Sistem Manajemen Nasional
Sistem Manajemen Nasional
Sistem manajemen nasional terdiri dari 3 kata, yaitu Sistem, Manajemen, dan Nasional.
Sistem merupakan suatu perpaduan yang terdiri dari tata nilai, struktur, dan proses yang secara
sinergi bersama-sama mengemban fungsi tertentu. Manajemen memiliki definisi berupa
pengelolaan atau tata laksana yang merupakan proses, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan penilaian atas setiap pemanfaatan sumber daya.
Sedangkan kata nasional berarti seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh karena itu, secara terminologis sistem manajemen nasional memiliki definisi sebagai suatu
perpaduan antara tata nilai, struktur, dan proses untuk mengelola pemanfaatan sumber daya demi
tujuan nasional.
Indikator mengenai berhasil atau tidaknya suatu sistem manajemen nasional adalah:
Ditinjau dari indikator mengenai keberhasilan suatu sistem manajemen nasional, Maluku
termasuk provinsi dengan sistem manajemen nasional yang dapat dikatakan kurang. Masih ada
beberapa kelemahan dalam sistem manajemen pemerintahan provinsi Maluku, seperti:
1. Hampir semua kepala daerah di Maluku tidak memiliki visi pembangunan yang jelas,
konkrit dan perspektif jangka panjang. Visi kepala daerah bersifat konvensional dan tidak
terukur, sehingga dalam menjalankan pemerintahan di butuhkan penyesuaian yang
panjang dan pembelajaran otodidak.
2. Penempatan pejabat eselon strategis termasuk kepala-kepala SKPD tidak berdasarkan
asaz kompetensi, profesionalitas, kapabilitas manajerial, intergritas moral dan etik yang
kuat. Sebaliknya lebih pada pertimbangan politis, sistim perimbangan, dan suka atau
tidak suka.
3. Terjadi banyak kebocoran dalam penggunaan anggaran daerah. Dalam hal ini, berarti
masih banyak anggaran yang tidak digunakan seusai dengan peruntukan yang
sesungguhnya.
4. Ada kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemerintah daerah tanpa didukung
dengan payung hukum yang jelas, sehingga berdampak pada tataran pelaksanaan secara
teknis.
5. Pola perencanaan yang bersifat parsial sektoral dan bukan pola perencanaan
komprehensif terintegrasi, sehingga menimbulkan ketidak sinkronan pada tahap
pelaksanaan dan merugikan rakyat dan pemborosan anggaran daerah.
6. Otonomi daerah (OTODA) telah melahirkan persaingan tidak sehat antar daerah, padahal
dibutuhkan adalah kerjasama yang baik antar kabupaten, sehingga saling mengisi satu
sama lain. Ego kedaerahan yang sempit ini cenderung melahirkan fanatisme kaku, pada
tingkat masyarakat.
7. Sikap politik pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang tidak tegas, bahkan cendrung
lemah terhadap berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah pusat yang merugikan
Maluku.
Namun dalam hal pemberdayaan masyarakat, Maluku dikatakan cukup baik. Pada
beberapa kota seperti Ambon, pemberdayaan masyarakat oleh Pemerintah Kota telah
berjalan dengan baik. Sedangkan di beberapa daerah di Maluku masih belum bisa
memberdayakan masyarakat dengan baik. Sehingga masyarakat di beberapa daerah di
Maluku masih hidup terisolir.
Akibat dari posisinya yang terisolir memaksakan masyarakat harus menyesuaikan diri
dengan kenyataan hidup yang ada sehingga berdampak buruk pada kondisi eknomis,
ekologis, dan sosial budaya.Ketika keadaan ekonomi mulai melemah ditandai dengan
pendapatan masyarakat yang menurun akibat kurang adanya pemberdayaan masyarakat di
daerah terisolir.