Anda di halaman 1dari 32

LOSING LIGHT

Jaehyun Short Story

Masih WHAT IF

written by : awnyaii

Rasanya hidup tanpa cahaya, karena pelita yang selama ini membersamainya tak sudi lagi menyala
untuk menerangi hidupnya. Juga suatu simpul yang sudah menemani mengikat selama derai air
mata, darah, harus hancur begitu saja karena satu celah yang membuat lengah. Yang memang
dicinta dan tulus mencinta akan utuh dan tetap menetap, yang selalu membuka celah akan mencari
jalan lain demi sebuah kepuasan sesaat. Menghitamkan janji putih suci yang sudah
dibuat―hancur, tanpa sisa, membawa penyesalan sampai ujung usia.

Tidak ada hal yang lebih kosong dari kesepian yang Jeremy rasakan. Hubungannya dengan Lea
yang akhir-akhir ini hanya menemui perdebatan perihal anak-anak mereka. Pada isyarat keheningan di
ruangannya, Jeremy masih fokus ke pekerjaannya. Sesekali ia menatap ke luar jendela yang
menyuguhkan pemandangan hiruk pikuk kota dengan gemerlap lampu kota yang masih menyala terang.
Jeremy beranjak berdiri melayangkan pandangannya ke luar jendela sembari melukis ingatannya
tentang perdebatannya dengan Lea beberapa waktu lalu perihal anak-anak mereka. Akan ada masanya
dimana kehidupan pernikaha temui kata “Bosan”. Akan ada hari dimana dua insan akan menemui kataa
“Jenuh” dan memilih berteman dengan kesendirian.

Tergambar jelas di ingatan Jeremy bagaimana ia selama ini mengantar Lea bekerja, menjemput
Lea bahkan juga menjemput ketiga anaknya. Paras Lea tergambar jelas di setiap pejam dan sadarnya.
Ia masih sibuk memutar otak. Bagaimana cara mengatasi perdebatan yang tidak kunjung reda. Menjaga
ego mengurungkan luapan amarah yang hendak meluap. Lea memang sudah menjadi puisi yang Jeremy
pilih untuk ia senandungkan, tapi akankah Jeremy juga menjadi hal yang sama bagi Lea?

Jeremy melonggarkan dasinya lalu berjalan dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia juga
meraih botol alkohol yang ada di atas mejanya lalu meneguknya begitu saja tanpa gelas. Jeremy kacau
balau, ia teguk alkohol itu dengan brutal. Ia memejamkan mata dan memijit keningnya dengan jari
tangannya. Pikirannya jauh melalangbuana, ia hembuskan napas panjang setelahnya. Tak lama, Jeremy
mendengar suara kenop pintu yang dibuka, ia membenarkan posisi duduknya. Louis disana. Jeremy
kembali bersandar di sofa. Louis pun menutup pintu ruangan Jeremy―lebih tepatnya menguncinya
tanpa sepengetahuan Jeremy.

“Hi babe, what’s wrong?” Louis langsung mengisi space kosong di sebelah Jeremy dan
mengusap pundak Jeremy lembut. Jeremy tidak menjawab.

“Lea?” tanya Louis, hal itu dibalas Jeremy dengan menganggukkan kepalanya. Louis pun
meraih pipi Jeremy dengan satu tangannya, dibelainya lembut lalu diarahkannya wajah Jeremy
kepadanya. Satu kecupan mesra mendarat di dahi Jeremy dari Louis, Jeremy membuka matanya, kini
ia menatap Louis dengan tatapan datar.

“Forget her for a while,” kata Louis berbisik.

“I can’t, setiap pulang ke rumah selalu berantem sama Lea. Aku enggak ngerti harus gimana,
malu lah sama anak-anak. Tapi aku juga enggak bisa handle mereka, aku kasihan sama Lea. Tapi setiap
berdua, kita selalu berdebat.” Jeremy berkata sambil membenarkan posisinya tidak lagi bersandar di
sofa, ia menundukkan wajahnya. Louis langsung mengambil posisi merangkul dan merengkuh pundak
Jeremy. Mata Jeremy sudah memerah, jelas terlihat di wajah Jeremy bahwa ia ada di bawah pengaruh
alkohol, Louis paham betul akan hal itu.

Louis adalah mantan staff di kantor Jeremy, posisi Gwen digantikan Louis untuk beberapa
tahun. Hingga kedekatan Louis dan Jeremy menjadi sebuah celah diantara hubungan Lea dan Jeremy.
Sering mendapat tugas keluar, keduanya selalu bersama menghabiskan waktu berdua membuat afeksi
yang mereka timbulkan menjadi lebih. Louis dengan harapan yang lebih terhadap Jeremy, sedangkan
Jeremy disaat lengah kadang merespon perhatian lebih yang Louis berikan, begitu seterusnya hingga
hubungan keduanya masih berlanjut dalam ketidakjelasan dan dalam kegelapan.

“Are you okay?” tanya Louis, Jeremy mengangguk dan tersenyum. Jeremy merenggangkan
pelukan Louis dan mengisyaratkan Louis agar duduk di pangkuannya. Louis mengiyakannya dan duduk
di pangkuan Jeremy.
“We’re in a wrong relationsip,” kata Jeremy sambil memeluk melingkarkan tangan di pinggang
Louis.

“Jer, kalau kamu ngomong gitu lagi aku keluar dari sini,” Louis bangkit berdiri namun Jeremy
menahan pergelangan tangan Louis.

Wanita itu menatap Jeremy sesaat, pandangannya mengikuti pergerakan Jeremy yang saat ini
berdiri di hadapan Louis. Jeremy sedikit menunduk lesu, Louis meraih dagu Jeremy dan membuatnya
sedikit mendongak. Tangan kanan Louis membelai pipi Jeremy lembut, tangan kirinya merapikan
rambut Jeremy yang sedikit berantakan.

“Maaf,” ucap Jeremy lirih.

“Stop bahas dia, katanya kamu lagi pusing sama Lea, ya udah, aku disini biar kamu enggak inget-
inget dia lagi.”

“Okay, fine.”

Jeremy melingkarkan tangannya di perut Louis, “Sorry,” lanjutnya. Louis mengangguk dan
langsung membuat Jeremy memeluknya.

Louis membenamkan wajahnya di dada bidang Jeremy.

“I’m too messed up,” kata Jeremy lalu menciumi kepala Louis beberapa kali.

Akhirnya Louis dan Jeremy kembali ke meja kerja Jeremy dan dalam posisi Louis ada di pangkuan
Jeremy namun tidak menghadap ke Jeremy. Louis meraih sebuah figura yang terpasang di meja kerja
Jeremy. Foto Jeremy bersama Lauren, Jevin dan Mevin. Mereka terlihat sangat bahagia, Louis
meletakkannya lagi.

“Keluarga kamu sempurna, dan kamu masih belum bolehin aku lihat siapa istri kamu,” kata Louis,
Jeremy pun memajukan posisinya lalu menyandarkan kepalanya di punggung Louis dan memeluk perut
Louis.

“Enggak se sempurna yang terlihat. Enggak perlu tahu rupa istriku seperti apa.” suara Jeremy
memelan.

Sembari Louis menaruh figura itu lagi, jemari nakal Jeremy menyingkapkan kain yang menutupi
paha Louis itu. Jeremy membelai lembut paha Louis. Ia membuat Louis sedikit menggeliat geli.

“Jeremy..”

“Apa?”
“Jangan,” rengek Louis namun rengekan itu dibalas Jeremy dengan rematan tangan di payudara
Louis dari belakang yang bergerak sensual yang membuat sang puan mendesah kala tangan Jeremy
meremas payudaranya secara perlahan.

“Jer mmhh,” Louis berusaha menyingkirkan tangan Jeremy dari sana tapi Jeremy malah lebih
memberi gerakan lagi disana.

“Jeremy nghh,” desah Louis lagi yang tak tertahankan. Jeremy malah menelusupkan wajahnya di
sela leher Louis membuat sang puan mendongak lalu dengan sigap Jeremy mendaratkan kecup di
seluruh bagian leher Louis dan tangannya masih gencar bermain di payudara Louis.

“Ahh, Jer, please mhh.” Louis sedikit menggeliat kala Jeremy mulai bermain dengan lidahnya
disana. Jeremy pun meminta Louis menghadap Jeremy dan memeluknya bak anak kecil.

“Everything gonna be okay, termasuk aku dan kamu.”

Keduanya memang pada awalnya tidak berencana untuk saling jatuh cinta, mungkin juga Jeremy
tidak sepenuhnya menjatuhkan hati kepada Louis. Tapi Louis sudah jatuh terlalu palung dengan Jeremy.
Pria yang jelas-jelas sudah berkeluarga itu, Jeremy juga tidak pernah memberitahukan apapun tentang
Lea kepada Louis.

“I want you tonight,” kata Jeremy, mendengar itu Louis merasa pipinya hangat, disertai detik
berikutnya, bibir Jeremy sudah menyapu bibir Louis yang halus. Louis mulai mengubah posisinya
menjadi menghadap Jeremy dan dengan leluasa mengalungkan tangannya di leher sang tuan Louis kini
sudah duduk berbalik arah meghadap kepada sang tuan dan mengikis jarak diantara mereka.

Bibir menyatu dan lidah yang bertaut, tangan Jeremy yang memeluk erat pinggang Louis serta
tangan Louis yang menekan tengkuk leher Jeremy memperdalam ciumannya. Tangan Jeremy tak
tinggal diam. Bergerak dengan sensual dari tengkuk turun ke pinggang.

“Mhh— Jer,” Louis melenguh saat Jeremy menggesekkan jarinya di panties Louis. Sang puan
mulai menyebutkan nama Jeremy di antara desahnya. Ciuman bertambah lekat, pagutan bertambah
intim keduanya kadang terengah dan mendesah bersamaan. Tak perlu waktu lama ciuman Jeremy turun
ke bagian leher Louis. wanita itu sampai mendongak dan membusungkan dadanya kala lidah Jeremy
bergerak brutal disana. Louis seakan menyerahkan seluruh tubuhnya untuk dikuasai Jeremy.

Benar saja, kebersamaan tanpa sengaja menghadirkan suasana berbeda dan akhirnya secarik tanpa
aksara hingga akhirnya menorehkan cerita dengan tinta yang semula bukan jadi tujuanya. Mulai terukir
rangkaian aksara dan kata untuk sepenggal syair mereka yang akhirnya akan dilafalkan dan
disenandungkan bersama di dalam sebuah kesalahan. Louis dan Jeremy terjebak dalam suatu hubungan
dan afeksi yang tidak seharusnya terjadi.
Karena Jeremy sedang marah kepada semesta dan mengutuk marah akan hubungan rumah
tangganya dengan Lea, sebenarnya ini bukan hal yang harus lakukan kala sang penghuni hati
menorehkan lara. Jeremy tidak merasa cukup―maka pergilah ia menghampiri kenyamanan fana yang
Louis berikan.

“Ahh,” Louis mendesah saat Jeremy meremas pantat sintalnya, hal itu membuat mulutnya sedikit
terbuka dan digunakan Jeremy untuk menginvasi rongga mulut Louis. Serakah―itulah Jeremy saat ini.
Genggaman Lea belum ia lepaskan tapi juga ia ingin merengkuh Louis. Tidak, menyulut api lebih
tepatnya.

