Anda di halaman 1dari 4

Pemerintahan[sunting 

| sunting sumber]
Geografi Mesopotamia sangat berdampak pada perkembangan politik di wilayah itu. Di antara
sungai dan kali, orang-orang Sumeria mendirikan kota-kota perdana dengan saluran-saluran
irigasinya yang terpisahkan satu sama lain oleh bentangan gurun atau rawa yang luas dan terbuka,
tempat berkeliaran suku-suku pengembara. Komunikasi antar kota-kota terisolasi itu sulit dan
kadang berbahaya jika dilakukan. Oleh karena itu, masing-masing kota Sumeria menjadi
sebuah negara kota yang merdeka dan gigih mempertahankan kemerdekaannya.

Raja-raja[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Daftar Raja Sumeria, Daftar Raja Babel dan Daftar Raja Asyur
Bangsa Mesopotamia percaya bahwa raja-raja dan ratu-ratu mereka adalah keturunan dari warga
Kota Dewa-Dewa, tetapi tidak seperti bangsa Mesir Kuno, mereka tidak pernah meyakini bahwa
raja-raja mereka adalah dewa-dewa sejati.[22] Sebagian besar raja-raja menggelar dirinya “raja
semesta alam” atau “raja agung”. Gelar lainnya yang lazim dipakai adalah “gembala”, karena raja-
raja harus memperhatikan peri kehidupan rakyatnya.

Kekuasaan[sunting | sunting sumber]
Ketika tumbuh menjadi sebuah kekaisaran, wilayah kekuasaan Asyur dibagi-bagi menjadi daerah-
daerah yang disebut provinsi. Tiap-tiap provinsi dinamakan menurut nama kota utamanya,
seperti Niniwe, Samaria, Damsyik, dan Arpad. Semua provinsi dikepalai gubernurnya masing-
masing yang bertugas memastikan setiap orang membayar pajaknya. Para gubernur juga wajib
menghimpun pasukan untuk maju berperang dan menyalurkan tenaga kerja bila ada pembangunan
kuil. Seorang gubernur juga bertanggung jawab atas penerapan hukum di provinsi yang
dipimpinnya. Cara ini memudahkan pengendalian sebuah kekaisaran besar. Walaupun sebelumnya
cuma sebuah negara kecil di Sumeria, Babel tumbuh pesat selama masa pemerintahan Hammurabi.
Ia dikenal sebagai “pencipta aturan hukum”, dan segera Babel menjadi salah satu kota utama di
Mesopotamia. Kelak Babel disebut Babilonia, yang berarti "gapura dewa-dewa." Kota ini juga
menjadi salah satu pusat pembelajaran terbesar dalam sejarah.

Peperangan[sunting | sunting sumber]

Sekeping pecahan dari Prasasti Burung Nazar yang memperlihatkan pasukan perang yang sedang berbaris,
zaman dinasti awal III, 2600–2350 SM
Salah satu dari dua patung domba dalam belukar yang ditemukan di pemakaman kerajaan di Ur, 2600-2400
SM

Dengan berakhirnya zaman kekuasaan Uruk, tumbuh kota-kota bertembok dan banyak desa
terpencil dari zaman Ubaid ditinggalkan yang menyiratkan adanya peningkatan kekerasan yang
dilakukan secara berkelompok. Seorang raja awal yaitu Lugalbanda diduga telah membangun
tembok putih mengitari kota itu. Begitu negara-negara kota mulai tumbuh, lingkup jangkauan
pengaruh mereka pun saling tumpang-tindih sehingga menimbulkan perdebatan di antara negara-
negara kota lainnya, khususnya menyangkut tanah dan terusan-terusan. Perdebatan-perdebatan ini
dicatat pada loh-loh lempung beberapa ratus tahun sebelum pecah perang-perang besar—catatan
pertama mengenai peperangan ditulis sekitar 3200 SM. Namun, belum menjadi suatu kelaziman
sampai kira-kira 2500 SM. Seorang raja Dinasti Awal II (Ensi) Uruk di Sumer, Gilgamesh (2600 SM),
disanjung karena keberhasilannya dalam bertempur melawan Humbaba, penjaga Pegunungan
Aras, dan kelak dalam banyak sajak dan kidung ia dipuja-puji pula sebagai makhluk dua pertiga
dewa dan hanya sepertiga manusia. Tugu Prasasti Burung Nazar yang berasal dari akhir
zaman Dinasti Awal III (2600–2350 SM), yang dibuat untuk memperingati
kemenangan Eannatum dari Lagash atas kota tetangga saingannya Umma, adalah monumen tertua
di dunia yang dibuat sebagai pernyataan pujian atas sebuah tindakan pembantaian.[23] Mulai saat itu
sampai seterusnya, peperangan dijadikan bagian dari sistem politik Mesopotamia. Sesekali sebuah
kota yang netral dapat bertindak selaku penengah bagi dua kota yang saling berseteru. Keadaan ini
mendorong terbentuknya persatuan-persatuan antar-kota yang kelak berkembang menjadi negara-
negara kedaerahan.[22] Tatkala kekaisaran-kekaisaran terwujud, mereka pun maju berperang tetapi
lebih sering melawan negara-negara asing. Raja Sargon misalnya, menaklukkan seluruh kota di
Sumeria, beberapa kota di Mari, dan kemudian maju berperang melawan Suriah utara. Banyak
dinding istana Asiria dan Babilonia dihiasi dengan gambar-gambar mengenai pertempuran-
pertempuran yang berhasil dimenangkan dan musuh yang lari kocar-kacir atau bersembunyi dibalik
rumpun-rumpun gelagah.

Hukum[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Hukum perkawinan Mesopotamia
Negara-negara kota Mesopotamia menyusun naskah hukum mereka dengan bersumber pada
keputusan-keputusan peradilan dan undang-undang raja-raja. Naskah hukum Urukagina dan Lipit
Isytar telah ditemukan. Naskah hukum paling terkenal berasal dari Hammurabi, yang termasyhur
setelah kematiannya berkat perangkat aturan hukum yang disusunnya, yakni Naskah Hukum
Hammurabi (disusun ca. 1780 SM), yang merupakan salah satu perangkat hukum tertua yang
pernah ditemukan dan salah satu contoh dokumen sejenis yang berasal dari Mesopotamia Kuno.
Hammurabi menetapkan 200 lebih aturan hukum bagi Mesopotamia. Kajian atas aturan-aturan ini
menunjukkan makin lemahnya hak-hak perempuan, dan makin kejamnya perlakuan terhadap budak
belian[2

. Raja perama Assyria adalah Tiglath Pileser. Bangsa ini mencapai puncak kejayaan sejak masa
pemerintahan Esharhaddon disusul Ashurbanipal. Raja terakhir Assyria ini sempat membangun
koleksi tablet yang menjadi perpustakaan pertama di dunia.

Kelompok bangsa lain yang pernah membangun peradaban di wilayah


Mesopotamia, selain bangsa Sumeria dan Akkadia adalah bangsa
Assyria yang mulai berkuasa kurang lebih pada 680 SM. Jika dilihat
dari asalnya, bangsa Assyria termasuk ke dalam rumpun bangsa
Semit, sama seperti bangsa Akkadia. Di wilayah Mesopotamia, bangsa
Assyria membangun dua kota utama mereka, yaitu Kota Asshur dan
Kota Niniveh. Di antara kedua kota itu, kota Niniveh dipilih sebagai
ibukota negara oleh bangsa Assyria karena letaknya yang dekat
dengan sumber air, yakni Sungai Tigris.
ADVERTISEMENT

Corak pemerintahan yang dianut oleh bangsa Assyria lebih condong


kepada corak kemiliteran. Selama pembangunan peradabannya,
bangsa Assyria dikenal gemar melakukan invasi ke daerah-daerah di
sekitar mereka untuk memperluas wilayah kekuasaan Assyria. Atas
usahanya itu, wilayah kekuasaan imperium Assyria membentang dari
Teluk Persia hingga kawasan Laut Tengah di Eropa. Kekuatan militer
bangsa Assyria sangat ditakuti dan disegani oleh bangsa lain, terutama
pasukan infanteri dan kavaleri Assyria yang dikenal sangat ahli
berperang. Assyria juga dikenal memiliki kereta perang yang sangat
kuat di medan pertempuran. Maka tidak heran jika Assyria dijuluki
sebagai bangsa Romawi dari Asia.
Bangsa Assyria memiliki cara tersendiri untuk mempermudah
pengelolaan pemerintahan dengan wilayah yang sangat luas, yaitu
dengan membentuk kelompok provinsi yang dipimpin oleh seorang
gubernur. Pemilihan pimpinan wilayah tersebut diangkat langsung
oleh raja yang berkedudukan di pusat pemerintahan. Setiap provinsi
tersebut dihubungkan oleh jalan raya yang dibangun dengan sangat
baik untuk mempermudah akses memasuki provinsi tersebut.
ADVERTISEMENT

Bangsa Assyria, walaupun terkenal kejam di medan pertempuran,


namun memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Diketahui salah seorang raja yang pernah berkuasa di
Assyria, bernama Raja Assurbanipal, pernah menyumbangkan lebih
dari 22 ribu lempengan tanah liat yang memuat berbagai ilmu
pengetahuan di sepanjang pemerintahannya. Koleksi lempengan ilmu
pengetahuan tersebut tersimpan di dalam perpustakaan kota Niniveh.
Umumnya lempengan tersebut berisikan informasi mengenai sastra,
agama, obat-obatan, ilmu alam, matematika, sejarah, dan bahasa.
Lambat laun posisi Assyria dalam menjalankan pemerintahannya
semakin lemah. Ternyata keadaan tersbut diketahui oleh bangsa
Chaldea, yang menguasai wilayah Mesopotamia bagian selatan.
Bangsa Chaldea menempati wilayah yang sebelumnya menjadi
wilayah kekuasaan bangsa Babilonia. Bangsa Chaldea kemudian
melakukan invasi ke wilayah Assyria untuk merebut wilayah tersebut.
Bangsa Assyria sempat bertahan untuk beberapa saat, hingga
akhirnya berhasil ditaklukan pada 612 SM. Dalam perang tersebut,
ibukota Niniveh jatuh ke tangan bangsa Chaldea, dengan demikian
maka berakhirlah peradaban Assyria di wilayah Mesopotamia.
Walaupun beberapa wilayah kekuasaan bangsa Assyria di luar
Mesopotamia masih sempat berjalan, tetapi pada akhirnya ikut runtuh
seiring hancurnya pusat pemerintahan mereka.

Anda mungkin juga menyukai