Anda di halaman 1dari 18

Sapei Sapaq dan Miskat : Pakaian Adat Kalimantan Timur yang Paling Populer

Kalimantan Timur mempunyai beberapa suku, yang masing-masing


suku tersebut mempunyai pakaian adat tersendiri.

Oleh karena itu tidak mungkin mengambil pakaian semua pakaian adat
tersebut untuk dijadikan ciri khas Kalimantan Timur.

Maka diambillah pakaian adat  yang berasal dari dua suku terbesar di


Kalimantan Timur, yaitu suku Dayak dan suku Kutai.

Pakaian adat tersebut adalah Sapei Sapaq (diambil dari suku Dayak),
dan Miskat (diambil dari suku Kutai)

Walaupun demikian artikel ini tidak hanya membahas pakaian adat


kedua suku terbesar tersebut, tetapi juga membahas pakaian adat dari
suku lain yang mendiami Kalimantan Timur.

A.  Pakaian Adat Suku Dayak

Suku dayak memakai pakaian yang bernama Ta’a (untuk


perempuan) dan Sapei Sapaq (untuk laki-laki)
Ta’a tersusun dari beberapa kelengkapan yaitu :

1)   Baju rok sebatas lutut bernama ta’a

2)   Atasan bernama sapei inoq

3)   Da’a (ikat kepala yang terbuat dari kain atau daun pandan)dengan


hiasan bulu burung

4)   Gelang yang terbuat dari pintalan benang yang dipercaya sebagai


penolak bala.

Baik itu baju atasan, bawahan, maupun penutup kepala, semuanya


akan dihiasi dengan uleng (hiasan motif khusus).

Motif harimau dan burung enggang untuk para bangsawan, dan motif
tumbuhan untuk masyarakat biasa.
Sapei Sapaq mempunyai motif yang sama dengan baju Ta’a.

Hanya saja pada bawahannya celana pendek yang bernama Abeq


Kaboq.

Selain itu, pria suku dayak juga memakai perisai dan mandau sebagai
sarana dalam perlindungan diri.
B.  Pakaian Adat Suku Kutai

Suku Kutai memakai pakaian adat yang bernama baju Miskat.

Model baju miskat nampak seperti baju Cina, yakni atasan berupa baju
kurung, bawahan panjang, dan kain batik dipinggang.

Baju ini sekarang telah ditetapkan sebagai seragam bagi para PNS di
Provinsi Kalimantan Timur dan dipakai pada hari-hari tertentu.

Suku Kutai mengenal dua macam pakaian pengantin,


yaitu bajutakwo dan baju kustim

Sepasang pengantin biasanya mengenakan baju takwo ketika akad


nikah dan berbaju kustim pada saat perayaan pernikahan.

Baju Takwo

Dahulu baju takwo adalah pakaian kaum bangsawan atau para penari


saat mengikuti upacara adat. 
Sekarang masyarakat umumpun dapat mengenakan baju takwo sebagai
baju pengantin. 

Baju takwo dipakai oleh mempelai perempuan.

Baju ini mirip jas tutup, tetapi berleher tinggi.

Di bagian depannya ditambah sepotong kain yang disebut jelapah.

Jelapah ini menutup bagian tengah dada dibagian bawah leher hingga
pinggul.

Di bagian pinggir kiri dan kanan jelapah ditambahkan lima pasang


kancing, sedangkan pada bagian lehernya dipasang dua buah kancing. 

Baju takwo dibuat dari kain katun, linen, atau beludru.

Baju takwo dipadukan dengan kain panjang bermotif parang rusak yang
sisinya diberi ornamen berupa rumbai-rumbai keemasan.

Kain panjang tersebut dipakai hingga mata kaki dan dibebatkan


sedemikian rupa sehingga sisi kain yang berumbai berlipat-lipat di
bagian depan.

Rambut mempelai wanita yang berbentuk gelungsiput dihiasi gerak


gempa (kembang goyang).

Hiasan gerak gempa tersebut berwujud bunga melati yang terbuat dari
emas atau perak bersepuh emas.

Selop atau alas kaki yang digunakan biasanya berwarna hitam atau
cokelat.

Mempelai pria juga memakai baju takwo dan celana panjang.

Kain panjangnya bermotif sama dengan mempelai wanita yang


berfungsi sebagai dodot.

Kain panjang tersebut dibebatkan seputar pinggang, bagian depannya


hanya sebatas lutut.
Bagian sisinya yang berumbai menjuntai dari bagian belakang hingga ke
mata kaki.

Sentorong dipakai sebagai hiasan kepala. Sentorong adalah sejenis


peci atau kopiah berbentuk bundar setinggi 15 cm dan terbuat dari kain
beludru hitam.

Untuk kelengkapannya, mempelai pria memakai selop berwarna cokelat


atau hitam.

Baju Kustim

Nama kustim berasal dari kata kostum yang bermakna baju tanda
kebesaran.

Baju kustim hampir mirip baju takwo, hanya saja pada sisi jelapah, leher
baju, dan ujung lengan baju dihiasi pasmen. 

Pasmen yaitu sulaman stilasi bentuk bunga atau flora dari benang emas.
Pasmen terbuat dari benang serat logam mulia (emas).

Kaum pria memakai sentorong dengan pasmen benang keemasan.

Di bagian depan sentorong dipasang wapen, semacam lencana, atau


lambang yang menunjukkan derajat sosial pemakainya.

Sepasang pengantin biasanya mengenakan baju takwo ketika akad


nikah dan berbaju kustim pada saat perayaan pernikahan.

Pakaian adat yang dikenakan masyarakat Kutai sehari-hari meliputi


baju, celana, dan kain panjang yang terbuat dari kain tipis.

Akan tetapi, kain tersebut tidak tembus pandang. Kain tipis tersebut
terbuat dari bahan katun.

Masyarakat Kutai mempunyai pakaian sehari-hari yang khas, yang


sampai saat ini masih sering dijumpai, yaitu palembangan dan baju cina.

Baju palembangan biasanya dikenakan oleh kaum lelaki.

Pakaian bawahnya adalah seluar sekoncong, celana panjang dengan


pipa celana yang longgar atau kain sarung pelekat.

Jika bepergian, mereka memakai ikat kepala, destar dari kain batik.

Kaum perempuan memakai baju cina, semacam kebaya tidak berkerah,


berkancing lima buah dan dipasangi kantong kiri dan kanan bagian
bawah baju.

Para gadis atau ibu-ibu muda biasanya memakai sarung caul, yaitu kain
panjang batik yang sudah dijahit berbentuk sarung.

Pakaian tersebut dilengkapi dengan babat (kain pinggang) dari kain


Samarinda.

Wanita lanjut usia pada umumnya memakai pakaian berupa sarung


pelekat.
Rambut kaum wanita biasanya disanggul bentuk gelung Kutai, dan
ketika bepergian diberi kerudung.

C.  Pakaian Adat Suku Dayak Ngaju

Dayak ngaju sebenarnya tidak dominan mendiami daerah Provinsi


Kalimantan Timur.

Akan tetapi, Kekhasan pakaian adat yang diwariskan kebudayaan


mereka sangat disayangkan apabila tidak dibahas.

Untuk laki-laki, pakaian tradisional mereka umumnya berupa kain


penutup bagian bawah sebatas lutut, rompi, ikat kepala berhias bulu
enggang, kalung manik-manik, ikat pinggang dan perisai kayu serta
mandau sebagai aksesoris pada bagian pinggang.

Sedangkan untuk para kaum wanita, berupa rok pendek, baju rompi, ikat
kepala yang dihiasi bulu enggang, ikat pinggang, kalung manik-manik
dan gelang tangan.

Pembuatan pakaian adat suku Dayak Ngaju biasanya menggunakan


bahan-bahan alami berupa serat alam, kulit siren, atau kayu nyamun.
Bahan tersebut kemudian dibentuk sedemikian rupa dan dibubuhi warna
dan corak hias.