Jeremy memang senang mempermainkan Louis. Jeremy menjadi semangat ia mencecap dan
gencar menyesap bibir sang puan. Ciuman keduanya semakin menuntut, rok yang digunakan Louis
berhasil disibakkan Jeremy dengan tangan lihainya seketika. Sehingga paha mulus Louis dapat terekspos
dengan sempurna. Setiap inchi keindahan tubuh sang puan dijalari Jeremy dengan hati-hati. Ciuman
panas menjadi saling menuntut saat keduanya bersahutan dalam lenguh.

“Akhh―Jeremy mmh, jangan,” racau Louis terbata-bata.

“Say my name,” perintah Jeremy yang langsung dituruti Louis.

“Jeremy ahhh...” Lenguhan semakin mengudara, Jeremy menggendong Louis menuju sofa
lagi, mendudukkan tubuh itu dengan hati-hati.

Wanita itu mengalungkan tangan di leher Jeremy dan memanggil nama sang tuan dalam
desahnya. Saat itu juga Jeremy melepaskan ciuman dan langsung berlutut menyejajarkan posisi
wajahnya dengan pusat tubuh Louis. Disibakkannya rok Louis dan dilepaskannya kasar panties yang
Louis kenakan dengan sensual. Jeremy tidak memberi aba-aba dan ia langsung memainkan liang
surgawi milik Louis dengan bibir dan lidahnya.

“Hmphh―Jeremy,” Louis kehilangan kata-kata saat pusat pertahanannya diserang bertubi-tubi


oleh Jeremy.

Jeremy sudah kehabisan akal, ia menghela napas sesaat sebelum bergelut lagi dengan pusat
tubuh Louis dengan memberikan gerakan nakal lidahnya menjilat, menusuk bahkan mengoyak dengan
jarinya. Louis terengah di atas sana. Jeremy mengangkat kaki Louis dan menaruh kedua kaki jenjang
itu di pundaknya guna membuat aksinya lebih leluasa.

“Jeremy... this is so mhh,”

Jeremy menambah kecepatan jari dan lidahnya yang bergantian, Louis sibuk meremas surai
Jeremy guna menyalurkan nikmat.
“Jer―slowly please,” pinta Louis. Dalam hal ini, alkohol menguasai diri Jeremy, mendengar
hal itu, Jeremy memperlambat gerakannya. Louis beberapa kali menukikkan kakinya. Jeremy juga
beberapa kali mengembuskan angin pelan di pusat tubuh Louis. Wanita itu bergidik dan memejam,
sedikit mengerang dan memejamkan matanya. Jeremy benar-benar hilang akal. Semakin cepat serangan
Jeremy dengan jari dan lidahnya, semakin meracau pula Louis disana. Sampai pada akhirnya tangan
Jeremy juga menyebrang meraih payudara Louis dan meremasnya berkali-kali.

“Jer―I wanna cum.. ahh...”

“Keluarin aja,” bisik Jeremy lirih. Louis memejam, memekik nama Jeremy merdu dalam
lenguhannya.

“Jeremy―ssshh akkhh!” diiringi keluarnya cairan hangat di pusat tubuh Louis yang langsung
diraup habis oleh Jeremy. Louis masih mengatur napasnya hingga akhirnya ia menarik tangan Jeremy
dan memintanya duduk di sofa juga. Jeremy menurutinya dan dengan sensual, kini Louis naik ke
pangkuan Jeremy. Dilepaskannya kancing kemeja Jeremy satu persatu, wajah sayu Jeremy dan rona
merah serta sayunya mata Jeremy membuat Louis ingin lebih berkuasa atas pria itu.

“Forget about Lea please. For a while, let’s have fun with me,” bisik Louis di telinga Jeremy
dengan menggoda lalu lidahnya juga memainkan telinga Jeremy dengan sedemikian rupa hingga sang
tuan memejam. Jeremy tidak bergerak, tidak beranjak, matanya memejam menahan kenikmatan. Lidah
Louis juga menari di leher Jeremy, rahang tegas Jeremy juga jadi sasaran Louis setelahnya.

“Louis―mmhh,” Jeremy hanyut dalam kenikmatan itu. Sedikit kesadaran diringkus oleh
kenikmatan sesaat dan fana yang disajikan. Ia rengkuh pinggang Louis lebih dekat lagi hingga beda
mereka hanya sejauh napas yang berembus. Pantat sintal Louis beberapa kali diremas dan mendapat
sentuhan seduktif dari Jeremy.

Louis melayangkan pagutan brutal di bibir Jeremy. Balasan dari Jeremy mengimbangi tempo
dan ciuman panas yang Louis berikan. bahkan Louis berikan gigitan tipis bagi Jeremy. Sang tuan
mengerang dan melenguh tapi tidak menghentikan Louis. Hingga saat Louis menekan tengkuk leher
dan kepala Jeremy tiba-tiba tidak ada balasan dari Jeremy.

Louis merenggangkan jarak, ia melihat Jeremy yang memejamkan mata namun ada bulir air
mata lolos dari ekor mata Jeremy.

“Hey, what’s wrong?” tanya Louis lirih. Tangan Louis menangkup pipi Jeremy. Hingga
pergelangan tangan Louis digenggam Jeremy dan ia tertunduk lesu. Punggung Jeremy sedikit bergetar.

“I feel bad to her, but I feel bad to you. Setiap pulang ke rumah, kalau udah bahas anak, enggak
ada habisnya.” Jeremy berkata dengan lirih.
“Come on, forget her for now, you promise me before.” Louis menepis tangan Jeremy lalu
beranjak dari sana. Ia kembali mengenakan pakaiannya lalu duduk di meja kerja Jeremy. Pria itu
berjalan dengan sempoyongan menghampiri Louis. Sejenak tak ada suara dari keduanya, hanya hening
yang memercik.

“Sorry, let’s move from here, enggak aman lama-lama disini,” kata Jeremy sambil memeluk
Louis dari belakang. Louis menghela napas panjang lalu memeluk Jeremy, ia benamkan wajahnya di
dada bidang pria itu.

“Take me to wherever you want, Jeremy.” Louis berkata sambil menepuk-nepuk punggung
Jeremy guna memberikan kenyamanan bagi sang tuan.

Akhirnya, Louis dan Jeremy beranjak dari sana. Louis membantu Jeremy berjalan dengan
memapahnya karena Jeremy yang masih dalam keadaan mabuk. Ia membawa Jeremy masuk ke dalam
mobil dan Louis ambil alih kemudi malam itu. Jeremy dan Louis bergegas menuju sebuah apartemen
dimana Louis dan Jeremy biasa menghabiskan malam bersama tanpa sepengetahuan Lea. Sebenarnya,
dalam hati Jeremy ia merutuki diri sendiri, pikirannya masih menyebut nama Lea, begitu juga hatinya.
Tapi tidak dengan kenyataannya. Dengan segala rayu dan kalimat yang Louis lontarkan serta perlakuan
Louis membuat Jeremy hanyut dan terbujuk dalam rayunya. Dipermainkan akal sendiri, pun angin
malam yang membawa Jeremy semakin ingin mendapat kehangatan.

Bukan dari wanita yang selalu berbagi rengkuh selama usia pernikahan, bukan dengan wanita
yang selalu mengusap dahi Jeremy sebelum terpejam, bukan dengan wanita yang sudah membagi
seluruh hidupnya dengan Jeremy, bukan!

Akhirnya setelah menempuh perjalanan yang tidak cukup jauh, Louis dan Jeremy tiba di sebuah
apartemen, Jeremy dibantu Louis berjalan dan keluar dari mobil, tangan Jeremy pun Louis lingkarkan
di pundaknya dan ia membantu sang tuan berjalan dengan susah payah.

Tanpa mereka sadari, dua pasang mata melihat dan mengawasi mereka dari kejauhan.

“Mau ditunggu?” tanya seorang yang tengah mengamati Jeremy dan Louis berjalan dari parkiran.

“Tunggu, sampai pagi juga tungguin.” Seseorang yang ada di jok belakang motor itu menjawab.
Keduanya tetap berada di sana, entah sampai kapan. Yang pasti mereka akan menunggu sampai Jeremy
dan Louis keluar lagi dari apartemen itu.

Keadaan Jeremy sudah mabuk berat, meski nama Lea masih sering terucap dari lisan Jeremy,
tapi Louis masa bodoh dengan hal itu. Toh juga sekuat apapun Louis menggenggam tetap Lea yang
menjelma sang penguasa relung hati Jeremy.
Tiba di kamar yang cukup besar itu, Louis langsung menghempaskan tubuh Jeremy di ranjang,
dilepaskannya kemeja, ikat pinggang dan sepatu Jeremy.

Tidak―Louis membuka seluruh perca yang menempel di tubuh Jeremy. Kesempatan ini Louis
gunakan agar Jeremy tidak lengah, ia mengunci pintu dan membuat nyala lampu ruangan itu menjadi
sedikit redup. Jeremy sudah tidak memikirkan apapun, pikirannya sudah terlalu kalut.

“I want your service!” Jeremy berkata dengan nyaring dan masih dengan mata yang terpejam.
akhirnya Louis menunggingkan senyum. Ia mengatur posisi tidur Jeremy menjadi sedikit bersandar di
bantal sehingga tubuh Jeremy tidak sepenuhnya tidur terlentang. Louis juga melucuti pakaiannya
sendiri lalu merangkak mendekat ke arah Jeremy. Omong kosong kalau Louis juga tidak tergoda dengan
pria yang tengah bersamanya. Toh, pada kenyataannya Louis menaruh harap dan perasaan kepada
Jeremy.

Jelas, Louis merayu Jeremy. Kalimat yang Louis tuliskan, bujuk rayu yang ia lafalkan memang
sepenuhnya karena keinginannya ingin memiliki Jeremy lebih dari ini, meski berbeda dengan Jeremy
yang hanya termakan kenikmatan fana dan sesaat. Louis dengan keadaan yang tidak memiliki pasangan
untuk berbagi rengkuh dan merebahkan lelah menjadi menuntut lebih dari sebuah kebersamaan yang
terjalin dengan Jeremy. Pintu hati yang Jeremy tutup rapat karena hanya ada Lea di dalamnya kini sudah
mulai menganga sedikit demi sedikit hanya karena kehadiran sang orang ketiga.

“Jer, I want you to be happy, dan aku lebih senang kalau kamu bahagia karena aku dan saat lagi
bareng sama aku.” Louis berbisik di telinga Jeremy. Louis kini tengah meraja di atas tubuh Jeremy, ia
belai perlahan pipi Jeremy dan kecup kedua pipi Jeremy serta dahi pria itu. Tanpa basa-basi, Jeremy
membungkam bibir Louis dengan bibirnya. Jeremy menggunakan lidahnya untuk menyapu bibir Louis.
Wanita itu belum membalasnya, Louis masih melipat bibirnya, Jeremy tak berhenti disana ia menekan
tengkuk leher Louis lidahnya bergerak lembut yang akhirnya membuat Louis membalas ciuman itu,
saat rongga dibiarkan terbuka, lidah Jeremy melesat masuk mengeksplor setiap inci bagian dalam
rongga mulut Louis dan menautkan lidahnya disana membiarkan keduanya bertukar saliva dan saling
membalasnya. Keduanya saling memainkan lidah dengan lihai tak hanya saliva yang ditukar mungkin
juga isi perasaan Louis yang ia biarkan tumpah ruah.

