Satu obat dengan merek tertentu, dilindungi oleh sebuah paten. Paten
adalah suatu hak eksklusif , berkaitan dengan hak untuk menjual,
menggunakan, atau membuat, yang diberikan pemerintah kepada penemu
atau pemohon paten selama waktu tertentu. Nah, apabila masa berlaku
paten habis (off patent), perusahaan lain bisa membuat versi tiruan (versi
generik) dari obat bermerek tersebut, tapi dengan nama produk yang
berbeda.
Contoh konkretnya seperti ini. Sebuah pabrik farmasi mendaftarkan
paten obat dengan nama Aspirin yang bahan aktifnya Acetyl Salycilic Acid.
Selama masa paten aspirin berlaku,perusahaan farmasi lain tidak boleh
meniru memproduksi dan menjual produk yang komposisi dan teknik
pembuatannya sama dengan aspirin. Setelah masa paten aspirin berakhir,
perusahaan lain boleh meniru memproduksi obat dengan komposisi dan
teknik pembuatan yang sama, tentunya dengan pengawasan pihak
berwenang karena alasan standarisasi mutu, tapi menjualnya dengan nama
produk yang berbeda, biasanya dengan nama bahan aktifnya. Di pasaran,
banyak ditemukan produk generik dari aspirin, misalnya menggunakan
nama Acetyl Salycilic Acid atau ASA.
Seperti yang dikatakan tadi, hak paten atas suatu obat menjadikan
produsen obat memiliki hak monopoli untuk memproduksi dan menjual obat
yang ditemukannya tersebut selama masa paten berlaku. Produsen obat
yang bersangkutan menjual obat yang ditemukannya dengan merek dagang
yang dipilihnya. Oleh hukum, produsen obat lain dilarang menjual jenis obat
yang bahan-bahan dan teknik produksinya sama dengan obat tersebut
sampai masa patennya habis. Apabila masa berlaku paten obat tersebut
berakhir, perusahaan lain boleh meniru memproduksi dan menjual produk
yang sama dengan obat bermerek tersebut, tapi dengan nama produk yang
berbeda.
Tipe obat yang diproduksi dengan cara meniru obat bermerek yang
patennya habis inilah yang disebut obat generik. Jadi bisa disimpulkan,
karena bahan pembuat dan teknik membuatnya sama, secara substansi,
obat generik dan obat bermerek yang ditirunya adalah sama.
Perbedaan
Ada beberapa perbedaan obat bermerek dengan obat generik yang
menirunya. Tapi tenang, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi substansi
fungsi dasar dari obat tersebut. Inilah perbedaan tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan pasien lebih baik memilih Obat Generik
Berlogo (OGB) adalah faktor bukti efektifitas Obat Generik Berlogo (OGB)
yang telah teruji. Dari paparan diatas, kita paham bahwa obat generik
adalah versi kembaran obat bermerek yang telah kadaluarsa ijin patennya.
Sebelum obat generik diproduksi, obat bermereknya telah dipasarkan
selama lebih dari sepuluh tahun, selama masa ijin paten.
Selama masa ijin patennya masih aktif, obat bermerek tersebut telah
diuji keamanan dan keefektifannya oleh masyarakat. Apabila selama masa
patennya aktif dan banyak pasien yang cocok, ini membuktikan bahwa obat
tersebut telah lolos uji bagi pasien dalam waktu yang cukup lama. Lebih
kecil resikonya dibanding membeli obat jenis baru yang bermerek. Selain
mahal juga belum mengalami tes ujian pasien cukup lama.
Yang terakhir, sekitar setengah atau lima puluh persen obat yang
diresepkan dokter ada versi generiknya. Tentunya makin tahun akan
bertambah seiring banyaknya obat bermerek yang habis masa patennya.
Jadi para pasien tidak perlu khawatir masalah ketersediaan Obat Generik
Berlogo (OGB).
Tipe pasien seperti ini selalu mempunyai modal informasi yang luas
mengenai sakit dan bagaimana pengobatannya. Mereka juga percaya diri
berkomunikasi dengan dokter dan paramedis lainnya. Dengan kultur
demikian, mereka dengan mudah mengetahui informasi bahwa selain obat
bermerek yang ada di pasaran, mereka mempunyai alternative obat dengan
harga murah yang bisa dibelinya untuk menekan biaya pengobatan suatu
penyakit. Dan bagi well informed patient yang tidak ikut asuransi
kesehatan alias harus membayar biaya pengobatan dengan kocek sendiri,
pemilihan obat generik disana menjadi prioritas untuk menekan tingginya
biaya berobat.
Last but not least, regulasi dari pemerintah. Di Negara maju, fokus
pemerintah terhadap kesehatan masyarakat sangat tinggi. Ditambah
kesadaran masyarakatnya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
dibidang kesehatan, menyebabkan regulasi pemerintah dalam hal obat
generik juga mendukung semua pihak untuk mengoptimalkan ketersediaan
dan pemakaian obat generik.
Tipe pasien lain adalah tipe pasien yang kurang mendapat informasi.
Disini dibedakan menjadi dua. Yang pertama pasien dan keluarganya cukup
berpendidikan, mengerti dan terbuka pada efektifitas obat generik, tapi tidak
mendapat informasi bahwa untuk sakit yang dideritanya, ada obat
generiknya. Yang kedua adalah tipe pasien yang pasif terhadap informasi,
apapun obat yang diresepkan oleh dokter mereka tak peduli apakah itu
termasuk obat bermerek atau obat generik. Kedua tipe pasien ini akhirnya
juga abai terhadap pilihan untuk menggunakan Obat Generik Berlogo (OGB).
Ketiga, dari segi cara pandang tenaga paramedis yang agak tertutup
terhadap keefektifan Obat Generik Berlogo (OGB). Sama dengan sebagian
dokter dibelahan bumi lain, sebagian dokter di Indonesia juga memandang
obat generik sebagai obat kelas dua. Tentunya hal ini menyebabkan
peresepan yang melibatkan penggunaan Obat Generik Berlogo (OGB) makin
kecil.
Agar banyak tipe pasien yang sadar penggunaan Obat Generik Berlogo
(OGB), tentunya selain publisitas tentang obat generik yang efektif dan
menjangkau sebanyak mungkin masyarakat, juga upaya pemberian
informasi berkesinambungan pada masyarakat umumya dan pasien
khususnya untuk mengubah mindset bahwa selain obat generik bukan obat
kelas dua dan khusus obat si miskin, Obat Generik Berlogo (OGB) juga
sama cara kerja dan efektifnya dengan obat bermerek yang menggunakan
bahan aktif serupa.
Obat paten dan obat generik? Sama atau beda khasiat dan kualitasnya? Mengapa yang satu
harganya murah, dan mengapa yang satu mahal, bahkan bisa 10 kali lipatnya obat generik..
Pertanyaan-pertanyaan ini memang sering ditanyakan masyarakat. Dan dokter sendiri pun
kadang bingung bagaimana menjawabnya. Masyarakat pun memiliki berbagai pendapat yang
berbeda-beda.
Pernah suatu kali saya melihat sendiri seorang pasien yang tidak puas karena diberi oabt generik.
Pasien tersebut kembali ke ruang praktek dan berkata ”Saya minta obat yang bagus”. Dan pernah
pula saya mendengar sendiri keluh kesah pasien yang diberi resep obat paten, kira-kira pasien
tersebut berkata begini ”kan ada yang murah, kok diresepnya pilih yang mahal”.
Pasien mempunyai hak untuk memilih resep generik atau paten, namun sebelum anda meilih,
silahkan dicermati perbedaan keduanya.
Obat Paten : obat jadi dgn nama dagang yg terdaftar atas nama si pembuat (pabrik) atau yg
dikuasakannya, dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik pembuatnya.
Contoh : Amoxan kapsul, Erysanbe Chewable,
Obat generik : obat dgn nama resmi sesuai tercantum dalam farmakope Indonesia untuk zat yg
berkhasiat
Contoh : Amoxicilin, Eritromisin,
Nah, masalah apakah obat paten lebih bermutu? Ada yang lebih bermutu, ada yang sama saja.
Beberapa obat paten mempunyai teknologi yang mereka kembangkan sendiri dan sudah
dipatenkan yang tidak terdapat pada obat generik. Misalnya saja Eritromisin generik tidak
dikunyah, namun Erisanbe Chewable bisa dikunyah dan bagi beberapa orang cara ini lebih
nyaman dan efektif. Beberapa obat paten juga memiliki teknologi untuk mengurangi bau obat
yang mungkin bisa membual beberapa orang mual. Obat Paten tertentu juga memiliki sistem
“pelepasan berkala” di mana obat akan larut perlahan-lahan, sehingga obat yang sebelumnya
harus diminum 3 kali sehari bisa diminum satu kali saja pada pagi hari dengan tekhnologi
“pelepasan berkala” ini
4. Bila Obat generik memang bagus, mengapa dokter lebih sering meresepkan obat paten
= Ada beberapa sebab, mari kita bahas satu-persatu
a. Tidak semua obat sudah keluar versi generiknya : Pemerintah akan memberi kesempatan pada
perusahaan farmasi untuk meraup untung demi menutup biaya riset mereka. Maka itu obat-obat
baru kadang belum ada versi generiknya
b. Obat Generik adalah obat bersubsidi, maka dari itu penggunaan subsidi ini harus disalurkan
pada orang yang tepat pula.
c. Efek placebo : Kadang pasien yang diberi obat generik tidak merasa puas karena pasien
merasa “lebih mahal lebih baik”, atau “Ada rupa ada harga”. Maka itu kadang dokter lebih suka
meresepkan obat paten