Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

POST SC PRE EKLAMSIA


BERAT

A. Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono, 2005)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut
juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 1998).

B. Etiologi
Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio
caesarea adalah plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia
serviks, pre eklamsi dan hipertensi. Sedangkan faktor dari janin adalah letak
lintang dan letak bokong.
Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea
adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini.
Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi
4.0 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan
beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut :
1. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
2. KPD (Ketuban Pecah Dini)
3. Janin Besar (Makrosomia)
4. Kelainan Letak Janin
5. Bayi kembar
6. Faktor hambatan jalan lahir
7. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang
langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas.
Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan
penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu
kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu
mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi (Mochtar,
1998).
Pre-eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini
umumnya terjadi pada trimester III kehamilan, tetapi dapat terjadi
sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul
lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-
eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas
tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih.
Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila
tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100
mmHg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan
tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada
kedaan istirahat (Wiknjosastro, 2002).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan
dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat
badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial
yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak
seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklamsi. Kenaikan berat
badan setengah kilo setiap minggu dalam kehamilan masih dapat
dianggap normal, tetapi bila kenaikan satu kilo seminggu beberapa
kali,hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-
eklamsia. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang
melebihi 0,3 gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan kualitatif
menunjukkan satu atau dua + atau satu gram per liter atau lebih dalam air
kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil minimal 2 kali
dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dari
pada hipertensi dan kenaikan berat badan karena itu harus dianggap
sebagai tanda yang cukup serius (Wiknjosastro, 2002).
Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal
ialah pemeriksaan antenatal yag teratur dan bermutu serta teliti,
mengenali tanda-tanda sedini mungkin, lalu diberikan pengobatan yang
cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Tujuan utama
penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsi,
hendaknya janin lahir hidup dan trauma pada janin seminimal mungkin
(Mochtar, 1998).
Menurut (Manuaba, 1998) gejala pre-eklamsi berat dapat
diketahui dengan pemeriksaan pada tekanan darah mencapai 160/110
mmHg, oliguria urin kurang 400 cc/24 jam, proteinuria lebih dari 3
gr/liter. Pada keluhan subjektif pasien mengeluh nyeri epigastrium,
gangguan penglihatan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan di dapat kadar
enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan
trombosit kurang dari 100.000/mm.
Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang
dapat diikuti oleh koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting
dari mengobatinya, karena sekali ibu mendapat serangan, maka prognosa
akan jauh lebih buruk. Penatalaksanaan eklamsi bertujuan untuk
menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan
secepatnya dengan melakukan sectio caesarea yang aman agar
mengurangi trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).
C. Tujuan Sectio Caesarea
Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat
lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen
bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan
plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi
kematian bayi pada plasenta previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk
kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada placenta previa
walaupun anak sudah mati.

D. Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)


1. Abdomen (SC Abdominalis)
a. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi memanjang pada
corpus uteri. Sectio caesarea profunda: dengan insisi pada segmen
bawah uterus.
b. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis
dan dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
2. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan
apabila:
a. Sayatan memanjang (longitudinal)
b. Sayatan melintang (tranversal)
c. Sayatan huruf T (T Insisian)
3. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-
kira 10 cm.
Kelebihan:
a. Mengeluarkan janin lebih memanjang
b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan:
a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena
tidak ada reperitonial yang baik.
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture
uteri spontan.
c. Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering
terjadi dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena
luka bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan,
sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi
dalam persalinan.
d. Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan
supaya ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil
lagi. Sekurang -kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun.
Rasionalnya adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan
baik. Untuk tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka
rahim.
4. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen
bawah rahim kira-kira 10cm
Kelebihan:
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c. Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk
menahan isi uterus ke rongga perineum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri
spontan lebih kecil
Kekurangan:
a. Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga
dapat menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan
perdarahan yang banyak.
b. Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.
5. Komplikasi
a. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat,
misalnya peritonitis, sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi
apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi
intrapartum atau ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi
terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah,
tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil
dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama
sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada SC
transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c. Luka kandung kemih
d. Embolisme paru - paru
e. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang
kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih
banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
E. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo
pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-
eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea
(SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan
fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan
diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan,
dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien.
Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi
pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas
jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini
akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan
menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir,
daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak
dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan
dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit
G. Penatalaksanaan Medis Post SC (Manuaba, 1999)
1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar
tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh
lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi
dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan.
Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus
lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 -
10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam
setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
telentang sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan
selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi
posisi setengah duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan
kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca
operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak
pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan
perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi
tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap
institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran
pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
4) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
5) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan.
H. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian data umum
1) Identitas klien dan penanggung
2) Keluhan utama klien saat ini
3) Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi
klien multipara
4) Riwayat penyakit keluarga
5) Keadaan klien meliputi:
6) Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.
Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-
kira 600-800 mL
7) Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda
kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita.
Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan, ketakutan,
menarik diri, atau kecemasan.
8) Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
9) Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal
epidural.
10) Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah,
distensi kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus
mungkin ada.
11) Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
12) Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
13) Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea
sedang.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (prosedur
bedah; sectio caesarea)
2) Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan
pengeluaran yang berlebihan; perdarahan, diuresis, keringat
berlebihan
3) Perubahan pola eliminasi BAK (disuria) berhubungan
dengan trauma perineum dan saluran kemih
4) Perubahan pola eliminasi BAB (konstipasi) berhubungan
dengan kurangnya mobilisasi; diet yang tidak seimbang, trauma
persalinan
5) Gangguan pemenuhan ADL berhubungan dengan
imobilisasi; kelemahan
6) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jalan
lahir
7) Resiko gangguan proses parenting berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi
c. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Rencana Intervensi Rasional

