Anda di halaman 1dari 17

Ngomong-ngomong, obat apa sih yang diminum temen saya yang

pergi ke puskesmas? Secara bayarnya murah banget. Dapat obatnya juga


borongan.

Ya obat generiklah pastinya. Seperti yang diketahui, menurut


Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
HK.02.02/Menkes/068/I/2010tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka obat yang diberikan di
puskesmas, sudah pasti obat generik.

Apakah Obat Generik itu?

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa obat generik adalah versi


kembaranidentik dari suatu jenis obat yang bermerek.

Satu obat dengan merek tertentu, dilindungi oleh sebuah paten. Paten
adalah suatu hak eksklusif , berkaitan dengan hak untuk menjual,
menggunakan, atau membuat, yang diberikan pemerintah kepada penemu
atau pemohon paten selama waktu tertentu. Nah, apabila masa berlaku
paten habis (off patent), perusahaan lain bisa membuat versi tiruan (versi
generik) dari obat bermerek tersebut, tapi dengan nama produk yang
berbeda.
Contoh konkretnya seperti ini. Sebuah pabrik farmasi mendaftarkan
paten obat dengan nama Aspirin yang bahan aktifnya Acetyl Salycilic Acid.
Selama masa paten aspirin berlaku,perusahaan farmasi lain tidak boleh
meniru memproduksi dan menjual produk yang komposisi dan teknik
pembuatannya sama dengan aspirin. Setelah masa paten aspirin berakhir,
perusahaan lain boleh meniru memproduksi obat dengan komposisi dan
teknik pembuatan yang sama, tentunya dengan pengawasan pihak
berwenang karena alasan standarisasi mutu, tapi menjualnya dengan nama
produk yang berbeda, biasanya dengan nama bahan aktifnya. Di pasaran,
banyak ditemukan produk generik dari aspirin, misalnya menggunakan
nama Acetyl Salycilic Acid atau ASA.

Obat generik di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu Obat Generik


Berlogo (OGB) dan obat generik bermerek. Obat generik bermerek adalah
obat generik yang dalam teknis menjualnya obat tersebut punya nama
dagang. Sementara Obat Generik Berlogo (OGB) adalah obat yang tidak
memiliki merek dagang dan menggunakan zat aktifnya sebagai nama produk
dengan logo khusus pada penandaannya.

Di Indonesia, aturan hukum untuk memproduksi obat generik diatur melalui


Keputusan Menteri Kesehatan Nomor05417/A/SK/XII/89 tentang Tata Cara
Pendaftaran Obat Generik Berlogo. Disini dijelaskan bahwa definisi Obat
Generik Berlogo (OGB)adalah obat jadi dengan nama generik yang
diedarkan dengan mencantumkan logo khusus pada penandaannya. Adapun
berdasar ketentuan tersebut, cara dan syarat pendaftaran Obat Generik Berlogo (OGB)
adalah:

1. Hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi yang telah menerapkan


Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), yang dibuktikan dengan
Sertifikat CPOB.
2.  Sertifikat CPOB harus sesuai dengan bentuk sediaan obat generik
berlogo yang didaftarkan.
3. Tata cara pendaftaran obat generik berlogo sama dengan pendaftaran
obat jadi sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM No.
HK.00.05.3.1950 Tahun 2003 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat.

Persamaan dan perbedaan Obat Bermerek dengan Obat


Generik Berlogo (OGB)
Persamaan
Obat bermerek dan obat generik yang menirunya mempunyai
kandungan bahan-bahan aktif, dosis, keamanan, kekuatan, cara prosedural
administrasi perijinan, kualitas, karakteristik kerja dan peruntukan yang
sama.

Seperti yang dikatakan tadi, hak paten atas suatu obat menjadikan
produsen obat memiliki hak monopoli untuk memproduksi dan menjual obat
yang ditemukannya tersebut selama masa paten berlaku. Produsen obat
yang bersangkutan menjual obat yang ditemukannya dengan merek dagang
yang dipilihnya. Oleh hukum, produsen obat lain dilarang menjual jenis obat
yang bahan-bahan dan teknik produksinya sama dengan obat tersebut
sampai masa patennya habis. Apabila masa berlaku paten obat tersebut
berakhir, perusahaan lain boleh  meniru memproduksi dan menjual produk
yang sama dengan obat bermerek tersebut, tapi dengan nama produk yang
berbeda.

Tipe obat yang diproduksi dengan cara meniru obat bermerek yang
patennya habis inilah yang disebut obat generik. Jadi bisa disimpulkan,
karena bahan pembuat dan teknik membuatnya sama, secara substansi,
obat generik dan obat bermerek yang ditirunya adalah sama.
Perbedaan
                Ada beberapa perbedaan obat bermerek dengan obat generik yang
menirunya. Tapi tenang, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi substansi
fungsi dasar dari obat tersebut. Inilah perbedaan tersebut.

Mengapa obat generik lebih murah?


Sudah punya gambaran kan bos, mengapa obat generik lebih murah.
Mari kita lihat secara gambar besar bagaimana proses suatu obat dari
sebuah ide sampai ke tangan kita.

Untuk sampai tahap final sebuah obat dengan merek tertentu


dipasarkan, perusahaan obat harus mengeluarkan investasi yang begitu
banyak. Dimulai dari biaya  penelitian, pengembangan, produksi, ijin paten
merek dagang, pemasaran, iklan, distribusi hingga sampai ke konsumen
akhir.

Makanya, masuk akal, dengan paten yang dimilikinya, perusahaan


obat tersebut memperoleh hak tunggal istimewa untuk menentukan harga
jual dari obat bermerek yang dijualnya selama masa patennya berlaku.
Kondisi demikianlah yang cenderung menyebabkan harga obat bermerek
menjadi mahal. Jangan lupa juga, perusahaan farmasi kan profit oriented
juga.

Berbeda dengan rangkaian proses produksi produsen obat bermerek


diatas, proses yang dilalui produsen obat generik lebih simpel. Produsen
obat generik tidak perlu banyak mengeluarkan investasi penelitian,
pengembangan, pendaftaran paten merek dagang, dan biaya iklan.
Hasilnya, obat generik bisa dipasarkan dengan harga yang sangat murah,
meskipun tetap profit oriented.
Mengapa lebih baik memilih Obat Generik Berlogo (OGB)?
Kita semua tahu ya, bahwa biaya kesehatan makin lama makin mahal.
Padahal kita paham, kesehatan hanya salah satu dari sekian banyak
kebutuhan kita yang semuanya harus dibayar dengan uang. Terlebih kita,
diakui atau tidak, hidup di Negara yang jaminan kesehatan oleh
pemerintahnya masih rendah. Artinya, sebagian besar biaya kesehatan
harus kita bayar pakai uang kita sendiri.

Menurut penelitian di Amerika Serikat, dua pertiga kunjungan ke balai


kesehatan atau dokter, selalu berakhir dengan menebus resep (D.K. Cherry,
D.A. Woodwell, E.A. Rechsteiner dalan National Ambulatory Medical Care
Survey, 2005 Summary). Tentunya hal ini didasarkan bukti bahwa peran
obat sangat signifikan dalam membantu memperbesar harapan hidup dan
memulihkan kondisi pasien.

Memilih Obat Generik Berlogo (OGB) akan sangat meringankan pasien


dan keluarga. Kita tahu bahwa obat adalah salah satu komponen terbesar
yang menyebabkan biaya total perawatan kesembuhan pasien menjadi
tinggi. Menurut kalkulasi, biaya obat yang harus dikeluarkan dalam satu
pengobatan mencapai 30% sampai 35% dari keseluruhan biaya berobat.
Tentunya selain biaya paramedis dan rumah sakit.

Dengan harga yang bisa mencapai ⅓ dari obat bermerek dengan


kualitas dan cara kerja obat yang sama dan diawasi pemerintah, pemilihan
Obat Generik Berlogo (OGB) akan sangat meringankan pasien. Dan akhirnya
akan mengurangi jumlah keseluruhan biaya berobat yang selama ini kita
keluhkan.

Faktor selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah jaminan


kualitas Obat Generik Berlogo (OGB). Di Indonesia, produksi Obat Generik
Berlogo (OGB) telah lolos standarisasi mutu dari pihak yang berwenang. Dari
faktor ini, keamanan akan penggunaan Obat Generik Berlogo (OGB) akan
sangat terjamin sehingga pasien dan keluarga bisa tenang memakainya.

Faktor lain yang menyebabkan pasien lebih baik memilih Obat Generik
Berlogo (OGB) adalah faktor bukti efektifitas Obat Generik Berlogo (OGB)
yang telah teruji. Dari paparan diatas, kita paham bahwa obat generik
adalah versi kembaran obat bermerek yang telah kadaluarsa ijin patennya.
Sebelum obat generik diproduksi, obat bermereknya telah dipasarkan
selama lebih dari sepuluh tahun, selama masa ijin paten.

Selama masa ijin patennya masih aktif, obat bermerek tersebut telah
diuji keamanan dan keefektifannya oleh masyarakat. Apabila selama masa
patennya aktif dan banyak pasien yang cocok, ini membuktikan bahwa obat
tersebut telah lolos uji bagi pasien dalam waktu yang cukup lama. Lebih
kecil resikonya dibanding membeli obat jenis baru yang bermerek. Selain
mahal juga belum mengalami tes ujian pasien cukup lama.

Yang terakhir, sekitar setengah atau lima puluh persen obat yang
diresepkan dokter ada versi generiknya. Tentunya makin tahun akan
bertambah seiring banyaknya obat bermerek yang habis masa patennya.
Jadi para pasien tidak perlu khawatir masalah ketersediaan Obat Generik
Berlogo (OGB).

Pemakaian obat generik di Indonesia dan beberapa Negara lain


Di Indonesia, volume omset penjualan obat generik secara umum
cukup besar. Yaitu sekitar empat puluh persen dari keseluruhan omset
penjualan obat nasional. Namun, disisi lain harus diakui bahwa pangsa
pasarnya masih rendah dan stagnan di angka 10 sampai 11 persen.

Bandingkan dengan Negara-negara lain. Di amerika serikat,


penggunaan obat generik dalam resep dokter mencapai 67 persen. Di
Kanada mencapai 48 persen. Di Australia 30 persen. Dari perbandingan
jumlah pemakaian obat generik tersebut, menjadi pekerjaan rumah bagi kita
untuk terus mengupayakan sosialisasi peningkatan pemakaian Obat
GenerikBerlogo (OGB) agar total biaya berobat bisa agak ditekan.

Mengapa pangsa pasar obat di Negara maju tinggi?

Alasan pertama mengapa angka pemakaian obat generik di Negara


maju tinggi adalah dari segi informasi yang didapat pasien. Tipe pasien di
Negara maju adalah tipe pasien yang well informed.

Tipe pasien seperti ini selalu mempunyai modal informasi yang luas
mengenai sakit dan bagaimana pengobatannya. Mereka juga percaya diri
berkomunikasi dengan dokter dan paramedis lainnya. Dengan kultur
demikian, mereka dengan mudah mengetahui informasi bahwa selain obat
bermerek yang ada di pasaran, mereka mempunyai alternative obat dengan
harga murah yang bisa dibelinya untuk menekan biaya pengobatan suatu
penyakit. Dan bagi well informed patient yang tidak ikut asuransi
kesehatan alias harus membayar biaya pengobatan dengan kocek sendiri,
pemilihan obat generik disana menjadi prioritas untuk menekan tingginya
biaya berobat.

Alasan kedua adalah tenaga paramedis dan apoteker yang terbuka


terhadap pilihan obat generik. Di Amerika Serikat sendiri tidak semua dokter
percaya akan efektifitas obat generik. Dalam sebuah studi disana, hanya 46
persen dokter yang percaya atau agak percaya kalau obat generik itu efektif
dalam pengobatan. Sementara sebanyak 36 persen percaya kalau
“kesalahan terapi pengobatan adalah problem serius disebabkan pemakaian
obat generik”. Fakta ini yang menyebabkan sosialisasi penggunaan obat
generik kepada dokter dan paramedis oleh pihak berwenang dan
berkepentingan dilakukan secara berkesinambungan. Muaranya, banyak
dokter yang terbuka terhadap opsi pemakaian obat generik dalam
pemberian resep.

Alasan selanjutnya dari segi praktek bisnis, baik bisnis asuransi


kesehatan maupun bisnis produksi obat. Dari segi bisnis asuransi kesehatan,
mereka mensosialisikan untuk mendorong pemakaian obat generik bagi para
nasabah. Hal ini supaya biaya klaim asuransi tidak tinggi yang akan
meringankan nasabah dan perusahaan asuransi.

Bagi perusahaan farmasi produsen obat generik, penjualan obat


generik dalam jumlah besar akan menghasilkan keuntungan lebih tinggi.
Dengan logika sederhana, semakin banyak suatu barang dijual, semakin
banyak keuntungan penjualnya. Selanjutnya, tingginya angka penjualan
mendorong perusahaan farmasi untuk menaikkan jumlah produksinya.

Dengan menaikkan jumlah produksinya, keuntungan perusahaan


farmasi bisa semakin besar. Keuntungan didapat dari masa pra produksi
dalam pembelian bahan baku obat. Semakin tinggi volume pembelian bahan
baku obat, semakin murah harga bahan baku yang diperoleh produsen.
Sehingga angka biaya produksi semakin kecil.

 Nah, dalam rangka memperbesar keuntungan atas penjualan obat


generik perlu dicapai peningkatan  volume penjualan obat generik yang
diproduksinya. Untuk itu perusahaan farmasi selain memberi informasi
sebagai sosialisasi ke dokter dan masyarakat, juga memberi insentif kepada
para dokter dan paramedis yang menggunakan obat generiknya serta
memberi sampel gratis buat masyarakat. Ujung-ujungnya, dokter dan
pasien sama-sama tertarik menggunakan obat generik dari perusahaan
tersebut.

Selanjutnya, ketersediaan obat generik. Di Negara maju yang sadar


teknologi dan kesehatan, inisiatif untuk memproduksi dan menyediakan obat
generik menjadi cukup tinggi. Didukung juga oleh kultur masyarakat yang
demandnya akan obat generik cukup tinggi. High demand  leads to high
supply. Jadi disini, karena permintaan masyarakat yang tinggi,
menyebabkan ketersediaan obat juga lebih banyak.

Last but not least, regulasi dari pemerintah. Di Negara maju, fokus
pemerintah terhadap kesehatan masyarakat sangat tinggi. Ditambah
kesadaran masyarakatnya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
dibidang kesehatan, menyebabkan regulasi pemerintah dalam hal obat
generik juga mendukung semua pihak untuk mengoptimalkan ketersediaan
dan pemakaian obat generik.

Mengapa pangsa pasar di Indonesia rendah?

Jawabannya cukup mudah, kali ya. Pertama dari segi pasien. Di


Indonesia, kita ketemukan beberapa tipe pasien. Misalnya tipe pasien yang
melihat fasilitas kesehatan sebagai cerminan status sosial. Seperti contoh
teman saya diatas, bercerita kalau untuk sakit batuk saja harus keluar biaya
tiga ratus ribu, tersirat kebanggaan bahwa harga sejumlah itu pantas untuk
orang dengan status sosial tertentu. Tipe pasien ini sering dijumpai di
paviliun mewah di rumah sakit umum. Sakit flu saja minta bed rest di
paviliun. Kalau biaya rawat inapnya saja mahal, beli Obat Generik Berlogo
(OGB) tentunya juga gengsi. Yang demikian memang akibat timbul dari
mindset kalau Obat Generik Berlogo (OGB) memang obat yang khusus
tercipta bagi orang miskin.

Tipe pasien lain adalah tipe pasien yang kurang mendapat informasi.
Disini dibedakan menjadi dua. Yang pertama pasien dan keluarganya cukup
berpendidikan, mengerti dan terbuka pada efektifitas obat generik, tapi tidak
mendapat informasi bahwa untuk sakit yang dideritanya, ada obat
generiknya. Yang kedua adalah tipe pasien yang pasif terhadap informasi,
apapun obat yang diresepkan oleh dokter mereka tak peduli apakah itu
termasuk obat bermerek atau obat generik. Kedua tipe pasien ini akhirnya
juga abai terhadap pilihan untuk menggunakan Obat Generik Berlogo (OGB).

Kedua, publisitas Obat Generik Berlogo (OGB) yang kurang. Obat


bermerek menghabiskan biaya begitu banyak untuk iklan di berbagai media.
Sehingga tidak heran kalau sakit tertentu, pilihan pasien dan keluarganya
langsung pada obat bermerek yang diiklankan. Masuk akal juga. Psikologi
pasien yang berkeinginan cepat bebas dari sakit akan melakukan segala cara
secara cepat untuk segera sembuh. Dengan informasi yang terbatas yang
diperoleh dari publikasi media, mereka tidak melihat opsi lain yang lebih
murah, akibat informasi obat generik yang kurang.

Ketiga, dari segi cara pandang tenaga paramedis yang agak tertutup
terhadap keefektifan Obat Generik Berlogo (OGB). Sama dengan sebagian
dokter dibelahan bumi lain, sebagian dokter di Indonesia juga memandang
obat generik sebagai obat kelas dua. Tentunya hal ini menyebabkan
peresepan yang melibatkan penggunaan Obat Generik Berlogo (OGB) makin
kecil.

Keempat, ketersediaan beberapa macam Obat Generik Berlogo (OGB)


yang langka. Seperti diketahui, keadaan psikologis pasien dan keluarga yang
merawatnya dalam kondisi lelah dan ingin cepat sembuh. Oleh karena itu
mereka sering mengambil pilihan untuk membeli resep obat secepat dan
semudah mungkin. Dengan ketersediaan Obat Generik Berlogo (OGB) yang
terbatas, mereka lebih memilih obat bermerek yang lebih mahal karena
lebih mudah mendapatkannya.

Kelima, insentif terhadap paramedis oleh perusahaan farmasi


produsen obat bermerek. Beberapa perusahaan farmasi besar yang
memproduksi obat bermerek memberi insentif yang cukup menggiurkan
bagi dokter dan apotek yang mampu menjual obat bermerek mereka.
Dengan biaya marketing dan insentif yang dijanjikan cukup besar, maka
tidak heran jika pilihan Obat Generik Berlogo (OGB) agak dikesampingkan.
Terakhir, regulasi pemerintah. Regulasi pemerintah sangat
menentukan bagaimana Obat Generik Berlogo (OGB) ini bisa semakin
menjadi pilihan utama para pasien di Indonesia. Sayangnya, peraturan yang
menyangkut Obat Generik Berlogo (OGB) masih terbatas.

Bagaimana meningkatkan pemakaian obat generik di Indonesia?

Dengan menjawab kelima permasalahan rendahnya pemakaian obat


generik Indonesia diatas, mungkin sedikit demi sedikit popularitas dan
volume jumlah pemakaian Obat Generik Berlogo (OGB) bisa ditingkatkan.

Mungkin memang benar ya, bahwa knowledge is power. Dalam


aplikasinya disini, bagi pasien yang mengetahui bahwa Obat Generik Berlogo
(OGB) sama efektifnya dengan obat bermerek, tentunya akan beruntung
bisa menekan alokasi biaya untuk obatnya. Tapi kita tidak selalu menemui
pasien jenis ini.

Agar banyak tipe pasien yang sadar penggunaan Obat Generik Berlogo
(OGB), tentunya selain publisitas tentang obat generik yang efektif dan
menjangkau sebanyak mungkin masyarakat, juga upaya pemberian
informasi berkesinambungan pada masyarakat umumya dan pasien
khususnya untuk mengubah mindset bahwa selain obat generik bukan obat
kelas dua dan khusus obat si miskin, Obat Generik Berlogo (OGB) juga
sama cara kerja dan efektifnya dengan obat bermerek yang menggunakan
bahan aktif serupa.

Kedua, sosialisasi dan penataran berkelanjutan pada dokter dan pihak


yang menangani pemberian resep obat pada pasien. Dokter, paramedis dan
pihak yang bertanggung jawab memberi obat pada pasien sangat vital
berperan menentukan obat jenis apa yang diresepkan. Namun, kita tahu
tidak semua dokter dan paramedis percaya akan efektifitas Obat Generik
Berlogo (OGB) ini.

Di Amerika Serikat, menurut laporan L.L. Barrett dalam laporannya


berjudul “Physicians’ Attitudes and Practices Regarding Generik Drugs,
cetakan AARP Knowledge Management tahun 2005, hanya empat dari
sepuluh dokter (42%) yang sangat setuju atau agak setuju bahwa
pemakaian obat generik dalam terapi pengobatan sama efektifnya dengan
pemakaian obat bermerek. Sementara sepertiga dokter (36%) bahwa
mereka sangat setuju atau agak setuju dengan pernyataan bahwa
“kegagalan terapi pengobatan adalah problem yang serius akibat
menggunakan obat generik”.

Bahkan dinegara yang pemakaian obat generiknya termasuk paling


tinggi menurut IMS Health Global Pharmaceutical sales by region tahun
2007, yaitu Amerika Serikat, jumlah dokter yang memandang secara positif
terhadap pemakaian obat generik masih boleh dibilang rendah. Untuk
menanggulangi masalah misconception dan mendorong pemakaian obat
generik, beberapa organisasi kesehatan disana menyelenggarakan upaya
strategi pendidikan pemberian resep.

Salah satu model strategi yang berhasil diterapkan dibanyak Negara


bagian adalah yang disebut academic detailing. Academic detailing pada
dasarnya adalah usaha untuk mendorong pilihan pemberian resep yang
rasional dan efektif dari segi biaya, dengan menggunakan taktik yang sama
yang digunakan produsen obat bermerek.

Perlu diketahui, di Amerika Serikat, perusahaan farmasi yang


menghasilkan obat bermerek mengeluarkan dana sebesar 7 milliar dollar US
dalam rangka memasarkan produk obatnya ke dokter secara langsung.
System direct marketing ini yang ditiru dalam proyek academic detailing
ini.

Para konsultan yang bekerja bagi pemerintah atau perusahaan


asuransi, dalam rangka academic detailing, meniru sales representative
produsen obat bermerek, mengunjungi para dokter dan memberi informasi 
yang didasarkan bukti (evidence based) tentang efektifitas penggunaan
obat generik untuk mendorong pengobatan yang lebih ramah biaya. Dan
meniru strategi secara lebih lanjut, produsen obat generik juga memberi
sampel gratis obat generik yang dikeluarkannya pada pasien.

Mengakhiri solusi permasalahan berkaitan enggannya paramedis


menggunakan obat generik, marilah kita pertimbangkan memberi insentif
pada paramedis yang telah berhasil menggunakan obat generik dalam
jumlah atau masa tertentu. Hal ini terbukti berhasil dalam hal pemakaian
obat bermerek sebagai resep. Produsen obat bermerek selama ini biasanya
memberi bonus dan insentif kepada paramedis yang berhasil menggunakan
produk obat bermerek dalam jumlah tertentu.

Untuk meningkatkan penggunaan obat generik di Indonesia juga perlu


dipikirkan ketersediaan obat generik ini di masyarakat, terutama di apotek
dan rumah sakit swasta. Semakin mudah mencari obat generik, tentunya
pasien lebih terbiasa menggunakan obat generik yang direkomendasikan
dokter dibanding mencari obat serupa tapi yang bermerek.

Memberikan sampel obat generik secara gratis pada pasien juga


mendorong minat masyarakat untuk meningkatkan penggunaan obat
generik. Claude Hopkins berkata, “Cara terbaik untuk menjual sesuatu
adalah memberikan sampel gratis!”. Ketika kita menjual sesuatu yang
dianggap baru, kita akan mendapat resistensi yang tinggi dari subyek yang
kita tawari. Akhirnya tawaran kita mengalami penolakan. Dengan memberi
gratis, resistensi menjadi nol. Tentunya mereka akan menerima dan
kemudian mengenal obat generik. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak
sayang.

Terakhir, upaya yang mendukung naiknya peningkatan pemakaian


obat generik adalah adalah regulasi pemerintah.

Sebetulnya, melihat jumlah pemakaian dan volume penjualan obat


generik di Indonesia, tidak bisa dikatakan bahwa usaha semua pihak untuk
meningkatkan jumlah pemakaian obat generik tersebut gagal. Bahkan perlu
diakui, dalam masa akhir-akhir ini sudah banyak masyarakat yang melek
informasi tentang obat generik ini. Dengan menyadari hal ini, usaha-usaha
yang selama ini sudah berhasil membuat masyarakat menggunakan obat
generik, tinggal ditingkatkan saja.

         Disinilah peran aktif pemerintah perlu digalakkan.Diperlukan regulasi


yang tepat sasaran dan mengakomodasi semua pihak yang berkepentingan
dalam hal obat generik ini. Peraturan yang ada sudah bagus, tapi dengan
regulasi yang lebih mencerminkan dorongan dan semangat untuk
menyediakan layanan kesehatan yang lebih berorientasi efektif biaya dengan
cara meningkatkan penggunaan obat generik secara spesifik, berupa
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari keputusan menteri
atau peraturan menteri, tentunya secara positif bisa mendukung usaha
untuk meningkatkan pemakaian obat generik ini di masyarakat.

1. Kualitas Obat Generik Tidak Kalah


Orang sering mengira bahwa mutu obat generik kurang dibandingkan obat bermerk. Harganya
yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama
berkualitasnya dengan obat bermerk.
Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat generik sama dengan obat bermerk.
Kualitas obat generik tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya
perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM).
Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang disebut:
a. Uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE).
Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan
biologi (BE) dengan obat pembanding inovator.
Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di
pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA.
Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di
pasaran baik obat bermerk maupun obat generik. Namun, pemerintah dalam hal ini BPOM
masih fokus pada pelaksanaan CPOB
Jaminan kualitas obat generik : Wajib BABE
Uji BA/BE menjadi prasyarat registrasi obat yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala
BPOM-RI. Uji BA/BE diperlukan untuk menjaga keamanan dan mutu obat generik. Dengan
demikian, masyarakat terutama klinisi mendapat jaminan obat yang sesuai dengan standar
efikasi, keamanan dan mutu yang dibutuhkan. Studi BE memungkinkan untuk membandingkan
profil pemaparan sistemik (darah) suatu obat yang memiliki bentuk sediaan yang berbeda-beda
(tablet, kapsul, sirup, salep, suppositoria, dan sebagainya), dan diberikan melalui rute
pemberian yang berbeda-beda (oral/mulut, rektal/dubur, transdermal/kulit).

b. Uji Bioavailabilitas/ketersediaan hayati (BA)


Rate (kecepatan zat aktif dari produk obat yang diserap di dalam tubuh ke sistem peredaran
darah) dan extent (besarnya jumlah zat aktif dari produk obat yang dapat masuk ke sistem
peredaran darah), sehingga zat aktif/obat tersedia pada tempat kerjanya untuk menimbulkan
efek terapi/penyembuhan yang diinginkan.
c. Uji Bioekivalensi/kesetaraan biologi (BE)
Tidak adanya perbedaan secara bermakna pada rate dan extent zat aktif dari dua produk obat
yang memiliki kesetaraan farmasetik, misalnya antara tablet A yang merupakan produk obat uji
dan tablet B yang merupakan produk inovator, sehingga menjadi tersedia pada tempat kerja
obat ketika keduanya diberikan dalam dosis zat aktif yang sama dan dalam desain studi yang
tepat.
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes dokter bisa percaya dan berani meresepkan obat generik
asalkan ada uji BA/BE yang hasilnya bagus dan dipublikasikan.
Pada obat bermerek dagang memang dilakukan pemillihan bahan pembantu (bahan tambahan
yang digunakan untuk membentuk produk obat selain zat aktif) yang spesial dan kemasan
produk yang menawan yang menjadikannya terasa istimewa.
Sedangkan pada obat generik dilakukan penekanan biaya produksi untuk penurunan harga
produk. Akan tetapi berkat adanya studi BA dan atau BE, obat generik akan memberikan
jaminan keamanan dan khasiat pengobatan walaupun kemungkinan adanya perbedaan sifat
fisiko kimia zat aktif yang digunakan (bentuk kristal dan ukuran partikel) pada kedua produk
obat tersebut.

Obat paten dan obat generik? Sama atau beda khasiat dan kualitasnya? Mengapa yang satu
harganya murah, dan mengapa yang satu mahal, bahkan bisa 10 kali lipatnya obat generik..
Pertanyaan-pertanyaan ini memang sering ditanyakan masyarakat. Dan dokter sendiri pun
kadang bingung bagaimana menjawabnya. Masyarakat pun memiliki berbagai pendapat yang
berbeda-beda.
Pernah suatu kali saya melihat sendiri seorang pasien yang tidak puas karena diberi oabt generik.
Pasien tersebut kembali ke ruang praktek dan berkata ”Saya minta obat yang bagus”. Dan pernah
pula saya mendengar sendiri keluh kesah pasien yang diberi resep obat paten, kira-kira pasien
tersebut berkata begini ”kan ada yang murah, kok diresepnya pilih yang mahal”.

Pasien mempunyai hak untuk memilih resep generik atau paten, namun sebelum anda meilih,
silahkan dicermati perbedaan keduanya.

Obat Paten : obat jadi dgn nama dagang yg terdaftar atas nama si pembuat (pabrik) atau yg
dikuasakannya, dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik pembuatnya.
Contoh : Amoxan kapsul, Erysanbe Chewable,

Obat generik : obat dgn nama resmi sesuai tercantum dalam farmakope Indonesia untuk zat yg
berkhasiat
Contoh : Amoxicilin, Eritromisin,

Beberapa pertanyaan yang sering muncul dan jawabannya


1. Apakah obat generik mempunyai khasiat yang sama dengan obat paten?
= Ya, obat generik mempunyai khasiat yang sama dengan obat paten. Baik obat generik maupun
obat paten mempunyai kandungan yang sama, dan keduanya mempunyai khasiat yang sama.

2. Apakah mutu obat generik sama dengan obat paten?


= Sebelum menjawab pertanyaan ini saya ingin menegaskan satu hal. Obat Generik adalah obat
yang bermutu tinggi dan telah melalui quality control yang sangat ketat. Obat generic adalah
obat yang berkualitas.

Nah, masalah apakah obat paten lebih bermutu? Ada yang lebih bermutu, ada yang sama saja.
Beberapa obat paten mempunyai teknologi yang mereka kembangkan sendiri dan sudah
dipatenkan yang tidak terdapat pada obat generik. Misalnya saja Eritromisin generik tidak
dikunyah, namun Erisanbe Chewable bisa dikunyah dan bagi beberapa orang cara ini lebih
nyaman dan efektif. Beberapa obat paten juga memiliki teknologi untuk mengurangi bau obat
yang mungkin bisa membual beberapa orang mual. Obat Paten tertentu juga memiliki sistem
“pelepasan berkala” di mana obat akan larut perlahan-lahan, sehingga obat yang sebelumnya
harus diminum 3 kali sehari bisa diminum satu kali saja pada pagi hari dengan tekhnologi
“pelepasan berkala” ini

3. Mengapa harga obat generik lebih murah?


a. Tidak terkena pajak
b. Tidak menganggung biaya promosi
c. Tidak menanggung biaya distribusi (ditanggung oleh pemerintah)
d. Disubsidi, bahkan ada beberapa yang “dijual rugi”

4. Bila Obat generik memang bagus, mengapa dokter lebih sering meresepkan obat paten
= Ada beberapa sebab, mari kita bahas satu-persatu
a. Tidak semua obat sudah keluar versi generiknya : Pemerintah akan memberi kesempatan pada
perusahaan farmasi untuk meraup untung demi menutup biaya riset mereka. Maka itu obat-obat
baru kadang belum ada versi generiknya
b. Obat Generik adalah obat bersubsidi, maka dari itu penggunaan subsidi ini harus disalurkan
pada orang yang tepat pula.
c. Efek placebo : Kadang pasien yang diberi obat generik tidak merasa puas karena pasien
merasa “lebih mahal lebih baik”, atau “Ada rupa ada harga”. Maka itu kadang dokter lebih suka
meresepkan obat paten

Anda mungkin juga menyukai