Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penambangan
2.1.1 Definisi Penambangan
Menurut Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Penambangan adalah bagian
kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan
mineral ikutannya.

Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di


dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

2.1.2 Metode Penambangan Terbuka


Tambang terbuka (surface mining) menurut Hartman (1987) adalah metode
penambangan yang segala kegiatan atau aktivitas penambangannya dilakukan
di atas atau relatif dekat dengan permukaan bumi, dan tempat kerjanya
berhubungan langsung dengan udara luar.
Pada metode tambang terbuka terbagi menjadi beberapa sistem yaitu :
1. Sistem Open Pit
Penambangan dengan sistem open pit termasuk pada penambangan terbuka
yang dilakukan untuk endapan-endapan bijih metal seperti; bijih nikel, bijih
besi, bijih tembaga, dan sebagainya.
2. Sistem Strip Mine
Penambangan dengan sistem strip mine merupakan penambangan terbuka
yang dilakukan untuk endapan-endapan yang letaknya mendatar atau sedikit
miring. Dalam metode ini yang harus diperhitungkan adalah cara nisbah
pengupasan (stripping ratio) dari endapan yang akan ditambang, yaitu
perbandingan banyaknya volume tanah penutup (m3 atau BCM) yang harus
dikupas untuk mendapatkan 1 ton endapan.
3. Sistem Open Cut atau Cast
Penambangan dengan cara ini hampir sama dengan cara penambangan open

5
6

pit. Namun, teknik penambangan ini dilakukan untuk daerah lereng bukit.
Medan kerja yang digali dari arah bawah ke atas atau sebaliknya (side hill
type). Bentuk tambang dapat pula melingkari bukit atau undakan, hal tersebut
tergantung dari letak endapan penambangan yang diinginkan.
4. Sistem Quarry
Metode penambangan dengan cara quarry adalah penambangan terbuka yang
dilakukan untuk menggali endapan-endapan bahan galian industri atau mineral
industri, seperti batu marmer, batu granit, batu batubara, batu gamping, dll.
5. Sistem Alluvial Mine
Tambang alluvial adalah tambang terbuka yang diterapkan untuk menambang
endapan-endapan alluvial, misalnya tambang bijih timah, pasir besi, emas dll.

2.2 Pembentukan Batubara


Menurut Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk
secara alamiah dari sisa-sisa tumbuhan.

Tabel 2.1
Klasifikasi Batubara Menurut ASTM Berdasarkan Rank

Sumber : Perencanaan Sequence Penambangan, Said Fairus, 2015


7

Terbentuknya batubara melalui dua tahap yaitu, tahap biokimia dan


termodinamika. Pada tahap biokimia terjadinya perubahan senyawa pembentuk
batubara yang kompleks dari tumbuhan yang tumbang sehingga terjadinya
pembusukan, penumpukan dan pemadatan selanjutnya menjadi gambut.
Sedangkan pada tahap termodinakamika, adanya pengaruh tekanan dan
temperatur yang akan merubah gambut menjadi lignite – sub bituminous –
bituminous dan selanjutnya menjadi antrasit. Proses perubahan yang terjadi tidak
terlepas juga dari waktu dan keadaan geologi, klasifikasi batubara dapat dilihat
pada tabel 2.1 diatas.

Ditinjau dari cara tempat terbentuknya, batubara dibedakan menjadi batubara


ditempat (insitu) dan batubara yang bersifat apungan (Drift). Teori Insitu
mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk batubara, terbentuknya di tempat
dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Teori Drift menyatakan bahwa bahan-
bahan pembentuk batubara terjadi di tempat yang berbeda dengan tempat dimana
tumbuhan semula hidup dan berkembang, dengan demikian tumbuhan yang telah
mati mengalami proses transportasi oleh media air dan terakumulasi di suatu
tempat dan selanjutnya tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses
coalification

2.2.1 Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Batubara


Sumberdaya batubara (coal resources) adalah bagian dari batubara dalam bentuk
dan kuantitas tertentu serta mempunyai prospek beralasan yang memungkinkan
untuk ditambang secara ekonomis. Lokasi, kualitas, kuantitas karakteristik geologi
dan kemenerusan dari lapisan batubara yang telah diketahui, diperkirakan atau
diinterpretasikan dari bukti geologi tertentu. Sumber daya batubara dibagi sesuai
dengan tingkat kepercayaan geologi ke dalam kategori tereka, tertunjuk, dan
terukur
Klasifikasi sumberdaya batubara menurut SNI 5015 (2019) dibagai menjadi
berikut :
8

1. Sumberdaya Batubara Tereka (Inferred Coal Resource)


Sumberdaya batubara tereka bagian dari estimasi sumber daya batubara total
yang kualitas dan kuantitasnya hanya dapat diperkirakan dengan tingkat
kepercayaan yang rendah. Titik pengamatan yang mungkin didukung oleh data
pendukung tidak cukup untuk membuktikan kemenerusan lapisan batubara
dan/atau kualitasnya. Estimasi dari kategori kepercayaan ini dapat berubah
secara berarti dengan eksplorasi lanjut.
2. Sumberdaya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)
Sumberdaya batubara tertunjuk bagian dari estimasi sumber daya batubara total
yang kualitas dan kuantitasnya dapat diperkirakan dengan tingkat kepercayaan
yang beralasan, didasarkan pada informasi yang didapatkan dari titik
pengamatan yang mungkin didukung oleh data pendukung. Titik pengamatan
yang ada cukup untuk menginterpretasikan kemenerusan lapisan batubara,
tetapi tidak cukup untuk membuktikan kemenerusan lapisan batubara dan/atau
kualitasnya.
3. Sumberdaya Batubara Terukur (Measured Coal Resource)
Sumberdaya batubara terukur adalah bagian dari estimasi sumber daya
batubara total yang kualitas dan kuantitasnya dapat diperkirakan dengan
tingkat kepercayaan tinggi, didasarkan pada informasi yang didapat dari titik
pengamatan yang diperkuat dengan data pendukung. Titik pengamatan
jaraknya cukup berdekatan untuk membuktikan kemenerusan lapisan batubara
dan/atau kualitasnya.

Cadangan batubara (coal reserves) adalah bagian dari sumber daya batubara
tertunjuk dan/atau terukur yang dapat ditambang secara ekonomis. Dalam proses
estimasi cadangan batubara, studi yang tepat pada tingkat minimum prastudi
kelayakan harus sudah dilakukan dengan mempertimbangkan semua faktor
pengubah (modifying factors) yang relevan meliputi teknis penambangan,
pengolahan, sarana dan prasarana, ekonomi, pemasaran, legal, lingkungan, sosial,
dan peraturan perundang-undangan. Studi tersebut harus bisa mendemonstrasikan
bahwa cadangan batubara tersebut secara teknis dapat ditambang dan secara
ekonomi menguntungkan. Berdasarkan tingkat keyakinannya, cadangan batubara
9

dibagi menjadi cadangan terkira dan cadangan terbukti. Cadangan terkira


memiliki tingkat keyakinan yang lebih rendah dibandingkan cadangan terbukti.
Klasifikasi cadangan batubara menurut SNI 5015 (2019) dibagai menjadi berikut :
1. Cadangan Batubara Terbukti (Proven Coal Reserve)
Cadangan batubara terbukti adalah bagian dari sumber daya batubara terukur
yang dapat ditambang secara ekonomis, setelah dipastikan bahwa tidak
terdapat keraguan terhadap faktor pengubah terkait yang dipertimbangkan.
2. Cadangan Batubara Terkira (Probable Coal Reserve)
Cadangan batubara terkira adalah bagian dari sumber daya batubara tertunjuk
yang dapat ditambang secara ekonomis setelah semua faktor pengubah yang
relevan dipertimbangkan. Cadangan batubara terkira juga bisa diartikan
sebagai bagian dari sumber daya batubara terukur yang dapat ditambang secara
ekonomis, namun hasil penilaian terhadap faktor pengubah menunjukkan
bahwa terdapat ketidakpastian pada salah satu atau lebih dari faktor pengubah
tersebut.
3. Cadangan Batubara Marginal
Cadangan batubara marginal adalah bagian dari cadangan batubara terkira yang
berada pada batas keekonomian pada saat penyusunan studi kelayakan tetapi
masih harus mempertimbangkan perubahan faktor teknis dan ekonomis untuk
dilakukan perencanaan penambangan sehingga status cadangan dapat kembali
menjadi sumber daya.
4. Cadangan Batubara Tidak Tertambang
Cadangan batubara tidak tertambang adalah cadangan batubara yang
direncanakan untuk dilakukan penambangan pada saat penyusunan studi
kelayakan, tetapi pada saat dilakukan kegiatan penambangan terjadi perubahan
teknis dan ekonomis, sehingga tidak dapat ditambang dan statusnya kembali
menjadi sumber daya.
10

Tabel 2.2
Jarak Titik Informasi Menurut Kondisi Geologi

Sumber : SNI 5015-2019

2.2.2 Perhitungan Sumberdaya dan Cadangan Batubara


1. Metode Poligon
Metode poligon merupakan metode perhitungan yang konvensional
dibandingkan dengan metode lainnya, karena pada perhitungan cadangan
endapannya tidak begitu memperhatikan struktur patial daerah yang akan
diobservasi dan tidak begitu memperhatikan data-data dari titik-titik bor
disekitarnya. Metode ini umum diterapkan pada endapan-endapan yang relatif
homogen dan mempunyai geometri yang sederhana.

Sebelum melakukan perhitungan dengan metode poligon terlebih dahulu


diketahui variabel yang mempengaruhi perhitungan, diantaranya :
1) SG (Spesific Gravity) batubara yang terletak pada blok yang akan dihitung.
Kadar pada suatu luasan di dalam poligon ditaksir dengan nilai contoh yang
berada di tengah-tengah poligon sehingga metode ini sering disebut dengan
metode poligon daerah pengaruh (area of influence). Daerah pengaruh
dibuat dengan membagi dua jarak antara dua titik contoh pada satu garis
sumbu. Metode poligon untuk perhitungan cadangan batubara dilakukan
sebagai berikut :
a. Untuk setiap lubang bor ditentukan suatu batas daerah pengaruh yang
dibentuk oleh garis-garis berat antara titik terdekat disekitarnya
b. Garis-garis tersebut diekstensikan sejauh setengah jarak dari titik-titik
disekitarnya yang membentuk suatu daerah pengaruh
11

c. Masing-masing daerah/blok yang diperlukan sebagai satu poligon yang


mempunyai kadar dan ketebalan yang konstan yaitu sama dengan kadar
dan ketebalan titik bor di dalam poligon tersebut
d. Menentukan luas daerah/blok (m2) yang akan dihitung dengan cadangan
batubara
e. Kemudian mencari volume endapan batubara (m3) dengan cara
mengalikan luas daerah (m2) dengan ketebalan endapan batubara (m)
pada daerah/blok tersebut.
f. Kemudian didapat berat cadangan endapan batubara (ton) dengan cara
mengalikan volume batubara (m3) dengan SG batubara
g. Demikian juga perhitungan cadangan endapan batubara pada blok-blok
yang lainnya, sehingga didapatkan cadangan endapan batubara pada
suatu daerah.

Sumber : Estimasi Sumberdaya Batubara, Muhamadinda Debeno Habibie


Gambar 2.1
Skema Perhitungan Metode Poligon

Berikut adalah rumus perhitungan cadangan batubara dengan menggunakan


metode poligon :
1. Rumus Perhitungan Kapasitas
V = t x a…………………………………………………………………2.1
Keterangan :
V = Volume daerah pengaruh (m³)
12

t = Tebal lapisan setiap lubang bor (m)


a = Luas daerah pengaruh (m²)
2. Rumus Perhitungan Tonase
T = V x ρ…………………………………………………………………2.2
Keterangan

T = Tonase (Ton)
V = Volume daerah pengaruh (m³)
ρ = berat jenis (ton/m³)
3. Rumus Perhitungan Total
Ttotal = T1 + T2 + T3 + Tn…………………………………. .…………2.3
Keterangan :

Ttotal = Tonase keseluruhan


T1 = Tonase daerah pengaruh T1
T2 = Tonase daerah pengaruh T2
T3 = Tonase daerah pengaruh T3
Tn = Tonase daerah pengaruh Tn

2.3 Perencanaan Tambang Terbuka


Menurut Arif dkk (2002), dalam merencanakan suatu tambang terbuka, ada
beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu :
1. Keuntungan/laba yang diinginkan oleh perusahaan, karena masing-masing
perusahaan akan berbeda untuk memperoleh keuntungannya.
2. Jumlah cadangan dan umur tambang, hal ini akan menentukan production rate
atau perbandingan antara jumlah cadangan dengan umur tambang.
3. Ukuran dan maksimum dari pada kedalaman tambang pada akhir operasinya.
4. Kemiringan tebing (bench), dengan bantuan data tentang ukuran dan batas
maksimum dari kedalaman pada akhir operasi maka kemiringan bench dapat
diperhitungkan berdasarkan data fisik batuan. Semakin curam atau miring
suatu bench semakin menguntungkan, karena apabila tebing landai maka
ukuran tambang akan besar dan volume overburden yang dibuang akan
semakin besar pula.
13

5. Stripping ratio, karena dalam desain perlu ditentukan seberapa luas daerah
kuasa pertambangan yang diminta, maka seberapa banyak overburden yang
perlu dibuang, kemana pembuangannya, apakah seluas daerah yang diminta
dapat menampung overburden.

2.4 Rancangan Penambangan


Rancangan penambangan ialah sebuah desain bentuk dari tambang yang memiliki
dimensi. Di dalamnya menyangkut geometri jenjang, Sudut lereng Inter-ramp dan
overall, jalan, serta geometri jalan. Untuk memudahkan dalam penanganan
penambangan perlu dilakukannya perancangan pushback atau sequence
penambangan dimana seluruh volume yang ada dalam overall pit disederhanakan
dalam bentuk unit pit yang lebih kecil. Teori yang digunakan ialah blok and strip
per level. Unit penambangan dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil,yaitu
blok dan strip serta level. Pada blok masing-masing pit dibagi menjadi blok-blok
melintang misalnya dari arah barat ke timur. Lebar blok umumnya 50m - 100m
penamaan blok bisa berupa B1, B2, B3 dan seterusnya. Strip ialah pembagian
strip-strip kecil dengan lebar 50m - 100m dengan memotong blok dari utara ke
selatan. Penamaan strip biasanya berupa kode S1, S2, S3 dan seterusnya.
Kemudian untuk menentukan wilayah bisa diambil dengan melihat perpotongan
dari Blok dan Strip. Penamaan blok dan strip kemudian mencadi B1S1, B2S2,
B3S3 dan seterusnya.

Istilah perancangan tambang biasanya dimaksudkan sebagai bagian dari proses


perencanaan tambang yang berkaitan dengan masalah-masalah geometrik.
Didalamnya termasuk perancangan batas akhir penambangan, tahapan (pushback),
urutan penambangan tahunan/bulanan, penjadwalan produksi dan bagaimana
menentukan ultimate pit limit.

2.4.1 Stripping Ratio


Salah satu cara menggambarkan efisiensi geometri (geometrical efficiency) dalam
kegiatan penambangan adalah dengan istilah “Stripping Ratio” atau nisbah
pengupasan. Stripping ratio (SR) menunjukkan jumlah overburden yang harus
dipindahkan untuk memperoleh sejumlah batubara yang diinginkan. Dari nilai
14

stripping ratio yang diperoleh dan dibandingkan dengan nilai BESR (Break Even
Stripping Ratio) yang telah dihitung sebelumnya, maka akan diperoleh bahwa
secara teknis batasan kegiatan penambangan dalam pit adalah sampai nilai BESR
yang dicapai dalam perhitungan stripping ratio. Rumusan umum yang sering
digunakan untuk menyatakan perbandingan ini dapat dilihat pada persamaan
berikut :

Total Volume Overburden


SR = ………………………………………………2.4
Totas Tonnase Batubara

2.4.2 Break Even Stripping Ratio (BESR)

Yaitu perbandingan antara keuntungan kotor dengan ongkos pembuangan


overburden.
Cost penggalian batubara
BESR = …………………………………………2.5
Cost pengupasan overburden

Untuk memilih sistem penambangan digunakan istilah BESR-1 bagi open


pit yaitu overall stripping ratio.
1. BESR-1 > 1 = Tambang terbuka
2. BESR-1 < 1 = Tambang dalam
3. BESR = 2 = Bisa Tambang terbuka/Tambang dalam

Kemudian setelah ditentukan yang dipilih tambang terbuka maka dalam rangka
pengembangan rencana penambangan tiap tahap digunakan istilah economic
stripping ratio (BESR-2).

Recovable value/ton BB - Production cost/ton BB


BESR-2 = …………………2.6
Stripping cost/ton BB

BESR-2 untuk menentukan maksimal berapa ton overburden yang dikupas untuk
memperoleh 1 ton batubara agar tahap penambangan ini masih memberikan
keuntungan (max allowable stripping ratio) dan untuk menentukan batas pit (pit
limit).

BESR merupakan kelanjutan dari tahapan SR, dimana dalam tahap BESR ini
berkaitan dengan biaya-biaya seperti biaya produksi, BBM, biaya administrasi &
15

umum, gajih & upah, investasi jalan, pelabuhan dan lain-lain. Hasil pendapatan,
ongkos produksi, serta biaya striping cost tersebut dimasukan dalam penghitungan
BESR. Bila diketahui nilai BESR lebih besar dari striping ratio maka diasumsikan
bahwa tambang tersebut menggunakan metode tambang terbuka. Dan jika
diketahui nilai SR lebih besar dari nilai BESR maka diasumsikan bahwa tambang
tersebut termasuk tambang bawah tanah, tetapi dilihat juga berdasarkan faktor-
faktor lainnya.

2.4.3 Batas Penambangan


Yaitu batas akhir penambangan yang dipengaruhi oleh parameter SR, geoteknik
(kemantapan lereng) dan kondisi geologi batubara. Menentukan batas akhir dari
kegiatan penambangan (ultimate pit limit) untuk suatu endapan. Ini berarti
menentukan berapa besar cadangan batubara yang akan ditambang (tonnase dan
kadarnya) yang akan memaksimalkan nilai bersih total dari endapan tersebut.
Batas ini menunjukkan jumlah batubara yang dapat ditambang, dan jumlah
material buangan (overburden) yang harus dipindahkan selama operasi
penambangan berlangsung. Ukuran, geometri dan lokasi dari tambang utama
sangat penting dalam perencanaan tempat penimbunan tanah penutup
(overburden). Jalan masuk, stockpile dan semua fasilitas lain pada tambang
tersebut. Pengetahuan tambahan dari rancangan batas tambang juga berguna
dalam membantu pekerjaan eksplorasi mendatang. Dalam penentuan batas akhir
dari penambangan, nilai waktu dari uang belum diperhitungkan.

Sumber : Diyah Ayu Purwaningsih, Rancangan Teknis Desain Pushback, 2017


Gambar 2.2.
Batasan Penambangan Pada Tambang Terbuka
16

2.4.4 Geometri Jenjang


Faktor - faktor yang mempengaruhi geometri jenjang adalah sebagai berikut :
1. Produksi
Salah satu tujuan pentuan dimensi jenjang adalah harus dapat menghasilkan
produksi yang dinginkan dan memiliki standar keamanan. Maka jenjang yang
dibuat perlu mempertimbangkan jumlah produksi yang diinginkan. Pada
umumnya jumlah produksi menentukan dimensi jenjang yang akan dibuat.
2. Kondisi Material
Kondisi material / batuan yang ada dapat menentukan peralatan yang harus
digunakan sehingga sesuai untuk produksi yang dikerjakan dapat ditentukan.
Kondisi batuan yang lebih dominan antara lain kekuatan batuan, faktor
pengembangan, dimensi batuan dan struktur geologi.

Beberapa parameter penentuan dimensi jenjang, yaitu :


1. Sasaran produksi dan stripping ratio
2. Kondisi overburden (rekomendasi geotek)
3. Kondisi dan karakter endapan batubara
4. Peralatan yang digunakan
5. Penimbunan material

Geometri jenjang terdiri dari tinggi jenjang, sudut lereng jenjang tunggal, dan
lebar dari jenjang penangkap (catch bench). Rancangan geometri jenjang biasanya
dinyatakan dalam bentuk parameter-parameter untuk ketiga aspek ini adalah
sebagai berikut :
1. Tinggi Jenjang
Biasanya alat muat yang digunakan harus mampu mencapai pucuk atau bagian
atas jenjang. Jika tingkat produksi atau faktor lain mengharuskan ketinggian
jenjang tertentu, alat muat yang akan digunakan harus disesuaikan pula
ukurannya. Pada pelaksanaannya pada tambang terbuka tinggi bench antara
10m-20m (Singh, 1997).
17

2. Lebar Jenjang
Berdasarkan pada analisis mekanika longsor (analisys of rockfall mechanic)
yang dilakukan Hustrulid dan Kutcha, (2013), untuk menentukan lebar bench
dari tinggi bench yakni 30 sampai 100 ft (9 sampai 30 m) lebar minimum
bench. Penentuan lebar jenjang pada perencanaan penambangan tergantung
dari kegiatan dan alat berat yang dipergunakan. Kegiatan-kegiatan diatas
jenjang meliputi pembongkaran dan pemuatan ke atas truck. Lebar jenjang
ditentukan berdasarkan jenjang yang akan digunakan sebagai jalan angkut dan
tempat kerja alat gali muat (Hustrulid dan Kutcha, 2013). Dari persamaan
yang diberikan NV Melinkov dan Chevnokov dengan berdasarkan
perhitungan pada kondisi penambangan dan peralatan yang digunakan
adalah sebagai berikut :

Sumber : Diyah Ayu Purwaningsih, Rancangan Teknis Desain Pushback, 2017


Gambar 2.3
Lebar Jenjang Kerja

Lebar jenjang atau bench width (Bw) adalah: dua kali radius penggalian
(menggali dan memuat) ditambah jarak garis tengah alat dan jalan dump truck.
Lebar jenjang dinyatakan dengan notasi :

Bw = 2R + C + C1 + L………………………………………………………2.7

Keterangan :

Bw = Lebar jenjang (m)


R = Digging radius dari alat muat (m)
C = Jarak sisi jenjang atau broken material ke garis tengah rel (m)
L = lebar yang disediakan untuk faktor keamanan, biasanya sebesar
18

dump truck (m)


3. Kemiringan Jenjang
Penggalian oleh alat gali-muat mekanis seperti loader atau shovel di
permukaan jenjang pada umumnya akan menghasilkan sudut lereng antara 60-
65 derajat. Sudut lereng yang lebih curam biasanya memerlukan peledakan
pre-splitting. Umunya untuk batuan masif sudut lereng antara 550 – 800
sedangkan untuk batuan sedimen bervariasi antara 500 – 600 (Singh, 1999).
4. Faktor Keamanan Lereng
FK (faktor keamanan) dari sebuah lereng merupakan perbandingan antara gaya
penahan dan gaya penggerak, kestabilan dari suatu lereng pada kegiatan
penambangan dipengaruhi oleh kondisi geologi daerah setempat, bentuk
keseluruhan lereng pada lokasi tersebut, kondisi air tanah setempat, faktor luar
seperti getaran akibat peledakan ataupun alat mekanis yang beroperasi dan juga
dari teknik penggalian yang digunakan dalam pembuatan lereng. Lereng
dikatakan aman apabila FK>1, dikatakan kritis apabila FK=1 dan 33 dikatakan
tidak aman apabila FK

Dalam pelaksanaan penambangan, pengontrolan sudut lereng biasanya dilakukan


dengan menandai lokasi pucuk jenjang (crest) yang diinginkan menggunakan
bendera kecil. Operator shovel diperintahkan untuk menggali sampai mangkuknya
berada dilokasi bendera tersebut. Lokasi lubang-lubang tembak dapat pula
menjadi pedoman. Beberapa parameter dalam penentuan dimensi jenjang, yaitu :
sasaran produksi dan stripping ratio, kondisi overburden (rekomendasi geotek),
kondisi dan karakter endapan batubara, peralatan yang digunakan, dan
penimbunan material
19

Sumber : Yoni Nurhidayat, Rancangan Teknis Penambangan Batubara, 2008

Gambar 2.4
Bagian-Bagian Jenjang

2.5 Sistem Penambangan


Sistem penambangan sebagai salah satu parameter perencanaan tambang karena
dari sistem penambangan kita dapat mengetahui proses penambangan. Untuk
menentukan sistem penambangan ada beberapa parameter yang digunakan
meliputi :
1. Jenis bahan galian
2. Keadaan bahan galian
3. Posisi bahan galian
4. Keekonomisan penambangan

2.6 Sequence Penambangan


Kemajuan tambang adalah suatu urutan agar dapat mengetahui arah dan tahapan
penambangan. Untuk mengetahui suatu sequence penambangan terlebih dahulu
memperhatikan beberapa hal yang meliputi :
1. Arah dan kemajuan tambang
Araha kemajuan tambang dapat diketahui dengan mengetahui arah persebaran
suatu endapan bahan galian. Selain berdasarkan persebaran endapan bahan
20

galian, arah kemajuan tambang juga dipengaruhi oleh stripping ratio yang
memiliki nilai ekonomis
2. Urutan Penambangan
Untuk mempermudah perhitungan dan pelaksanaan tahapan penambangan,
maka perlu urutan penambangan per satuan waktu. Maka endapan batubara dan
lapisan penutupnya dalam satu pit dibagi menjadi beberapa level tertentu.
Urutan penambangan dapat diketahui dengan melakukan penambangan dengan
mengikuti persebaran hingga batas akhir penambangan. Urutan penambangan
ini secara umum didasarkan pada :
1) Geometri jenjang
2) Pit limit
3) Stripping ratio

2.7 Jalan Angkut


Beberapa faktor penunjang dalam pengoperasian alat angkut adalah kondisi
dimensi jalan yang meliputi lebar, panjang, besarnya tikungan maupun
kemiringan daripada jalan angkut serta konstruksi jalan yang digunakan. Desain
jalan angkut meliputi :
1. Letak jalan keluar
Suatu tambang yang baru, penting diperhitungkan di mana letak jalan-jalan
keluar dari tambang untuk akses yang baik ke lokasi pembuangan tanah
penutup (waste dump) dan peremuk bijih (crusher). Topografi merupakan
faktor yang penting akan sulit sekali bagi alat angkut untuk keluar dari pit ke
medan yang curam.
2. Rancangan spiral dan switchback
Pada umumnya switchback ingin dihindari sebisa mungkin karena cenderung
melambatkan lalu lintas, juga ban akan cepat aus dan perawatan ban akan lebih
besar. Pertimbangan lain ialah keamanan. Apabila ada sisi tambang yang jauh
lebih rendah dari dinding lainnya di sekeliling pit, swicthback di sisi ini sering
lebih murah dari pada membuat jalan angkut spiral mengelilingi dinding pit.
21

3. Lebar jalan
Lebar jalan tergantung pada lebar alat angkut, biasanya 4 kali lebar alat angkut.
Lebar jalan seperti gambar 2.5 memungkinkan lalu lintas dua arah, ruangan
untuk truk yang akan menyusul, juga cukup untuk selokan penyaliran dan
tanggul pengaman.
1) Lebar Jalan Lurus (Gambar 2.5)

L = n.Wt + (n + 1).(0,5.Wt)……………………………………………2.8

Keterangan :

L = Lebar jalan angkut minimum


n = Jumlah jalur
Wt = Lebar alat angkut

Sumber : Modul Perencanaan Jalan Tambang, 2009


Gambar 2.5
Lebar Jalan Angkut Lurus

Nilai 0,5 pada rumus di atas menunjukkan bahwa ukuran aman kedua
kendaraan saat berpapasan adalah sebesar 0,5 Wt, yaitu setengah lebar
terbesar dari alat angkut yang bersimpangan. Ukuran 0,5 Wt juga digunakan
untuk jarak dari tepi kanan atau kiri jalan ke alat angkut yang melintasi
secara berlawanan. Apabila tidak sesuai dengan ketentuan menurut
perhitungan, maka harus dilakukan perubahan karena selain dapat
22

menghambat dalam kegiatan pengangkutan juga berbahaya bagi


keselamatan operator dan kendaraan yang beroperasi.
2) Lebar Jalan pada Tikungan (Gambar 2.6)

L t = n(U + Fa + Fb + Z ) + C
Z =C = 1
2 (U + Fa + Fb ) .............................................................. 2.9

Keterangan :
Lt = Lebar jalan angkut pada tikungan
U = Jarak jejak roda
Fa = Lebar juntai depan
Fb = Lebar juntai belakan
Z = Lebar bagian tepi jalan
C = Jarak antara alat angkut saat bersimpangan

Sumber : Modul Perencanaan Jalan Tambang, 2009


Gambar 2.6
Lebar Jalan Angkut Pada Tikungan
4. Superelevasi
Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada tikungan yang terbentuk
oleh batas tepi jalan terluar dengan tepi jalan terdalam karena perbedaan
ketinggian. Superelevasi perlu dihitung untuk mencegah kendaraan tergelincir
atau terguling keluar dari jalurnya. Untuk setiap kombinasi jari–jari tikungan
dan kecepatan kendaraan, terdapat superelevasi yang mengimbangi gaya
23

sentrifugal (gambar 2.7 dan 2.8). Karena pada suatu kendaraan yang bergerak
dengan kecepatan tetap pada bidang yang datar atau miring dengan lintasan
yang berbentuk lengkung seperti lingkaran, maka pada kendaraan tersebut
bekerja gaya sentrifugal.

Untuk perencanaan jalan angkut, American Association of State Highway and


Transportation Officials (AASHTO) menganjurkan pemakaian beberapa nilai
superlevasi yaitu 0,02, 0,04, 0,06, 0,08, 0,010 dan 0,012. Untuk daerah
tambang yang berupa perbukitan umumnya memakai nilai superelevasi
maksimum 0,02 karena alat angkut bergerak relatif lambat.

Sumber : Kufman, 1977


Gambar 2.7
Gaya Sentrifugal Akibat Adanya Tikungan

Sumber : Kufman, 1977


Gambar 2.8
Superelevasi Pada Tikungan
24

Besarnya angka superelevasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut


v2
emaks + fmaks = 127.R
..................................................................................2.10
Keterangan :
e = Superelevasi (m/m)
v = Kecepatan kendaraan (km/ jam)
R = Radius/ jari – jari tikungan (m)
f = Koefisien gesekan melintang maksimum
5. Kemiringan Jalan Angkut (Grade)
Merupakan suatu faktor penting yang harus diamati secara detail dalam
kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang. Hal ini dikarenakan
kemiringan jalan angkut berhubungan langsung dengan kemampuan alat
angkut, baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi
tanjakan.Kemiringan jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%) yang
dapat dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut :

h
grade( ) = .......................................................................................... 2.11
x
Keterangan :
h = Beda tinggi antara dua titik yang diukur.
x = Jarak antara dua titik yang diukur.

Secara umum kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan baik dan
aman oleh alat angkut saat menaiki atau turun dari ketinggian maksimum 8% -
10%.
6. Cross Slope
Cross slope adalah suatu sudut yang dibentuk oleh dua sisi permukaan jalan
terhadap bidang horizontal. Pada umumnya jalan angkut yang datar
mempunyai penampang melintang cembung (gambar 2.9) dibuat demikian agar
memperlancar penyaliran, apabila turun hujan atau sebab lain, maka air yang
ada pada permukaan jalan akan mengalir ke tepi jalan angkut atau tidak
terhenti dan terkumpul dipermukaan jalan angkut. Hal ini penting karena air
25

yang tergenang pada permukaan jalan angkut, akan membahayakan kendaraan


yang lewat dan mempercepat kerusakan jalan.

Angka cross slope dinyatakan dalam perbandingan jarak vertikal (b) dan
horizontal (a) dengan satuan mm/m atau m/m. jalan angut yang baik memiliki
cross slope antara 1/50 sampai 1/25 atau 20 mm/m sampai 40 mm/m.

Sumber : Awang Suwandhi, UNISBA, Juli 2004


Gambar 2.9
Penampang Melintang Jalan Angkut

2.8 Penentuan Jumlah Alat dan Waktu Kerja


Perancangan penambangan berkaitan sangat erat dengan penggunaan alat-alat
berat (alat mekanis). Faktor-faktor yang menjadi dasar dalam pemilihan alat
mekanis adalah: metode penambangan yang digunakan, jenis dari material (pasir,
clay, batu), kekerasan daripada material (lembek, sedang, keras), daya dukung
tanah, tinggi dan lebar jenjang kerja (jangkauan dari alat gali), tingkat produksi
yang diinginkan, jarak angkut, umur tambang dan finansial perusahaan,
kemiringan lapisan batuan, shift kerja yang diberlakukan.
1. Penentuan jumlah alat
Dalam penentuan jumlah alat faktor-faktor yang harus diperhitungkan adalah
volume pekerjaan, produktivitas alat, dan target produksi.
26

1) Volume pekerjaan
Volume pekerjaan yang dimaksud adalah jumlah material yang akan di
tambang baik overburden maupun endapan bahan galian dalam suatu
wilayah atau blok penambangan, artinya volume pekerjaan ini mencakup
total keseluruhan material yang ada pada wilayah penambangan tersebut.
2) Target produksi
Target produksi yang dimaksud adalah sasaran atau pencapaian yang ingin
dicapai dalam suatu pekerjaan berat persatuan waktu misalkan ton/bulan.
Dalam menentukan target produksi paramater-parameter yang harus di
perhatikan adalah permintaan marketing atau pasar, kapasitas stockpile dan
kapasitas alat mekanis.
3) Produktivitas alat
Produktivitas alat yang dimaksud adalah kemampuan alat dalam melakukan
suatu pekerjaan dalam waktu tertentu.
Perhitungan produktivitas alat gali-muat dan angkut adalah sebagai berikut:
1. Produktivitas Alat Gali-Muat (Excavator)

60
Pex = x KB x FF x SF x FK……………………. .……………(2.12)
CTex
Keterangan :
Pex = Produktivitas Excavator (BCM/jam)
CTex = Cycle Time Excavator (menit)
KB = Kapasitas Bucket (m3)
FF = Fill Faktor (%)
FK = Faktor Koreksi (Efisiensi kerja, Avaibility, dll; %)
Fk = Faktor Konversi (Swell factor, % swell, dll)
2. Produktivitas Alat Angkut (Dump Truck)
C = n x Kb x FF
60
Pdt = C x x FK………………………………………………(2.13)
CTdt
27

Keterangan :
Pdt = Produktivitas Excavator (BCM/jam)
C = Produktivitas Dump Truck per Siklus
n = Jumlah Siklus Excavator untuk Mengisi Dump Truck
CTdt = Cycle Time Dump Truck (menit)
KB = Kapasitas Bucket (m3)
FF = Fill Faktor (%)
FK = Faktor Koreksi (Efisiensi kerja, Availibility, dll)
Fk = Faktor Konversi (Swell faktor, % Swell, dll)

Produktivitas alat dinyatakan dalam bcm/satuan waktu, ton/satuan waktu,


misalkan bcm/jam atau ton/jam, bcm/hari atau ton/hari dan lain sebagainya.
Produktivitas alat bergantung pada kapasitas alat, waktu edar alat dan
efisiensi kerja alat. (Tenriajeng, Andi Tenrasukki. 2011).
1) Waktu Edar Alat (Cycle Time)
Waktu edar alat atau cycle time adalah waktu yang diperlukan oleh suatu
alat untuk menyelesaikan satu kali putaran kerja (1 trip). Semakin besar
waktu edar dari alat mekanis, maka semakin rendah produksi dari alat
tersebut. Waktu edar setiap alat bergantung kepada: jenis alat yang
digunakan, jenis kegiatan yang dilakukan, jenis material yang dikerjakan
dan metode kerja yang digunakan dan kondisi medan kerja. Waktu siklus
adalah jumlah keempat waktu tersebut, yaitu:
CT = t1 + t2 + t3 + t4…………………………………………. . .…..(2.14)
Keterangan:
CT = Waktu edar alat (Cycle time)(detik)
t1 = Waktu menggali material (detik)
t2 = Waktu putar dengan bucket terisi (detik)
t3 = Waktu menumpahkan muatan (detik)
t4 = Waktu putar dengan bucket kosong (detik)
2) Kapasitas Alat
Kapasitas alat yang dimaksud adalah dimensi alat mekanis yang
menyatakan volume alat mekanis yang dapat menampung material dalam
28

kondisi tidak munjung. Kapasitas alat ini dinyatakan dalam meter kubik
(m³), tetapi untuk menghindari kelebihan kapasitas muatan maka dalam
aktifitas produksi maka alat sesalu dinyatakan dalam ton. Kapasitas alat
yang dimaksud adalah ukuran volume bucket untuk alat gali muat dan
ukuran volume vessel untuk dump truck.
3) Efisiensi Kerja
Faktor manusia sebagai operator alat sangat sukar ditentukan dengan
tepat, sebab selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, bahkan dari jam
ke jam, tergantung pada keadaan cuaca, kondisi alat yang dikemudikan,
suasana kerja dan lain-lain. Biasanya memberikan perangsang dalam
bentuk bonus dapat mempertinggi efisiensi operator alat.

Dalam bekerja, seorang operator tak akan dapat bekerja selama 60 menit
secara penuh, sebab selalu ada hambatan-hambatan yang tak dapat
dihindari seperti pengantian komponen yang rusak, memindahkan alat ke
tempat lain, dan sebagainya. Beberapa pengertian untuk menentukan
kondisi alat dan efisiensi pengunaannya, antara lain:
a) Mechanical Avaibbility (MA)
Mechanical Avaibility (MA) adalah suatu cara untuk mengetahui
kondisi dari alat mekanis yang sesungguhnya dari alat yang
digunakan.
W
MA = x 100%……………………………………….……(2.15)
W+R
b) Physical Avaibility (PA)
Physical Avaibility adalah suatu cara untuk mengetahui tentang
kondisi fisik dari alat yang digunakan.
W+S
PA = x 100%…………………………………………(2.16)
W+R+S
c) Use Of Ability (UA)
Use of ability menunjukkan berapa persen waktu yang digunakan oleh
suatu alat untuk beroperasi pada saat alat itu digunakan.
W+S
UA = x 100%……………………………………………(2.17)
W+S
29

UA menjadi ukuran seberapa baik pengelolaan peralatan yang


digunakan itu.
d) Effective Utilization (EU)
Pengertian Effective Utilization sebenarnya sama saja dengan
pengertian efisiensi kerja, yaitu menunjukkan berapa persen dari
seluruh waktu kerja yang tersedia itu dapat dimanfaatkan untuk
bekerja secara produktif.
W
EU = x 100%………………………………………(2.18)
W+R+S
Keterangan:
W = Jumlah Jam Kerja (jam)
R = Jumlah jam untuk perbaikan alat (jam)
S = Jumlah jam suatu alat yang tidak rusak tapi tidak
digunakan (jam)
Tabel 2.3
Menentukan Efisiensi Kerja Secara Teoritis
Operation Job
Conditions Effeciency
Good 0,83
Average 0,75
Rather Poor 0,67
Poor 0,58
Sumber : Komatsu 2009
4) Swell Factor dan Fill Factor
a) Faktor Pengembangan (Swell Factor)
Swell factor atau faktor pengembangan material adalah perubahan
volume material apabila material tersebut dirubah dari bentuk
aslinya. Di alam material didapati dalam keadaan padat sehingga
hanya sedikit bagian-bagian yang kosong yang terisi udara diantara
butir-butirnya. Apabila material tersebut digali dari tempat aslinya,
maka akan terjadi pengembangan volume. Untuk menyatakan
30

besarnya pengembangan volume ada dua hal yang bisa dihitung


yaitu :
1. Faktor Pengembangan (Swell Factor)
2. Persen Pengembangan (Percent Swell)
Faktor pengembangan material perlu diketahui karena yang
diperhitungkan dalam penggalian selalu didasarkan pada kondisi
material sebelum digali, yang dinyatakan dalam volume insitu
(bank volume). Sedangkan material yang ditangani pada kegiatan
pemuatan dan pengangkutan adalah material pada kondisi loose
(loose volume). Angka–angka swell factor untuk setiap klasifikasi
material berbeda sesuai dengan jenis material itu sendiri.
Tabel 2.4
Faktor Pengembangan Material (Swell Factor)

Macam Material Density Insitu Swell Factor


(lb/cu yd) (%)
Bauksit 2700 – 4325 75
Tanah liat kering 2300 85
Tanah liat basah 2800 – 3000 80 – 82
Antrasit 2200 74
Batubara bituminous 1900 74
Bijih tembaga 3800 74
Tanah biasa kering 2800 85
Tanah biasa basah 3370 85
Tanah biasa bercampur
pasir dan kerikil 3100 90
Kerikil kering 3250 89
Kerikil basah 3600 88
Granit pecah-pecah 4500 56 – 67
Hematit pecah-pecah 6500 – 8700 45
Bijih besi pecah-pecah 3600 – 5500 45
31

Batu kapur pecah-pecah 2500 – 4200 57 – 60


Lumpur 2160 – 2970 83
Lumpur sudah ditekan 2970 -3510 83
Pasir kering 2200 – 3250 89
Pasir basah 3300 – 3600 88
Serpih (shale) 3000 75
Batu sabak (slate) 4590 – 4860 77
Sumber: Andi Tenrisuk Tenriajeng, Pemindahan Tanah Mekanis,2003
b) Faktor Pengisian (Fill Factor)
Faktor pengisian adalah perbandingan antara kapasitas nyata
dengan kapasitas teoritis suatu alat. Besarnya faktor pengisian
suatu alat muat sangat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu ukuran
butir material, kondisi material dan jumlah stock material yang
sedang dikerjakan (angle of refuse), keterampilan dan pengalaman
operator. Penentuan faktor pengisian (fill factor) dari bucket alat
muat yaitu dengan cara pengamatan dan perbandingan langsung
pada saat pemuatan, dimana terlihat adanya variasi pengisian pada
bucket. Fill factor merupakan unsur yang berpengaruh pada waktu
pengisian bucket, karena didalam pengisian biasanya tidak
selamanya penuh. Faktor pengisian sangat berpengaruh terhadap
kemampuan produksi alat-alat mekanis, dapat diartikan sebagai
perbandingan antara volume sebenernya (Vn) yang ada di dalam
bucket dengan volume teoritis (Vt).

Tabel 2.5
Bucket Fill Factor Berdasarkan Kondisi Material
Excavating Conditions Fill Factor (K)
Easy Excavating 1,1 – 1,2
Average Excavating 1,0 – 1,1
Rather Difficult Excavating 0,8 – 0,9
Difficult Excavating 0,7 – 0,8
Sumber: Komatsu Specifications & Application Handbook
Edition 31, 2013
32

Tabel 2.6
Bucket Fill Factor Berdasarkan Jenis Material

Pemuatan Jenis Bahan Diangkut Fill Factor


Mudah Tanah clay, agak lunak 1,1 – 1,2
Sedang Tanah asli kering 1,0 – 1,1
Agak Sulit Tanah asli berpasir dan berkerikil 0,8 – 1,0
Sulit Tanah keras bekas ledakan 0,7 – 0,8
Sumber: Tenriajeng, 2003
5) Faktor Keserasian Alat Muat dan Alat Angkut
Untuk mendapatkan hubungan kerja yang serasi antara alat muat dan
alat angkut, maka produksi alat muat harus sesuai dengan produksi
alat angkut. Faktor keserasian alat muat dan alat angkut ini didasarkan
pada produksi alat muat dan alat angkut yang dinyatakan dalam faktor
keserasian (match factor). Secara teoritis produksi alat muat haruslah
sama dengan produksi alat angkut, sehingga perbandingan antara
produksi alat muat dan alat angkut mempunyai nilai satu. Untuk
menilai keserasian keja alat muat dan alat angkut dapat digunakan
rumus sebagai berikut:
CTm x n x Na
MF = x 100%…………………………………….(2.19)
CTa x Nm

Keterangan :
MF = Match Factor
Na = Jumlah alat angkut, unit
Nm = Jumlah alat muat, unit
N = Banyaknya pengisian tiap satu alat angkut
Cta = Waktu edar alat angkut, menit
CTm = Waktu edar alat muat, menit

Bila dari hasil perhitungan diperoleh :


1) MF < 1, artinya alat muat bekerja kurang dari 100 %, sedang alat
angkut bekerja 100% sehingga terdapat waktu tunggu bagi alat
muat.
33

2) MF > 1, artinya alat muat bekerja 100 %, sedangkan alat angkut


bekerja kurang dari 100 %, sehingga terdapat waktu tunggu bagi
alat angkut.
3) MF = 1, artinya alat muat dan alat angkut bekerja 100 %, dengan
demikian tidak terdapat waktu tunggu bagi alat muat maupun alat
angkut.
Untuk mendapatkan MF = 1, memang tidak mudah, namun harga MF
ini hendaknya diupayakan mendekati angka satu dengan melakukan
berbagai percobaan dan dengan mempertimbangkan target produksi
yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
2. Waktu Kerja
Waktu kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan
pada satu periode tertentu. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep.234/Men/2003 Tentang
Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya
Mineral Pada Daerah Tertentu, Perusahaan di bidang Energi dan Sumber
Daya Mineral termasuk perusahaan jasa penunjang yang melakukan
kegiatan di daerah operasi tertentu dapat memilih dan menetapkan salah
satu dan atau beberapa waktu kerja sesuai dengan kebutuhan operasional
perusahaan sebagai berikut:
1) Tujuh jam satu hari dan empat puluh jam satu minggu untuk waktu
kerja enam hari dalam satu minggu.
2) Delapan) jam satu hari dan empat puluh jam satu minggu untuk waktu
kerja lima hari dalam satu minggu.

Perusahaan yang menggunakan waktu kerja wajib memberikan waktu


istirahat sebagai berikut:
1) setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama enam hari
dalam satu minggu atau tujuh jam satu hari dan empat puluh jam satu
minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan satu hari istirahat.
34

2) setelah pekerja/buruh bekerja secara terus menerus selama lima hari


dalam satu minggu atau delapan jam satu hari dan empat puluh jam satu
minggu, maka kepada pekerja/buruh wajib diberikan dua hari istirahat.

2.9 Penjadwalan Produksi


Dalam merancang penjadwalan produksi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan meliputi:
1. Target Produksi
Target produksi adalah suatu target jumlah batubara yang dapat ditambang
sesuai dengan target yang harus dicapai oleh perusahaan. Untuk mengetahui
suatu target produksi dapat dilakukan dengan dua cara meliputi:
1) Target produksi yang didapat dari permintaan buyer
2) Target produksi yang dihitung dengan cara produktivitas alat x jumlah alat x
waktu kerja
2. Jam Kerja
Jam kerja yang dimaksud adalah jam kerja alat atau jam kerja alat total yang
sudah ditentukan oleh perusahaan untuk alat itu bekerja dalam proses
pengupasan overburden dan penggalian batubara
3. Jumlah Alat
Jumlah alat yang dibutuhkan akan disesuaikan dengan kebutuhan pada
kegiatan penambangan. Masing-masing alat akan disesuaikan dengan
banyaknya suatu material yang akan dikupas.
4. Volume Pekerjaan
Volume pekerjaan yang dimaksud adalah jumlah material penutup yang harus
dikupas selama masa pra-produksi merupakan faktor penting yang harus
dipertimbangkan. Proses penjadwalan produksi dapat dilakukan dengan
simulasi jumlah material dengan mempertimbangkan pengupasan pada
pushback pertama, kedua dan seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai