Anda di halaman 1dari 3

Buramnya Sang Pemersatu

Tanah kita, tanah kaya. Budaya, ras, suku bangsa, agama bahkan 718
bahasa daerah membuat kita menjadi bhineka. Kebhinekaan yang telah terajut
tentu menjadi sebuah tantangan yang salah satu penjawabnya adalah dengan
keberadaan bahasa Indonesia.

Saudara-saudara sekalian hari ini Indonesia telah berumur 77 tahun, umur


yang tergolong belia bagi berdirinya sebuah negara. 1928, arek-arek bangsa dari
sabang sampai marauke telah berikrar untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai
bahasa pemersatu yang menjadi identitas Indonesia sampai saat ini. Lantas,
apakah di era ini bahasa Indonesia masih mengalir di darah generasi kita? Era
digital mewabah, 4.0 berganti 5.0, perubahan konstan dimana-mana, generasi
yang harus mengikuti zaman, bahasa ibu yang tidak lagi diperdulikan.

Era masyarakat pintar 5.0 membawa berbagai perubahan baik dari segi
kebudayaan maupun kebiasaan. Ketidaksiapan Negara berimbas pada degradasi
kehidupan rakyat dan retaaknya pilar kebangsaan, yang sayangnya telah merusak
berbagai aspek yang krusial, salah satunya adalah bahasa Indonesia, sang
pemersatu. Bahasa Indonesia adalah ciri khas yang harus dimengerti oleh seluruh
pemeluknya. Akan tetapi, masih kah dianggap bahasa jika pemeluknya tidak lagi
setia?

Westernisasi akibat digitalisasi 5.0 membuat generasi kehilangan jati diri.


Moral yang perlu dipertanyakan ketika budaya asing yang katanya hanya akan
diakulturasi justru mendominasi. Apakah setelah tahu masalah tersebut kita hanya
akan terdiam, termenung, dan membatu? Tentu tidak. Reformasi tiada henti,
tantangan bergerak mengelabuhi, bahasa kita kini perlu dikasihi.

Saudara-saudara, apakah ini yang disebut eksistensi? ketika bahasa


Indonesia dipandang sebelah mata, ketika bahasa barat lebih mendominasi, dan
bahasa Indonesia yang tidak lagi autentik. Apakah siklus ini akan terus
dipertahankan? Tentu tidak. Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab? Siapa
yang harus merubah semua ini? Ya kita, kita semua. Namun bagaimana cara kita
untuk berpartisipasi, berdedikasi dalam membangun bentala bahasa nasional dan
menjaga eksistensinya?

Nasionalisme adalah kata kunci yang sudah biasa kita dengar. Fakta
menunjukkan bahwa 86% dari 20 remaja lebih sering menggunakan bahasa gaul
dibanding bahasa Indonesia, jadi dapat kita simpulkan bahwa keautentikan bahasa
akibat akulturasi menjadi problematika yang perlu diselesaikan bersama guna
menciptakan generasi bangsa yang nasionalis serta sadar akan identitasnya dan
agar sang pemersatu tidaklah turun martabatnya.

Dan saya yakin, dengan terciptanya generasi nasionalis yang sadar akan
pentingnya bahasa dan sastra Indonesia tentunya kita tidak akan kehilangan
eksistensinya sebagai negara yang kaya, baik dari bahasanya, budaya, atau
keanekaragaman lainnya, ditengah arus peradaban yang kian hari menerjang dan
mengikis setiap jengkal kehidupan. Digitalisasi akibat munculnya konsep
masyarakat pintar 5.0 bukanlah penghalang bagi kokohnya bahasa dan sastra,
digitalisasi haruslah menjadi pendorong agar tercipta bahasa dan sastra Indonesia
yang bermanfaat sesuai pada hakikatnya sebagai salah satu pengukuh identitas
bangsa.

Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan penghasil lebih dari 50 karya


yang diterjemahkan ke 42 bahasa yang bahkan setelah wafatnya pun karya dan
namanya abadi dikalangan pencintanya. Menunjukkan kekekalan bahasa pada
faktanya tidak lekang oleh zaman.

Banyaknya problematika bahasa saat ini, tak lain dan tak bukan berasal
dari kita selaku generasi peralihan yang kurang bijak dalam menghadapi
perubahan seperti globalisasi yang sejalan dengan digitalisasi . Perubahan
memerlukan kesiapan, oleh karena itu sebagai pemegang estafet bangsa kita
berkewajiban untuk membenahi, menata, dan menyusun kembali peradaban
bangsa yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan dengan pondasi bahasa dan
sastra Indonesia selaku pengukuhnya. Atas nama pelajar Indonesia, mari bersama
membangun dan menjaga martabat dan sastra Indonesia sebagai pengukuh
identitas kebangsaan.

Ingat! Kaum rebahan tak mungkin membawa perubahan. Saya Indonesia,


Anda Indonesia, Kita Indonesia, bukan karena pilihan, namun karena takdir. Oleh
karena itu mari bungkam mereka yang mengatakan bahwa pelajar Indonesia kini
telah redup karena kehilangan jati dirinya dengan menyongsong kembali
semangat berbahasa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai