Anda di halaman 1dari 10

BUSANA PENGANTIN KALIMANTAN TIMUR DAN

SULAWESI TENGAH

Dosen Pengampu:
Dra. Juliarti M.Si
Eka Rahma Dewi M.Pd

OLEH :

Nama : Wafia Tul Khoiriah


Nim : 5182143009
Kelas : Busana C 2018

JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
Busana Pengantin Provinsi Kalimantan Timur

1. Busana pengantin suku barau

Sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku, tata busana dan perhiasan pengantin dalam
upacara pernikahan adat Berau di Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur memiliki
perbedaan, khususnya untuk golongan anak raja-raja, keturunan bangsawan dan rakyat biasa.
Berikut adalah penjelasan ringkasnya:

a. Tutup kepala/hiasan kepala pengantin perempuan.

Di bagian kepala pengantin perempuan dikenakan lingkaran pita dari logam mas
muda atau mas sepuhan, tergantung dari kemampuan keluarga mempelai. Pada bagian
muka hiasan kepala itu terdapat hiasan naga kembar yang diukir dengan indah. Hiasan
kepala yang dipasang pada rambut pengantin perempuan yang dibiarkan mengurai
panjang (tidak disanggul) ini disebut dengan naga bandung. Keturunan Pangeran Diulu
akan menggunakan naga bandung berbahan khusus yang bisa membedakannya dengan
orang-orang yang berasal dari keturunan lain. Artinya, ikat kepala ini sekaligus akan
menjadi simbol bahwa pengantin perempuan adalah keturunan raja.

Adapun binatang naga yang dijadikan sebagai hiasan kepala menunjukkan adanya
anggapan masyarakat setempat bahwa naga adalah raja hewan yang diharapkan dapat
menjadikan seorang istri menjadi gagah berani, cepat dan lincah dalam menghadapi
tantangan hidup yang menerpa rumah tangganya kelak. Pengantin perempuan yang
berasal dari bangsawan biasa umumnya tidak menggunakan ikat kepala seperti ini,
meskipun rambut mereka tetap tidak bersanggul sebagai simbol asal mereka dari
keturunan ningrat. Sedangkan rakyat biasa justru tidak diperbolehkan untuk mengurai
rambutnya, tetapi harus disanggul. Di kedua telinga mempelai perempuan terdapat
anting-anting (kerabu) bertatahkan berlian, intan atau bahan lainnya, tergantung pada
kemampuan keluarga mempelai.

b. Tutup kepala/hiasan kepala pengantin laki-laki.

Pengantin laki-laki yang berasal dari keturunan raja akan mengenakan ikat kepala
dari perak yang disepuh emas berbentuk pita yang dihiasi dengan ekor naga di salah satu
sisinya. Di dekat ekor naga itu terdapat tiga rangkai kembang melati. Ekor naga sebagai
lambang laki-laki sebagai pengemudi rumah tangga. Pengantin pria diharapkan selalu
ingat pada kewajiban dan tanggung jawabnya. Pengantin laki-laki yang bergelar raden
biasanya menggunakan kuluk menyerupai tarbas tinggi (setorong) bewarna hitam.
Sedangkan golongan keturunan bangsawan biasa dan rakyat biasa umumnya
menggunakan destar (singngal) dengan model ikatan yang berbeda-beda, atau
menggunakan kopiah biasa. Bagi keluarga-keluarga yang mampu, destar dan kopiah yang
dikenakan oleh pengantin laki-laki biasanya diberi perhiasan dari permata, intan atau
berlian.

c. Perhiasan pada pengantin perempuan.

Selain menggunakan perhiasan pada kepala dan telinga, pengantin perempuan


juga mengenakan cakkak rantai emas bertahtakan permata di leher, kalung emas
berbentuk hati yang digantungkan hingga ke dada, serta pending perak bersepuh emas di
bagian pinggang. Di jari manis dikenakan cincin bermata intan, jamrud, mutiara, ataupun
berlian. Di pergelangan tangan menggunakan gelang-gelang, seperti gallang bungkul
(berbentuk belah rotan terbuat dari emas), gallang panjang /kararu panjang yang
panjangnya hampir sekilan, panjimatan (gelang berumbai-rumbai yang dipasang dekat
siku), dan gallang balakka (gelang yang memakai sekrup sehingga bisa dipisahkan
menjadi dua bagian). Sedangkan di bagian kaki pengantin perempuan dikenakan gallang
battis/loyang yang terbuat dari perak dan keruncung (gelang kaki berbentuk agak
panjang).

d. Perhiasan pada pengantin laki-laki.

Umumnya pengantin laki-laki Berau tidak menggunakan perhiasan, kecuali pada


jari manisnya yang mengenakan cincin bermata batu nilam, intan, berlian atau lainnya.
Hanya saja bagi keturunan Pangeran Diulu pada pinggang pengantin laki-lakinya
melingkar pending perak yang disepuh warna keemasan.

e. Busana/penutup tubuh pengantin perempuan.


Busana pengantin perempuan yang digunakan dalam tradisi perkawinan adat
Pangeran Diulu untuk adalah baju sutera berlengan pendek di atas siku, ditaburi hiasan
bewarna gemerlap berbentuk bintang-bintang. Bagian bawah berupa sarung yang
dibentuk seperti rok. Selain adat Pangeran Diulu, umumnya pengantin perempuan tidak
mengenakan baju berbahan khusus. Bagi keturunan raja-raja, pakaian penutup bagian atas
tubuh bisa berupa ampik selayang, yaitu selembar sarung bewarna kuning yang dibentuk
sedemikian rupa hingga menutupi tubuh pengantin perempuan. Sedangkan rakyat biasa
tidak diperkenankan memakai ampik selayang, mereka bisa mengenakan kebaya biasa
ataupun sejenis kutang beraneka warna yang dipakai hingga dada. Sedangkan penutup
bagian bawah tubuh umumnya sarung atau rok.

f. Busana/penutup tubuh pengantin laki-laki.

Busana pengantin laki-laki cukup beragam. Pengantin yang menggunakan tradisi


adat Pangeran Diulu akan mengenakan kemeja tanpa kerah dengan lukisan berbentuk
kalung di bagian dada dan hiasan pada bagian lengan. Pada bagian pinggang diikatkan
kain batik yang ditata khusus. Sedangkan di bagian bawah dikenakan celana panjang
bersulam indah yang agak mengecil di bagian pergelangan kaki. Pengantin laki-laki ini
dilengkapi dengan sebilah keris sebagai lambang sikap perwira, karena diharapkan para
lelaki keturunan Pangeran Diulu juga dapat memelihara keamanan rakyat dan negerinya.

Selain busana adat Pangeran Diulu, terdapat pula jenis busana lain yaitu baju
palimbangan atau teluk belanga yang bermotif ataupun polos dengan aneka warna. Baju
ini dipergunakan oleh kalangan anak raja-raja atau bangsawan. Pengantin laki-laki dari
golongan ini akan melengkapi dirinya dengan sebilah keris sebagai lambang sifat kelaki-
lakian yang sanggup melindungi keluarganya. Selain kedua jenis busana di atas masih
ada busana lain berupa baju hitam berpasmin yang berukir warna keemasan dari leher kiri
hingga ke dekat kancing yang biasa dipakai oleh golongan bangsawan hingga rakyat
biasa. Untuk penutup bagian bawah bisa menggunakan celana panjang dari bahan satin
sesuai dengan warna baju yang dikenakan, atau berkain panjang bermotif batik (badudut).
2. Busana kutai

a. Busana Pria.

Pada bagian kepala memakai mahkota yang dinamakan Gurda Mungkur. Pada
jaman dahulu mahkota ini terbuat dari emas muda dengan permata intan maupun batu
mulia lainnya. Mahkota Gurda Mungkur ini dipakai oleh mempelai pria yang
melambangkan sebagian raja sehari dengan kemegahan dan keagungannya. Baju yang
dipakai adalah yang dinamakan baju Antakusuma yaitu baju dari bahan sutera berwarna
kuning tanpa leher dan berlengan pendek. Pada bagian dada tergambar tiga pasang
burung merak *) yang disulam dengan benang emas. Warna kuning baju Antakusuma
melambangkan kemuliaan dan keagungan seorang raja.

Celana mempelai pria disebut celana sekoncong yang disulam dengan em as. W
arnanya bermacam-macam seperti kuning, ungu, merah dan sebagainya. Bentuknya
seperti celana panjang biasa tetapi tidak berkancing melainkan memakai tali pada bagian
pinggang. Bagian ujung kaki diberi pasmen sebagai Jes hiasan. Menutup bagian luar
celana sekoncang ini adalah tapeh halang dari bahan sutera yang ditenun dan dihiasi pula
dengan benang emas. Tapeh halang ini dipakaikan kepada mempelai pria dengan bagian
samping kanan dan kiri lebih panjang menyuntai ke bawah. Di bagian luar dari tapeh
halang ini dikenakan tapeh pasak.

Tapeh pasak merupakan juntaian kain selebar kurang lebih 7 cm dan panjang 50
cm mengelilingi pinggang sebanyak 12 helai, yang berbentuk empat persegi bersusun
dari atas ke bawah sebanyak lima belas sampai tujuh belas buah. Berselang seling antara
juntaian yang berhiaskan jimat persegi empat terdapat juntaian yang hiasannya
memanjang menurut gar is lurus kain. U jung setiap juntaian dibentuk menajam seperti
ujung mata paku. Tapeh pasak ini diartikan sebagai penolak bala bagi si pemakai. Pasak
berarti juga sesuatu yang dipakukan untuk memperkuat, menahan atau menopang benda
lain. Namun tidak didapat penjelasan mengenai makna jumlah juntaian maupun arti
masing-masing jimat serta jumlah jimat yang dipasang.

Di luar dari tapeh pasak dipakaikan cinde berwarna kuning pada ujung yang satu
menjuntai di bagian depan melingkar ke kanan yang kemudian melibat ke keris yang ada
di bagian belakang mempelai pria. Setelah cinde ini dipakaikan sampur yang melilit
d'ipinggang mempelai sekaligus untuk selepe (pondang) dipakai di luar sampur, lebar
sabuk pria ini sekitar 10 cm. Tempat menyelipkan keris. Nama dan bentuk maupun bahan
sampur ini berasal dari kebudayaan jawa. Sepatu memakai kamsus berwarna hitam, yang
sebelumnya memakai kaos kaki. *). Terbuat dari emas berukuran 3 x 5 cm memanjang
kesamping.

b. Busana Wanita.

Pada bagian kepala mempelai wanita dikenakan mahkota yang berwarna sekar
suhun. Sebagaimana mahkota pria sekar suhun ini juga terbuat dari bahan emas muda
dengan hiasan permata. Mahkota dari bahan logam mulia dan berhiaskan batu-batu mulia
dimaksudkan sebagai lambang dan keagungan seorang ratu. Baju yang dipakai adalah
baju Antakusuma sebagaimana baju mempelai pria juga berwarna kuning dari bahan
yang sama dan juga berhiaskan tiap pasang burung merak dari benang emas.

Pada bagian bahu atau pundak kebelakang dipasangkan kelibun yaitu kain sutera
berbentuk setengah lingkaran yang terdiri dari dua lapis. Lapisan atas agak kecil
sedangkan lapisan bawah lebih besar. Pada bagian bawah, mempelai wanita ini memakai
ta peh halang dari tenunan songket. Pemakainya tidak ketat tetapi agak longgar sehingga
lebih menyerupai kalau memakai rok panjang. Di Juar tapeh halang ini mempelai wanita
juga memakai tapeh pasak sebagaimana mempelai pria. Kemudian ditutup dengan selepe
atau pendeng emas. Berbeda dengan ikat pinggang mempelai pria, ikat pinggang
mempelai wanita ini tidak selebar ikat pinggang pria yaitu hanya sekitar 5 cm. Alas kaki
mempelai wanita menggunakan selop kulit berwarna hitam.
3. Busana pengantin suku Dayak Kenyah

Busana pengantin suku Dayak Kenyah di Desa Long Noran dan Long Segar, Kec.
Muarawahau, Kab. Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur terbagi atas busana pengantin
perempuan dan laki-laki. Busana pengantin perempuan, terdiri dari:

a. Jina aban atau tapung apan, yaitu topi yang terbuat dari daun pandan yang dianyam dan
diberi hiasan, berupa manik-manik, bulu burung, taring macan dan parung burung
Enggang. Jina aban sebetulnya tidak hanya digunakan saat upacara perkawinan saja,
tetapi juga untuk upacara lain, seperti Upacara Meniwa (upacara saat benih padi mulai
tumbuh) dan Upacara Bunut (upacara panen padi).

b. apai, yaitu baju berbentuk khusus yang dihiasi dengan manik bermotif tertentu serta gigi
dan taring macan.

c. Ta?ah, yaitu kain sarung yang diberi anyaman manik kecil bewarna-warni dengan motif
khusus. Ta?ah juga dihiasi dengan taring dan gigi macan, ukurannya lebih pendek dari
sarung-sarung yang biasanya dipakai sebagai pasangan baju kebaya nasional. Untuk
membuat sarung itu menjadi panjang, di bagian bawah ta?ah ditambah dengan potongan-
potongan kain aneka warna dan berbentuk segiempat kecil, yang dipasang berselang-
seling. Sedangkan di bagian atas ta?ah disambung dengan potongan kain linen yang
bercorak/bermotif gambar kembang. Pertemuan kedua sisi sarung diletakkan di bagian
belakang tubuh pemakainya. Di kedua ujung kain diberi tali yang berfungsi sebagai tali
pengikat pinggang agar tidak mudah lepas.

d. Sabau adalah anting-anting dari manik yang dipakai di telinga. Dahulu perempuan
Dayak Kenyah tidak memakai anting-anting manik, tetapi dari perak atau kuningan yang
terbuat dari kuningan yang disebut belaung.

e. Uleng adalah kalung manik.


f. Laku lesum adalah gelang tangan yang terbuat dari tulang binatang. Sedangkan busana
pengantin laki-laki terdiri dari:

1) Beloko, yaitu semacam topi yang terbuat anyaman daun pandan yang diberi manik-
manik kecil warna-warni dengan hiasan bermotif tertentu dan bulu burung enggang.

2) Besunung, yaitu pakaian yang dibuat dari kulit binatang (beruang atau macan dahan).

3) Mandau atau malat, yaitu parang atau pedang yang berukir dan digantungkan pada
pinggang pemakainya.

4) Uleng adalah kalung manik.

5) Anting-anting dari taring macan dahan atau beruang yang ditusukkan ke daun
telinga.

Benda-benda perhiasan sebagai pelengkap busana perkawinan adat Dayak Kenyah


memiliki kriteria dan norma-norma pemakaiannya, yang harus dipelihara, ditaati, dijaga
serta dilaksanakan secara turun temurun. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan
berakibat pada sanksi sosial yang dijatuhkan bagi pelanggarnya. Adanya perbedaan
lapisan masyarakat yang dikenal pada suku Dayak Kenyah yakni paren (kaum
bangsawan), tetaaw (kaum ksatria) dan panyin (rakyat biasa) hanya memengaruhi motif-
motif hiasan yang digunakan pada perlengkapan busana pengantin, seperti tutup kepala,
baju dan sarung.

Biasanya golongan bangsawan menggunakan motif hiasan yang menggambarkan


wajah manusia. Bagian dari perlengkapan busana pengantin Dayak Kenyah, seperti bulu
burung Enggang yang terdapat pada Jina aban/tapung apan (topi perempuan) dan beloko
(topi laki-laki) merupakan lambang dari kepahlawanan, kegagahan, perdamaian dan
kerukunan hidup bersama.

Sedangkan hiasan gigi atau taring binatang yang dipasang pada penutup kepala,
pakaian dan sarung yang digunakan oleh kedua mempelai merupakan simbol dari
keberanian mempertahankan diri dari segala ancaman yang datang menyerang.
Kesemuanya adalah harapan dan iringan doa, agar kedua mempelai yang baru saja
menikah dapat menjalani bahtera rumah tangganya dalam keadaan yang rukun, sejahtera,
serta terhindar dari segala rintangan dan malapetaka.
Busana Pengantin Provinsi Kalimantan Timur

1. Busana Pengantin Suku Kaili

Suku kaili diketahui mendiami wilayah Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala,


dan Kota Palu. Menjadi suku yang mendominasi Sulawesi Tengah, pakaian adat yang
dimiliki oleh suku Kaili pun terkenal sebagai ikon pakaian adat daerah dari Sulawesi
Tengah.

Terdapat dua jenis pakaian adat suku Kaili yaitu untuk wanita dan pria. Baju
nggembe menjadi nama pakaian adat Sulawesi Tengah dari suku Kaili yang
diperuntukkan bagi wanita. Bentuknya terbilang khas berupa baju blus longgar dengan
panjang hingga pinggang dan lengannya pun juga panjang. Umumnya pemakaian baju
nggembe dikenakan saat ada acara pesta rakyat maupun upacara adat. Para wanita dalam
memakai baju nggembe juga memakai aksesoris yang meliputi gemo (kalung), dali taroe
(anting panjang), sampo dada (penutup dada), ponto date (gelang panjang), dan pende
(pending). Sebagai bawahan, pemakaian baju nggembe dilengkapi dengan sarung
donggala.

Sedangkan, bagi pria, mereka mengenakan baju koje, yakni nama pakaian adat
Sulawesi Selatan dari suku Kaili. Baju koje ini juga disebut dengan baju ceki yang mana
berupa kemeja lengan panjang berkerah tegak. Untuk bawahannya, dikenakan celana
sepanjang lutut yang diberi nama puruka pajama. Untuk pelengkap, pria Kaili memakai
aksesoris berupa siga atau penutup kepala, keris, dan sarung yang diikat di pinggang.
Potret selengkapnya pemakaian pakaian adat Sulawesi Tengah tersebut bisa dilihat pada
gambar pakaian adat Sulawesi yang tercantum.

Anda mungkin juga menyukai