Corak hias yang digunakan dalam pakaian adat tersebut diilhami oleh


keyakinan masyarakat suku tersebut.

D.  Pakaian Adat Suku Dayak Benuaq

Suku bangsa Dayak Benuaq mendiami daerah hulu sungai Mahakam.

Daerah persebarannya mencakup Kecamatan Danau Jempang,


terutama di desa Tanjung Isuy, Pentat, Muara Nayann dan Lempunah,
serta sebagian di wilayah Kecamatan Tenggarong. 

Biasanya dalam upacara-upacara adat, seperti upacara kematian,


upacara pengobatan, dan upacara panen hasil bumi masyarakat
mengenakan pakaian adat tertentu.

Kaum perempuan mengenakan ulap doyo yang berfungsi seperti kain


panjang (tapeh).
Ulap ini diberi belahan pada bagian belakang yang disebut ulap sela.

Untuk kepentingan sehari-hari,ulap yang dikenakan berwarna hitam,


sedangkan untuk upacara adat ulap tersebut diberi hiasan kain perca
warna-warni bermotif bunga atau dedaunan.

Pakaian yang dipakai kaum wanita adalah kebaya tanpa


lengan atau yang berlengan panjang.

Sementara itu, kaum pria biasanya mengenakan baju tanpa


lengan dan celana pendek yang terbuat dari tenunan serat doyo.

Dahulu masyarakat Dayak mengenal pelapisan sosial karena masih


terdapat raja pada setiap sukunya.

Para raja menurunkan para bangsawan yang disebut golongan mantiq.


Masyarakat kebanyakan disebut kelompok marantikaq.

Golongan mantiq dan marantikaq dapat dibedakan dari ragam hias yang
ditambahkan pada berbagai perlengkapan acara adat.

Salah satu ragam hias tersebut bermotif jautn nguku.

Jautn berarti awan, sedangkan nguku berarti berarak.

Ragam hias ini menggambarkan kebesaran seseorang dalam suasana


kebahagiaan.

Motif ini biasanya dilukis pada templaq/ tinaq (tempat penyimpanan


tulang belulang jenazah) golongan bangsawan atau raja-raja.

Motif lain adalah waniq ngelukng. Wanik berarti lebah dan ngelukng


berarti menyerupai sarang lebah.

Motif ini mengandung makna bahwa orang yang mempunyai cukup


harta benda dapat melaksanakan upacara kematian.
Ragam hias ini dilukiskan pada templaq/ tinaq tempat tulang belulang
orang mati untuk golongan orang marantikaq, tetapi bisa juga untuk
golongan bangsawan. 

Oleh karena sekarang sudah tidak ada lagi raja, yang dianggap sebagai
pemuka masyarakat adalah kepala adat , kepala suku, dan para ahli
belian (ahli penyembuhan penyakit) yang disebut pemeliaten.

Kepala adat suku bangsa Benuaq biasanya


memakai destar atau leukngdari serat doyo atau kain biasa.

Kepala adat suku bangsa Dayak Benuaq juga berbaju kemeja tanpa
lengan dari kain serat doyo berwarna merah atau hitam.

Dahulu kepala adat biasanya mengalungkan jimat-jimat, manik-manik,


taring harimau dahan, taring beruang, dan patung-patung yang
mempunyai kekuatan magis yang disebut tonoi.

Selain itu, mereka juga mengenakan cawat atau cancut yang juga dibuat
dari tenunan serat doyo.

Kepala adat yang merangkap kepala suku mengenakan topi berhiaskan


bulu burung enggang, baju perang dari kulit kayu atau kulit harimau
dahan, memakai cawat, dan tanpa alas kaki.

Tangan kirinya memegang perisai dan tangan kanannya memegang


tombak.

Di pinggangnya terselip sebilah mandau perang yang dahulunya dihiasi


dengan aneka warna bulu burung.

Sarung mandaunya berukir dan pada ujungnya dihiasi dengan aneka


warna bulu burung.

