Anda di halaman 1dari 10

Babilonia 

(bahasa Yunani: Βαβυλωνία, Babilonia), lengkapnya disebut Kekaisaran


Babilonia atau Negeri Babilonia, adalah negara dan daerah kebudayaan purba penutur bahasa
Akkadia yang berlokasi di tengah kawasan selatan Mesopotamia (sekarang Irak dan Suriah).
Pada 1894 SM, bangsa Amori mendirikan sebuah negara kecil dengan wilayah kedaulatan yang
juga mencakup kota administratif Babilon.[1] Pada zaman Kekaisaran Akkadia (2335–2154 SM),
Babilonia hanyalah sebuah kota kecil di salah satu daerah bawahan. Keadaan ini berubah pada
zaman Kekaisaran Babilonia Lama. Babilonia Pada masa pemeritahan Hamurabi, Babilonia
diperbesar dan dijadikan ibu kota. Sepanjang maupun sesudah masa pemerintahan Hamurabi,
Babilonia disebut "Negeri Akkadia" (bahasa Akkadia: Māt Akkadī) untuk mengenang
kegemilangan Kerajaan Akkadia yang sudah lampau.[2][3]
Dalam Alkitab Kristen dan Alkitab Ibrani/Tanakh, kedua negara Babilonia dan ibu
kota Babilon disebut sebagai Babel, atau lengkapnya Negeri Babel. Istilah "Babel" (bahasa
Ibrani: ‫ָּב בֶל‬ Bavel, Tib. ‫ָּב בֶל‬ Bāḇel; bahasa Suryani: ‫ܒܒܠ‬ Bāwēl, bahasa Aram: ‫בבל‬ Bāḇel;
dalam bahasa Arab: ‫َابل‬ ِ ‫ب‬ Bābil) ditafsirkan dalam Kitab Kejadian sebagai "kekacaubalauan",  dari
[4]

kata kerja bilbél (‫בלבל‬, "mengacaubalaukan"). [5]

Babilonia kerap terlibat persaingan dengan Kerajaan Asyur di utara dan Kerajaan Elam di timur.
Meskipun tidak bertahan lama, Babilonia sempat menjadi kekuatan utama di kawasan
Mesopotamia sesudah Hamurabi (berkiprah ca. 1792–1752 SM menurut Kronologi
Menengah atau ca. 1696–1654 SM menurut Kronologi Pendek) sebuah kekaisaran baru,
penerus jejak kegemilangan Kekaisaran Akkadia, Kekaisaran Sumeria Baru, dan Kekaisaran
Asyur Lama. Tidak lama sesudah Hamurabi mangkat, Kekaisaran Babilonia mengalami
kemerosotan dan kembali menjadi kerajaan kecil.
Sama seperti Asyur, Kerajaan Babilonia melestarikan bahasa tulis Akkadia (bahasa masyarakat
pribumi) untuk urusan-urusan resmi, meskipun raja-raja pendiri adalah orang-orang Amori
penutur bahasa rumpun Semit Barat Laut dan raja-raja penerus adalah orang-
orang Kasi penutur salah satu bahasa terasing. Kerajaan Babilonia juga melestarikan bahasa
Sumeria untuk urusan-urusan keagamaan (demikian pula Kerajaan Asyur), meskipun bahasa
Sumeria tidak lagi menjadi bahasa tutur pada waktu Kerajaan Babilonia didirikan, karena sudah
sepenuhnya tergantikan oleh bahasa Akkadia. Adat-istiadat bangsa Akkadia dan bangsa
Sumeria dari masa lampau menjadi unsur utama di dalam budaya Babilonia dan budaya Asyur.
Wilayah Babilonia pun tetap menjadi pusat utama kebudayaan, bahkan sesudah Kerajaan
Babilonia dijajah negara lain.
Peninggalan tertulis paling tua yang menyebut-nyebut keberadaan kota Babilon adalah
sekeping loh lempung dari masa pemerintahan Raja Sargon Agung (2334–2279 SM) sekitar
abad ke-23 SM. Ketika itu Babilon hanya sebuah kota agama dan budaya, belum menjadi
sebuah kota besar apalagi sebuah negara kota merdeka. Kota Babilon ketika itu tunduk kepada
Kekaisaran Akkadia, negara yang mempersatukan seluruh masyarakat penutur bahasa Akkadia
dan bahasa Sumeria di bawah satu pemerintahan. Sesudah Kekaisaran Akkadia tumbang,
kawasan selatan Mesopotamia dikuasai orang Guti beberapa puluh tahun sebelum
berdirinya Kekaisaran Sumeria Baru, yang menguasai seluruh Mesopotamia (kecuali kawasan
utara wilayah Asyur), termasuk kota Babilon.

