kerung bakasap.
Unsur pakaian yang diberi hiasan adalah upuh ulen-ulen, baju wanita baju kerawang, clan
ketawak. Motif-motif hiasan yang selalu muncul pada ketiga unsur pakaian ini adalah:
mun berangkat atau mun beriring (awan berarak), pucuk rebung (pucuk rebung), puter
tali (pilin berganda), peger (pagar), matan lo (matahari), Wen (bulan). Motif mun
berangkat merupakan simbol kesatuan atau kesepakatan; pucuk rebung bermakna ikatan
yang teguh; puter tali bermakna kerukunan atau saling tenggang; peger bermakna
ketahanan clan ketertiban; matan lo dan ulen adalah kekuatan yang menyinari alam
semesta termasuk manusia itu sendiri.

Motif-motif di atas dijahitkan dengan benang berwarna putih, merah, kuning, dan hijau
pada latar warna hitam pada selendang upuh ulen-ulen. Kecuali motif matahari clan
bulan, motif-motif lainnya dituangkan pula pada baju wanita dengan latar hitam. Motif
pada stagen ketawak berlatar kain warna merah muda atau merah bata. Belakangan latar
kain tempat menuangkan motif tadi menjadi sangat bervariasi, tergantung pada selera
penjahitnya, misalnya biru, kuning, merah, coklat clan lain-lain. Unsur pakaian itu bukan
lagi untuk suatu upacara adat seperti perkawinan, tetapi dipakai dalam upacara yang
bersifat resmi lainnya. Perkembangan ini ada kecenderungan sebagai memperkuat
identitas atau kebanggaan etnik. Pakaian semacam itu dipakai para pejabat dalam
menerima tamu terhormat yang datang dari luar daerah, misalnya menteri. Tamu
terhormat itu pun disambut penari yang menggunakan "baju adat" baju ketawang dengan
berselimut upuh ulen-ulen tadi. Biasanya tamu terhormat atau tamu - agung itu
diselimutkan pula dengan kain adat upuh ulen-ulen berkualitas terbaik. Pemberian ini
sebagai simbol rasa hormat yang tinggi sekaligus sebagai ungkapan penerimaan yang
ikhlas dari masyarakat.

Pada masa yang lebih akhir ini industri kerajinan kain bernuansa adat ini digalakkan oleh
pemerintah setempat clan berkembang menjadi industri kerajinan rumah tangga. Motif-
motif tadi tidak hanya dituangkan pada busana, tetapi sudah muncul pada kopiah, tas,
dompet, taplak meja, bantalan kursi, clan lain-lain. Perkembangan ini dirasakan semakin
memantapkan identitas budaya.

Hasil-hasil kerajinan yang muncul dalam berbagai item tadi, yang dikenal dengan
kerawang Gayo kebetulan mendapat perhatian pada di luar Gayo. Hal itu menyebabkan
tumbuhnya industri "Kerawang Gayo" di luar daerah Gayo, misalnya di Banda Aceh,
Medan, Jakarta dan hasilnya muncul di berbagai toko cenderamata di berbagai kota di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai