Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekayaan sumberdaya alam di Indonesia tidak perlu kita ragukan, namun
tingkat eksploitasi dan eksplorasi juga cukup tinggi. Keadaan yang demikian turut
memicu tingginya tingkat kerusakan terutama pada tanah dan air. Saat ini, kita
selalu disuguhi dengan berbagai persoalan lingkungan yang menuntut segera
diatasi. Sadar atau tidak hanya sebagian saja yang berupaya untuk mencari
solusinya, sementara yang lain sibuk pula untuk meningkatkan pencemaran.
Masalah pencemaran bukan persoalan baru yang kita hadapi, tetapi terjadi sejak
dulu. Upaya pengendalianpun semakin komplek, namun selalu kalah dengan
tingkat kerusakan. Teknologi pencegahan dan pengendalian semakin komplek
dilakukan tetapi selalu kalah. Hal ini diakibatkan karena kebutuhan ekonomi lebih
dominan dibandingkan dengan tingkat pengendalian. Pencemaran tanah akan
berdampak pada kesehatan tanah. Kesehatan tanah terganggu akan berdampak pada
kesehatan tanaman, Tanah menempati posisi yang sangat penting dalam hidup dan
kehidupan manusia. Tanah memiliki fungsi penting sebagai ruang dan tempat
berkembang biak mahluk hidup. Tanah juga memiliki fungsi produksi sebagai
penghasil biomassa, dan juga sebagai konservasi sumberdaya air. Pemanfaatan
tanah seharusnya dilakukan sesuai dengan kemampuannya, karena berkaitan
dengan kepentingan generasi yanga akan datang. Pemanfaatan keberlajutan tanah
dapat dilakukan apabila kegiatan pengendalian perusakan tanah sudah sesuai
dengan baku mutu yang diinginkan. Ditinjau dari penyebabnya, pencemaran tanah,
dapat di bagi menjadi dua yaitu, terjadi dengan sendirinya yang disebabkan alam
dan antropogenik atau ulah manusia. Pencemaran tanah adalah keadaan di mana
polutan atau bahan kimia buatan masuk atau dimasukannya polutan tersebut
sehingga merubah lingkungan tanah alami. Pada lahan pertanian, pencemar tanah
merupakan masalah yang perlu disikapi. Tanah tercemar biasanya mengandung
sejumlah logam berat terutama Hg, Pb, Cd, Ni, Cn, dan As. Cemaran logam berat
akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, selanjutnya akan berdampak pada
keamanan pangan dan kesehatan manusia.

1
Pencemaran tanah adalah masuknya bahan tercemar berupa zat, energy atau
komponen lingkungan hidup lain yang dilakukan oleh manusia maupun secara
alami ke dalam tanah, akibatnya kualitas tanah menjadi menurun serta tidak sesuai
lagi dengan peruntukannya. Permasalahan pencemaran tanah saat ini menjadi salah
satu issu yang sering diperbincangkan oleh para pakar dibidang pertanian. Issu ini
menjadi sangat strategis karena berkaitan dengan produktivitas dan kualitas tanah
dan tanaman. Penyebab utama pencemaran selain erosi dan sedimentasi juga
dipengaruhi oleh intensitas penggunaan bahan agrokimia berupa pupuk dan
pestisida yang melampaui batas. Pencemaran tanah yang sangat krusial saat ini
adalah adanya akumulasi logam berat di tanah seperti merkuri (Hg), timbal (Pb),
kadmium (Cd), sianida (Cn), tembaga (Cu), dan seng (Zn). Jenis logam berat di atas
terutama merkuri yang mencemari tanah sangat sulit untuk didegradasi, selanjutnya
akan berdampak pada keamanan pangan. Penggunaan bahan agrokimia diakui
memberi kontribusi besar terhadap peningkatan produksi pangan nasional.
Penggunaannya yang tidak terkontrol dan melampaui batas akan berdampak buruk
terhadap kesehatan tanah. Pencemaran lahan pertanian di Indonesia terutama Pb,
Cd, Cu, dan Zn pada lahan yang dikelola secara intensif dilaporkan telah melampaui
nilai ambang batas. Kadar logam berat di beberapa sentra hortikultura juga telah
melewati ambang batas. Kadar Pb pada bawang merah di sentra produksi bawang
seperti Tegal dan Bekasi dilaporkan sekitar 3,67 mg kg-1, sementara ambang batas
Pb dalam sayuran yang ditetapkan sebesar 2,0 mg kg-1 (Adi, 2003). Begitu pula
kadar Cd yang diperoleh sekitar 0,29 mg kg-1, padahal ambang batasnya adalah 0,1
mg kg-1. Subowo et al, (2004), telah terjadi pencemaran Pb sebesar 206-449 mg
kg-1 pada tanah sawah di kawasan industri Tangerang Jawa Barat. Di Batu Cd yang
dilaporkan juga berkisar antara 1,96 – 2,26 mg kg-1 (Hamzah, 2017).
Kualitas lingkungan akan semakin menurun seiring dengan terjadinya
pencemaran secara terus menerus. Apabila lingkungan telah mengalami
pencemaran, maka perlu dilakukan upaya-upaya agar lingkungan tersebut dapat
kembali ke kondisi seperti sebelum tercemar. Salah satunya adalah dengan
menerapkan teknologi remediasi lingkungan. Walaupun istilah remediasi
lingkungan belum populer, namun penelitian dan penerapan teknologi remediasi

2
telah dilakukan di banyak negara. Teknologi remediasi merupakan teknologi untuk
memulihkan lingkungan baik perairan, tanah maupun udara yang telah tercemar
oleh pencemar organik dan anorganik sehingga kualitas lingkungan tersebut
menjadi seperti sedia kala sebelum mengalami pencemaran. Teknologi remediasi
ini mencakup remediasi secara fisik, kimia dan biologi. Setiap teknologi remediasi
mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing sehingga untuk
aplikasinya di lingkungan yang tercemar harus dipilih dan disesuaikan dengan
tujuan renediasi yang akan dicapai.
Dalam aplikasi teknik bioremediasi dikenal dua teknik yang sangat umum
diterapkan yaitu biopile dan landfarming. Pada teknik biopile, tanah tercemar
ditimbun diatas lapisan kedap air dan suplai udara yang diperlukan oleh mikroba
dilakukan dengan memasang perpipaan untuk aerasi (pemberian udara) dibawah
tumpukan tanah tercemar. Pompa udara dipasang diujung perpipaan sehingga
semua bagian tanah yang mengandung mikroba dan polutan berkontak dengan
udara. Dengan teknik ini, ketinggian tanah timbunan adalah 1 sampai 1,5 meter.
Teknik landfarming dilakukan dengan menghamparkan tanah tercemar diatas
lapisan kedap air. Ketebalan hamparan tanah 30 – 50 cm memungkinkan kontak
mikroba dengan udara. Untuk menjamin bahwa semua bagian dari tanah yang
diolah terkontak dengan udara maka secara berkala hamparan tanah tersebut di
balikkan. Nama landfarming digunakan karena proses pembalikan tanah yang
dilakukan sama dengan pembalikan tanah pada saat persiapan lahan untuk
pertanian.
Teknik landfarming memiliki keunggulan dibandingkan teknik ex situ
lainnya yaitu proses yang digunakan lebih sederhanadan murah , dengan tingkat
penghilangan yang tinggi. Namun teknik ini memiliki kelemahan yaitu
membutuhkan lahan yang luas (Maila, 2004). Kondisi lingkungan untuk
mendukung proses degradasi senyawa hidrokarbon oleh mikroba eksogen dalam
teknik landfarming perlu diatur sedemikian sehingga cemaran minyak dapat
dihilangkan dengan efektif. Hasil percobaan tanpa bahan organik menghasilkan
penurunan nilai TPH dari 5,8 menjadi 2,8-3,2% setelah 12 minggu. Hal ini
menyatakan bahwa pemberian konsorsium dan dosis konsorsium bakteri tidak

3
berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai TPH maupun populasi mikroba tanah.
Pada percobaan menggunakan bahan organik, kedua konsoesium bakteri dapat
menurunkan TPH di bawah 1% setelah 5 minggu percobaan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapaun rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Bagaimana penerapan teknologi remediasi landfarming ex situ pada studi
kasus penelitian?
2. Bagaimana pengaruh teknologi remediasi landfarming ex situ memiliki
hasil penelitian studi kasus tersebut?
3. Apakah teknologi remediasi yang digunakan sudah sesuai dengan objek
yang akan diteliti?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu:
1. Mengetahui penerapan teknologi remediasi landfarming ex situ
2. Mengetahui pengaruh teknologi remediasi landfarming ex situ terhadap
hasil yang diperoleh
3. Mengetahui teknologi remediasi yang tepat terhadap objek yang akan
diteliti.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan
Dalam pembahasan ini penulis mengambil contoh studi kasus teknologi
remediasi landfarming ex situ dengan judul “Hubungan Antara Laju Konsentrasi
Total Petroleum Hydrocarbon (TPH), Oil and Grease Pada Proses Bioremediasi
dengan Menggunakan Bakteri Bacillus SP dan Bulking Agent”.
Sumber pencemaran lingkungan oleh minyak bumi dapat berasal dari
rembesan alam, rembesan dan tumpahan minyak bumi, dan pembuangan limbah
minyak bumi (Berwick, 1984).Bioremediasi merupakan metode pengolahan yang
dirancang untuk menaikkan kemampuan degradasi jamur dan mikroba alam
terhadap kontaminan organik. Sebagian besar proses bioremediasi berlangsung
dalam kondisi aerobik. Pada proses aerobik, mikroorganisme memerlukan O2
sebagai akseptor elektron, di mana senyawa organik sebagai produk tengah diubah
menjadi CO2, air, bahan anorganik dan biomassa disebut mineralisasi jika terjadi
secara sempurna. Pada proses anaerobik, diperlukan adanya akseptor elektron
seperti; nitrat, sulfat, Fe, Mn atau bahan organik lainnya (Diktat Teknik Remediasi,
FTSP ITS). Bioremediasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu In situ dan Ex situ.
In situ adalah proses bioremediasi yang mengandalkan kemampuan
mikroorganisme yang telah ada di lingkungan tercemar untuk mendegradasinya,
sedangkan Ex situ adalah proses bioremediasi yang memindahkan kontaminan ke
suatu tempat untuk memberikan beberapa perlakuan (Sabarni, 1995). Faktor-faktor
yang mendukung proses bioremediasi adalah temperature, nutrient, pH, Oksigen,
dan kadar air (Berwick, 1984).
Konsentrasi zat kimia mempengaruhi tingkat biodegradasinya. Salah satu
cara untuk mengukur yaitu dengan analisa Total Petroleum Hydrocarbon (TPH).
Komponen yang rendah konsentrasinya lebih mudah terdegradasi karena dapat
menunjang pertumbuhan dan perkembangan populasi mikroba. Namun bila terlalu
rendah konsentrasinya, mikroba tidak akan mendapatkan energi dalam jumlah yang
cukup. Selain itu, komponen yang konsentrasinya terlalu tinggi kemungkinan dapat
bersifat toksik bagi mikroba tanah (Munawar, 2012). Susunan senyawa minyak

5
bumi yang kompleks, menyebabkan suatu spesies tunggal mikroorganisme tidak
dapat mendegradasi keseluruhan komponen penyusun minyak bumi tersebut,
karena setiap spesies bakteri membutuhkan substrat yang spesifik. Beberapa bakteri
yang berinteraksi saling menguntungkan dalam bentuk konsorsium sangat berperan
selama berlangsungnya proses degradasi minyak bumi (Astri, 2007). Proses
bioremediasi juga memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihannya yaitu dapat
dilakukan di lokasi/ di luar lokai, sistem biologi adalah sistem yang murah, ramah
lingkungan, menghilangkan resiko jangka panjang. Sedangkan kekurangannya
adalah tidak semua bahan kimia dapat diolah secara bioremediasi, membutuhkan
pemantauan yang intensif, membutuhkan lokasi tertentu, berpotensi menghasilkan
produk yang tidak dikenal (Munawar, 2012).
Dalam penelitian ini digunakan dua metode yaitu metode landfarming dan
bioplie. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol semprot,
timbangan analitik, desikator, botol vial, waterbath, stiler, Erlenmeyer, pipet,
pinset, kertas saring, oven, pH meter, turbidimeter, spektrofotometer, wadah
plastik, konsorsium Bacillus sp, tanah percobaan, oli bekas, Bulking Agent jenis
sekam padi, pupuk urea 46% N, pupuk NPK 16% N, 16% P, dan 16% K, N-hexane,
akuades, dan Na2SO4 (serbuk). Prosedur yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
tanah diambil secukupnya dan dihomogenkan, disediakan 3 jenis reaktor yaitu
reactor control, reactor dengan penambahan Bacillus sp 5 %, dan reactor dengan
penambahan Bacillus sp 10 %. Untuk reaktor landfarming:
a) Masukkan limbah minyak bumi sebesar 15 % ke dalam tanah percobaan
b) Jangan tambahkan bahan apapun ke dalam reaktor kontrol, kecuali limbah
minyak bumi.
c) Masukkan tanah ke dalam wadah plastik hingga mencapai ketinggian
maksimum 10 cm.
d) Jangan mampatkan tanah sehingga udara dari luar tetap mengalir di antara
pori-pori tanah.
e) Tambahkan konsorsium Bacillus sp. sesuai dengan penjelasan sebelumnya.
Tuangkan secara merata dan aduk tanah hingga bakteri diharapkan dapat
tersebar merata. Gunakan sarung tangan.

6
f) Tambahkan pupuk NPK sebesar 0,5-0,8% dan urea sebesar 1%. Aduk
hingga merata di dalam tanah. Tambahkan air dengan frekuensi 2 kali
dalam seminggu melalui botol penyemprot hingga tanah menjadi lembap.
Aduk tanah secara manual menggunakan tangan pada saat penyemprotan
air.
g) Pengadukan tanah dilakukan setiap hari atau maksimal dua hari sekali
untuk menjaga kondisi aerob pada tanah.
h) Tutup wadah dengan plastik yang telah dilubangi untuk menjaga
keberlangsungan sirkulasi udara dan menjaga kelembapan tanah.
Pengukuran konsentrasi minyak-lemak (oil & grease) dan Total Petroleum
Hydrocarbons (TPH):

a) Cuci bersih 2 buah botol vial dan keringkan di dalam oven 105ᵒC selama
± 1 jam. Gunakan pinset dalam proses pengambilan botol vial dari awal
hingga akhir analisis laboratorium. Kemudian, masukkan botol vial ke
dalam desikator selama ± 30 menit dan timbang.
b) Ekstraksi contoh uji tanah sebanyak 10 g pada larutan n-hexane 20 ml
(perbandingan contoh uji dan n-hexane adalah 1:2). Kemudian, kocok di
dalam erlenmeyer menggunakan stiler selama ± 15 menit hingga tanah dan
n hexane tercampur sempurna.
c) Diamkan contoh uji hingga terjadi pemisahan fasa padatan dan supernatan
(cairan) secara sempurna sehingga supernatan yang mengandung minyak
(oil) dapat diikat seluruhnya oleh n-hexane.
d) Gunakan pipet untuk mengambil supernatan. Hati-hati jangan sampai
padatan ikut terbawa dan tercampur kembali.
e) Campurkan supernatan dengan sedikit bubuk Na2SO4 yang berfungsi
untuk mengikat air di dalam supernatan.
f) Pindahkan supernatan ke dalam botol vial. Sebelumnya, saring supernatan
terlebih dahulu di kertas saring.
g) Panaskan botol vial pada penangas air hingga larutan n-hexane mengering.
h) Setelah mengering, masukkan kembali botol vial ke dalam oven dan
pindahkan ke dalam desikator selama ± 30 menit.

7
2.2 Hasil
Bioremediasi merupakan metode pengolahan yang dirancang untuk
menaikkan kemampuan degradasi jamur dan mikroba alam terhadap kontaminan
organik. Sebagian besar proses bioremediasi berlangsung dalam kondisi aerobik.
Konsentrasi zat kimia mempengaruhi tingkat biodegradasinya. Salah satu cara
untuk mengukur yaitu dengan analisa Total Petroleum Hydrocarbon (TPH).
Komponen yang rendah konsentrasinya lebih mudah terdegradasi karena dapat
menunjang pertumbuhan dan perkembangan populasi mikroba. Namun bila terlalu
rendah konsentrasinya, mikroba tidak akan mendapatkan energi dalam jumlah yang
cukup (Munawar, 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi TPH
semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu, hal tersebut dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa pada hari pertama pengukuran
konsentrasi TPH sebesar 3,191 μg/g pada landfarming kontrol, 4,360 μg/g pada
landfarming 5% , 4,251 μg/g pada landfarming 10%. Sedangkan pada hari terakhir
yaitu hari ke-46 konsentrasi TPH menurun drastis menjadi 0,06424 μg/g pada
landfarming kontrol, 0,05736 μg/g pada landfarming 5%, dan 0,03996 μg/g pada
landfarming 10%. Sesuai dengan penjelasan teori sebelumnya bahwa konsentrasi
TPH yang rendah menyebabkan mikroorganisme lebih mudah untuk mendegradasi,

8
tetapi jika terlalu rendah akan menyulitkan mikroorganisme untuk memperoleh
energi dalam memperbanyak sel (Munawar, 2012). Berdasarkan data di atas,
diketahui bahwa konsentrasi TPH pada landfarming kontrol sehingga mudah untuk
didegradasi, namun pada landfarming kontrol tidak ditambahkan bakteri Bacillus
sp. Hal ini menyebabkan konsentrasi TPH pada hari terakhir pada landfarming
kontrol sangat tinggi dibandingkan dengan reaktor yang sudah ditambahkan
Bacillus sp. Jumlah bakteri juga berperan dalam remediasi, terbukti pada
landfarming 10% kandungan akhir TPH lebih kecil dibandingkan dengan
landfarming 5%.
Selain hasil konsentrasi TPH, penelitian ini juga menghitung konsentrasi oil
& grease pada proses bioremediasi. Hasil perhitungan konsentrasi oil & grease
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Berdasarkan data pada tabel diperoleh bahwa semua reaktor mengalami


kenaikan dan penurunan konsentrasi oil & grease, namun mayoritas mengalami
penurunan dibandingkan dengan kenaikan. Ada beberapa reaktor yang mengalami
kenaikan konsentrasi oil & grease yang cukup signifikan pada hari terakhir
pengukuran, yaitu pada landfarming 10%. Landfarming 10% pada hari ke-43
memiliki konsentrasi oil & grease 4,558 %, sedangkan pada hari ke-46 naik menjadi
9,49 %. Hal tersebut dapat terjadi karena pada hari ke-46 jumlah mikroba yang mati
semakin banyak sehingga kemampuan untuk mendegradasi minyak bumi menjadi

9
berkurang. Peningkatan jumlah bakteri ini disebabkan oleh nutrient, jika nutrient
mikroba mulai menipin maka akan terjadi persaingan dalam memperoleh nutrient
untuk proses bertahan hidup, bagi mikroba yang kalah dalam persaingan maka akan
mati. Untuk mengetahui lebih jelasnya lagi data-data pada tabel di atas dapat dilihat
pada grafik di bawah ini:

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi oil & grease
terkecil terdapat pada reaktor landfarming 5 % pada hari ke-10 yaitu 2,777 %,
reaktor ini merupakan reaktor dengan penurunan tercepat dan terkecil. Sedangkan
konsentrasi oil & grease tertinggi terdapat pada landfarming 10 % pada hari ke-46.
Hal ini disebabkan pada landfarming 5 % jumlah mikroba sedang berada pada zona
eksponensial sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak dari pada sebelumnya,
selain itu faktor pH dan temperatur yang cocok dapat meningkatkan proses
degradasi mikroba terhadap limbah minyak. Penurunan konsentrasi oil & grease
dan TPH dipengaruhi oleh bulking agent yaitu sekam padi. Bulking agent berfungsi
untuk menghomogenkan transfer udara dan oksigen dalam tanah, dengan adanya
bulking agent transfer udara dan oksigen ke dalam tanah akan meningkatkan kadar
Oksigen di dalam tanah. Oksigen digunakan oleh mikroba untuk meningkatkan
energi dan jumlah sel dalam melakukan proses remediasi, sehingga menyebabkan
proses remediasi semakin cepat.

10
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari makalah ini yaitu:
1. Ex situ adalah proses bioremediasi yang memindahkan kontaminan ke suatu
tempat untuk memberikan beberapa perlakuan. Teknik landfarming
dilakukan dengan menghamparkan tanah tercemar diatas lapisan kedap air.
pada kasus ini teknologi landfarming ex situ digunakan untuk mengetahui
hubungan antara laju konsentrasi Total Petroleum Hydrocarbon (TPH), Oil
and Grease pada proses bioremediasi dengan menggunakan bakteri Bacillus
SP dan Bulking Agent”.
2. Penurunan konsentrasi oil & grease dan TPH dipengaruhi oleh bulking
agent yaitu sekam padi. Bulking agent berfungsi untuk menghomogenkan
transfer udara dan oksigen dalam tanah, dengan adanya bulking agent
transfer udara dan oksigen ke dalam tanah akan meningkatkan kadar
Oksigen di dalam tanah. Oksigen digunakan oleh mikroba untuk
meningkatkan energi dan jumlah sel dalam melakukan proses remediasi,
sehingga menyebabkan proses remediasi semakin cepat.
3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi TPH semakin menurun
seiring dengan berjalannya waktu begitu juga dengan konsentrasi penurunan
oil and grease. Hal ini menunjukan bahwa teknologi remediasi yang
digunakan berhasil untuk menurunkan pencemaran tanah yang terjadi.

11
DAFTAR PUSTAKA

Alaerts. C. & S.S. Santika. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: PT Usaha
Nasional.
Dalam Erman Munir. 2006. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi: suatu
Teknologi Alternatif untuk Pelestarian Lingkungan. Medan.
Berwick, P.G. 1984. Physical and chemical conditions for microbial oil
degradation. biotechnoI. Bioeng. 26:1294-1305
Munawar, Ali. 2012. Tinjauan Proses Bioremediasi Melalui Pengujian Tanah
Tercemar Minyak. Surabaya : UPN press.
Nainggolan, R. Corolina. 2011. BIOREMEDIASI. Medan : Universitas Negeri
Medan. Jurusan Teknik Kimia.
Irianto, Agus. 2000. Bioremediasi InVitro Tanah Tercemar Toluena dengan
Penambahan Bacillus Galur Lokal. Jurnal Mikrobiologi. Vol 5. No. 2. hlm
4347. Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman.
Priyono, Nofal. 2018. “Hubungan Antara Laju Konsentrasi Total Petroleum
Hydrocarbon (TPH), Oil and Grease Pada Proses Bioremediasi dengan
Menggunakan Bakteri Bacillus SP dan Bulking Agent”. Bogor :
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB.
Sabarni, N. 1995. Kemampuan Pseudomono fluorescens FNCC 0070 dalam
biodegradasi toluena dengan penambahan urea sebagai sumber nitrogen.
Purwokerto: Fakultas Biologi Unsoed.

12

Anda mungkin juga menyukai