Louis melepaskan pagutan lalu merendahkan tubuhnya mengambil posisi tepat di depan pusaka
Jeremy yang sebenarnya sudah menegang dan meminta untuk dipuaskan. Kini dengan sensual dan
tatapan menggodanya, Louis raih pusaka itu dan ia berikan gerakan mengurut di sana, naik dan turun
secara stabil. Jeremy langsung memejam dan mendesah, “Louis―ssshh ahh,”

Jeremy yang memejam kini sudah ada di bawah kuasa Louis, maka perlahan Louis berikan
gerakan dengan ujung lidah di puncak kepala kejantanan milik Jeremy, gerakan memutar yang membuat
sang tuan semakin hanyut dalam kenikmatan. Tangan Louis juga menggoda twins ball milik Jeremy
yang membuat Jeremy semakin kepayang. Louis kini memasukkan pusaka milik Jeremy ke dalam mulut
hangatnya.

“Ssshh, Louis, go deeper and deep throat please―” permintaan dalam balutan lenguhan itu
dikabulkan Louis seketika, Louis memberikan layanan deep throat bagi Jeremy. Ia memaju mundurkan
kepalanya bahkan kadang hampir tersedak karena ujung pusaka Jeremy yang menyentuh
tenggorokannya.

Jeremy masih mengerang di atas sana. Tangan Jeremy meraih payudara Louis dan diremasnya
beberapa kali guna salurkan nikmat juga. Merasa hampir menemui pelepasan pertamanya, Jeremy beri
peringatan bagi Louis untuk memperdalam kulumannya. Louis mempercepat gerakannya hingga sang
tuan merasa sesuatu ingin melesat keluar dari dalam tubuhnya.

“Aku mau keluar―ahh, wait, mhh,” lenguh Jeremy, Louis paham apa yang harus ia lakukan,
Louis mengerti ia harus mempercepat gerakannya menemani sang tuan hingga jemput nikmatnya. Kini
Louis juga bergantian memberikan gerakan tangan di pusaka Jeremy. Hingga sesaat setelahnya ia
merasakan milik Jeremy seakan berkedut di dalam mulutnya.

“Almost... ahh... mhhh... ahhhh!” lenguhan Jeremy tidak tertahankan dan dibarengi oleh cairan
putih kental yang keluar di dalam mulut Louis dan langsung ditelan oleh Louis begitu saja.

Jeremy masih mengatur napasnya yang terengah-engah, Louis tersenyum bangga, ia kembali
merangkak mensejajarkan wajahnya dengan wajah Jeremy. Louis mulai hanyut begitu juga dengan
Jeremy yang masih terpengaruh alkohol. Jeremy menuntun dan mulai menidurkan Louis lagi di ranjang.
Louis menjelma bak pemeran utama malam ini karena bisa membuat Jeremy ada di bawah kendalinya.
Sisi liar keduanya menyala saat cumbu dipagut lebih dalam oleh sang tuan yang memeluknya dan
melingkarkan tangannya di perut Louis dan bergerak kemanapun, jemari Jeremy bergerak menuju pusat
tubuh sang puan dan bermain disana. Sapaan lembut pertama untuk beberapa detik hingga jari
panjangnya ia biarkan melesat masuk secara tiba-tiba.

“Can you just stay for a while?” Jeremy berbisik dalam desahnya. Tidak ada perlawanan. Tubuh
keduanya saling bersentuhan dan bergesekan menambah gelenyar nikmat yang memabukkan bagi
keduanya. Jeremy yang masih mabuk bertambah kepayang, kepala Louis yang mendongak diambil
Jeremy untuk mengecup dan mencumbu mesra bagian leher sang puan. Bibir dan lidahnya lihai
menjalari bagian leher Louis memanjakan dengan sentuhan sutra membuat sang puan seakan terbang
ke awan-awan.

Selama bersama Jeremy, Louis tidak pernah tidak lebur pertahanan, kini Jeremy menahan
beban tubuhnya dengan kedua siku dan lengan yang menjadi tumpuannya. Ia kembali menyatukan
kedua belah bibirnya dengan bibir Louis. Perlahan ia rasakan tangan Louis melingkar di lehernya.
Jeremy langsung melesatkan lidahnya lagi guna menginvasi rongga mulut Louis. Lumatan dan pagutan
berlangsung mesra―dan menyakitkan bagi Jeremy, entah saat itu Jeremy hanya merasakan sakit.

Jeremy belum melepaskan pagutan, tempat Lea kini Louis gantikan sesaat. Sapaan lembut
pertama untuk beberapa detik Jeremy berikan, gerakan membuka lipatan lembab di bawah sana, hingga
gerakan menekan yang ia berikan membuat Louis melenguh dan membusungkan dadanya sesaat.

“Ngh―Jeremy, ahh...” lenguhnya hingga saat jari panjangnya ia biarkan melesat masuk dan
memberikan gerakan memutar dan menekan clit milik Louis, lenguhan selanjutnya tidak bisa ditahan
lagi.

“Ahh, Jeremy!” Louis menggeliat kala bagian pusat tubuhnya disapa oleh jari Jeremy yang
memberikan banyak gerakan di bawah sana, Louis luluh seluruh. Bagian yang menjadi titik tumpu dan
menyalanya sisi lain dari Louis berhasil dikuasai Jeremy saat ini. Membuat Louis sedikit menggeliat,
kepala Louis sedikit mendongak saat pergerakan jemari Jeremy dibawah sana semakin liar.

“Can you say my name?” Jeremy berbisik dalam lirih. Tidak ada perlawanan dan detik
selanjutnya Louis melenguhkan nama Jeremy.

“Jeremy―stay there mhh...” Seketika jagat raya semesta berhenti saat sesuatu di bawah sana
dikoyak Jeremy lebih lagi. Lalu selanjutnya dalam warna rona ranum birai Louis tak Jeremy lepaskan
pagutan yang mengikat mereka berdua saat itu. Kemanapun tubuh Louis lari dalam geliat, maka Jeremy
mengejarnya dan menahannya, memastikan sang puan aman dan nyaman. Hanya Jeremy yang pantas
untuk merajai Louis dan juga sebaliknya, hanya untuk malam ini. Keduanya terhanyut menepis realita.

Keduanya menetap utuh dalam senggama malam itu, denting jam berhenti saat Jeremy
merasakan milik Louis yang sudah basah itu minta di puaskan. Jeremy pun bersiap berada di atas tubuh
sang puan lalu menyatukan milik mereka dalam beberapa kali hentakan.

“Akhh―Jeremy, ngghh...” lenguh Louis saat miliknya terasa penuh oleh pusaka Jeremy saat
itu.

Perlahan Jeremy mulai berikan sebuah gerakan yang memicu senggama jelma sebuah candu
yang dinantikan Louis malam itu. Jeremy bertahan dengan tempo dan jeda yang lambatnya, dan Louis
masih kuat menahan nikmat afeksi yang ditimbulkan akibat perlakuan Jeremy itu.
Keduanya saling menatap dan tersenyum sejenak dalam sebuah kesalahan. Ya, hubungan
mereka adalah sebuah kesalahan yang tidak seharusnya terjadi. Sebenarnya di balik senyuman yang
Jeremy berikan ada luka yang mengikis dalam hatinya. Tak ada letih yang menggerayangi keduanya
walaupun tubuh keduanya mulai basah oleh peluh.

“Let me insert my plug into your socket so we can generate something inside our body, Louis.”
perkataan nakal itu diberikan Jeremy saat keduanya masih menyatu dan berhasil membuat Louis tersipu.
Di bawah naungan hangat cahaya rembulan saat itu, desiran rasa nikmat menggoda keduanya agar
tidak berhenti memuja satu sama lain lewat lenguh dan desah.

Api gelora nikmat renjana menari diantara tubuh keduanya, ditambah saat gerakan pinggul
yang Jeremy berikan sedikit dipercepat. Maka saat itu tubuh Louis menjelma samudera luas yang
dengan sukarela akan dijelajahi dan diarungi oleh Jeremy, sungguh Jeremy sudah hilang akal!

Bibir dan lidah Jeremy lihai mengarungi hamparan dan setiap liukan indah tubuh Louis. Dada,
perut dan leher dijelajahi tanpa ada yang terlewat. Bahkan, Jeremy juga masih sempat menyematkan
tanda kepemilikan bagi Louis. Leher jenjang bak selat sempit yang bermuara sampai ke payudara yang
menjadi hilir untuk Jeremy mendaratkan hisapan dan ciuman brutal di sana. Payudara Louis menjadi
tempat berlabuh bibir dan lidah Jeremy dalam perjalanannya mengarungi samudera terindah malam itu.
Tempo hisapan pelan yang berangsur brutal membuat sang puan melenguh tiada henti, namun juga
Louis peluk kepala sang tuan guna memperdalam hisapan yang Jeremy berikan.

“More Jeremy, faster―”

“As your wish,” balas Jeremy.

Mereka mempermainkan keadaan, sentuhan yang seharusnya tidak dilakukan, pagutan yang
seharusnya tidak disematkan tak kunjung lengah malam itu. Selanjutnya lidah dan bibir Jeremy
memberanikan diri untuk melanjutkan pengembaraan di perut Louis yang membuat sang puan
menggelinjang mati-matian, mengingat keduanya juga saling menindih. Tangan Louis menjadi kompas
penuntun agar Jeremy mendaratkan lagi bibirnya di leher jenjang Louis, tentu saja Jeremy kabulkan.
Bahkan untuk merangkai kata pun sekarang Louis kesusahan karena yang ia bisa hanya meracau karena
Jeremy sudah bergerak brutal, lebih brutal dari sebelumnya.

Suasana di luar memang dingin tapi tubuh keduanya hangat oleh api gaira satu sama lain.
Bahkan keduanya benci jika harus berhenti, jarak keduanya hanya sebatas deru napas lagi. Tubuh Louis
dipeluk dan Jeremy memutar tubuhnya beguling sambil mendekap sang puan dan menjadikan Louis di
posisi atas sebagai ratu yang berkuasa atas tubuh Jeremy.
“You don’t need any licence to ride me.” Louis berkata di sela-sela desahanya.

“Jeremy―ahh,” lenguh Louis terdengar lagi karena Jeremy memang bergerak lebih cepat dari
sebelumnya. Gerakan pinggul naik turun dan memutar yang Jeremy berikan tak kalah jelma adiktif bagi
Louis.

Sang puan membusung dan menengadahkan kepalanya seakan terus meminta diberi perlakuan
intim oleh Jeremy. Sedangkan pinggul Jeremy menghentak sesekali, geming menyeruak dipecah
lenguhan Louis.

“Jeremy―mhh,”

Sungguh, tempo hentakan Jeremy tak beraturan sekarang, Louis memeluk sang tuan semakin
erat. Paha Louis ia buka lebar dan ia peluk lebih lagi tubuh gagah itu. Bahkan kini lidah Louis juga
ambil andil dalam permainan, memanjakan sang tuan di bagian leher. Api gelora keduanya tak kunjung
padam. Rintik nikmat mulai membalut diri mereka kala penyatuan itu tidak berhenti.

“Call my name. I’ll ride you―ahh”

“Jeremy―mmhh,”

Tubuh keduanya semakin resah, tetes-tetes peluh dalam balutan kenikmatan mencoba
terjemahkan kedua insan yang memejam ingin jemput nikmat bersama. Maka, meeka endapkan luka
sejenak. Laksana air laut yang tenang, keduanya hanyut dan hampir bermuara. Jeremy bergerak saat
sang puan semakin meracau. Hentakan dan gerakan pinggul tak beraturan saat itu Louis yakini adalah
sebuah permintaan Jeremy untuk jemput nikmat bersama. Maka bertautlah pandangan mereka berdua
dan saling mengangguk sepakat untuk jemput pelepasan bersama. Benar, Jeremy menggerakkan
pinggulnya lebih brutal bahkan membuat tubuh Louis menggelinjang.

“Louis―mmhh, I wanna coming out...”

“Ahhh!”

“Ahhhhh!!”

Keduanya jemput surga dunia malam itu bersama, Jeremy melepaskan seluruh cairan kasihnya
di perut Louis. Keduanya mengatur napas sejenak, Jeremy memeluk tubuh Louis yang masih bergetar
dan mengecup bibir Louis untuk waktu yang lama. Jeremy mengubah posisi tidur di sebelah Louis dan
memeluk Louis erat.
Pagi harinya ...

Jeremy dan Louis sudah bersepakat untuk meninggalkan apartemen pada pukul lima,
kesempatan itu digunakan Jeremy untuk langsung pergi ke kantornya dan Louis pulang ke rumahnya.
Saat di dalam lift, Jeremy beberapa kali mengecek ponselnya, Lea terlihat mengirimkan beberapa pesan
yang tidak digubris sama sekali oleh Jeremy.

LEA

Jeremy, kemana?
Kok belum pulang?
Kamu kemana?
Enggak pulang?
Aku minta maaf, ayo pulang.
Dilihat anak-anak enggak enak, Jeremy.
Anak-anak nanyain kamu, Jevin sama Mevin ikutan enggak pulang.
Kembar enggak bisa dihubungi, Jeremy please,
I beg you please be wise as a husband and a father.

Pesan itu tidak mendapatkan balasan dari Jeremy karena Jeremy berniat hendak membalasnya
saat sudah di kantor. Ada rasa kecewa dan bersalah yang mendalam di dalam benak Jeremy. Ia baru
saja berbagi raga dengan wanita lain. Hatinya goyah, saat ini ia merasa sangat bersalah.

“Aku langsung ke kantor ya,” kata Jeremy pada Louis saat sudah sampai di parkiran, Louis
mengangguk, Louis memeluk Jeremy sesaat namun, Jeremy tidak membalasnya. Saat itu juga terdengar
tepukan tangan dari dua orang dan langkah kaki yang mendekati Jeremy dan Louis.

“Great job, Papa!” suara yang tak asing untuk Jeremy membuyarkan fokus dan pelukan Jeremy
dan Louis. Keduanya tersentak kaget saat mengetahui Jevin dan Mevin ada disana. Kedua anak kembar
Jeremy, darah daging Jeremy ada di sana.

“Papa enggak pulang tapi pergi sama jalang ini?” Jevin melangkah maju mendekat ke arah
Louis. Wanita itu berjalan mundur sedikit gemetar.
“Jevin, Mevin―” Jeremy menghalangi langkah anaknya itu dengan wajah panik dan pucat.

“Apa?! Haha, lihat kan? Lindungin jalang ini?” ucap Jevin, Mevin kini menarik lengan Jevin
namun Jevin menepisnya.

“Jaga ya mulut kamu!” pekik Louis.

“Lo yang harusnya jaga sikap! Murahan! Gue anaknya pria yang lo goda dan lo rayu! Kenapa?!
Apa sebutan yang pantes buat lo kalau bukan jalang?!”

“Jevin!” Jeremy meninggikan suaranya.

Plakk!! Jevin maju satu langkah lalu menampar Louis keras-keras. Jeremy mendelik dengan
sikap anaknya itu.

“Bahkan sebutan Kepala Keluarga itu enggak pantes buat Papa!” balas Jevin tidak kalah emosi.

“Selesaikan sendiri urusan keluargamu!” Louis membentak lalu pergi dari sana. Jeremy
bingung dan kikuk harus bersikap bagaimana sekarang.

“Pa, dari tadi malem kita nungguin disini. Kita enggak mau percaya, kita kira wanita ini cuma
mau nganterin Papa terus pergi. Tapi kita terlalu berpikir hal yang baik-baik, nyatanya? Kita enggak
usah ngomong kan, haha.” Mevin angkat bicara.

“Mama nungguin Papa di rumah! Papa bahkan enggak tahu kan kalau mama sakit?! Mama
disuruh ke rumah sakit nolak, demi nungguin Papa, kami berdua lihat Papa keluar dari kantor sama
wanita itu, kita ikutin, kita tungguin. Di parkiran ini, di sini sejak kalian datang sampai pagi ini!” kata
Mevin lagi dengan sedikit serak.

“Sinting! Kelakuan Papa itu sinting! Di luar nalar! Brengsek!” Jevin yang tersulut emosinya
langsung mengepalkan tangannya dan mendaratkan pukulan di wajah Jeremy beberapa kali. Mevin
berusaha sebisa mungkin menahan Jevin. Jeremy sudah tersungkur dan jatuh, dengan segenap tenaga,
akhirnya Mevin bisa melerai orang tuanya dan saudara kembarnya itu. Jantung Jevin berdetak lebih
cepat.

“Mama kurang apa, sih? Mama kurang apa?!!” Teriak Jevin yang masih ditahan Mevin agar
tidak mendekati Jeremy.
“Ssstt, pelanin suara lo, malu, dilihat orang, Jev!” bisik Mevin lirih, Jevin pun mengatur
napasnya perlahan. Jeremy tertunduk lesu, perlahan ia bangkit meraih tangan anak-anaknya satu per
satu namun ditepis kasar oleh Mevin ataupun Jevin.

“Nak, maafin papa,” ucap Jeremy sambil berusaha menahan lengan Mevin. Anak yang Jeremy
besarkan walaupun tidak lahir dari rahim Lea itu menepisnya.

“Minta maaf sama Mama, dunia Mama udah hancur dan akan semakin hancur setelah ini gara-
gara Papa!” balas Mevin berteriak.

“Pulang sekarang, pisah sama Mama! Jevin nggak sudi punya Ayah tukang selingkuh, ini
kesalahan fatal. Mama pantas bahagia, tanpa Papa! Makasih udah hancurin hati keluarga.” Jevin
meludah lalu melangkahkan kaki dari sana.

“Mevin! Jevin!” Jeremy menarik lengan kedua anaknya itu, Jevin menepisnya kasar dan
langsung beranjak, sedangkan Mevin menghentikan langkahnya, menatap nanar mata Jeremy. Kini,
Jeremy berlutut sambil memegang pergelangan Mevin.

“Maafin Papa, nak. Maafin Papa,” kata Jeremy sambil menahan agar Mevin tidak pergi dari
sana, ia sedikit mendongakkan kepala, ia lihat Mevin mengerjapkan matanya beberapa kali lalu
mengembalikan pandangannya ke arah Jeremy.

“Permintaan Papa Jovian buat ajak Mevin tinggal bareng kayaknya bakalan Mevin
pertimbangin,” balas Mevin lalu melepaskan genggaman tangan Ayahnya. Meninggalkan Ayahnya
disana sendiri yang masih bertelut dan menangis. Beberapa kali Jeremy memekik nama Jevin dan
Mevin pun tidak digubris oleh kedua anaknya itu. Lalu Mevin dan Jevin pun pergi dari sana,
berboncengan dan langsung bergegas pulang ke rumah. Hati anak mana yang tidak hancur, hati anak
mana yang tidak sesak, dan hati anak mana yang tidak rapuh melihat kenyataan pahit itu? Anak-anak
Jeremy selalu berusaha memastikan Lea baik-baik saja padahal nyatanya setelah ini kehancuran harus
mereka hadapi, ulah kepala keluarga yang mereka sanjung dan sayangi selama ini. Perasaan di lubuk
hati sudah dihancurkan oleh seseorang dengan sematan sebutan Papa, hati Jevin dan Mevin tidak sedang
baik-baik saja. Entah akan jadi apa keluarga mereka setelah ini, yang Jevin dan Mevin tahu, kekecewaan
terbesar dalam keluarga itu diukir oleh Jeremy, Ayah mereka.
Sesampainya di rumah...

Pernikahan Lea dan Jeremy mungkin sekarang ibarat pucuk daun kering yang tinggal sedikit
lagi akan patah digerus angin. Jeremy adalah angin yang menghancurkan yang membawa pergi segala
harap dan asa Lea untuk keluarganya agar bahagia sepanjang usia. Lea berusaha memupuk dan
menghidupkan kehidupan keluarganya, namun dalam sekejap, Jeremy menghancurkan segalanya.

Apa yang Jevin dan Mevin lihat sudah mereka sampaikan kepada Lea, kini, Lea, Lauren, Jevin
dan Mevin tengah ada di ruang tamu, menunggu apakah Jeremy akan datang. Lea masih menangis
sambil merangkul Lauren. Jevin dan Mevin ikut teriris pedih hatinya melihat Mama mereka terpuruk.
Untuk malam-malam yang terlewati selama belasan tahun bahkan hampir dua puluh tahun pernikahan
harus habis dimakan pengkhianatan. Hati Lea hancur, lebih dari hancur.

“Ma, jangan nangis lagi, udah Ma.” Lauren berbisik sambil masih merangkul pundak Lea dan
mengusapnya pelan. Mevin yang melihat hal itu langsung turun dari tempat duduknya, ia berlutut,
memeluk lutut mamanya. ia membenamkan wajah di sana. Tak lama punggung Mevin bergetar, Mevin
terisak. Hal itu membuat Lea menegakkan posisinya dan berganti mengusap punggung Mevin.

“Kenapa, nak? Mevin jangan nangis, hancur hati Mama, jangan nangis, sayang.” Lea mengusap
punggung Mevin, meminta anaknya menegakkan tubuhnya tapi Mevin menolak, Mevin masih di sana,
Mevin masih menangis di sana. Mevin semakin terisak.

Lauren dan Jevin yang melihat hal itu tidak bisa membendung air mata mereka, Jevin memilih
masuk ke kamar dan mengunci kamarnya, Lauren masih disana, menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya dan tersedu. Lea sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi, hati anak-anaknya hancur,
hatinya juga.

“Mevin mau Mama bahagia,” ucap Mevin di sela tangisnya, dengan lembut tangan dan
pergerakan Lea, ia bawa wajah Mevin menghadapnya. Ditatapnya anak lelakinya itu.

“Selagi ada Mevin, Mama bahagia.” Lea mengucapkan kalimatnya dengan senyum yang ia
paksakan, dengan senyum yang ia berikan sekuat tenaga.

Hingga akhirnya mereka dibuat tersentak oleh suara pintu yang dibuka dengan kasar. Jeremy
di sana! Jeremy pulang, dengan mata yang basah dan merah, dengan keadaan yang berantakan. Mevin,
Lauren dan Lea langsung menghapus air mata mereka. Lea memberi isyarat agar Mevin duduk di
sebelah Lauren, Lea bangkit berdiri lalu menghampiri Jeremy.
Pria itu masih menenteng jas di tangan kanannya, namun ia hempaskan ke lantai begitu saja.
Jeremy langsung memeluk Lea, namun Lea tidak membalasnya. Jeremy berulang kali mengatakan maaf
namun Lea hanya mendengus tanpa merespon. Karena sadar Lea tidak merespon pelukan dan
ucapannya, Jeremy merenggangkan pelukan, ia memberanikan menatap mata istrinya yang sudah
sembab itu.

“Apa? Sekarang apa, brengsek!”

Plak!

Plak!

Plak!

Tiga tamparan berturut-turut mendarat di pipi Jeremy namun tidak dibalas apapun oleh Jeremy.
Lea menamparnya dengan penuh tenaga dan emosi yang ia titipkan. Bagaimana seorang yang sudah
memijaki hari-hari bersama selama hitungan tahun menghancurkannya begitu saja. Lea sudah mencintai
Jeremy semampunya, seikhlasnya, dan Jeremy menghancurkan Lea dengan sadarnya. Cinta tulus Lea
dibalas pengkhianatan.

“Mau kamu apa? Aku salah apa?” pertanyaan Lea tidak bisa dijawab oleh Jeremy.

“Aku minta kamu pulang baik-baik. Tapi tega kamu giniin aku?!” Sajak duka seakan isyaratkan
diri Lea yang sudah mati rasa itu menusuk rungu Jeremy dan menyayat hatinya dan hati kedua anaknya
yang masih di sana tentunya.
Mendengar ucapan Lea, Jeremy memegang kedua pundak istrinya dan menundukkan kepalanya
sedikit agar pandangannya sejajar dengan pandangan Lea. Jejak air mata terbentuk di wajah ayu Lea,
sungai air mata itu mengalir deras tanpa henti. Mata Lea sudah basah.
“Terus kamu mau gimana sekarang? Pisah?! Aku enggak mau!” Kalimat itu Jeremy ucapkan
dengan lantang.
Lea memaksa melepaskan tangan Jeremy dari pundaknya.
“It is too hurt, really hurt,” lanjut Lea.
Jeremy bergeming, ia menarik Lea ke dalam pelukannya, tetapi Lea memberontak.
“Lepas!” ucap Lea lirih.
Jeremy tidak melepasnya. “Lepas, Jer!” seru Lea dengan suara nyaring. Sementara Jeremy tetap
menahan Lea dalam dekap dan tidak melepaskan sama sekali.
“Bilang kalau kamu nggak cinta sama aku! Kamu masih cinta kan sama aku?” ucapan Jeremy
membuat Lea meledak dalam tangisannya, sungguh ini adalah pelukan yang menyakitkan.
“Rasa cinta itu enggak mungkin hilang dalam beberapa jam, tapi kecewa dan sakit itu sekarang
yang aku rasain, aku hanya bisa rasain perasaan itu!” Kali ini, Lea mendorong tubuh suaminya itu
dengan sedikit kasar dan berkata dengan lantang. Lauren dan Mevin yang ada di sana hanya bisa
menunduk, Mevin merangkul pundak kakaknya dan ia membuang pandangan ke samping karena
enggan melihat keributan kedua orang tuanya itu.
“Kamu enggak salah, Lea. Aku yang salah, aku minta maaf.”
“Kamu sadar kamu salah? Aku kira juga kamu sadar waktu mau melakukan itu. Aku kesusahan
urus rumah, kerjaan, jadi istri dan ibu di saat yang bersamaan. Semua urusan Mevin dan Jevin di sekolah
selalu aku yang handle, Jer. Kamu sadar kamu selingkuh kan? Disaat aku mati-matian, kamu sadar kan?
Kamu diemin aku, kamu nggak angkat telfon, kamu nggak balas chat aku, kamu selingkuh di belakang
aku!” Lea kini memukul dada Jeremy berkali-kali.
“Belum aku harus bolak balik urus kerjaan di dua tempat, kamu kira gampang? Aku harus jadi ibu,
istri, aku selalu coba ngerti keadaan kamu! Tapi, yang ngerti gimana sakitnya batinku siapa? Jadi ibu
dan istri pada saat yang bersamaan. Kamu nggak pernah tahu apa-apa!” Lea terisak dan memukul dada
Jeremy dengan kepalan tangannya. Lea perlahan jatuh luruh ke lantai, tangisannya yang meraung tak
bisa dibendung lagi. Jeremy mencoba menahan tubuh Lea dan menyandarkan tubuh Lea di tubuhnya.
Namun, Lea memberontak. Beberapa kali Lea mencoba melepaskan diri dari pelukan Jeremy namun
tidak membuahkan hasil.
“Aku sayang sama kamu!” Nada Jeremy meninggi.
“Terus, sekarang kamu mau gimana?! Aku nggak bisa tinggal sama penghianat kaya kamu! Aku
nggak mau!” Lea melayangkan satu pukulan pelan di dada Jeremy sebelum ia menangis terisak sambil
meremas baju suaminya.
“Lucu, ya. Aku tulus selama ini sama kamu. Nggak bisa kah kamu mikir sedikit sebelum lakuin
itu? Mikir anak-anak deh at least jangan mikir aku, ada Lauren, Jevin sama Mevin!” Lea tertawa,
sedetik kemudian ia menangis.

Jeremy diam, ia tidak bisa menyanggah kalimat Lea, jantungnya berdetak kencang. Ia
mengepalkan tangan menahan emosinya, kali ini memang Jeremy merasa sangat bersalah. Cinta
memang hanya menghadirkan dua keadaan, buruk atau bahagia. Saat ini hanya keadaan buruk, bahkan
keadaan yang semakin memburuk yang Lea rasakan. Waktu memang kejam, manusia bisa berubah
sewaktu-waktu, dalam kesakitannya, Lea tidak bisa mengatakan apapun lagi. Akan ada tawa yang
mereka rindukan, akan ada peluk yang mereka harapkan, dan akan ada hari-hari setelah perpisahan yang
lebih mengerikan daripada hari perpisahan itu sendiri. Jeremy menangkup kedua pipi istrinya dan tidak
henti mengucapkan maaf. Lea menepis tangan Jeremy kasar, tetapi Jeremy tetap menahannya.