Pemeliaten atau ahli penyembuh penyakit tidak mengenakan baju.


 Akan tetapi, di bagian dadanya disilangkan kalung manik-manik, taring
binatang buruan, dan patung-patung kayu kecil (jorokng) yang dipercaya
sebagai tonoi.

Bawahannya memakai tapeh belian, yaitu kain panjang serupa rok


maksi yang menutup hingga mata kaki dan diberi hiasan aplikasi berupa
tempelan kain warna warni motif floral yang sangat artistik.

Pada pinggangnya dililitkan sempilit, yaitu kain panjang yang berhias


pada ujungnya dan berjuntai sepanjang kiri dan kanan kaki.

Jika terdapat hiasan berupa garis-garis pada bagian tapeh,


menunjukkan bahwa pemeliaten itu berilmu tinggi.

Untuk menahan tepeh dan sempilit dikenakan babat yang dihiasi


dengan manik-manik, taring binatang, dan uang logam kuno.

Babat juga berfungsi untuk menyimpan berbagai jimat penolak pengaruh


jahat.

Pemeliaten juga mempunyai destar (laukng) yang warnanya mempunyai


arti simbolik.

Laukng berwarna hitam menandakan bahwa pemakainya mampu


menangkal berbagai bantuk sihir hitam.

Jika laukng hitam itu ditambah garis-garis putih, bermakna pemeliaten


belum mampu menolak sihir hitam.

Dipergelangan tangannya dipakai gelang-gelang yang berukuran relatif


besar.

Gelang-gelang tersebut biasanya terbuat dari logam, yang juga


berfungsi sebagai musik pengiring saat upacara.
Bahan yang digunakan untuk membuat pakaian adat tradisional Dayak
Benuaq adalah kain tenunan serat daun doyo.

Tumbuhan sejenis pandan ini tumbuh dengan subur di daerah Tanjung


Insuy.

Dari tumbuhan inilah masyarakat Dayak Benuaq membuat benang yang


kuat untuk ditenun.
Sebelumnya, daun doyo yang akan diolah dipotong sepanjang 1-1,5
meter. Kemudian, daun itu direndam di dalam air.

Setelah daging daun hancur, seratnya diambil untuk diwarnai.

Biasanya tenunan kain doyo (ulap doyo) memiliki tiga warna yaitu
merah, hitam, dan cokelat muda.

Ulap doyo sebagai tenunan ikat khas Dayak Benuaq, bermotif stilasi dari
bentuk flora, fauna, dan alam mitologi.

Pada bidang yang berwarna terang dan pada kain bercorak hias itu
muncul titik-titik hitam yang dihasilkan dari pengikatan sebelum dicelup
bahan pewarna.

Titik-titik hitam inilah yang membedakan hasil tenunan ikat dari daerah
lain.

Bahkan, hampir tidak ditemui pada tenunan ikat daerah manapun.

Kain tenun serat ini dapat dibuat destar, kopiah, baju, sarung, dan
sebagainya.

Masyarakat Dayak Benuaq juga mengenal kain tenun kapas yang


berwarna warni.

Mereka mengaplikasikan kain-kain tersebut pada karya tenun ikat


mereka. Perpaduan antara kain serat doyo dengan kain warna warni
tersebut menjadi pakaian adat yang dikenakan oleh pemeliaten (ahli
pengobatan tradisional). 
Pakaian Adat Kalimantan Timur - Suku Dayak dan Kutai ialah dua entitas
terbesar dalam budaya masyarakat Provinsi Kalimantan Timur. Suku Dayak
dan Kutai juga merupakan suku orisinil dari Provinsi yang beribukota di
Samarinda ini. Karena kedua hal inilah, tak heran jikalau lalu kebudayaan
kedua suku inilah yang menjadi ikon utama wisata budaya Kalimantan Timur

Pakaian Adat Kalimantan Timur


Seperti dijelaskan di atas, bahwa masyarakat orisinil Kalimantan Timur terbagi ke dalam 2
entitas besar, yaitu Dayak dan Kutai.  Sejalan dengan itu, maka pakaian adab dari provinsi
ini juga ada 2 macam. Suku dayak mengenakan pakaian yang berjulukan baju Ta’a dan
Sapei Sapaq, sementara suku Kutai mengenakan pakaian adab yang berjulukan baju
Miskat.
1. Baju Adat Dayak : Ta’a dan Sapei Sapaq 
Baju adab Dayak umumnya lebih dikenal secara luas di kancah Nasional. Baju ini terdiri
dari 2 kelengkapan, yaitu baju Ta’a yang dikenakan oleh perempuan dayak dan baju Sapei
Sapaq yang dikenakan oleh para pria.

Dilihat dari materi pembuatan dan cara pemakaiannya, kedua baju adab Dayak ini
sangatlah menggambarkan perihal kearifan masyarakat dayak dalam memanfaatkan
sumber daya alam secara bijak dalam kegiatan kesehariannya.

Seperti sanggup dilihat pada gambar di atas, baju Ta’a tersusun atas beberapa
kelengkapan yaitu baju atasan berjulukan sapei inoq, rok sebatas lutut berjulukan ta’a,
da’a atau ikat kepala yang dibentuk dari kain atau daun pandan dengan hiasan bulu
burung, serta gelang dari pintalan benang sebagai penolak bala.

Baik baju atasan, bawahan, maupun epilog kepala, semuanya dihiasi dengan uleng atau
pernik motif khusus, di antaranya motif burung enggang dan harimau untuk para
bangsawan, serta motif flora untuk masyarakat biasa.

Adapun untuk baju sapei sapaq yang dikenakan sebagai pakaian adab Kalimantan
Timur khas laki-laki dayak bahwasanya tidak mempunyai perbedaan mencolok dengan
baju ta’a. Baju sapei sapaq mempunyai motif yang sama dengan baju ta’a. Hanya saja
bawahannya tentu tidak berupa rok, melainkan celana pendek yang berjulukan Abeq
kaboq. Selain itu, para laki-laki dayak juga memakai kelengkapan lain berupa senjata
tradisional yaitu perisai dan mandau sebagai sarana pinjaman diri.

Baca Juga : Pakaian Adat Kalimantan Barat


2. Baju Adat Kutai : Baju Miskat
Selain Ta a dan Sapei Sapaq khas Dayak, Kalimantan Timur juga mengenal bermacam-
macam jenis pakaian adab lainnya khas suku Kutai, di antaranya baju miskat, baju sakai,
baju kustim, baju takwo dan baju rompi antakusuma.
Di antara kelima baju adab Kalimantan Timur khas suku Kutai tersebut, baju miskat ialah
yang paling populer. Baju ini kini telah ditetapkan sebagai seragam bagi PNS Provinsi
Kalimantan Timur yang dikenakan pada hari-hari tertentu. Model baju miskat tampak
menyerupai baju Cina, yaitu atasan berupa baju kurung, bawahan panjang, dan kain batik
dipinggang. Tampilan baju miskat sanggup dilihat pada gambar di atas.
Adapun dalam upacara pernikahan, sepasan mempelai laki-laki dan perempuan suku Kutai
umumnya akan mengenakan pakaian adab Kustim. Baju kustim terdiri atas baju kurung dan
bawahan, riasan sanggul berhias kembang goyang dan tali kuantan untuk mempelai
wanita, serta setorong atau topi berbulu untuk mempelai pria. Tampilan baju kustim
sanggup dilihat pada gambar di atas.
Selain mengenakan baju kustim, pada prosesi bealis dalam upacara pernikahan, pengantin
laki-laki dan perempuan Kutai juga wajib mengenakan baju sakai. Untuk mempelai wanita,
baju ini terdiri atas kebaya lengan panjang, bawahan tapeh badong, batik celup, kalung
susun tiga, dan sanggul yang dihiasi ragam pernik menyerupai kembang goyang 3 cabang,
bunga melati (tapak langit), dan tajok mawar.

Anda mungkin juga menyukai