Menurut Al-Qur’an
1. Ayat tentang larangan berbohong dalam Al- Qur’an
a. Q.S An-Nahl 105:
َٰٓ
ََٱّللَۖ َوأ ُ ۟و َٰلَئِكََ ُه َُم ْٱل َٰ َك ِذبُون ََ ِإنَّ َما يَ ْفت َِرى ْٱل َكذ
َ َ ََِب ٱلَّذِين
َِ َل يُؤْ ِمنُونََ ِبـَٔا َٰي
ََِّ ت
2. Ayat tentang Hukum memberi dan menerima suap (Money Politic) dalam Al-
Qur’an
a. Q.S Al-Baqarah 188 :
اط ِل َوت ُ ْدلُ ْوا ِب َها ْٓ اِلَى ْال ُح َّك ِام ِلتَأ ْ ُكلُ ْوا فَ ِر ْيقًا ِ ِّم ْن
ِ ََو ََل تَأ ْ ُكلُ ْْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِب ْالب
ََظ ُك َْم لَعَلَّ ُك َْم تَذَ َّك ُر ْون َ َو ْالبَ ْغ
ُ ي ِ يَ ِع
b. Q.S An-Nisa 58
ن تَحْ ُك ُم ْوا َ ِ َّت ا َِٰلَٰٓى اَ ْه ِل َهاَ َواِذَا َحك َْمت ُ َْم بَيْنََ الن
َْ َاس ا َْ َّللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك َْم ا
َِ ن ت ُ َؤ َدُّوا ْالَمَٰ َٰن َٰ ِنََّ ا
صيْرَا
ِ َس ِميْعاَ ب
َ ََّللاَ كَان
َٰ ِن ُ ّللاَ نِ ِع َّما يَ ِع
ََّ ظ ُك َْم بِهََۗ ا َٰ ِن َِ بِ ْالعَ ْد
ََّ لَۗ ا
c. QS. Al-Qashash 26
ْن َُّ ن ا ْستَأ ْ َج ْرتََ ْالقَ ِو
َُ ي ْالَ ِمي َِ ْر َم ََّ ت ا ْستَأ ْ ِج ْر َهَُۖا
ََ ِن َخي َِ َت اِحْ َٰدى ُه َما َٰيَٰٓاَب
َْ َقَال
B. Menurut Hadist
يعلم أنَّ َهُ ق َد َُ ّللاُ علي َِه وسلَّ ََم بالكذب َِة فما يزا
ََ ل في نفسِه حتَّى ََّ ي ِ صلَّى َُ يح ِد
َ ث عن َدَ النَّب
توبة ََ
َ أحدث منها
Artinya:َ “Tidakَ adaَ akhlakَ yangَ lebihَ dibenciَ olehَ Rasulullahَ ﷺdari
berbohong. Sungguh, pernah ada seorang lelaki yang berbicara di sisi Nabi ﷺ
yang mengandung kebohongan, maka Rasulullah ﷺterus menerus merasa
ada sesuatu di hatinya terhadap pria tersebut, sampai Nabi ﷺmengetahui
bahwaَorangَtadiَtelahَbertaubatَdarinya.”