“Pada akhirnya kamu juga yang memaksa rumah tangga kita berakhir! Anak-anak gimana?” ucap
Lea.
“Jer, aku selalu mikirin perasaan kamu tanpa pernah mikirin perasaanku. Kamu nggak pernah tahu
gimana sakitnya aku.” Lea berkata dengan hati yang sudah hancur. Tangan Jeremy dan Lea masih
bergelut satu sama lain, yang satu ingin menahan sementara yang satu mengempaskan.
“Lea!” pekik Jeremy.
“Enggak ada toleransi untuk perselingkuhan dan kebohongan seperti ini! Sekali aku disakiti
dengan cara seperti ini, aku enggak mau kembali. Aku enggak sudi berbagi peluk sama kamu!” balas
Lea.
Jeremy yang mendengar perkataan itu pun merasa terpaku dan tercekat. “Jangan gila Lea, nggak
akan!”
“Aku seharusnya nggak pernah menikah sama kamu!” Kerongkongan Jeremy sangat tercekat,
seakan ingin melupakan kalimat yang Lea ucapkan barusan. Lea hanya menangis dan terus menyeka
air matanya.
Tatapan sayu dari mata Lea menembus hati Jeremy. Wanita itu sudah menahan semuanya terlalu
lama seorang diri. Banyak hal yang sudah Lea lakukan untuk mendapat akhir cerita bahagia, tapi Jeremy
hanya berikan luka. Lea menangis, lepas dari pelukan Jeremy. Ia menangis sambil terduduk di lantai,
membenamkan wajah di kedua telapak tangannya, punggungnya bergetar hebat, Jeremy ikut bersandar
di tembok, ia memandangi istrinya yang tengah menangis bahkan kini Lea tertunduk, dahinya hampir
menyentuh lantai. Lea sangat terpuruk, bahkan mungkin lebih dari terpuruk. Hati Lea hidup tapi rasanya
mati. Tidak mungkin bagi Lea membenci Jeremy begitu saja, ia membenci kenyataan yang terjadi.
“Pergi, Jeremy...” Lea berkata lirih di sela tangisnya. Sekarang, seakan ada tembok pemisah
diantara keduanya.
“Lauren, Jevin, Mevin tetap anak kamu, tapi kamu enggak berhak atas aku. Kita enggak akan
pernah cerai, tapi berpisah. Enggak akan ada hitam di atas putih kita bercerai, tapi kamu udah enggak
ada hak atas aku. Kamu masih harus bertanggung jawab atas anak-anak kamu!” Lea mengatakan itu
dengan nada tenang meski hatinya hancur, tubuhnya terasa dingin, tangan dan bibirnya bergetar. Jeremy
langsung menghampiri Mevin dan Lauren yang masih berada di sofa, Jeremy bertelut di depan kedua
anaknya itu.
“Maafin Papa, ya? Cici, Mevin... Pa...pa minta maaf...” bahkan sekarang Jeremy sudah terbata-
bata mengucapkan kalimatnya.
“Papa nyakitin Mama, itu artinya Papa nyakitin Lauren sama kembar juga.” Ucapan Lauren benar-
benar menusuk hati Jeremy. Ia masih menangis, memeluk kedua anaknya yang berusaha melepaskan
pelukan yang Jeremy berikan. Lea masih berdiri disana, ia terisak seorang diri, Lea berkali-kali
mengusap air matanya. Namun, tiba-tiba ditengah suasana penuh air mata itu terdengar suara pecahan
kaca dari dalam kamar Jevin, semuanya langsung kaget, Lea yang pertama kali berlari dan langsung
menuju pintu kamar Jevin. Lea berusaha membukanya namun Jevin menguncinya. Lauren, Mevin dan
Jeremy langsung bangkit berdiri dan menyusul ke sana. Berkali-kali Lea dan Jeremy mengetuk pintu
itu namun tidak ada jawaban.
“Jevin! Buka pintunya, nak!” Lea panik dan mengetuk pintu dengan keadaan semakin menangis
karena cemas.
“Jevin! Jevin!” Jeremy juga ikut mengetuk pintu itu berkali-kali.
Pranggg!
Suara pecahan bertambah nyaring, Lea yang sudah kalut pun diminta Jeremy untuk mundur, kali
ini biar Jeremy yang mendobrak pintu itu.
Dobrakan pertama gagal.
Dobrakan kedua masih gagal.
Dobrakan ketiga dibantu oleh Mevin, pintu kamar itu terbuka, Jeremy langsung masuk, mendapati
Jevin dengan pecahan kaca di sekitarnya Jevin baru saja menghantamkan tangannya yang mengepal ke
cermin kamarnya. Jelas tercecer darah di mana-mana, tangan Jevin juga dialiri darah segar, matanya
sembab bukan main. Dadanya naik turun masih mengatur napasnya. Jevin melihat ada seseorang yang
sangat ia benci saat ini, dengan langkah cepat, Jevin berjalan dan langsung mencengkram kerah baju
Papanya, Jevin bernapas dalam kesakitannya, Jevin melihat luka pada pandangannya terhadap Papanya.
Jevin mencengkram dan membawa tubuh Jeremy dan dihantamkannya ke tembok.
“Jevin!” Jerit Lea, Mevin dan Lauren hampir bersamaan dan berusaha melerai Jevin dan Jeremy.
Tidak ada perlawanan dari Jeremy namun tidak ada ampun juga dari Jevin. Kemarin keluarga ini masih
bercanda tawa bersama namun sekarang hanya ada perselisihan. Mereka dapati satu fakta memilukan,
Jeremy berkhianat.
“Papa itu jahat! Papa orang paling jahat yang Jevin tahu!” frasa bak belati menyayat hati Jevin
lantunkan dengan iringan kepedihan.
“Nak, maafin Papa!”
“Jevin, stop!” lerai Mevin dan mengumpulkan segenap tenaganya untuk menarik Jevin menjauh
dari Jeremy.
“Please don’t ever hurt your self, Mama beg you, Jevin―” Lea berbisik pelan sambil menangkup
pipi Jevin. Namun, Jevin masih dengan segala emosinya, ia melangkah maju mengabaikan Mamanya
dan hendak menghantamkan pukulan lagi kepada Papanya.
“Dek!” Lauren kini ikut menengahi, Lauren menghalangi langkah Jevin yang jelas-jelas hendak
melayangkan pukulan lagi.
“Udah!!” Jerit Lea lalu menengahi mereka. Lea berjalan ke depan Jeremy, ia memantapkan dirinya
untuk mengatakan hal ini lagi.
“Kita enggak akan cerai, tapi aku bukan milik kamu lagi, anak-anak tetap anakku dan anak kamu.
Kita pisah, tapi jangan harap ada kata cerai.” Netra Lea dan Jeremy memang bersua tapi ada celah
renggang di sana. Jeremy yang buat celah itu semakin besar.
Bagi Jeremy, berpisah dengan Lea dan tidak dalam satu naungan lagi adalah luka yang paling
membekas. Lea masih ada tapi sebentar lagi Lea akan membalikkan badan dan Jeremy hanya akan bisa
melihat punggung Lea saja tanpa bisa merengkuhnya. Setelah ini rengkuh yang mereka bagi berdua
hanya akan berbalik menjadi sumpah serapah.
“Lea...”
“Itu keputusanku.”
Lea membalas dengan tegas ucapan Jeremy itu hingga Jeremy tidak bisa membantahnya.
“Papa,” kata Lauren lirih sambil menatap tajam Papanya itu, Jeremy mengarahkan
pandangannya kepada Lauren dan masih menyeka air matanya.
“Papa adalah cinta pertama Lauren di dunia, Papa adalah sosok nyata pria yang Lauren lihat di
keseharian Lauren. Papa pasti inget struggle Mama selama hamil Lauren sampai melahirkan. Ada di
ambang perceraian, ada di tengah keadaan sekitar yang berlomba menjatuhkan, ada di keadaan dimana
Mama hanya pengen berdiri tapi sekitar berlomba menjatuhkan Mama sejatuh-jatuhnya, Papa inget
kan? Dan sekarang Papa dengan sadar menghancurkan segala perjuangan Mama. Lauren tahu
perjuangan Papa dan Mama untuk berkeluarga itu enggak mudah, tapi kenapa, Pa? Kenapa?” kata
Lauren yang menjelma sajak menyayat hati bagi Lea ataupun Jeremy.
“Jevin pikir Mama itu segalanya buat Papa, Jevin pikir janji Papa itu selamanya, Jevin
menghormati Papa, Jevin lihat gimana Mama selama ditinggal dan diabaikan Papa, luka di tangan Jevin
ini belum ada apa-apanya dibanding luka di hati Mama!” Jevin tak kalah emosi.
Lea tertunduk, tidak menyangka anak-anaknya seberani itu untuk mengungkapkan perasaan
mereka.
“Pa,” ucap Mevin lirih.
“Papa pasti tahu, kita semua tahu Mevin bukan darah daging dan anak kandung Papa sama
Mama. Tapi, kalau ditanya siapa orang tua Mevin, yang terlintas di pikiran Mevin hanya Papa Jeremy
sama Mama Lea. Bahkan Papa tahu sendiri, tawaran Papa Jovian untuk ajak Mevin tinggal bareng pun
Mevin tolak. Mevin sayang keluarga ini, Papa inget kan pertama kali yang gendong Mevin itu Papa
bahkan bukan Mama Lea. Hati Mevin sakit, hancur.” Mevin berkata diatas tangisnya. Sekarang, tidak
ada yang tidak menangis, semua yang ada di sana hanyut dan luruh dalam isakan tangisnya masing-
masing.
“Papa yang pertama kali gendong Mevin, Papa yang terima Mevin sebelum Mama Lea. Papa
inget? Mevin lebih pilih tinggal di keluarga ini daripada Papa Jovian. Sekarang hati Mevin sakit, Pa.
Sakit banget, lebih sakit daripada waktu Mevin tahu Mama kandung Mevin pergi. Papa udah hancurin
hati Mama, tolong, Pa, Mevin udah pernah kehilangan, sekarang Mevin dapat kehancuran. Sakit hati
Mevin, Pa. Sakit banget.” Sementara Mevin berkata dengan kalimat pedihnya, di luar sana hujan turun
dengan deras. Seiringan dengan derasnya air mata yang lolos dari masing-masing pribadi di keluarga
itu. Aksara demi aksara yang keluarga Jeremy torehkan dengan rapi harus lebur dan berantakan karena
tumpahan tinta yang sengaja Jeremy torehkan.
Mevin berjalan mendekat ke arah Jeremy, Mevin meraih tangan Jeremy dan mencium
punggung tangan Jeremy, “Mevin pamit, permintaan Papa Jovian untuk ajak Mevin tinggal bareng
bakalan Mevin turuti setelah hari ini, Pa. Papa bisa temui Mevin kalau Mevin mau, tapi untuk Cici,
Jevin dan Mama, mungkin nanti Mevin akan sediakan waktu buat mereka,” ucapnya.
“Nak!” Jeremy langsung mencengkram pundak anaknya itu, Mevin menepisnya. Mevin
berbalik badan, ia dapati Lea menatapnya nanar, bibir Lea jelas bergetar namun Lea gigit, bahkan sudut
bibir Lea sudah mengeluarkan darah, hancur hati Mevin, sungguh.
“Mevin, anak Mama.. anak Papa Jeremy, anak Papa Jovian. Mevin berhak memilih tinggal
sama Papa Jovian, sayang,” ucap Lea dengan suara yang lirih nyaris tak terdengar namun ia paksakan
untuk tersenyum.
“Ma...” Mevin meledak dalam tangis dan langsung memeluk Lea. Jevin dan Lauren yang ada
di belakang mereka pun juga langsung memeluk Lea dan Mevin yang tengah menangis.
Jeremy melihat hal itu di depan matanya, di depan kedua matanya. Jeremy menangis, ia
mengacak rambutnya sendiri lalu menghantamkan satu pukulan di tembok. Jeremy tidak bisa
menyanggah kemauan Mevin. Kini ia menangis, melihat seluruh anggota keluarganya yang saling
memeluk. Jeremy beranikan langkahnya mendekat, ia merengkuh pundak Jevin dan Lauren, saling
memeluk satu sama lain, merasakan Jeremy bergabung dalam pelukan menyakitkan itu, semuanya
meledak dalam tangis, ada secuil lara yang tertoreh dari setiap bulir air mata yang jatuh.
Cahaya yang selama ini menuntun langkah Jeremy dalam bahtera keluarga telah padam.
Lea―sang pelita dalam gelap sudah Jeremy buat padam jiwa dan raganya. Enggan lagi menerangi
langkah Jeremy. Ada yang tiada meski masih ada, ada yang hanya bisa diperhatikan tanpa bisa disentuh,
ada yang masih bisa dipanggil tanpa akan menoleh, itulah Lea dan Jeremy setelah ini. Dengan sadar,
Jeremy hancurkan hati Lea dan anak-anaknya. Pelukan kali ini terasa sangat pedih dan menyakitkan,
hanya ada tutur akan kekecewaan yang terlontar dari Jevin, Mevin bahkan Lauren. Hanya ada sajak
perpisahan yang Mevin ucapkan. Mevin―anugerah yang sang Empunya titipkan untuk mengubah
hidup Jeremy dan Lea pasca kehilangan.
Untuk sejenak, Lea membuka matanya, melihat Jeremy yang juga pecah dalam tangis, hatinya
hancur, babak belur. Hatinya luluh lantah, ternyata ia belum cukup cakap di mata Jeremy hingga Jeremy
mencari pelarian yang lain. Lea memikirkan anak-anaknya juga, jangan sampai anak mereka
mendapatkan sematan sebutan Broken Home, Lea masih ingin Jeremy bertanggung jawab kepada
anak-anaknya, bukan dirinya. Lea ingin anak-anaknya mendapat kasih sayang Jeremy, meski tidak akan
satu naungan atap lagi tapi biarlah berjalan seperti ini, karena Lea tidak akan pernah toleransi dengan
kebohongan dan perselingkuhan.
Ternyata Jeremy memang ibarat senja yang Lea kagumi setiap harinya, tapi akan pamit pada
waktunya, hingga sekarang ia juga menjadi temaram. Gelap. Pada setiap tapak kaki yang sudah pernah
dijalani, pada setiap kecup dan rengkuh yang mereka bagi berdua, setelah ini akan temui perpisahan,
barangkali mereka bertemu lagi, mungkin hanya akan berhubungan dengan anak-anak mereka tidak
dengan pribadi dan hati ke hati antara Jeremy dan Lea. Jeremy kalah dalam pertandingan, Lea menang,
ia tidak membiarkan harga dirinya diinjak-injak, meski harus merangkum perpisahan dalam derai air
mata.
Lauren merasakan sakit yang mendalam akibat cinta pertamanya di dunia yang mematahkannya,
luka di tangan Jevin belum ada apa-apanya dibanding luka di hati Lea, Jevin juga merasakan duka dan
lara yang mendalam. Mevin? Yang tidak lahir dari rahim Lea pun merasakan sakit yang teramat
menyayat. Bahkan ia menghabiskan lebih banyak waktunya dalam hidup bersama Jeremy dibanding
ayah kandungnya sendiri. Apa jadinya setelah ini? Cerita Lea dan Jeremy mungkin usai bagi mereka,
namun tidak akan pernah usai bagi anak-anak. Rencana Lea dan Jeremy pada awalnya akan berumah
tangga untuk waktu yang lama, sampai ujung usia, selamanya, sampai menutup mata. Tapi Jeremy
paksa semuanya henti di tengah jalan. Tidak ada lagi kopi yang mereka bagi berdua, diteguk di cangkir
yang sama, tidak ada lagi makanan dalam satu piring yang mereka bagi berdua, tidak ada lagi kecup
dan pagutan lembut yang mereka berikan bagi satu sama lain, tidak ada lagi yang menemani setiap sepi.
Karena setelah ini mereka akan menjadi kawan sepi.
Malam kemarin mungkin Lauren masih berbincang mengenai pilihan kuliahnya setelah ini dengan
Jeremy, namun setelah ini entah apa yang akan terjadi. Mungkin juga hari sebelumnya Jevin masih
sibuk mengotak-atik mesin motor bersama Papanya, bercanda sembari memperbaiki mesin motor yang
rusak, tapi entah setelah hari ini, Jevin berpikir hidupnya sudah rusak, tidak bisa diperbaiki. Hari yang
lalu Mevin masih sibuk melempar bola basket dengan sempurna sesuai arahan Jeremy. Saat ini,
mungkin nantinya Mevin akan sibuk gantikan segala kegiatannya dengan Jovian, ayah kandungnya.
Puisi terakhir, cerita dengan sebongkah kisah besar itu berakhir hari ini. Aksara yang diukir dan
ditulis telah menemui ujungnya. Bukan karena kehabisan tinta, namun karena buku agung kisah
perjalanan itu dirobek dengan sengaja, kehadiran orang ketiga dan Jeremy yang membuka celah. Jeremy
hitamkan janji putih yang ia ucapkan untuk Lea, janji berumah tangga hingga tutup usia dihentikan di
tengah jalan. Tapi Tuhan Maha baik, ia berikan kekuatan dan hikmat bagi Lea dan anak-anaknya.
Sederhananya pertemuan Lea dan Jeremy diakhiri dengan perpisahan penuh air mata dan luka.
Mengharap kehidupan serupa negeri dongeng dan indahnya kisah peri di seberang sana sangat bertolak
belakang dengan kenyataan yang terjadi. Luka ini Lea syukuri, tak pelu khawatir akan hari depan karena
ia tahu ada sang pemegang skenario besar di dunia ini. Berpisah atau menunda perpisahan? Pilihan
pertama Lea pikir adalah yang terbaik untuk mendewasakan. Perjalanan mereka berakhir, tapi tidak
dengan perjalanan keduanya membesarkan anak-anak meski dengan keadaan berbeda.
Anak-anak Mama Lea

Sederhana dan hangat pelukan Lea selalu menjadi tempat Lauren, Jevin dan Mevin pulang
untuk mengadu. Kokohnya punggung dan pundak Lea menjadi contoh dan teladan anak-anak Lea dalam
menjalani kehidupan yang penuh misteri. Melihat senyum seseorang yang Mevin sebut Mama
membawa tentram dalam jiwanya yang seringkali bising bahkan teriris. Ketangguhan Lea yang banyak
teruji selama hubungan rumah tangga memang menjadi bukti nyata untuk anak-anaknya bahwa sosok
Mamanya adalah wanita yang kuat. Malam sebelum keberangkatan Mevin untuk ikut tinggal bersama
Jovian, ayah kandungnya, ia duduk di halaman belakang sambil memainkan gitarnya bersama dengan
Jevin dan Lauren. Lea yang melihat anak-anaknya sedang merenung di halaman belakang pada pukul
sepuluh malam itu pun mendekati mereka. Lea mendekati anak-anaknya dan mengelus puncak kepala
Mevin lalu mengambil posisi di sebelah Mevin menemani ketiga anaknya itu duduk di kursi halaman
belakang, kala hari kembali menemui malam berhias rembulan dan hawa dingin yang menyeruak,
Mevin menaruh gitarnya dan menatap Mamanya.

“Mama belum tidur?” tanya Mevin.

“Belum, sayang banget mau tidur malah ada yang main gitar, enak banget pula main petikannya
masa mama tidur gitu aja,” balas Lea sambil tersenyum. Mevin sedikit terkikik.

“Ngamen dia, Ma.” Jevin meledek.

“Padahal dari tadi Jevin request lagu terus ke Jevin,” balas Lauren sambil menjulurkan lidah.

“Ma,” Mevin mendongakkan kepalanya ke langit malam itu.

“Apa, nak?”

“Mama tahu nggak kenapa Mevin pengin jadi dokter?”

“Tahu.” Lea mengangguk, “Biar jadi kaya Mama Mevin dulu, ya?” lanjut Lea.

“Mama tahu?”

“Nggak ada yang Mama enggak tahu,” timpal Lauren.

Lea hanya terkekeh dan geleng-geleng kepala.

“Mevin, Mama Petra, Mama Lea bangga sama Mevin, apapun cita-cita Mevin, kejar, ya? Cici
sama Jevin juga sama, meskipun nantinya kalian ninggalin Mama saat udah dewasa, tapi Mama mau
kalian jalani hidup sesuai passion kalian, maaf kalau Mama belum bisa kasih kebahagiaan―” ucapan
Lea terhenti saat butiran kristal berjatuhan membentuk sungai kecil di wajah Lea.

“Ma, jangan dilanjutin kalau nggak bisa.” Jevin berkata lirih,

Lea menangis sejadinya di hadapan anak-anaknya.

“Maafin Mama karena Mama milih pisah sama Papa, kalian jadi seperti ini. Jevin sayang kejar
cita-cita Jevin setelah ini, kurangin emosi dan tahan diri buat nggak berantem, Lauren Mama dukung
buat kuliah di Singapore, Mama anter Mama pastiin semua beres. Mevin, baik-baik sama Papa Jo ya,
nak. Papa Jo dan Mevin berhak punya waktu berdua yang lama.” Ucapan Lea membuat hati anak-
anaknya berdesir nyeri. Ketiga anak Lea itu memejam mendengarkan lantunan kalimat pilu itu, hati dan
raga Lea seakan hancur berkeping saat itu. Tidak ada jalan hidup yang lepas dari kendali sang empunya
kehidupan, barang sedetik saja tidak akan pernah luput, termasuk peristiwa yang menimpa Petra dan
Lea kala itu.

“Mama, Papa, Jevin, Ci Lauren itu rumah buat Mevin.” Mevin meraih tangan Mamanya dan
bergantian menatap saudaranya satu per satu.

“Mama minta maaf belum bisa kasih keluarga sempurna buat kalian.” Lea gentian menatap
anaknya satu per satu.

“Kenapa Papa tega ninggalin orang sebaik Mama Lea?” ucap Jevin lalu mendengus kesal.

“Keluarga di dunia ini enggak ada yang sempurna, Jevin. Perpisahan, kepergian, sudah Tuhan
yang atur, sayang.” Lea berkata dengan nada yang teduh.

Lauren mulai merasakan matanya panas, “Kehilangan bertubi-tubi itu nggak enak, ya, Ma. Tapi
mau marah nggak mungkin, masa mau marah sama Tuhan?”

Lea mengangguk dan tersenyum, “Anak Mama pinter.”

Mevin merasakan hatinya berdesir nyeri dan ia berkata, “Mama Lea special, kehadiran Mama
Lea itu berarti banget buat semuanya, termasuk aku. Ma, aku nggak tahu gimana perjuangan Mama
sebelum dan sesudah menikah sama Papa Jeremy, tapi, Ma, you deserve love in this world.”

“Jevin sayang Mama, Jevin nggak tahu harus ngomong apa lagi.” Jevin tersenyum.

“Lauren sayang mama juga!” Lauren menambahkan.

“Ma, don’t ever cry again, my heart hurt, please don’t let that crystal raindrops fall on your
cheek. Jangan hancur lagi, Ma. Jangan―jangan lagi, Ma. Aku seneng God give me an angel in a shape
of my mom, it’s you.” Pada kalimatnya kala itu Jevin titipkan segala asa dan harap agar hati dan jiwa
mamanya segera pulih. Namun apakah mungkin? Peristiwa kala itu bak sembilu yang beradu membaur
bersama kenangan keruh yang mencekat hati Lea. Sedetik kemudian Lea pun mengecup puncak kepala
anak-anaknya bergantian.

Mevin meraih gitarnya lagi, “Aku, Jevin sama Cici punya lagu buat Mama,” kata Mevin.

“Yang bener?” Lea tersenyum lalu menyeka pipinya yang basah.

“Ini buat Mama Lea dan Mama Petranya Mevin juga,” Lauen angkat bicara dan mendongak ke
langit sebelum Mevin memulai kegiatannya memetik gitar. Sesaat kemudian Mevin mulai memetik
gitarnya, melantunkan sebuah melodi dan lagu untuk Mamanya kali ini―kedua sosok yang ia sebut
Mama, Lea dan Petra.

“I took the supermarket flowers from the windowsill, I threw the day old tea from the cup..” ― Jevin
“Packed up the photo album Jevin had made. Memories of a life that’s been loved”―Lauren

Sepenggal awalan lagu yang kedua anak Lea nyanyikan sudah mengundang Lea tersenyum
haru.

“Took the get well soon cards and stuffed animals, Poured the old ginger beer down the sink
Dad always told me, “Don’t you cry when you’re down” but mum, there’s a tear every time
that I blink, oh I’m in pieces, it’s tearing me up, but I know a heart that’s broke is a heart that’s been
loved” ― Mevin
Sebelum memasuki bagian refrain Mevin memetik gitarnya menciptakan sebuah melodi indah
pengantarnya memasuki refrain sambil tersenyum menatap Lea.

“So I’ll sing Hallelujah. You were an angel in the shape of my Mom,
When I fell down you’d be there holding me up
Spread your wings as you go
And when God takes you back we’ll say Hallelujah you’re home.”―Lauren, Jevin, Mevin

Mata Lea terasa panas mendengar lantunan lagu yang menyentuh hatinya itu. Lea menyadari
anak-anaknya itu tumbuh dengan baik, bahkan sangat baik. Salah satu hal besar dalam hidup Lea―bayi-
bayi mungilnya yang ia timang dengan sejuta kisah dibalik kelahirannya tumbuh dengan baik dan
menjadi anugerah untuk keluarganya memang sebaik-baiknya didikan yang telah ia dan Jeremy berikan
selama ini. Ketiga anaknya adalah alasan Lea kuat sejauh ini. “Ampuni Papa kalian, jangan cuma
dimaafin. Ya?” ucapan Lea tutup kebersamaan malam itu. Lea ambil bagian besar dalam perjuangan,
tapi dapatkan luka besar selama perjalanan, Lauren, Jevin dan Mevin tumbuh besar dalam kasih sayang
yang cukup tapi ternyata hancur pada akhirnya.
Dari Lauren untuk Papa,

Hai Papa, my first love! even someday I’ll find my prince, you’re still my king.

Papa, sehat? Papa baik-baik aja? Lauren udah kuliah semester tiga sekarang di NUS, kaya mimpi
Lauren selama ini. Pa, disini Lauren sama Mama sama Jevin. Kalau Papa ada waktu nanti Papa kesini
ya ketemu Lauren,Mama sama Jevin. Kami semua juga kangen sama Papa.

Pa, Lauren disini punya temen deket namanya Willy, kami udah pacaran lebih tepatnya, boleh,
kan? Papa, Willy baik banget, seiman, nggak neko-neko, dan pekerja keras banget. Lauren pengen
kenalin Willy ke Papa kalau Papa kesini.

Papa, kejadian saat itu bikin Lauren sadar, kalau yang Mama lakukan, pilihan Mama itu enggak
buruk, bahkan itu pilihan terbaik. Mama enggak mau ada kata Cerai. Bahkan Tuhan juga bilang apa
yang dipersatukan Tuhan jangan diceraikan manusia, but you hurt Mama. Tapi Mama enggak mau
cerai, melainkan pisah, enggak dalam satu atap lagi. Mama enggak mau pisah di dunia ini sama Papa,
Mama mau menyelamatkan Papa dan anak-anaknya. Papa tau? Mama selalu sebut nama Papa kalau
lagi berdoa malem-malem, kadang Lauren atau Adek kebangun dan denger Mama masih dan selalu
sebut nama Papa dalam doanya, SELALU.

