Anda di halaman 1dari 3

TUGAS

BUDAYA DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI


NAMA : ABD GAFUR
NIM : 2120419310005

MENGHIDUPKAN BUDAYA KEJUJURAN

Begitu pentingnya kejujuran dan kebenaran dalam bisnis dan pengelolaan berbagai
kegiatan menyebabkan hampir semua  organisasi dan lembaga meletakkan integritas,
kejujuran, serta professional honesty sebagai faktor paling utama dalam nilai, budaya
organisasi, dan kompetensi. Meskipun semua menyadari pentingnya hal ini ditegakkan,
tetapi realitasnya kita menyaksikan betapa kejujuran dan kebenaran begitu rawan
dibelokkan dan dilanggar. Padahal, dengan kompleksnya dunia kita sekarang, kita semakin
menuntut integritas individu yang kokoh tidak tergoyahkan. Kita tentu bertanya-tanya,
apakah nilai integritas cukup dengan cara dicekoki melalui sesi sosialisasi dan internalisasi
budaya bagi seluruh karyawan? Apa yang salah dengan kebenaran di sekitar kita? Kita lihat
berita seorang tahanan yang bebas keluar-masuk rutan dalam masa tahanannya, menjadi
pembahasan panjang, dikomentari, dan menjadi headline berita.
Ya, kebenaran memang dilanggar, nurani kita pun terusik. Padahal, kita juga sadar
bahwa ini bukan kejadian luar biasa yang baru terjadi. Siapa yang tidak pernah mendengar
kabar angin ada helipad di penjara yang kebetulan dihuni oleh salah satu orang terkaya di
Indonesia? Siapa yang tidak tahu bahwa banyak tahanan berkeliaran dan bisa pulang
dengan alasan sakit ke rumah? Memberi dan menerima insentif atau suap, bukankah juga
begitu sering kita temui? Disadari atau tidak, pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan
pribadi, korupsi waktu, juga kerap kita lakukan tanpa merasa bersalah, bukan? Jika kita
sekarang ramai membicarakan cara memusnahkan jaringan servis yang ada di penjara atau
mematikan korupsi atau tindakan kebohongan yang beredar di setiap sudut di lingkungan
kita, tentu kita pun perlu serius memikirkan kebenaran dalam tiap langkah dan perbuatan
dalam diri kita dan sekitar kita juga.
Bicara memang mudah, tetapi implementasi adalah tantangan yang sesungguhnya.
Kita tidak bisa menilai sebuah perusahaan, lembaga, atau negara dari pernyataan, slogan,
dan company profile-nya saja. Budaya yang sebenarnya selalu "unspoken", hanya bisa
diobservasi. Realitas kejujuran hanya bisa tergambar pada perilaku, terutama perilaku
pemimpinnya, bagaimana sistem dijalankan, serta simbol-simbol yang ada secara konsisten.
Perusahaan yang mengutamakan efisiensi pasti tidak akan sembarangan dalam
menandatangani cek pembayaran, dan akan melakukan negosiasi habis-habisan. Perusahaan
yang mengumandangkan servis, tidak mungkin memperlakukan pelanggan atau komplen
pelanggan secara asal-asalan.
Pemilik perusahaan IKEA, Ingvar Kamprad, sangat menjunjung tinggi filosofi
perusahaannya yang ekonomis, sederhana, dan fungsionalnya. Meski terkenal kaya raya, ia
membuktikan filosofinya dalam kebiasaan antre kalau ada sale, bepergian dengan kelas
ekonomi, dan menjalankan hidup secukupnya secara konsisten. Di sini kita belajar untuk
senantiasa mengevaluasi, seberapa jauh kita menghidupkan nilai-nilai kebenaran dalam
tindakan sehari-hari? Apakah kebenaran baru sebatas slogan dan hiasan bibir saja, atau
benar-benar sudah bisa terasa, terbaca, terlihat secara nyata oleh orang lain? Benarkah
budaya kejujuran tidak bisa ditransformasikan lagi? Tanpa kita sadari, pelajaran
kebohongan bisa dimulai sejak kecil. ”Bilang saja ayah sedang tidak di rumah,” demikian
perintah seorang ayah yang menolak berbicara di telepon. Bisa juga tindakan jujur seorang
anak tidak sempat di-reward oleh orangtua ataupun gurunya. Misalnya saja, apabila seorang
anak mengembalikan barang yang sangat menarik milik temannya, disaksikan oleh
gurunya, ia tidak mendapat pujian yang layak sehingga kita melewatkan momentum
pelajaran kejujuran yang berharga.
Apabila saja mulai dari lingkungan kecil kita dibiasakan dan diberikan contoh
konkret agar semua orang berkata jujur, apa pun konsekuensinya, kita sudah memulai
gerakan kejujuran dengan baik. Apalagi apabila kita menjual konsep bahwa dengan berkata
jujur, kita tidak membuat masalah semakin ribet. Larry Johnson dalam bukunya Honesty
Pays mengatakan, ”Do your homework first, open the debate, open your ears, open your
mouth, and open your mind”. Kita memang perlu membiasakan diri untuk bersikap terbuka
untuk menyatakan ketidaksetujuan, protes, atau perbedaan pendapat. Dengan demikian, kita
bisa mengikis sikap defensif dan pembiaran yang bisa membunuh semangat untuk
menegakkan kejujuran.
Memang menjadikan Jujur adalah budaya bangsa itu harus diikuti dengan sanksi jika
kejujuran tidak dilakukan. Tidak hanya percaya pada sanksi hari akhir, tetapi sanksi di hari
ini pun harus ada dan ditegakan.

SALAH satu penegak hukum di Indonesia: institusi kejaksaan dan KPK sudah
memulai dengan KONSEP KANTIN JUJUR.  Mungkin konsep kantin jujur ini, kita
terapkan pada diri kita: ketika kita membuat catatan kebajikan atau kita buat check list atau
tulisan kebohongan-kebohongan yang kita lakukan pada hari ini. Apakah catatan merah itu
berubah setiap harinya atau makin semakin merah. Perubahan budaya memerlukan waktu,
tetapi jika tidak dimulai dari hari ini, SIKAP JUJUR tidak akan pernah menjadi budaya
bangsa.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Budaya Jujur: Ayo kita
jadikan sebagai pondasi bangsa", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/pinardi/54fd636da33311ef3350fabf/budaya-jujur-
ayo-kita-jadikan-sebagai-pondasi-bangsa

Kreator: Kuntjoro Pinardi

Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

Anda mungkin juga menyukai