b. Hadis dari Abdullah ibn Mas’ud oleh Bukhari (5629), Muslim (4721),
ق يَهدي
َ الصد
ِّ ّالصدق فَإن
ِّ علَيكُم ب
َ سلّ َم
َ علَيه َو ّ صلّى
َ َُللا َ َللا ُ َللا قَا َل قَا َل َر
ّ سو ُل ّ عَن عَبد
ََن ثَ ْوبَان
َْ ع َ ن أَ ِبي ُز ْر
َ ،َعة َْ ع
َ ،ب َّ ن أَ ِبي ْالخ
ِ َطا َ ،ن لَيْث
َْ ع َْ ع َ عن أَبي بَ ْكرَ يَ ْعنِي ابْن
َ ،عيَّاش
َ سار ال ُمزن ّي في َم َرضه الّذي َماتَ فيه قَا َل َمعقل إنِّي ُم َح ِّدثُكَ َحديثًا
سمعتُهُ من َ َبنَ ي
َللا
ّ سو َل َ سلّ َم لَو عَلمتُ أَنّ لي َحيَاةً َما َحدّثت ُكَ إنِّي
ُ سمعتُ َر َ علَيه َو ّ صلّى
َ َُللا َ َللا
ّ سول
ُ َر
Artinya: Abuَ ja’laَ (ma’qil)َ binَ jasarَ r.aَ berkata:َ sayaَ telahَ mendengarَ
rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin
rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti
allah mengharamkan baginya surga. (Bukhori, Muslim)
C. Menurut kitab Qodim
a. Ibnu Taimiyah dalam as-Syiasah as-syar’iyah Fi Islah al-Rai’ wa al-Rai’yyah
Sekalipun Ibnu Taimiyah tidak merumuskan secara konkrit system
pengangkatan kepala negara, tapi Ia sangat memperhatikan klasifikasi calon kepala
negara atau pejabat pemerintah. Ia berpendapat orang yang pantas menjabat kepala
pemerintahan adalah yang memiliki kualifikasi kekuatan (al-Quwwah) dan integritas
(al-Amanah), yaitu orang yang paling baik bekerja adalah orang yang kuat lagi
dipercaya (alQawiy al-Amin).1 Ibnu Taimiyah mengakui bahwa kekuatan dan
amanah sekaligus dalam diri seseorang memang sulit dijumpai. Karena itu, untuk
menempatkan orang dalam tiap-tiap jabatan pimpinan, harus sesuai antara
kemampuan dan kedudukan itu. apabila ditemui dua orang. Satu diantaranya lebih
besar integritas dan yang lain lebih menonjol kekuatannya, maka yang lebih
diutamakan adalah mana yang lebih bermanfaat bagi bidang jabatan itu dan lebih
sedikit resikonya. 2 Tujuan mendirikan suatu pemerintahan untuk mengelola urusan
umat merupakan kewajiban agama yang paling agung, karena agama tidak mungkin
tegakَtanpaَpemerintahan.َKarenaَAllahَtelahَmemerintahkanَamarَma’rufَdanَnahiَ
munkar (menganjurkan orang yang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat
atau tercela), dan misi atau tugas tersebut tidak mungkin dilaksanakan tanpa
kekuatan atau kekuasaan dan pemerintahan. Jika kita melihat pada pendapat Ibnu
Taimiyah di atas tentang bagaimana ciri-ciri pemimpin negara yang baik, Dimana
kualifikasinya adalah seseorang yang memiliki kekuatan dan integritas, Selain itu
seorang pemimpin adalah seseorang yang paling bekerja serta terpercaya. dengan
demikian, maka apabila ada calon pemimpin atau Calon Legislatif atau siapapun dari
pihak manapun yang berkeinginan untuk membeli suara dari masyarakat dengan
tujuan untuk menang dan terpilih menjadi pemimpin maka orang atau pihak tersebut
1
Antonَ Afrizalَ Candra,َ “PEMIKIRANَ SIYASAHَ SYAR’IYAHَ IBNUَ TAIMIYAHَ (KAJIANَ TERHADAPَ
KONSEPَIMAMAHَDANَKHILAFAHَDALAMَSISTEMَPEMERINTAHANَISLAM),”َt.t.
2
NandaَPujiَIstiqomahَdanَM.َNoorَHarisudin,َ“PraktikَMoneyَPoliticَdalamَPemiluَdiَIndonesiaَPerspektifَ
Fiqihَ Siyasahَ danَ Hukumَ Positif,”َ rechtenstudent 2, no. 1 (31 Agustus 2021): 83–97,
https://doi.org/10.35719/rch.v2i1.55.
tidak dapat disebut seseorang pemimpin yang baik. Sebab hal tersebut menunjukkan
dnegan jelas bahwa pihak tersebut tidak berintegritas. 3
b. Menurut Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari al-
Qurthubi Dalam Kitab Al-Jami'li-Ahkam
Ibnuَ Mas’udَ dalamَ kitabَ tafsirَ Al-Qurtubi menjelaskan kata al-Suhtu dalam
al-Qur’anَ jugaَ bermaknaَ sogok.َ Sedangkanَ Abuَ Hanifahَ menjelaskanَ apabilaَ
seorang hakim harus dipecat apabilla ia terlibat dalam kasus sua menyuap, apabila
tidak maka batallah hukum yang ia putuskan setelah dia terlibat kasus suap menyuap
Suap menyuap ini merupakan perbuatan yang dilarang dan tentunya pelaku
atau oknum yang terlibat di dalamnya akan mendapatkan laknat dari Allah swt. Meski
pemberian suap ini terkadang tampak seperti pemberian hadiah, namun sesungguhnya
praktik sogok ini selalu berkaitan dengan hukum atau kebutuhan yang diinginkan.
Memberikan hadiah itu dasar hukumnya boleh. Namun jika hadiah ini
dimaksudkan untuk memuluskan perkara yang dihadapi, maka hal ini juga tidak
dibenarkan. Hal ini dikarenakan pemberian hadiah itu akan menjuruskan ke arah yang
bathil dan akan mempengaruhi sedikit banyaknya atas keputusan dari penentu
kewenangan sendiri. Maka dengan ini, pemberian hadiah itu bisa saja menjadi haram
dikarenakan hal yang telah disebutkan sebelumnya. Perbuatan suap ini merupakan
perbuatan yang berbahaya dalam tatanan kehidupan masyarakat karena dapat merusak
berbagai tatanan atas sistem dalam masyarakat, dan menyebabkan terjadinya
kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum
dapat dipermainkan dengan uang. Dapat mengakibat terjadi kekacauan dan
ketidakadilan. Dengan transaksi suap, banyak para penerima hukuman mendapatkan
hukuman yang ringan atau bahkan mendapatkan hukuman bebas. Dari penjelasan di
atas, suap menyuap secara hakiki adalah hukumnya haram, Hukum haram pada suap
menyuapَ iniَ tentunyaَ tidakَ hanyaَ dariَ kesepakatanَ majmu’َ ulama,َ akanَ tetapiَ
pastinya dilandasi atas dalil-dalil Alquran dan Hadis.
3
MَHasbiَUmar,َ“HUKUMَMENJUALَHAKَSUARAَPADAَPEMILUKADAَDALAMَPERSPEKTIFَFIQHَ
SIYÂSI,”َt.t.
D. Menurut Ulama Modern
a. Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam
Menurut beliau yang termasuk dalam perbuatan haram adalah memakan harta
dengan cara batil di antaranya adalah menguasai harta tanpa ada konpensasi kerja,
melalui pertaruhan, mengambilnya secara zalim, melalui seperti pencurian, riba,
penimbunan, judi, dan termasuk pula melalui suap menyuap. 4 Praktik ini di dalam
bahasa arab di kenal dengan sebutan risywah, dalam hal ini beliau mendefinisikan
risywah sebagai:
“Risywah (suap) merupakan harta yang diberi kepada orang yang memiliki
kekuasaan atau kewenangan untuk memenangkan dirinya, mengalahkan pihak
lawannya, meluluskan proyek yang sesungguhnya tidak layak bagi dirinya,
menunda urusan lawannya atau lainnya”
Atas dasar definisi di atas, maka cakupan suap dalam pandangan Yusuf al-
Qaradhawi sangat luas, meliputi semua bentuk pemberian terhadap pejabat yang
memiliki kewengan membuat kebujakan hukum atau keputusan hukum untuk
tujuan memenangkan keinginan pemberi suap.6
4
Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), hlm. 286.
5
Yusuf al-Qaradhawi,َSiyasahَSyar’iyyah,َ(Terj:َFuadَSyaifudinَNur),َ(Jakarta:َPustakaَal-Kautar, 2019), hlm.
133
6
Sudartoَ Sudarto,َ “FIKIHَ BERNEGARAَ DALAMَ PEMIKIRANَ YUSUFَ AL-QARADAWI,”َ Profetika:
7
Sudarto.
8
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 499
E. ANALISIS MASAIL
Kecurangan dalam pelaksanaan pemilukada sudah menjadi penyakit yang kronis.
Para pelaku kecurangan berusaha menampilkan perilaku buruk mereka sebagai
‘kesalahanَ prosedur’,َ misalnyaَ saatَ salahَ menghitungَ suaraَ diَ tingkatَ pemungutanَ
suara (TPS) atau salah merekapitulasi perhitungan suara di tingkat kelurahan atau
kecamatan. Selain itu, ada juga yang menampilkan perilaku curang itu sebagai
‘kesemrautanَadministratif’َsepertiَterlihatَdariَsimpang-siur soal Daftar Pemilu Tetap
(DPT) yang terjadi pada setiap pelaksanaan Pemilukada. Dari pengalaman tersebut,
jelas bahwa pelbagai kesalahan dan kesemrautan ini adalah bagian dari praktik curang
yangَ sudahَ sistematis.َ Diَ sampingَ itu,َ kecuranganَ yangَ lebihَ ‘telanjang’َ lagiَ adalahَ
pembelian suara. Menjelang pelaksanaan Pemilukada, tim sukses atau orang suruhan
yang ber keliaran di kampung menawari imbalan uang atau fasilitas, jika warga mau
memilihَ calonَ yangَ “dijagokan”.َ Praktikَ sepertiَ iniَ berlangsungَ selamaَ masaَ
sosialisasi, masa kampanye, dan bahkan sampai pada saat-saat terakhir men jelang
pencoblosan, bahkan tindakan terakhir dari tim sukses ini sangat mengerikan, yaitu
dikenalَ denganَ ‘seranganَ fajar’.َ Praktikَ ‘curang’َ sepertiَ iniَ sangatَ mulusَ danَ masihَ
terus dipelihara sampai hari ini. Bahkan, dengan meningkatnya pengawasan, strategi
para pelaku kecurangan juga semakin berkembang. Untuk memastikan pembelian
suara, mereka menuntut warga memberikan bukti seperti foto kartu suara yang sudah
dicobloskan. Praktik seperti ini sungguh sangat disayangkan, karena akan mencederai
demokrasi yang tengah dibangun di Negara. Dari nash al-Qur’anَdanَhaditsَdiatasَparaَ
ulama menyatakan bahwa saling memberikan hadiah hukum asalnya boleh bahkan
dianjurkan kecuali ada sebab yang menunjukkan keharamannya. Secara umum memang
demikian, akan tetapi jika memberi hadiah untuk kepentingan tertentu atau ada hal lain
yang mempengaruhinya maka hukum hadiah itu bisa berubah. Seperti memberi hadiah
kepada orang yang memiliki suatu jabatan, kekuasaan atau wewenang, maka pemberian
hadiah tersebut dilarang. Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang
hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.
Praktik suap-menyuap atau yang sering diistilahkan dengan uang sogok meskipun
telah diketahui dengan jelas keharamannya, namun tetap saja gencar dilakukan oleh
sebagian orang, demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bersifat duniawi. Pada
prinsipnya, politik uang, suap dan risywah memiliki makna yang sama. Oleh karena itu,
praktik-praktik seperti ini harus mampu dihindari dalam memilih pemimpin yang
amanah, jujur dan membawa kemashlahatan untuk masyarakat. Suatu yang dinamakan
risywah adalah jika mengandung unsur pemberian, ada niat untuk menarik simpati
orang lain, serta bertujuan untuk membatalkan yang benar, menetapkan kebathilan.