Bahkan kalau kita bertiga berdoa Mama juga sebut nama Papa, Mama minta kebahagiaan,
kesehatan buat semua anggota keluarga kita. Lauren anak pertama di keluarga ini, sakit banget lihat
Papa seperti itu, sakit lihat orang se garang Jevin nangis sesenggukan di kamar, sakit lihat Mevin juga
nangis, even waktu video call beberapa waktu belakangan ini Mevin sering nangis kangen keluarga
kita yang dulu, tapi dia bilang gini ke Lauren, “Ci, gue nangis bahagia juga, karena all things get
better, gue tau Tuhan udah pegang kendali buat kehidupan kita.” Lauren Cuma senyum dengernya tapi
nangis di dalam hati. Tapi Lauren harus kuat buat Mama, sama kembar.

Papa sehat selalu, ya! Lauren sayang papa, sayang banget!! Lauren enggak bohong, Papa terima
kasih udah mau meninggalkan dosa lama, live your good life after this! I LOVE U DAD!!

your beloved daughter

Zefanya Lauren Anastasia


Dari Jevin untuk Papa,

Halo, Pa. Jevin kangen, maaf Jevin enggak bisa basa basi. Jevin kangen banget, sama papa, sama
keluarga kita. Papa marah sama Jevin enggak setelah kejadian itu? Maaf ya, Pa kalau Jevin kurang
ajar mukul papa, tapi setelah itu Jevin sering mukul dada sendiri..... sambil nangis. Jevin masih ngerasa
ini kaya mimpi. Pa, Jevin kangen bercandaan sama Papa Bos lagi, kangen nge gym, benerin motor,
nyuci motor, banyak deh yang dikangenin.

Maaf udah ninggalin Papa sendirian tapi kita kan masih bisa ketemu. Pa, semoga apa yang terjadi
sama keluarga kita enggak akan hilang dari ingatan Papa, maaf Jevin tumbuh nggak sebaik Mevin,
Jevin bikin onar, Jevin berantem sana sini, maaf.

Papa, kalau Jevin bisa minta ke Tuhan, Jevin mau ulang waktu. Jevin mau ulang waktu sebelum
papa ketemu wanita itu. Jevin pengen ulang semuanya, Jevin mau pastiin Papa sama Mama baik-baik
aja, maaf ya Pa, Jevin jadi anak selalu lengah. Pa, Jevin enggak bisa lakuin apa-apa, Cuma bisa berdoa
buat kebaikan semuanya. Makasih udah ajarin Jevin banyak hal, makasih udah jadi sosok kepala
keluarga selama ini, meski harus berhenti di tengah jalan. Jevin kangen tau disita kunci motornya sama
Papa. Oh iya, Jevin udah bisa nyetir mobil sekarang, diajarin Mama.

Pa, inget nggak setiap pagi dulu kita sarapan bareng? Sering doa bareng habis dinner, inget?
Sekarang kalau pagi Jevin sarapan sama Mama, selalu Jevin nemenin Mama, karena Cici selalu
berangkat pagi. Kalau malem? Jevin makan sendiri tengah malem, habis itu.... nangis lagi haha. Pa,
sorry I ever hurt myself, I make some scars on my hands, I really messed up. Really... like, why all those
things should happened to me? Keluarga kita kan baik-baik aja.

Don’t ever tell mama if I hurt my self, as always, bro bussiness, right? Papa can be my bestfriend,
my bro and my superhero until something change these all things. Pa, maafin Jevin, maaf kalau Jevin
sering kurang ajar, dan Papa stop minta maaf ke Jevin karena sejak saat itu Jevin udah mengampuni
Papa, sungguh, Pa. Tuhan juga buktikan janjiNya buat pelihara kehidupan kita semua.

Papa sehat selalu ya! Kalau ada waktu temui kita disini, dan semoga Papa jadi pribadi yang lebih
baik, God Bless You.

from Your son,

Elleandru Jevino Adrian


Dari Mevin untuk Papa Jeremy,

Halo, Papa! Long time no see, Papa kapan ke bali?Mevin tunggu Papa disini ya! Mevin tunggu!

Pa... kehidupan berubah banget, butuh waktu buat Mevin adaptasi sama kehidupan bareng papa
Jo disini, asing awalnya tapi lama-lama terbiasa. Terbiasa tanpa Papa, Mama, Jevin dan Cici. Sedih
sih, sampai sekarang Mevin sering nangis, cupu nggak pa? Kata Papa Jeremy kan cowok nggak boleh
cupu. Tapi kali ini hancur. Hancur banget.

Mevin tahu semua kisah dan perjuangan Papa, Mama dan keluarga kita selama ini. Mevin
bersyukur pernah ada di keluarga Adrian yang bikin Mevin bener bener ngerasa punya RUMAH. Papa
Jovian baru ngerasain hidup sama Mevin sekarang, sedangkan Papa Jeremy sejak Mevin lahir. Lebih
dulu Papa Jeremy gendong Mevin daripada Mama Lea. Right?

Pa, semua itu ada batasnya, termasuk kesabaran Mama Lea, and I understand it. Papa pasti juga
tahu kalau itu salah kan? Dan semua ini terjadi karena ada satu api yang disulut sampai semuanya
terbakar.

Pa, kehilangan keluarga dan melihat keluarga hancur dan pisah ini sama sakitnya seperti waktu
Mevin kehilangan Mama Petra yang lahirin Mevin. Im sure Papa masih inget gimana rasanya gendong
Mevin pertama kali, dan Mevin juga inget rasanya dihancurkan kenyataan yang Papa bikin pertama
kali.

Papa, Mevin sayang banget sama keluarga ini tapi Papa juga hancurin kepercyaan Mevin saat
itu. Butuh waktu lama buat Mevin sembuh, Pa. Sekarang Mevin hidup sama Papa Jovian, tapi di otak
dan hati Mevin enggak akan hilang bayangan keluarga kita, sampai kapanpun enggak bakalan hilang.
Mevin kangen diajarin gitar sama Papa, Mevin kangen diumpetin kunci motornya sama Papa, bahkan
Mevin kangen Papa marah karena Mevin ganti klakson motor. It was so funny, and I miss you, dad.
Mevin hanya bisa berdoa untuk kebaikan semuanya. Bukan hanya buat Mevin, karena Mevin enggak
mau lagi rasain kehilangan dan kehancuran. Tuhan masih pegang kendali atas kehidupan ini, Mevin
percaya banyak hal yang bisa papa ambil dari kejadian terakhir kemarin. Janji di hadapan Tuhan dan
sama diri Papa, Mevin sayang Papa Bos! Sayang Mama Lea, Jevin, Cici Lauren!!!! OH GOD IM
CRYING AGAIN AND AGAIN haha, Pa.....kangen keluarga kita.

From your Son,

Elleandru Mevinio Adrian


Suara dari Louis,

Aku, wanita yang tumbuh dengan sejuta kisah kelam. Aku sadar bahwa aku sudah membuka dan
masuk ke celah yang tidak seharusnya aku masuki dan aku miliki, aku sadar telah mengingini milik
orang lain yang tidak akan pernah jadi milikku.

Aku sadar, aku telah menyulut api kehancuran, namun pada akhirnya itu membakarku sendiri.
Aku sekarang menemui titik kehancuranku sendiri, orang yang aku cintai (bukan Jeremy) hanya
memanfaatkan apa yang bisa ia ambil daripadaku. Setelah kejadian Jeremy berpisah dengan Lea, aku
juga berpisah dengan Jeremy, bukan tanpa alasan, tapi apa yang harus dilanjutkan?

Sekarang aku tau rasanya diabaikan, aku tahu rasanya direbut, aku tahu bagaimana apa yang
kita jaga selama ini hanya memberikan balasan penghianatan.

Sekarang aku tahu bagaimana rasanya istana yang sudah dibangun tiba-tiba dihuni oleh orang
lain, dihancurkan, lebur bersama jiwa dan asa yang dititipkan dalam setiap lantunan doa.

Milikku juga diambil, milikku juga direbut, milikku juga dihancurkan, hatiku dihancurkan, hatiku
dikikis habis perasaan, bahkan ini berlipat-lipat lebih dari kehancuran Jeremy dan Lea.

Tapi aku sadar, itu semua karena apa yang aku tabur, karena apa yang aku hancurkan itu
semestinya tidak pernah temui perpisahan.

Lea dan anak-anaknya tidak bersalah tapi aku berikan sumpah serapah, tapi kini, aku
mendapatkan lebih dari apa yang Lea dapatkan, balasan atas kelakuan rendahanku dibalas sang
Empunya. Aku dicampakkan, aku dimanfaatkan, aku ditinggalkan, aku sendirian. Tanpa arah dan
tujuan, tana tangan yang bisa aku genggam. Habiskan hidup dalam kesendirian dan nestapa. Dan aku
tahu, Lea dan keluarganya jauh lebih bahagia daripada sebelumnya.
Suara dari Jeremy,

Aku, pria dengan sejuta kehancuran, dengan sejuta rasa bersalah yang akan terus menghantuiku
sampai ujung usia.

Brengsek, biadab, bahkan kata-kata itu jauh lebih baik daripada apa yang sudah aku perbuat
kepada orang-orang yang aku sayang.

Aku menjatuhkan seluruh keluargaku ke dalam luka sedalam palung, saat aku sadar mereka lah
hartaku paling berharga, tempat aku pulang dan berlindung.

Untukku, Lea adalah Jelita, Untukku Lea adalah dunia. Untukku Lea adalah semesta. Jelita dengan
segala air mata yang didalamnya ada dunia dengan semua luka. Tapi aku hancurkan dengan begitu
hina.
Lea susah payah menyisihkan keegoisan karena pernikahan bukanlah hal yang pantas untuk
dipermainkan, Lea bersusah payah menjadikan semuanya ada dalam satu genggaman dna tetap pada
satu naungan tapi aku yang terlampau bejat menghancurkan cinta tulus yang sudah kita berdua bina
dalam naungan pernikahan.
Lea masih ada, begitu juga Lauren, Jevin dan Mevin. Tapi hanya sebatas aku lihat punggung
mereka saja, tidak bisa tangan ini raih dan rengkuh. Karena aku lah yang sudah membentangkan jarak
diantara kita semua.
Dengan sadar ku kelabuhi Lea yang tulus dengan kelakuan dan kebohonganku yang begitu
bulus. Aku siksa dan hancurkan Lea dengan sadar. Kini, aku bagai berjalan tanpa cahaya, gelap, pekat.
Tak ada tawa renyah anak-anak di malam hari, yang ada hanya aku yang meringkuk memeluk lukaku
sendiri. Tidak seharusnya aku mengenal Louis, 97% kehidupanku yang nyaris sempurna hancur lebur
hanya karena 3% celah yang datang dan menghancurkan segalanya.
Pilihan untuk hidup bersama aku hancurkan dengan penghianatan. Asa dan angan dalam
bayangan lebur seketika berganti salam perpisahan. Api kecil yang disulut nyatanya bisa
menghancurkan seluruh kehidupan. Aku kehilangan segalanya, rasa sakit ini akan menemaniku
sepanjang usia. Hancur membaca surat dari anak-anak, jangan berharap Lea akan mengirimiku surat
juga. Bahkan untuk melihat wajahku pun mungkin lebih baik untuk Lea memalingkan muka. Aku pantas,
bajingan sepertiku pantas mendapatkannya. Kini sisa usia tidak lagi aku jalani bersama Lea,
melainkan luka, sebuah luka abadi yang akan menemaniku hingga tutup usia.

Seseorang dalam naungan Penyesalan Abadi


Stefanus Jeremy Adrian

Anda mungkin juga menyukai