Keperawatan Hasil
Nyeri akut b/d NOC : Pain Management

agen injuri  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara  Mengetahui tingkat pengalaman nyeri klien dan

fisik (prosedur  Pain control, komprehensif termasuk lokasi, tindakan keperawatan yang akan dilakukan untuk

bedah sectio  Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, mengurangi nyeri

caesarea). Setelah dilakukan kualitas dan faktor presipitasi

askep selama …x 24 (PQRST)  Reaksi terhadap nyeri biasanya ditunjukkan dengan

jam, diharapkan  Observasi reaksi nonverbal dari reaksi non verbal tanpa disengaja.

nyeri berkurang ketidaknyamanan  Mengetahui pengalaman nyeri

Kriteria Hasil :  Gunakan teknik komunikasi  Penanganan nyeri tidak selamanya diberikan obat.

 Mampu mengontrol terapeutik untuk mengetahui Nafas dalam dapat membantu mengurangi tingkat

nyeri (tahu penyebab pengalaman nyeri pasien nyeri


nyeri, mampu  Ajarkan tentang teknik non  Mengetahui keefektifan control nyeri

menggunakan tehnik farmakologi Mengurangi rasa nyeri Menentukan intervensi

nonfarmakologi keperawatan sesuai skala nyeri.

untuk mengurangi Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan

nyeri, mencari  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri berdasarkan involusi uteri.

bantuan)  Mengurangi ketegangan pada luka perineum.

 Melaporkan  Motivasi untuk meningkatkan

bahwa nyeri asupan nutrisi yang bergizi.

berkurang dengan  Tingkatkan istirahat


 Melatih ibu mengurangi bendungan ASI dan
menggunakan memperlancar pengeluaran ASI.
manajemen nyeri  Latih mobilisasi miring kanan
 Mencegah infeksi dan kontrol nyeri pada luka
 Mampu mengenali miring kiri jika kondisi klien mulai perineum.
nyeri (skala, membaik

intensitas, frekuensi  Kaji kontraksi uterus, proses


dan tanda nyeri) involusi uteri.

 Menyatakan rasa  Anjurkan pasien untuk membasahi

nyaman setelah nyeri perineum dengan air hangat  Mengurangi intensitas nyeri denagn menekan
berkurang sebelum berkemih. rangsnag nyeri pada nosiseptor.

 Tanda vital dalam  Anjurkan dan latih pasien cara

rentang normal merawat payudara secara teratur.

TD : 120-140 /80 –  Jelaskan pada ibu tetang teknik

90 mmHg merawat luka perineum dan

RR : 16 – 24 x/mnt mengganti PAD secara teratur

N : 80- 100 x mnt setiap 3 kali sehari atau setiap kali

T : 36,5o C – lochea keluar banyak.

37,5 o C  Kolaborasi dokter tentang

pemberian analgesik
Resiko defisit  Fluid balance Fluid management

volume cairan  Hydration  Obs Tanda-tanda vital setiap 4  Mengidentifikasi penyimpangan indikasi
b/d Setelah dilakukan jam. kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang

pengeluaran askep selama …x 24 diharapkan.

yang jam, Pasien dapat  Obs Warna urine.  Memenuhi kebutuhan cairan tubuh klien

berlebihan; mendemostrasikan  Status umum setiap 8 jam.  Menjaga status balance cairan klien

perdarahan; status cairan  Pertahankan catatan intake dan

diuresis; membaik. output yang akurat  Memenuhi kebutuhan cairan tubuh klien
keringat Kriteria evaluasi:  Monitor status hidrasi  Memenuhi kebutuhan cairan tubuh klien
berlebihan. tak ada manifestasi ( kelembaban membran mukosa,
dehidrasi, resolusi nadi adekuat, tekanan darah  Temuan-temuan ini menandakan hipovolemia dan

oedema, haluaran ortostatik ), jika diperlukan perlunya peningkatan cairan.


urine di atas 30  Monitor masukan makanan /
ml/jam, kulit cairan dan hitung intake kalori  Mencegah pasien jatuh ke dalam kondisi kelebihan

kenyal/turgor kulit harian cairan yang beresiko terjadinya oedem paru.


baik.  Lakukan terapi IV  Mengidentifikasi keseimbangan cairan pasien
 Berikan cairan secara adekuat dan teratur.

 Dorong masukan oral

 Beritahu dokter bila: haluaran

urine < 30 ml/jam, haus,

takikardia, gelisah, TD di bawah

rentang normal, urine gelap atau

encer gelap.

 Konsultasi dokter bila manifestasi

kelebihan cairan terjadi.

 Pantau: cairan masuk dan cairan

keluar setiap 8 jam.


Perubahan pola Setelah dilakukan askep  Kaji haluaran urine, keluhan serta  Mengidentifikasi

eleminasi BAK selama …x 24 jam, Pola keteraturan pola berkemih. penyimpangan dalam pola

(disuria) b/d eleminasi (BAK) pasien  Anjurkan pasien melakukan berkemih pasien.

trauma teratur. ambulasi dini.  Ambulasi dini memberikan rangsangan untuk

pengeluaran urine dan pengosongan bladder.


perineum dan Kriteria hasil: eleminasi  Anjurkan pasien untuk membasahi  Membasahi bladder dengan air hangat dapat

saluran kemih. BAK lancar, disuria perineum dengan air hangat mengurangi ketegangan akibat adanya luka pada

tidak ada, bladder sebelum berkemih. bladder.

kosong, keluhan kencing  Anjurkan pasien untuk berkemih  Menerapkan pola berkemih secara teratur akan

tidak ada. secara teratur. melatih pengosongan bladder secara teratur.

 Anjurkan pasien untuk minum  Minum banyak mempercepat filtrasi pada

2500-3000 ml/24 jam. glomerolus dan mempercepat pengeluaran urine.

 Kolaborasi untuk melakukan  Kateterisasi memabnatu pengeluaran urine untuk

kateterisasi bila pasien kesulitan mencegah stasis urine.

berkemih.
Perubahan pola Setelah dilakukan askep  Kaji pola BAB, kesulitan BAB,  Mengidentifikasi penyimpangan serta kemajuan

eleminasi BAB selama …x 24 jam, Pola warna, bau, konsistensi dan dalam pola eleminasi (BAB).

(konstipasi) b/d eleminasi (BAB) teratur. jumlah.  Ambulasi dini merangsang pengosongan rektum

kurangnya Kriteria hasil: pola  Anjurkan ambulasi dini. secara lebih cepat.

mobilisasi; diet eleminasi teratur, feses  Anjurkan pasien untuk minum  Cairan dalam jumlah cukup mencegah terjadinya
yang tidak lunak dan warna khas banyak 2500-3000 ml/24 jam. penyerapan cairan dalam rektum yang dapat

seimbang; feses, bau khas feses, menyebabkan feses menjadi keras.

trauma tidak ada kesulitan  Kaji bising usus setiap 8 jam.  Bising usus mengidentifikasikan pencernaan dalam

persalinan. BAB, tidak ada feses  Pantau berat badan setiap hari. kondisi baik.

bercampur darah dan  Anjurkan pasien makan banyak  Mengidentifiakis adanya penurunan BB secara dini.

lendir, konstipasi tidak serat seperti buah-buahan dan  Meningkatkan pengosongan feses dalam rektum.
ada. sayur-sayuran hijau.

Gangguan Setelah dilakukan askep  Kaji toleransi pasien terhadap  Parameter menunjukkan respon fisiologis pasien

pemenuhan selama …x 24 jam, aktifitas menggunakan parameter terhadap stres aktifitas dan indikator derajat

ADL b/d ADL dan kebutuhan berikut: nadi 20/mnt di atas frek penagruh kelebihan kerja jnatung.

immobilisasi; beraktifitas pasien nadi istirahat, catat peningaktan

kelemahan. terpenuhi secara TD, dispnea, nyeri dada, kelelahan


adekuat. berat, kelemahan, berkeringat,  Menurunkan kerja miokard/komsumsi oksigen ,

Kriteria hasil: pusing atau pinsan. menurunkan resiko komplikasi.

- Menunjukkan  Tingkatkan istirahat, batasi

peningkatan dalam aktifitas pada dasar nyeri/respon  Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk

beraktifitas. hemodinamik, berikan aktifitas menunjukkan tingkat aktifitas individu.

- Kelemahan dan senggang yang tidak berat.

kelelahan berkurang.  Kaji kesiapan untuk meningkatkan

- Kebutuhan ADL aktifitas contoh: penurunan  Komsumsi oksigen miokardia selama berbagai

terpenuhi secara mandiri kelemahan/kelelahan, TD aktifitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang

atau dengan bantuan. stabil/frek nadi, peningaktan ada. Kemajuan aktifitas bertahap mencegah

- frekuensi jantung/irama perhatian pada aktifitas dan peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.

dan Td dalam batas perawatan diri.  Teknik penghematan energi menurunkan

normal.  Dorong memajukan penggunaan energi dan membantu keseimbangan

- kulit hangat, merah aktifitas/toleransi perawatan diri. suplai dan kebutuhan oksigen.
muda dan kering  Aktifitas yang maju memberikan kontrol jantung,

 Anjurkan keluarga untuk meningaktkan regangan dan mencegah aktifitas

membantu pemenuhan kebutuhan berlebihan.

ADL pasien.

 Jelaskan pola peningkatan bertahap

dari aktifitas, contoh: posisi duduk

ditempat tidur bila tidak pusing

dan tidak ada nyeri, bangun dari

tempat tidur, belajar berdiri dst.

Resiko infeksi Setelah dilakukan askep  Pantau: vital sign, tanda infeksi.  Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan

b/d trauma selama …x 24 jam, sesuai intervensi yang dilakukan.

jalan lahir. Infeksi tidak terjadi.  Kaji pengeluaran lochea, warna, bau  Mengidentifikasi kelainan pengeluaran lochea

Kriteria hasil: tanda dan jumlah. secara dini.

infeksi tidak ada, luka  Kaji luka perineum, keadaan jahitan.  Keadaan luka perineum berdekatan dengan daerah
episiotomi kering dan  Anjurkan pasien membasuh vulva basah mengakibatkan kecenderunagn luka untuk

bersih, takut berkemih setiap habis berkemih dengan cara selalu kotor dan mudah terkena infeksi.

dan BAB tidak ada. yang benar dan mengganti PAD  Mencegah infeksi secara dini.

setiap 3 kali perhari atau setiap kali

pengeluaran lochea banyak.

 Pertahnakan teknik septik aseptik

dalam merawat pasien (merawat luka

perineum, merawat payudara,  Mencegah kontaminasi silang terhadap infeksi.


merawat bayi).
Resiko Setelah dilakukan askep  Beri kesempatan ibu untuk  Meningkatkan kemandirian ibu dalam perawatan

gangguan selama …x 24 jam, melakuakn perawatan bayi secara bayi.

proses Gangguan proses mandiri.  Keterlibatan bapak/suami dalam perawatan bayi

parenting b/d parenting tidak ada.  Libatkan suami dalam perawatan akan membantu meningkatkan keterikatan batih ibu

kurangnya Kriteria hasil: ibu dapat bayi. dengan bayi.

pengetahuan merawat bayi secara  Perawatan payudara secara teratur akan


tentang cara mandiri (memandikan, mempertahankan produksi ASI secara kontinyu

merawat bayi. menyusui).  Latih ibu untuk perawatan sehingga kebutuhan bayi akan ASI tercukupi.

payudara secara mandiri dan  Mneingkatkan produksi ASI.

teratur.

 Meningkatkan hubungan ibu dan bayi sedini

 Motivasi ibu untuk meningkatkan mungkin.

intake cairan dan diet TKTP.

 Lakukan rawat gabung sesegera

mungkin bila tidak terdapat

komplikasi pada ibu atau bayi.


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC


Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi.
Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan KB. Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana
Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC
Herdman, T. Heather. 2016. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan:
Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Ed 10 Alih bahasa. Jakarta : EGC
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT
Gramedi
Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta:EGC
Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai