Babilonia kerap terlibat persaingan dengan Kerajaan Asyur di utara dan Kerajaan Elam di timur.
Meskipun tidak bertahan lama, Babilonia sempat menjadi kekuatan utama di kawasan
Mesopotamia sesudah Hamurabi (berkiprah ca. 1792–1752 SM menurut Kronologi
Menengah atau ca. 1696–1654 SM menurut Kronologi Pendek) sebuah kekaisaran baru,
penerus jejak kegemilangan Kekaisaran Akkadia, Kekaisaran Sumeria Baru, dan Kekaisaran
Asyur Lama. Tidak lama sesudah Hamurabi mangkat, Kekaisaran Babilonia mengalami
kemerosotan dan kembali menjadi kerajaan kecil.
Sama seperti Asyur, Kerajaan Babilonia melestarikan bahasa tulis Akkadia (bahasa masyarakat
pribumi) untuk urusan-urusan resmi, meskipun raja-raja pendiri adalah orang-orang Amori
penutur bahasa rumpun Semit Barat Laut dan raja-raja penerus adalah orang-
orang Kasi penutur salah satu bahasa terasing. Kerajaan Babilonia juga melestarikan bahasa
Sumeria untuk urusan-urusan keagamaan (demikian pula Kerajaan Asyur), meskipun bahasa
Sumeria tidak lagi menjadi bahasa tutur pada waktu Kerajaan Babilonia didirikan, karena sudah
sepenuhnya tergantikan oleh bahasa Akkadia. Adat-istiadat bangsa Akkadia dan bangsa
Sumeria dari masa lampau menjadi unsur utama di dalam budaya Babilonia dan budaya Asyur.
Wilayah Babilonia pun tetap menjadi pusat utama kebudayaan, bahkan sesudah Kerajaan
Babilonia dijajah negara lain.
Peninggalan tertulis paling tua yang menyebut-nyebut keberadaan kota Babilon adalah
sekeping loh lempung dari masa pemerintahan Raja Sargon Agung (2334–2279 SM) sekitar
abad ke-23 SM. Ketika itu Babilon hanya sebuah kota agama dan budaya, belum menjadi
sebuah kota besar apalagi sebuah negara kota merdeka. Kota Babilon ketika itu tunduk kepada
Kekaisaran Akkadia, negara yang mempersatukan seluruh masyarakat penutur bahasa Akkadia
dan bahasa Sumeria di bawah satu pemerintahan. Sesudah Kekaisaran Akkadia tumbang,
kawasan selatan Mesopotamia dikuasai orang Guti beberapa puluh tahun sebelum
berdirinya Kekaisaran Sumeria Baru, yang menguasai seluruh Mesopotamia (kecuali kawasan
utara wilayah Asyur), termasuk kota Babilon.
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Zaman Sumeria-Akkadia (Pra-Babilonia)[sunting | sunting sumber]
Sejarah Mesopotamia sudah lama bergulir sebelum Babilonia lahir. Peradaban Sumeria muncul
di kawasan itu sekitar tahun 3500 SM, sementara masyarakat penutur bahasa Akkadia muncul
pada abad ke-30 SM.[butuh rujukan]
Pada milenium ke-3 SM, terjadi suatu simbiosis kebudayaan yang intim di antara penutur bahasa
Sumeria dan penutur bahasa Akkadia, yang mencakup perluasan kedwibahasaan.[6] Pengaruh
bahasa Sumeria terhadap bahasa Akkadia maupun sebaliknya tampak jelas di semua segi,
mulai dari penyerapan kosa kata secara besar-besaran, sampai dengan perpaduan sintaksis,
morfologis, dan fonologis.[6] Kenyataan ini telah mendorong para sarjana untuk menyebut bahasa
Sumeria dan bahasa Akkadia pada milenium ke-3 sebagai sebuah sprachbund.[6]
Bahasa Akkadia lambat laun menggantikan bahasa Sumeria sebagai bahasa tutur masyarakat
Mesopotamia sekitar peralihan dari milenium ke-3 SM ke milenium ke-2 SM (kerangka waktu
yang tepat masih menjadi pokok perdebatan).[7]
Dari sekitar tahun 3500 SM sampai dengan bangkitnya Kekaisaran Akkadia pada abad ke-24
SM, kawasan Mesopotamia didominasi kota-kota dan negara-negara kota Sumeria,
seperti Ur, Lagaš, Uruk, Kiš, Isin, Larsa, Adab, Eridu, Gasur, Asyur, Hamazi, Akšak, Arbela,
dan Uma, kendati nama-nama Akkadia yang bercorak Semit mulai muncul di dalam daftar-daftar
raja dari beberapa di antara kota-kota tersebut (misalnya Esynuna dan Asyur) antara abad ke-29
sampai abad ke-25 SM. Pusat keagamaan seantero Mesopotamia dari generasi ke generasi
adalah kota Nipur, tempat Enlil dipuja sebagai dewa tertinggi. Keutamaan kota Nipur ini bertahan
sampai digeser kota Babilon pada masa pemerintahan Hamurabi.[butuh rujukan]
Pada zaman Kekaisaran Akkadia (2334–2154 SM), bangsa Akkadia yang berdarah Semit dan
bangsa Sumeria yang asli Mesopotamia manunggal di bawah satu kepemimpinan. Bangsa
Akkadia mampu sepenuhnya menguasai bangsa Sumeria, dan pada Akhirnya mendominasi
sebagian besar kawasan Timur Dekat purba.
Negara kekaisaran ini pada akhirnya terpecah-belah akibat kemerosotan ekonomi, perubahan
iklim, dan perang saudara, disusul serbuan-serbuan orang Guti dari daerah Pegunungan Zagros.
Sumeria kembali bangkit ketika kulawangsa Ur yang ke-3 berkuasa pada abad ke-22 SM, dan
mengusir orang Guti dari kawasan selatan Mesopotamia pada tahun 2161 SM, sebagaimana
yang disiratkan keterangan dari loh-loh yang sintas maupun simulasi-simulasi astronomis.
[8]
Kulawangsa ini tampaknya juga sempat menguasai sebagian besar wilayah kedaulatan raja-
raja Asyur berkebangsaan Akkadia di kawasan utara Mesopotamia.
Sesudah Kekaisaran Sumeria sekali lagi runtuh dengan tumbangnya kulawangsa "Ur-III" di
tangan bangsa Elam pada tahun 2002 SM, bangsa Amori (orang barat), masyarakat penutur
bahasa rumpun Semit Barat Laut, mulai bermigrasi ke kawasan selatan Mesopotamia dari
kawasan utara Syam, dan sedikit demi sedikit menguasai sebagian besar kawasan selatan
Mesopotamia. Di kawasan itu mereka membentuk sejumlah kerajaan kecil, sementara bangsa
Asyur menegakkan kembali kemerdekaannya di kawasan utara. Negara-negara di kawasan
selatan tidak mampu membendung sepak terjang bangsa Amori, dan mungkin saja sempat
bergantung kepada pertolongan dari rekan sebangsa (bangsa Akkadia) mereka di Asyur.[butuh rujukan]
Raja Ilu-syuma (ca. 2008–1975 SM) dari Kekaisaran Asyur Lama (2025–1750 SM) menjabarkan
sepak terjangnya di kawasan selatan dalam sebuah prasasti sebagai berikut:
Kemerdekaan[n 1] bangsa Akkadia dan anak-anaknya aku tegakkan. Tembaganya aku murnikan.
Aku niscayakan kemerdekaan mereka dari perbatasan rawa belantara, Ur, dan Nipur, Awal, dan
Kis, Der kepunyaan Dewi Ishtar, sejauh kota (Dewa Asyur).[9]
Berdasarkan isi prasasti tersebut, para sarjana masa lampau mula-mula memperkirakan bahwa
Ilu-syuma mengalahkan bangsa Amori di selatan maupun bangsa Elam di timur, tetapi tidak ada
peninggalan tertulis yang menjabarkan keterangan semacam itu secara eksplisit, dan beberapa
sarjana yakin bahwa raja-raja Asyur hanya sekadar memberi izin kerjasama perdagangan
istimewa kepada orang-orang selatan.
Kebijakan-kebijakan tersebut diteruskan para penggantinya, Erisyum I dan Ikunum.
Kebijakan ini berubah ketika Sargon I (1920–1881 SM) naik takhta pada tahun 1920 SM. Sargon
menarik orang-orang Asyur dari kawasan selatan, dan mengalihkan perhatiannya ke usaha
ekspansi koloni-koloni Asyur di Anatolia dan Syam, sehingga kawasan selatan Mesopotamia
pada akhirnya dikuasai bangsa Amori. Pada abad-abad pertama dalam kurun waktu yang
disebut "zaman bangsa Amori", negara-negara kota terkuat di selatan adalah Isin, Esynuna, dan
Larsa, yang berdaulat sezaman dengan Asyur di utara.
Meterai gilas dari zaman Babilonia sekitar abad ke-18 sampai abad ke-17 SM
Kawasan selatan Mesopotamia tidak memiliki benteng-benteng perbatasan alami yang dapat
dijadikan pangkalan pertahanan sehingga mudah dimasuki musuh. Sesudah Hamurabi mangkat,
kekaisaran dengan cepat terpecah belah. Pada masa pemerintahan pengganti
Hamurabi, Samsu-iluna (1749–1712 SM), ujung selatan Mesopotamia jatuh ke tangan Ilum-ma-
ili, seorang raja pribumi penutur bahasa Akkadia yang menentang kedaulatan raja-raja
berkebangsaan Amori di Babilonia. Daerah ujung selatan menjadi Kerajaan Wangsa Pesisir,
negara bangsa pribumi Mesopotamia yang mampu mempertahankan kemerdekaannya dari
Babilonia sampai 272 tahun kemudian.[13]
Sekitar tahun 1740 SM, seorang wali negeri Asyur berkebangsaan Akkadia bernama Puzur-
Sin mengusir bangsa Babilonia dan penguasa-penguasa mereka yang berkebangsaan Amori
dari wilayah Asyur ke sebelah utara. Puzur-Zin menganggap Raja Mut-Asykur sebagai orang
asing sekaligus mantan budak Babilonia. Sesudah enam tahun lamanya perang saudara
melanda Kerajaan Asyur, seorang raja pribumi bernama Adasi berhasil merebut takhta sekitar
tahun 1735 SM, dan selanjutnya mendaulat daerah-daerah bekas jajahan Babilonia dan Amori di
kawasan tengah Mesopotamia. Tindakan yang sama juga dilakukan penggantinya, Bel-bani.
Bangsa Amori masih berdaulat atas Babilonia, meskipun wilayahnya sudah menyusut. Abi-
Esyuh, pengganti Samsyu-iluna, gagal merebut kembali wilayah yang sudah dikuasai
kulawangsa Pesisir, bahkan dikalahkan Raja Damqi-ilisyu II. Pada akhir masa pemerintahannya,
Babilonia terpuruk menjadi negara yang kecil dan relatif lemah seperti pada awal
kemunculannya, meskipun kota Babilon sudah jauh lebih besar daripada ukurannya sebelum
masa pemerintahan Hamurabi.
Abi-Esyuh digantikan oleh Ami-Ditana, yang kemudian digantikan Ami-Saduqa. Baik Ami-Ditana
maupun Ami-Saduqa sudah tidak terlalu lemah untuk berusaha merebut kembali daerah-daerah
yang lepas dari Babilonia sepeninggal Hamurabi, dan membatasi diri pada kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan dalam suasana damai.
Syamsu-Ditana adalah Raja Babilonia terakhir yang berkebangsaan Amori. Pada awal masa
pemerintahannya, Babilonia dirongrong bangsa Kasi, masyarakat penutur sebuah bahasa
terpencil dari daerah pegunungan yang sekarang termasuk kawasan barat laut wilayah Iran.
Pada tahun 1595 SM, Babilonia diserbu bangsa Het, masyarakat penutur bahasa rumpun India-
Eropa dari Anatolia. Syamsu-Ditana terguling dari takhta sesudah kota Babilon jatuh ke
tangan Mursili I, raja berkebangsaan Het. Bangsa Het tidak lama menguasai Babilonia, tetapi
kerusakan yang mereka timbulkan pada akhirnya membuka peluang bagi sekutu-sekutu Kasi
mereka untuk merebut kekuasaan.
Perebutan kota Babilon dan kronologi Timur Dekat purba[sunting | sunting sumber]
Tarikh penjarahan kota Babilonia oleh bangsa Het di bawah pimpinan Raja Mursili I dianggap
penting dalam berbagai perhitungan kronologi Timur Dekat Kuno yang terdahulu, karena
dijadikan waktu-patokan. Rentang waktu perkiraan terjadinya peristiwa tersebut mencapai 230
tahun, sejajar dengan ketidakpastian jangka waktu "Abad Kegelapan" pada zaman Kemerosotan
Akhir Zaman Perunggu, sehingga mengakibatkan bergesernya keseluruhan kronologi Zaman
Perunggu Mesopotamia berdasarkan kronologi Mesir. Tarikh-tarikh perkiraan tersebut adalah
sebagai berikut:
Cikal bakal kulawangsa Kasi adalah Gandasy dari Mari. Seperti para penguasa Amori sebelum
mereka, para penguasa Kasi juga bukan orang-orang pribumi Mesopotamia. Bangsa Kasi mula-
mula muncul di daerah Pegunungan Zagros, yang sekarang termasuk kawasan barat laut
wilayah Iran.
Kebudayaan[sunting | sunting sumber]
Kebudayaan Mesopotamia dari Zaman Perunggu sampai Zaman Besi Awal kadang-kadang
dirangkum dengan sebutan "kebudayaan Asyur-Babilonia" karena eratnya saling ketergantungan
etnis, bahasa, dan budaya kedua pusat kekuatan politik itu. Dulunya istilah "Negeri Babilonia"
atau "Babilonia", khususnya di dalam karya-karya tulis dari sekitar awal abad ke-20, digunakan
dengan makna yang juga mencakup sejarah awal kawasan selatan Mesopotamia pra-Babilonia,
dan bukan semata-mata sebagai sebutan bagi negara kota Babilon saja. Di dalam karya-karya
tulis termutakhir, pemakaian istilah "Babilonia" sebagai nama kawasan pada umumnya sudah
diganti dengan istilah yang lebih tepat, yakni Sumeria atau Sumeria-Akkadia yang mengacu
kepada peradaban Mesopotamia pra-Asyur-Babilonia.
Warisan sejarah
Babilonia, teristimewa ibu kotanya, Babilon, sudah lama dijadikan lambang kekuasaan yang
bejat dan kelewat batas di dalam agama-agama Abrahamik. Babilonia kerap disebut-sebut di
dalam Alkitab (sebagai Babel), baik dalam arti harfiah (historis) maupun dalam arti kias
(alegoris). Penyebutan Babel di dalam Alkitab Ibrani cenderung bersifat historis atau profetis,
sementara sebutan apokaliptis Pelacur Babel di dalam Perjanjian Baru sepertinya lebih bersifat
kiasan, dan mungkin sekali merupakan kata sandi untuk Roma yang pagan atau semacam
arketipe lainnya. Taman Gantung Babilonia dan Menara Babel yang legendaris itu masing-
masing dipandang sebagai lambang kemewahan dan lambang keangkuhan kekuasaan.
Umat Kristen perdana adakalanya menyebut Roma dengan nama Babel.
Rasul Petrus mengakhiri suratnya yang pertama dengan kalimat berikut ini:
Salam kepada kamu sekalian dari kawanmu yang terpilih yang di Babilon, dan juga dari Markus,
anakku.