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Zaman Sumeria-Akkadia (Pra-Babilonia)[sunting | sunting sumber]
Sejarah Mesopotamia sudah lama bergulir sebelum Babilonia lahir. Peradaban Sumeria muncul
di kawasan itu sekitar tahun 3500 SM, sementara masyarakat penutur bahasa Akkadia muncul
pada abad ke-30 SM.[butuh rujukan]
Pada milenium ke-3 SM, terjadi suatu simbiosis kebudayaan yang intim di antara penutur bahasa
Sumeria dan penutur bahasa Akkadia, yang mencakup perluasan kedwibahasaan.[6] Pengaruh
bahasa Sumeria terhadap bahasa Akkadia maupun sebaliknya tampak jelas di semua segi,
mulai dari penyerapan kosa kata secara besar-besaran, sampai dengan perpaduan sintaksis,
morfologis, dan fonologis.[6] Kenyataan ini telah mendorong para sarjana untuk menyebut bahasa
Sumeria dan bahasa Akkadia pada milenium ke-3 sebagai sebuah sprachbund.[6]
Bahasa Akkadia lambat laun menggantikan bahasa Sumeria sebagai bahasa tutur masyarakat
Mesopotamia sekitar peralihan dari milenium ke-3 SM ke milenium ke-2 SM (kerangka waktu
yang tepat masih menjadi pokok perdebatan).[7]
Dari sekitar tahun 3500 SM sampai dengan bangkitnya Kekaisaran Akkadia pada abad ke-24
SM, kawasan Mesopotamia didominasi kota-kota dan negara-negara kota Sumeria,
seperti Ur, Lagaš, Uruk, Kiš, Isin, Larsa, Adab, Eridu, Gasur, Asyur, Hamazi, Akšak, Arbela,
dan Uma, kendati nama-nama Akkadia yang bercorak Semit mulai muncul di dalam daftar-daftar
raja dari beberapa di antara kota-kota tersebut (misalnya Esynuna dan Asyur) antara abad ke-29
sampai abad ke-25 SM. Pusat keagamaan seantero Mesopotamia dari generasi ke generasi
adalah kota Nipur, tempat Enlil dipuja sebagai dewa tertinggi. Keutamaan kota Nipur ini bertahan
sampai digeser kota Babilon pada masa pemerintahan Hamurabi.[butuh rujukan]
Pada zaman Kekaisaran Akkadia (2334–2154 SM), bangsa Akkadia yang berdarah Semit dan
bangsa Sumeria yang asli Mesopotamia manunggal di bawah satu kepemimpinan. Bangsa
Akkadia mampu sepenuhnya menguasai bangsa Sumeria, dan pada Akhirnya mendominasi
sebagian besar kawasan Timur Dekat purba.
Negara kekaisaran ini pada akhirnya terpecah-belah akibat kemerosotan ekonomi, perubahan
iklim, dan perang saudara, disusul serbuan-serbuan orang Guti dari daerah Pegunungan Zagros.
Sumeria kembali bangkit ketika kulawangsa Ur yang ke-3 berkuasa pada abad ke-22 SM, dan
mengusir orang Guti dari kawasan selatan Mesopotamia pada tahun 2161 SM, sebagaimana
yang disiratkan keterangan dari loh-loh yang sintas maupun simulasi-simulasi astronomis.
[8]
 Kulawangsa ini tampaknya juga sempat menguasai sebagian besar wilayah kedaulatan raja-
raja Asyur berkebangsaan Akkadia di kawasan utara Mesopotamia.
Sesudah Kekaisaran Sumeria sekali lagi runtuh dengan tumbangnya kulawangsa "Ur-III" di
tangan bangsa Elam pada tahun 2002 SM, bangsa Amori (orang barat), masyarakat penutur
bahasa rumpun Semit Barat Laut, mulai bermigrasi ke kawasan selatan Mesopotamia dari
kawasan utara Syam, dan sedikit demi sedikit menguasai sebagian besar kawasan selatan
Mesopotamia. Di kawasan itu mereka membentuk sejumlah kerajaan kecil, sementara bangsa
Asyur menegakkan kembali kemerdekaannya di kawasan utara. Negara-negara di kawasan
selatan tidak mampu membendung sepak terjang bangsa Amori, dan mungkin saja sempat
bergantung kepada pertolongan dari rekan sebangsa (bangsa Akkadia) mereka di Asyur.[butuh rujukan]
Raja Ilu-syuma (ca. 2008–1975 SM) dari Kekaisaran Asyur Lama (2025–1750 SM) menjabarkan
sepak terjangnya di kawasan selatan dalam sebuah prasasti sebagai berikut:
Kemerdekaan[n 1] bangsa Akkadia dan anak-anaknya aku tegakkan. Tembaganya aku murnikan.
Aku niscayakan kemerdekaan mereka dari perbatasan rawa belantara, Ur, dan Nipur, Awal, dan
Kis, Der kepunyaan Dewi Ishtar, sejauh kota (Dewa Asyur).[9]
Berdasarkan isi prasasti tersebut, para sarjana masa lampau mula-mula memperkirakan bahwa
Ilu-syuma mengalahkan bangsa Amori di selatan maupun bangsa Elam di timur, tetapi tidak ada
peninggalan tertulis yang menjabarkan keterangan semacam itu secara eksplisit, dan beberapa
sarjana yakin bahwa raja-raja Asyur hanya sekadar memberi izin kerjasama perdagangan
istimewa kepada orang-orang selatan.
Kebijakan-kebijakan tersebut diteruskan para penggantinya, Erisyum I dan Ikunum.
Kebijakan ini berubah ketika Sargon I (1920–1881 SM) naik takhta pada tahun 1920 SM. Sargon
menarik orang-orang Asyur dari kawasan selatan, dan mengalihkan perhatiannya ke usaha
ekspansi koloni-koloni Asyur di Anatolia dan Syam, sehingga kawasan selatan Mesopotamia
pada akhirnya dikuasai bangsa Amori. Pada abad-abad pertama dalam kurun waktu yang
disebut "zaman bangsa Amori", negara-negara kota terkuat di selatan adalah Isin, Esynuna, dan
Larsa, yang berdaulat sezaman dengan Asyur di utara.

Dinasti Babilonia Pertama (1894–1595 SM)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Dinasti Babilonia Pertama
Hamurabi (berdiri) digambarkan menerima tanda-tanda alat-alat kebesaran raja dari Dewa Syamas (atau
kemungkinan besar Dewa Marduk), posisi tangan di depan mulut mengisyaratkan bahwa Hamurabi
sedang berdoa,[10] relief di ujung tugu prasasti undang-undang Hamurabi

Salah satu kulawangsa Amori mendirikan kerajaan kecil yang bernama Kazalu.


Kota Babilon sekitar tahun 1894 SM masih merupakan sebuah kota kecil dan termasuk wilayah
Kerajaan Kazalu. Kota kecil ini pada akhirnya berhasil menguasai kota-kota lain dan membentuk
Kekaisaran Babilonia Lama yang berumur pendek.
Seorang kepala suku Amori bernama Sumu-abum membeli sebidang tanah yang mencakup kota
kecil Babilon dari Kerajaan Kazalu, negara kota yang dikuasai saudara-saudara sebangsanya.
Tanah miliknya itu ia jadikan sebuah negara baru. Selama masa pemerintahannya, Sumu-abum
sibuk menegakkan kedaulatan kerajaannya di antara sekian banyak negara kota kecil yang
menjamur di kawasan selatan Mesopotamia. Meskipun demikian, Sumu-abum sepertinya
enggan repot-repot menggelari diri Raja Babilonia. Hal ini menyiratkan bahwa Babilon masih
sebuah kota kecil dan belum layak disebut kerajaan.[11]
Raja-raja Babilonia sesudah Sumu-abum adalah Sumu-la-El, Sabium, dan Apil-Sin, yang
berturut-turut memerintah tanpa mementingkan gelar raja seperti pendahulunya, sebagaima
tampak pada peninggalan-peninggalan tertulis dari zaman itu yang tidak menyebut Babilonia
sebagai sebuah kerajaan. Sin-Mubalit adalah penguasa Babilonia pertama yang secara resmi
disebut Raja Babilonia, itu pun hanya di dalam satu keping loh lempung. Pada masa
pemerintahan raja-raja berkebangsaan Amori ini, kerajaan Babilonia masih merupakan negara
kecil dengan wilayah kedaulatan yang sangat terbatas, dan masih dibayang-bayangi kerajaan-
kerajaan tetangganya yang lebih tua, lebih besar, dan lebih kuat, seperti Isin, Larsa, Asyur di
utara, dan Elam di timur. Bangsa Elam memiliki wilayah kekuasaan yang luas di kawasan
selatan Mesopotamia, dan sebagian besar penguasa Amori perdana tunduk kepada Elam.
Kekaisaran Hamurabi[sunting | sunting sumber]
Babilon tetap menjadi sebuah kota kecil di sebuah negara kecil sampai pada masa
pemerintahan raja berkebangsaan Amori yang keenam, Hamurabi (1792–1750 SM,
atau ca. 1728–1686 SM menurut Kronologi Pendek). Ia memprakarsai pembangunan besar-
besaran di Babilon, dan mengubahnya dari sebuah kota kecil menjadi kota besar yang pantas
diperintah seorang raja. Pemimpin dengan segudang prestasi ini membentuk birokrasi berikut
sistem perpajakan dan pemerintahan yang terpusat. Hamurabi memerdekakan Babilonia dari
penjajahan Elam, bahkan mengusir bangsa Elam dari kawasan selatan Mesopotamia. Kawasan
itu selanjutnya ia taklukkan secara sistematis. Kota-kota yang ditaklukkannya mencakup Isin,
Larsa, Esynuna, Kis, Lagasy, Nipur, Borsipa, Ur, Uruk, Uma, Adab, Sipar, Rapiqum, dan Eridu.
Aksi-aksi penaklukannya menghadirkan stabilitas di kawasan selatan Mesopotamia yang
sebelumnya berkubang dalam kekacauan dan menyatukan sekian banyak negara kecil di
kawasan itu menjadi satu bangsa. Pada zaman Hamurabilah kawasan selatan Mesopotamia
mulai disebut Babilonia (bahasa Yunani: Βαβυλωνία, Babilonia).
Hamurabi mengerahkan angkatan bersenjatanya ke timur dan menginvasi kawasan yang seribu
tahun kemudian menjadi wilayah negara Iran. Ia menaklukkan Elam, orang Guti, orang Lulubi,
dan orang Kasi. Ke sebelah barat, ia menaklukkan negara-negara orang Amori di Syam
(sekarang Suriah dan Yordania), termasuk Mari dan Yamhad, dua kerajaan yang cukup kuat.
Hamurabi selanjutnya berperang melawan Kekaisaran Asyur Lama. Perang perebutan
kedaulatan atas Mesopotamia dan kawasan Timur Dekat ini berlangsung berlarut-larut. Asyur
sudah menguasai sebagian besar wilayah orang Huri dan orang Hati di kawasan selatan
Anatolia sejak abad ke-21 SM, serta mendaulat kawasan timur laut Syam dan kawasan tengah
Mesopotamia pada paruh kedua abad ke-20 SM. Sesudah berpuluh-puluh tahun berperang
melawan raja-raja besar Asyur, Syamsyi-Adad I dan Isyme-Dagan I, Hamurabi akhirnya mampu
memaksa Raja Asyur berikutnya, Mut-Asykur, untuk membayar upeti kepada Babilonia sekitar
tahun 1751 SM. Keberhasilan ini membuat Babilonia berdaulat atas wilayah orang Hati dan
orang Huri di Anatolia yang sudah ratusan tahun dijajah Asyur.[12]
Salah satu karya besar Hamurabi yang terpenting sekaligus yang terakhir adalah
penyusunan undang-undang Babilonia, penyempurna undang-undang Sumeria, Akkad, maupun
Asyur yang sudah ada jauh sebelumnya. Undang-undang tersebut disusun atas perintah
Hamurabi sesudah ia berhasil mengusir orang Elam dan mengukuhkan kerajaannya. Pada tahun
1901, sebuah tugu prasasti yang memuat salinan Undang-Undang Hamurabi ditemukan Jacques
de Morgan dan Jean-Vincent Scheil di Susa, bekas wilayah Elam. Mungkin diboyong dari
Babilon ke Elam sebagai jarahan perang. Prasasti ini sekarang tersimpan di museum Louvre.
Dari sebelum tahun 3000 SM sampai pada masa pemerintahan Hamurabi, pusat budaya dan
agama yang utama di kawasan selatan Mesopotamia adalah kota Nipur, tempat Enlil dipuja
sebagai mahadewa. Hamurabi menjadikan kota Babilon sebagai pusat budaya dan agama yang
baru, dan menjadikan Marduk sebagai mahadewa di kawasan selatan Mesopotamia,
sementara Dewa Asyur, dan sampai taraf tertentu juga Dewi Isytar, tetap menjadi sesembahan
utama bangsa Asyur di kawasan utara Mesopotamia. Kota Babilon mulai dikenal sebagai "kota
suci", lokasi wajib bagi penyelenggaraan upacara penobatan semua penguasa sah kawasan
selatan Mesopotamia. Hamurabi mengubah kota Babilon dari sebuah kota administrasi kecil
menjadi kota besar yang kuat dan berpengaruh, dengan memperluas jangkauan kekuasaan
Babilonia ke seluruh kawasan selatan Mesopotamia, dan mendirikan sejumlah bangunan megah
di kota itu.
Bangsa Babilonia yang diperintah penguasa berkebangsaan Amori, sebagaimana para
leluhurnya pada rezim-rezim terdahulu, berdagang secara teratur dengan negara-negara kota
bangsa Amori dan bangsa Kanaan di sebelah barat. Hubungan perdagangan yang terjalin baik
ini memungkinkan pejabat-pejabat maupun pasukan-pasukan militer Babilonia kadang-kadang
mendatangi Syam maupun Kanaan, dan para saudagar Amori dapat berdagang dengan leluasa
di seluruh Mesopotamia. Kedehatan raja-raja Babilonia dengan daerah barat bertahan cukup
lama. Ami-Ditana, cicit Hamurabi, masih menggelari diri "raja negeri orang Amori". Ayah maupun
putra Ami-Ditana juga memiliki nama khas Amori, yakni Abi-Esyuh dan Ami-Saduqa.
Kemunduran[sunting | sunting sumber]

Meterai gilas dari zaman Babilonia sekitar abad ke-18 sampai abad ke-17 SM

Kawasan selatan Mesopotamia tidak memiliki benteng-benteng perbatasan alami yang dapat
dijadikan pangkalan pertahanan sehingga mudah dimasuki musuh. Sesudah Hamurabi mangkat,
kekaisaran dengan cepat terpecah belah. Pada masa pemerintahan pengganti
Hamurabi, Samsu-iluna (1749–1712 SM), ujung selatan Mesopotamia jatuh ke tangan Ilum-ma-
ili, seorang raja pribumi penutur bahasa Akkadia yang menentang kedaulatan raja-raja
berkebangsaan Amori di Babilonia. Daerah ujung selatan menjadi Kerajaan Wangsa Pesisir,
negara bangsa pribumi Mesopotamia yang mampu mempertahankan kemerdekaannya dari
Babilonia sampai 272 tahun kemudian.[13]
Sekitar tahun 1740 SM, seorang wali negeri Asyur berkebangsaan Akkadia bernama Puzur-
Sin mengusir bangsa Babilonia dan penguasa-penguasa mereka yang berkebangsaan Amori
dari wilayah Asyur ke sebelah utara. Puzur-Zin menganggap Raja Mut-Asykur sebagai orang
asing sekaligus mantan budak Babilonia. Sesudah enam tahun lamanya perang saudara
melanda Kerajaan Asyur, seorang raja pribumi bernama Adasi berhasil merebut takhta sekitar
tahun 1735 SM, dan selanjutnya mendaulat daerah-daerah bekas jajahan Babilonia dan Amori di
kawasan tengah Mesopotamia. Tindakan yang sama juga dilakukan penggantinya, Bel-bani.
Bangsa Amori masih berdaulat atas Babilonia, meskipun wilayahnya sudah menyusut. Abi-
Esyuh, pengganti Samsyu-iluna, gagal merebut kembali wilayah yang sudah dikuasai
kulawangsa Pesisir, bahkan dikalahkan Raja Damqi-ilisyu II. Pada akhir masa pemerintahannya,
Babilonia terpuruk menjadi negara yang kecil dan relatif lemah seperti pada awal
kemunculannya, meskipun kota Babilon sudah jauh lebih besar daripada ukurannya sebelum
masa pemerintahan Hamurabi.
Abi-Esyuh digantikan oleh Ami-Ditana, yang kemudian digantikan Ami-Saduqa. Baik Ami-Ditana
maupun Ami-Saduqa sudah tidak terlalu lemah untuk berusaha merebut kembali daerah-daerah
yang lepas dari Babilonia sepeninggal Hamurabi, dan membatasi diri pada kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan dalam suasana damai.
Syamsu-Ditana adalah Raja Babilonia terakhir yang berkebangsaan Amori. Pada awal masa
pemerintahannya, Babilonia dirongrong bangsa Kasi, masyarakat penutur sebuah bahasa
terpencil dari daerah pegunungan yang sekarang termasuk kawasan barat laut wilayah Iran.
Pada tahun 1595 SM, Babilonia diserbu bangsa Het, masyarakat penutur bahasa rumpun India-
Eropa dari Anatolia. Syamsu-Ditana terguling dari takhta sesudah kota Babilon jatuh ke
tangan Mursili I, raja berkebangsaan Het. Bangsa Het tidak lama menguasai Babilonia, tetapi
kerusakan yang mereka timbulkan pada akhirnya membuka peluang bagi sekutu-sekutu Kasi
mereka untuk merebut kekuasaan.
Perebutan kota Babilon dan kronologi Timur Dekat purba[sunting | sunting sumber]
Tarikh penjarahan kota Babilonia oleh bangsa Het di bawah pimpinan Raja Mursili I dianggap
penting dalam berbagai perhitungan kronologi Timur Dekat Kuno yang terdahulu, karena
dijadikan waktu-patokan. Rentang waktu perkiraan terjadinya peristiwa tersebut mencapai 230
tahun, sejajar dengan ketidakpastian jangka waktu "Abad Kegelapan" pada zaman Kemerosotan
Akhir Zaman Perunggu, sehingga mengakibatkan bergesernya keseluruhan kronologi Zaman
Perunggu Mesopotamia berdasarkan kronologi Mesir. Tarikh-tarikh perkiraan tersebut adalah
sebagai berikut:

 Kronologi sangat-pendek: 1499 SM


 Kronologi pendek: 1531 SM
 Kronologi menengah: 1595 SM (kemungkinan besar yang paling umum dipakai, dan
kerap dipandang sebagai kronologi dengan dukungan terbanyak)[14][15][16][17][18][19]
 Kronologi panjang: 1651 SM (lebih disukai sebagai acuan dalam beberapa
rekonstruksi peristiwa astronomis)[8]
 Kronologi sangat-panjang: 1736 SM[20]
Kulawangsa Kasi (1595–1155 SM)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Bangsa Kasi
Luas wilayah Kekaisaran babel pada zaman kulawangsa Kasi

Cikal bakal kulawangsa Kasi adalah Gandasy dari Mari. Seperti para penguasa Amori sebelum
mereka, para penguasa Kasi juga bukan orang-orang pribumi Mesopotamia. Bangsa Kasi mula-
mula muncul di daerah Pegunungan Zagros, yang sekarang termasuk kawasan barat laut
wilayah Iran.

Kebudayaan[sunting | sunting sumber]
Kebudayaan Mesopotamia dari Zaman Perunggu sampai Zaman Besi Awal kadang-kadang
dirangkum dengan sebutan "kebudayaan Asyur-Babilonia" karena eratnya saling ketergantungan
etnis, bahasa, dan budaya kedua pusat kekuatan politik itu. Dulunya istilah "Negeri Babilonia"
atau "Babilonia", khususnya di dalam karya-karya tulis dari sekitar awal abad ke-20, digunakan
dengan makna yang juga mencakup sejarah awal kawasan selatan Mesopotamia pra-Babilonia,
dan bukan semata-mata sebagai sebutan bagi negara kota Babilon saja. Di dalam karya-karya
tulis termutakhir, pemakaian istilah "Babilonia" sebagai nama kawasan pada umumnya sudah
diganti dengan istilah yang lebih tepat, yakni Sumeria atau Sumeria-Akkadia yang mengacu
kepada peradaban Mesopotamia pra-Asyur-Babilonia.

Kebudayaan Babilonia[sunting | sunting sumber]

Hematit bertanda meterai gilas dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama, menampilkan gambar raja


mengorbankan hewan kepada Dewa Syamas, kemungkinan besar buatan sebuah bengkel di kota Sipar.[21]

Seni rupa dan arsitektur[sunting | sunting sumber]


Informasi lebih lanjut: Arsitektur Mesopotamia dan Seni rupa Mesopotamia
Sepasang insan, plakat lempung bakar dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama, kawasan selatan
Mesopotamia, Irak

Di Babilonia, kelimpahan lempung dan kelangkaan batu menjadi sebab bata lumpur lebih banyak


digunakan. Kuil-kuil bangsa Babilonia, Sumeria, maupun Asyur adalah gedung-gedung raksasa
berdinding batu bata kasar yang ditopang banir, dan dilengkapi saringan-saringan pembuangan
untuk mengalirkan air hujan. Salah satu saringan pembuangan air yang ditemukan di Ur terbuat
dari timbal. Pemanfaatan batu bata menjadi pangkal pengembangan pilar semu maupun pilar
sejati, fresko-fresko dan ubin-ubin berlapis email. Dinding-dinding dicat dengan warna mencolok,
dan kadang-kadang dilapisi dengan pelat-pelat seng atau emas, maupun dengan ubin. Kerucut-
kerucut terakota yang dicat direkatkan ke dinding dengan lepa sebagai tempat menaruh obor. Di
Babilonia, sebagai ganti relief, banyak sekali dibuat patung-patung tiga dimensi. Contoh-contoh
tertua dari patung-patung semacam itu adalah arca-arca Gudea, yang terlihat realistis kendati
terkesan kikuk. Kelangkaan batu di Babilonia menyebabkan tiap keping batu dinilai tinggi.
Pengghargaan terhadap nilai batu inilah yang mendorong bangsa Babilonia mencapai
kesempurnaan tingkat tinggi di bidang seni potong batu mulia.[22]
Ilmu falak[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Astronomi Babilonia
Loh-loh yang diduga berasal dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama mencatat penerapan ilmu
matematika dalam penghitungan variasi waktu siang sepanjang satu tahun surya. Kegiatan
mengamati fenomena langit yang sudah berlangsung selama berabad-abad terabadikan di
dalam serangkaian loh beraksara baji yang dikenal dengan judul "Enūma Anu Enlil". Loh yang
memuat teks astronomi signifikan tertua yang masih ada saat ini adalah Enūma Anu Enlil Loh
63, yakni loh Venus Ami-Saduqa. Loh ini memuat daftar waktu terbit Venus yang pertama
sampai terakhir kali tertangkap mata dalam kurun waktu 21 tahun, dan merupakan bukti tertua
yang menunjukkan bahwa fenomena sebuah planet sudah diketahui terjadi secara
berkala. Astrolab persegi panjang tertua diperkirakan berasal dari zaman Babilonia sekitar tahun
1100 SM. Naskah MUL.APIN memuat daftar bintang dan rasi bintang maupun skema-skema
untuk untuk memprakirakan kemunculan bintang dan terbenamnya planet-planet, panjang waktu
siang berdasarkan jam air, gnomon, dan bayang-bayang, serta interkalasi.

Kebudayaan Babilonia Baru[sunting | sunting sumber]


Kebangkitan singkat budaya Babilonia pada abad ke-7 sampai abad ke-6 SM terjadi terjadi
bersamaan dengan sejumlah kemajuan kebudayaan yang penting.
Astronomi[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Astronomi Babilonia dan Kronologi Timur Dekat kuno
Dari semua ilmu pengetahuan, astronomi dan astrologilah yang paling diutamakan masyarakat
Babilonia. Astronomi adalah ilmu yang sudah lama digeluti di Babilonia. Zodiak adalah salah
satu penemuan bangsa Babilonia pada Abad Kuno, bahkan para ilmuwan Babilonia sudah dapat
memperkirakan waktu terjadinya gerhana Matahari dan gerhana Bulan.[23] Ada lusinan catatan
beraksara baji mengenai observasi-observasi gerhana yang dilakukan sendiri oleh bangsa
Mesopotamia.
Astronomi Babilonia menjadi dasar pengembangan ilmu astronomi Yunani Kuno, Abad
Klasik, Kekaisaran Sasaniyah, Bizantin, Syam, Dunia Islam pada Abad pertengahan, Asia
Tengah, dan Eropa Barat.[23][24] Oleh karena itu, ilmu astronomi zaman Kekaisaran Babilonia Baru
dapat dianggap sebagai leluhur langsung dari ilmu matematika dan astronomi bangsa Yunani,
yang menjadi pangkal revolusi ilmu pengetahuan di Dunia Barat.[25]
Matematika[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Matematika Babilonia
Naskah-naskah matematika Babilonia berlimpah ruah dan tersunting rapi.[25] Dari segi waktu
pembuatan, peninggalan-peninggalan tertulis tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yakni
kelompok naskah dari zaman Kekaisaran Babilonia Lama (1830–1531 SM), dan kelompok
naskah yang sebagian besar merupakan peninggalan Kekaisaran Seleukia dari abad ke-4 atau
abad ke-3 SM. Dari segi isi, kedua kelompok naskah tersebut nyaris tidak berbeda. Oleh karena
itu hakikat dan kandungan ilmu matematika Babilonia dapat dibilang berjalan di tempat, karena
hanya ada sedikit sekali kemajuan dan inovasi selama hampir dua ribu tahun.[diragukan  –  diskusikan][25]
Sistem matematika Babilonia adalah seksagesimal atau sistem bilangan dengan 60 angka
dasar. Sistem seksagesimal adalah cikal bakal pembagian 1 menit menjadi 60 detik, pembagian
1 jam menjadi 60 menit, dan pembagian 1 lingkaran menjadi 360 (60x6) derajat. Bangsa
Babilonia mampu meraih capaian-capaian besar bidang matematika lantaran dua faktor. Yang
pertama, bilangan 60 dapat habis dibagi dengan banyak angka lain (2, 3, 4, 5, 6, 10, 12, 15, 20,
dan 30), sehingga hitung-hitungan menjadi lebih mudah. Selain itu, tidak seperti bangsa Mesir
dan bangsa Romawi, bangsa Babilonia memiliki suatu sistem nilai-tempat sejati. Deret angkanya
berurut dari kiri ke kanan, mulai dari yang paling besar sampai yang paling kecil nilainya, sangat
mirip dengan sistem desimal yang digunakan sekarang ini (734 = 7×100 + 3×10 + 4×1). Salah
satu capaian bangsa Babilonia di bidang matematika adalah menghitung akar pangkat dua dari
bilangan 2 dengan benar sampai tujuh angka di belakang koma (loh lempung YBC 7289).
Bangsa Babilonia tampaknya sudah memahami teorema Pitagoras sebelum
dicetuskan Pitagoras sendiri, terbukti dari isi loh lempung dengan pertanggalan kira-kira tahun
1900 SM yang diterjemahkan Dennis Ramsey sebagai berikut:
Panjangnya sama dengan 4 dan diagonalnya sama dengan 5. Berapakah lebarnya? Tidak
diketahui ukurannya. 4 kali 4 sama dengan 16 dan 5 kali 5 sama dengan 25. Kurangkan 16 dari
25 maka tinggal 9 sisanya. Berapa kali berapa yang sama dengan 9? 3 kali 3 sama dengan 9.
Jadi lebarnya sama dengan 3.
Ner (kelipatan 600) dan sar (kelipatan 3600) dibentuk dari bilangan 60, berpadanan dengan
jarak 1 derajat di khatulistiwa. Loh-loh berisi perhitungan pangkat dua dan pangkat tiga dari 1
sampai 60 sudah ditemukan di situs Senkera, lagi pula bangsa yang sudah mengenal jam
matahari, jam air, tuas, dan katrol mestilah memiliki pengetahuan mekanika yang mumpuni.
lensa-lensa dari kaca timbal yang dibuat menggunakan mesin bubut ditemukan Austen Henry
Layard di situs Nimrud bersama-sama dengan bejana-bejana kaca berukir nama Sargon. Lensa-
lensa tersebut menjawab misteri aksara-aksara dengan ukuran yang sangat kecil pada beberapa
loh keluaran Asyur.[26]
Bangsa Babilonia mungkin sudah terbiasa menerapkan kaidah-kaidah umum untuk mengukur
luas bangun datar. Mereka menghitung panjang keliling lingkaran dengan rumus tiga kali
panjang garis tengah, sementara luasnya dihitung dengan rumus seperdua belas kali panjang
keliling yang dipangkatkan dua, dan bisa saja benar jika π dianggap sama dengan 3. Volume
silinder dihitung dengan rumus luas alas kali tinggi, tetapi volume frustum kerucut atau limas
persegi dihitung dengan cara yang keliru, yakni dengan rumus separuh luas alas kali tinggi.
Belakangan ini ditemukan sebuah loh yang menggunakan π dengan nilai 3 1/8 (tiga
seperdelapan). Bangsa Babilonia juga dikenal karena menghasilkan satuan mil Babilonia, yang
kurang lebih sama dengan 11 kilometer (7 mil) sekarang ini. Satuan yang digunakan untuk
mengukur jarak ini pada akhirnya diubah menjadi satuan mil-waktu yang dipakai mengukur jarak
tempuh matahari, dan oleh karena itu merupakan perhitungan waktu. Bangsa Babilonia juga
menggunakan graf ruang waktu untuk menghitung kecepatan Yupiter. Perhitungan ini
merupakan sebuah gagasan yang terbilang sangat modern, yang jejaknya dapat dirunut sampai
ke Inggris dan Prancis pada abad ke-14 dan mendahului kalkulus integral.[27]
Filsafat[sunting | sunting sumber]
Asal-usul filsafat Babilonia dapat dilacak sampai kepada kesusastraan hikmat Mesopotamia,
yang menyarikan filsafat-filsafat hidup tertentu, khususnya etika, dalam
bentuk dialektika, dialog, wiracarita, cerita rakyat, himne, lirik lagu, prosa,
dan peribahasa. Penalaran dan rasionalitas bangsa Babilonia berkembang di luar
observasi empiris.[28]
Kemungkinan besar filsafat Babilonia juga mempengaruhi filsafat Yunani, khususnya filsafat
Helenistis. Karya tulis Babilonia yang dijuduli Dialog Pesimisme menampakkan kemiripan
dengan fikrah agonistis para filsuf sofis, doktrin kontras para filsuf heraklitan, dan dialog-
dialog Plato. Dialog Pesimisme juga merupakan pendahulu dari metode maieutis yang
dicetuskan filsuf Sokrates.[29] Filsuf Tales yang bermazhab Miletos diketahui pernah belajar
filsafat di Mesopotamia.

Warisan sejarah
Babilonia, teristimewa ibu kotanya, Babilon, sudah lama dijadikan lambang kekuasaan yang
bejat dan kelewat batas di dalam agama-agama Abrahamik. Babilonia kerap disebut-sebut di
dalam Alkitab (sebagai Babel), baik dalam arti harfiah (historis) maupun dalam arti kias
(alegoris). Penyebutan Babel di dalam Alkitab Ibrani cenderung bersifat historis atau profetis,
sementara sebutan apokaliptis Pelacur Babel di dalam Perjanjian Baru sepertinya lebih bersifat
kiasan, dan mungkin sekali merupakan kata sandi untuk Roma yang pagan atau semacam
arketipe lainnya. Taman Gantung Babilonia dan Menara Babel yang legendaris itu masing-
masing dipandang sebagai lambang kemewahan dan lambang keangkuhan kekuasaan.
Umat Kristen perdana adakalanya menyebut Roma dengan nama Babel.
Rasul Petrus mengakhiri suratnya yang pertama dengan kalimat berikut ini:
Salam kepada kamu sekalian dari kawanmu yang terpilih yang di Babilon, dan juga dari Markus,
anakku.

— 1 Petrus 5:13, Lembaga Alkitab Indonesia, Terjemahan Baru (1974)


Kitab Wahyu memuat kalimat berikut ini:
Dan seorang malaikat lain, malaikat kedua, menyusul dia dan berkata: "Sudah rubuh, sudah
rubuh Babel, kota besar itu, yang telah memabukkan segala bangsa dengan anggur hawa nafsu
cabulnya."

— Wahyu 14:8, Lembaga Alkitab Indonesia, Terjemahan Baru (1974)


Contoh-contoh lain adalah Wahyu 16:19 dan Wahyu 18:2.
Babilonia disebutkan di dalam Alquran pada ayat 102 Surah Surah Al-Baqarah sebagai berikut:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
Sulaiman itu tidak kafir tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada
manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia yaitu Harut dan
Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan,
“Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kafir.” Maka mereka
mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami)
dengan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali
dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan, dan tidak memberi manfaat
kepada mereka. Dan sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan sihir)
itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk
perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu.

— Al-Baqarah 102, Al-Quran, Kementerian Agama Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai