Anda di halaman 1dari 11

BAB I

DEFINISI

1. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi antara
seseorang dengan orang lain.
2. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung di rumah sa
3. Pelayanan Pasien adalah suatu kegiatan yang atau urutan kegiatan yang terjadi dalam
interaksi antara petugas dengan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
4. Pelayanan Resiko Tinggi adalah pelayanan suatu kegiatan atau kegiatan pemberian asuhan
pada kasus-kasus yang memiliki dampak/resiko tinggi terhadap pasien dan petugas
pemberi asuhan.
5. Pasien Resiko Tinggi adalah pasien dengan keadaan medis yang beresiko mudah
mengalami penurunan status kesehatan atau yang dinilai belum atau tidak dapat
memahami proses asuhan yang di berikan.
6. Pelayan kasus emergensi adalah pelayanan yang di berikan kepada pasien dengan keadaan
klinis yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan
pencegahan kecacatan lebih lanjut.
7. Pelayanan Resusitasi adalah pelayanan bantuan hidup yang di berikan kepada pasien yang
beresiko mengalami henti jantung meliputi bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, dan
bantuan hidup jangka panjang.

1
BAB II
RUANG LINGKUP

Rumah sakit menetapkan pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi sesuai dengan
kemampuan, sumber daya dan sarana prasarana yang dimiliki. Rumah sakit memberikan
pelayanan untuk pasien dengan berbagai keperluan. Pelayanan pada pasien berisiko tinggi
membutuhkan prosedur, panduan praktik klinis (PPK), clinical pathway dan rencana perawatan
yang akan mendukung PPA memberikan pelayanan kepada pasien secara menyeluruh,
kompeten dan seragam. Dalam memberikan asuhan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan
berisiko tinggi, Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab untuk:
a. Mengidentifikasi pasien dan pelayanan yang dianggap berisiko tinggi di rumah sakit;
b. Menetapkan prosedur, panduan praktik klinis (PPK), clinical pathway dan rencana
perawatan secara kolaboratif
c. Melatih staf untuk menerapkan prosedur, panduan praktik klinis (PPK), clinical
pathway dan rencana perawatan rencana perawatan tersebut.
Pelayanan pada pasien berisiko tinggi atau pelayanan berisiko tinggi dibuat berdasarkan
populasi yaitu pasien anak, pasien dewasa dan pasien geriatri. Hal-hal yang perlu diterapkan
dalam pelayanan tersebut meliputi Prosedur, dokumentasi, kualifikasi staf dan peralatan medis
meliputi:
a. Rencana asuhan perawatan pasien;
b. Perawatan terintegrasi dan mekanisme komunikasi antar PPA secara efektif;
c. Pemberian informed consent, jika diperlukan;
d. Pemantauan/observasi pasien selama memberikan pelayanan;
e. Kualifikasi atau kompetensi staf yang memberikan pelayanan; dan
f. Ketersediaan dan penggunaan peralatan medis khusus untuk pemberian
pelayanan.

Rumah sakit mengidentifikasi dan memberikan asuhan pada pasien risiko tinggi dan
pelayanan risiko tinggi sesuai kemampuan, sumber daya dan sarana prasarana yang dimiliki
meliputi:
a) Pasien Preeklampsia Berat;
b) Pasien Kehamilan Ektopik
c) Pasien Kejang Demam Komplek
d) Pasien Dengue Syok Syndrome
e) Pasien Sindrome Koroner akut

2
Rumah sakit juga menetapkan jika terdapat risiko tambahan setelah dilakukan tindakan
atau rencana asuhan (contoh : pasien jatuh)
Jika terjadi risiko tambahan tersebut, dilakukan penanganan dan pencegahan dengan
membuat regulasi, memberikan pelatihan dan edukasi kepada staf. Rumah sakit
menggunakan informasi tersebut untuk mengevaluasi pelayanan yang diberikan kepada
pasien risiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi serta mengintegrasikan informasi
tersebut dalam pemilihan prioritas perbaikan tingkat rumah sakit pada program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

3
BAB III
TATALAKSANA

PASIEN RISIKO TINGGI


A. Pasien Emergency
1. Kasus emergensi dapat terjadi setiap saat di semua unit Rumah Sakit
2. Identifikasi pasien dengan kasus emergensi beresiko tinggi terjadi kasus emergensi
dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten yaitu dokter dan perawat yang terlatih
3. Apabila terjadi kasus emergensi di instalasi yang bukan beresiko tinggi seperti instalasi
rawat inap, instalasi rawat jalan, maka petugas instalasi tersebut memanggil blue team
dan mengaktifkan blue code
4. Ketika blue code sudah diaktifkan, maka petugas yang terlatih harus segera menuju
tempat kejadian kegawatan tersebut dengan rensponse time yang sudah di tentukan.
5. Semua tenaga medis dan keperawatan yang di tugaskan di instalasi yang beresiko
tinggi terjadi kasus emergensi seperti IGD dan instalasi perawatan intensif, harus di
lakukan pendididikan dan pelatihan emergensi secara rutin dan berkesinambungan .
6. Resusitasi dilakukan di seluruh unit Rumah Sakit dan tersedia dan diberikan selama 24
jam setiap hari diseluruh area rumah sakit, dilaksananakan tanpa memandang pasien
dari segi sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
7. Resusitasi diberikan segera saat dikenali adanya henti jantung-paru dan tindak lanjut
diberikan kurang dari 5 menit.
8. Semua karyawan Rumah Sakit harus dilatih untuk dapat melakukan resusitasi /
Bantuan Hidup Dasar.
9. Selanjutnya resusitasi / Bantuan Hidup Lanjut dilakukan oleh tim yang terlatih yaitu
“TIM KODE BIRU” dengan membawa alat-alat dan obat resusitasi yang diperlukan.
10. Pada pasien rawat inap, apabila keadaan pasien memerlukan resusitasi di ruangan
perawatan, maka segera di panggil dengan blue code dan sesegera mungkin datang
dengan perlengkapan resusitasi.
11. Resusitasi tidak diberikan pada stadium terminal penyakit yang tidak dapat
disembuhkan lagi, pada pasien yang sudah dinyatakan mati batang otak (MBO), serta
pasien dengan kriteria DO NOT RESUSITASION (DNR) lainnnya.

B. Pasien Preeklampsia Berat


1. Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau
edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih
2. Adapun gejala yang ditimbulkan sebagai berikut : Peningkatan tekanan darah ≥
160/110mmHg , Proteinuria = ≥(+2) pada tes celup strip , Oligouria, diuresis< 400ml
dalam 24 jam, Sakit kepala hebat dan gangguan penglihatan, Nyeri epigastrium atau
kuadran kanan atas abdomen atau ada icterus, Edema paru atau sianosis,
Trombositopenia, Tanda gejala lain yaitu sakit kepala yang berat, masalah penglihatan,
pandangan kabur dan spasme arteri retina pada funduskopi, nyeri epigastrium, mual
dan muntah serta emosi mudah marah, Pertumbuhan janin yang terhambat, Adanya

4
HELLP Syndrome (H= Hemolysis, ELL= Elevated Liver Enzym, P=
Low Platelet Count)
3. Penanganan Preeklampsia Berat (PEB) Dalam Kehamilan
1. Konservativ berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian pengobatan (untuk kehamilan <35 minggu tanpa disertai tanda-
tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik)
Pengobatan yang diberikan berupa medikamentosa, yaitu:
a. Segera masuk rumah sakit
b. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan
diastolik diantara 90-100 mmHg.
c. Pasang infus RL ( Ringer Laktat )
d. Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload
e. Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria
f. Jika jumlah urin < 30 ml perjam tindakan yang dilakukan adalah:
1) Infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam
2) Pantau kemungkinan edema paru
3) Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat
mengakibatkan kematian ibu dan janin.
4) Observasi tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam.
5) Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Krepitasi merupakan
tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan dan
berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena.
4. Bila Rumah Sakit tidak mampu melakukan asuhan pasien tersebut agar petugas rumah
sakit menginformasikan kepada keluarga pasien dan merujuk ke Rumah Sakit lain yang
mampu melakukan asuhan pasien tersebut.

C. Pasien Dengan Kehamilan Ektopik


1. Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang
dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan
ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini
disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.
2. Tanda dan gejala Gambaran kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun petugas medis biasanya tidak mengetahui adanya kelainan
dalam kehamilan. Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala sebagai
berikut:
a. Amenorhoe
b. Nyeri perut bagian bawah
c. Gejala kehamilan muda
d. Level hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) rendah
e. Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua
f. Pada pemeriksaan pervagina terdapat nyeri goyang bila serviks digoyangkan
dan kavum douglasi menonjol karena ada pembekuan darah.
3. Penanganan kehamilan ektopik terganggu mempertimbangkan beberapa
hal yaitu kondisi ibu, keinginan ibu untuk mempertahankan fungsi reproduksinya,

5
lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomis organ pelvis, kemampuan teknik
bedah mikro dokter, dan kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat. Pada
keadaan kondisi ibu buruk yaitu dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan
salpingektomi. Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum
pecah biasanya ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari
pembedahan. Kehamilan ektopik dapat mengancam nyawa, maka deteksi dini dan
pengakhiran kehamilan adalah tata laksana yang disarankan.
4. Bila Rumah Sakit tidak mampu melakukan asuhan pasien tersebut agar petugas rumah
sakit menginformasikan kepada keluarga pasien dan merujuk ke Rumah Sakit lain yang
mampu melakukan asuhan pasien tersebut.

D. Pasien Kejang Demam Komplek


1. Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38.0 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam
merupakan kelainan neorologis yang paling sering ditemukan pada anak , terutama
pada golongan anak umur 6 bulan sampai 5 tahun.
2. Klasifikasi kejang demam dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang derlangsung singkat kurang dari 15 menit, dan umumnya akan
berhentisendiri. Kejang berbentuk tonik dan klonik,tanpa gerakan fokal.Kejang tidak
berulang dalam waktu 24jam.
b. Kejang demam kompleks
Kejang lama lebih dari 15 menit, kejang fokal atau persial, kejang berulang atau lebih
dari 1 kali dalam 24 jam
3. Bila pasien datang dalam keadaan kejang obat utama adalah diazepam untuk
membrantas kejang secepat mungkin yang diberi secara IV (intravena), IM (Intra
muskular), dan rektal. Dosis sesuai BB:< 10 kg;0,5,0,75 mg/kg BB dengan minimal
dalam spuit 7,5 mg, > 20 kg ; 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata dipakai 0,3 mg/kg BB/kali
dengan maksimal 5 mg pada anak berumur kurang dari 5 tahun,dan 10 mg pada anak
yang lebih besar
4. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis
awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif
5. Bila Rumah Sakit tidak mampu melakukan asuhan pasien tersebut agar petugas rumah
sakit menginformasikan kepada keluarga pasien dan merujuk ke Rumah Sakit lain yang
mampu melakukan asuhan pasien tersebut.

E. Pasien Dengue Syok Syndrome


1. Dengue Shock Syndrome (SSD)/ Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah kasus deman
berdarah dengue disertai dengan manifestasi kegagalan sirkulasi/ syok/ renjatan.
Dengue Shok Syndrome (DSS) adalah sindroma syok yang terjadi pada penderita

6
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) menyebar
dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan permasalahan klinis. Karena 30 – 50%
penderita demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan
suatu kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.
2. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi,
efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Tidak ada vaksin yang tersedia secara
komersial untuk flavivirus demam berdarah.Oleh itu, pencegahan utama demam
berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vector nyamuk demam
berdarah.
3. Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.
Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie,
echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis dan malena.
c. Pembesaran hati (hepatomegali).
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.
Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
4. Penatalaksanaan pada pasien syok :
a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan
dipertahankan selama 12-48 jam setelah syok diatasi.
b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam,
serta Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama
selanjutnya tiap 24 jam. Nilai normal Hemoglobin : Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100
ml darah Laki-laki dewasa : 13 – 16 gr/100 ml darah Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100
ml darah Nilai normal Hematokrit : Anak-anak : 33 – 38 vol % Laki-laki dewasa : 40
– 48 vol % Wanita dewasa : 37 – 43 vol % c. Bila pada pemeriksaan darah
didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi darah.
c. Terapi oksigen harus selalu diberikan pada semua pasien syok.Dianjurkan
pemberian oksigen dengan menggunakan masker.
d. Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan setiap pasien
syok,terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).Tranfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi pendarahan ynag nyata.Penurunan
hematocrit tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan darah segar adalah
untuk meningkatkan konsentrasi sel darah merah.Palsma segar adalah untuk
meningkat konsentrasi sel darah merah.Plasma segar atau suspense thrombosit
berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan pendarahan massif.
Pemeriksaan hematologi seperti PT,PTT, dan FDP berguna untuk menentukan
berat ringannya DIC.

7
e. Pemantauan tanda vital dan kadar hematocrit harus dimonitor dan dievaluasi secra
teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
pemantaun adalah: Nadi,tekanan darah,respirasi dan temperature harus dicatat
setiap 15-30 menit atau lebih sering sampai syok teratasi, Kadar hematocrit harus
diperiksa tiap 4-6 jam sampai klinis pasien stabil. Setiap pasien harus mempunyai
formulai pemantauan mengenai jenis cairan,jumlah dan tetesan,untuk
menentukan apakah cairan sudah mencukupi. Jumlah dan frekuensi diuresis
(normal diuresis 2-3 ml/kg/BB/jam).
5. Komplikasi yang dapat terjadi berupa syok berulang, kegagalan pernafasan akibat
edema paru atau kolaps paru, efusi pleura, acssites, ensefalopati dengue, kegagalan
jantung dan sepsis.
6. Secara umumnya, prognosis dengue syok sindrom adalah buruk.Tetapi tergantung dari
beberapa faktor seperti lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat tidaknya
penanganan, tidaknya syok yang terjadi terutama dalam 6 jam pertama pemberian
infus dimulai, panas selama renjatan dan tanda-tanda serebral.
7. Bila Rumah Sakit tidak mampu melakukan asuhan pasien tersebut agar petugas rumah
sakit menginformasikan kepada keluarga pasien dan merujuk ke Rumah Sakit lain yang
mampu melakukan asuhan pasien tersebut

F. Pasien Sindrome Koroner Akut


1. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan perkembangan spektrum dari
kondisi yang sesuai dengan iskemia miokard akut dan/atau infark dengan
penurunan aliran darah arteri koroner yang terjadi secara mendadak
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, SKA dibagi menjadi:
a. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial
infarction)
b. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: Non ST segment
elevation myocardial infarction)
c. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)
3. Keluhan utama pada pasien SKA adalah nyeri dada, dan digolongkan lagi
berdasarkan ada tidaknya elevasi segmen ST pada gambaran EKG
(elektrokardiografi), jika hasil pemeriksaan enzim jantung, yaitu troponin positif,
maka pertimbangan diagnosisnya adalah infark miokard akut tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI), dan sebaliknya jika troponin negatif, diagnosisnya adalah
angina tidak stabil.
4. Terapi Suportif diantaranya Pemberian oksigen dilakukan bila saturasi oksigen <90%,
distress pernafasan, atau memiliki resiko tinggi untuk terjadi hipoksemia (Paxinos,
2012). Untuk mengatasi nyeri dapat diberikan nitrogliserin sublingual atau buccal spray
(0.4mg). Nitrogliserin dapat diberikan setiap 5 menit dengan total 3 dosis
pemberian. Jika nyeri masih menetap atau pasien dengan hipertensi ataupun
gagal jantung, nitrogliserin intravena dapat diberikan (dosis inisial 5-10 ug/menit
dengan peningkatan 10 ug/menit sampai tekanan darah sistolik turun dibawah

8
100 mmHg). Pemberian nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien yang
mengkonsumsi sildenafil dalam 24 jam sebelum masuk rumah sakit atau 48 jam
untuk tadalafil (Paxinos, 2012; AHA, 2011). Morfin dapat digunakan untuk
mengatasi nyeri, walaupun terdapat beberapa observasi yang mengindikasikan
adanya peningkatan mortalitas pada ACS dengan penggunaannya. Sedangkan
NSAID disarankan untuk dihentikan pengunaannya pada pasien NSTEMI,
karena dijumpai peningkatan resiko mortalitas, reinfark, hipertensi, gagal jantung
dan ruptur miokard sehubungan dengan penggunaannya
5. Bila Rumah Sakit tidak mampu melakukan asuhan pasien tersebut agar petugas rumah
sakit menginformasikan kepada keluarga pasien dan merujuk ke Rumah Sakit lain yang
mampu melakukan asuhan pasien tersebut

G. Pasien Resiko Jatuh


1. Perngertiannya adalah Risiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan Kesehatan
akibat terjatuh.
2. Upaya yang dilakukan untuk mencegah maupun menangani pasien dengan risiko jatuh
maupun pasien yang mengalami insiden jatuh sehingga mengantisipasi terjadinya
cidera fisik pada pasien serta untuk meningkatkan mutu rumah sakit
3. Tata Cara
a. Melakukan penilaian dengan assessment risiko jatuh (morse fall scale) dalam
waktu 4 jam dari pasien masuk rumah sakit dan mencatata hasil assestment dan
langsung dilakukan tata laksana risiko jatuh
b. Assessment ulang
c. Perawat mengidentifikasi dan menerapkan prosedur pencegahan risiko jatu
d. Prosedur penjegahan jatuh pada pasien yang berisiko rendah, sedang atau
tinggi harus diimplemenyasikan dan penggunaan peralatan yang sesuai harus
optimal
e. Intervensi pencegahan jatuh:
1) Melakukan orientasi kamar inap pada pasien
2) Posisikan tempat tidur serendah mungkin, roda terkunci, kedua sisi
pegangan tempat tidur terpasang dengan baik
3) Ruangan rapi Benda pribadi berada dalam jangkauan ( hp, tombol
panggilan, air minum, kacamata)
4) Pencahayaan yang adekuat
5) Alat bantu berada dalam jangkauan ( Tongkat, alat penopang ).
6) Optimalisasi pengunaan kaca mata dan alat bantu dengar ( Pastikan bersih
dan dan berfungsi ).
7) Pantau efek obat-obatan.
8) Anjuran kekamar mandi secara rutin dan selalu dalam pendampingan
keluarga.
9) Sediakan dukungan emosional dan psikologis.
10) Berikan Edukasi mengenai pencegahan jatuh pada pasien dan keluarga.

9
4. Hal – hal yang perlu diperhatikan
a. Tawarkan bantuan kekamar mandi tiap 2 jam sekali ( Saat Pasien Bangun ).
b. Gunakan 2-3 sisi pengangan tempat tidur.
c. Lampu panggilan berada dalamjangkauan, perintahkan pasien untuk
mendemonstrasikan penggunaan lampu panggilan
d. Jangan ragu untuk meminta bantuan
e. Barang barang pribadi dalam jangkauan
f. Anjurkan pasien menggunakan sisi tubuh yang lebih kuat saat hendak turun dari
tempat tidur
g. Pastikan pasien menggunakan sandal anti licin
h. Pastikan kamar mandi tidak licin
5. Efek Samping dari Jatuh adalah Cidera pada tulang, Memar, dislokasi, patah dan rasa
tidak nyaman

10
BAB IV
DOKUMENTASI

Setiap hasil assement dan rencana asuhan pasien di dokumentasikan dalam berkas rekam
medis pasien agar asuhan yang di terima oleh pasien terencana dengan baik, terpadu sehingga
pelayanan yang diberikan dapat secara optimal dan sesuai dengan kebutuhan asuhan pasien.
Setiap instalasi rawat inap mempunyai buku pemantauan pasien resiko tinggi berisi nama-nama
pasien yang berisiko tinggi atau yang mendapatkan pelayanan resiko tinggi dan di evaluasi setiap
shift oleh tenaga keperawatan yang bertugas.

11

Anda mungkin juga menyukai