Anda di halaman 1dari 2

Attached

KALAU ditanya apa yang membuat Aurorra masih bisa bertahan sampai hari ini, mungkin jawabannya adalah
balet. Balet adalah hal pertama yang mengajarkan dia cara mengatur rasa sakit. Cara berjinjit, melompat, dan
berputar di udara dengan cantik. Cara terlihat sempurna, cara berpura-pura bahwa tidak ada yang menyakiti
perasaannya.

“Kenapa balet, Pa?”

Hari ini adalah hari terburuk sepanjang hidupnya. Hari ini, IDT menghubunginya dan bilang bahwa
keanggotaaanya sudah dicabut secara permanen atas permintaan Antonio Wimana.

“Papa udah janji nggak akan ngerebut yang satu ini dari Aurora. Papa tahu ini satu-satunya hal yang
bikin Aurora bahagia.”

Antonio mendengkus. “Kalau kamu belum masuk tiga besar, kamu nggak berhak bahagia.” Pria itu
punya nada sedingin dan setajam es. Dia hanya ingin Aurora pintar. Lebih pintar dari dirinyayang sekarang.
“Jangan main-main kamu, Ra. Kurang beberapa bulan lagi udah Ujian Nasional.”

“Sampai kapan Papa mau kontrol hidup Aurora terus?”

Pria itu tertawa. “Itu urusan saya. Kamu anak saya.”

Pembenaran meracun yang mendasari keluarga mereka membuat Aurora mual. “Jadi Aurora nggak
punya hak atas hidup Aurora sendiri?”

“Selama kamu masih belum becus menggarap soal-soal itu, saya yang ambil keputusan.”

Aurora mengangguk getir. “Jadi nggak ada gunanya...” dia menggumam sendiri. “Ikut Asian
Granprix... bawa pulang emas... buat Papa... nggak ada gunanya sama sekali?”

“Baru sadar kamu?”

Aurora menggeleng, berbalik, melangkahkan satu kaki di depan kaki lainnya, menaiki tangga. Masuk
ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Gadis itu menatap cermin besar berbentuk lingkaran di seberang
dinding. Garis retakan melintang yang membelahnya jadi dua bagian. Aurora sengaja membiarkannya seperti
itu.

Dulu, dia sempat punya harapan, bahwa seegois apa pun ayahnya, Aurora tetap akan memiliki balet
sebagai pelariannya. Sekarang, tidak. Sekarang, ayahnya merenggut seluruh harapan itu hanya untuk beberapa
sesi les tambahan, beberapa sesi persiapan ujian, beberapa jam lain menghadapi soal-soal yang nyaris membuat
Aurora gila.

Cermin itu ada benarnya. Mungkin memang ada sesuatu dalam diri Aurora yang retak.

Anggap Io careless, tapi memang begitulah dia. Cuma butuh satu bohlam di kepalanya untuk
meruntuhkan sebuah sistem. Satu ide random untuk mendasari kunjungannya ke Jakarta. Berhubung kuliahnya
libur dan sepupu favoritnya, Kai, pindah ke Jakarta, Io pikir liburan ke sini akan seru. Tapi ternyata tidak seseru
itu. Alih-alih bertemu Kai, rumah sakit justru jadi tujuan pertama Io begitu sampai di Jakarta.

Kardiomiopati. Jantung lemah.


Pantangan yang selalu dokternya tekankan, jangan sampai kecapekan. Tapi, tentu saja Io
menganggapnya angin lalu. Sulit mengubah kepribadian yang sudah benar-benar melekat padanya, dan itu yang
selalu membuat Kai naik darah.

Berbicara tentang sepupunya itu., Io tidak bisa bilang dia tidak khawatir. Sejak mendengar Kai pindah
ke Jakarta dan masuk sekolah lamanya, Io jadi waswas sendiri. Apalagi setelah kemarin Kai menjemputnya di
rumah sakit dan mempertemukannya dengan laki-laki itu. Laki-laki yang tahun lalu menjadi alasan utama Io
naik pesawat paling pagi ke Jakarta hanya untuk menghadiri sidang rahasianya. Re Dirgantara.

Sebagai salah satu aktivis paling rajin di kampus, Io jelas tidak suka dibungkam. Dan menurutnya,
insiden Re tahun lalu adalah suatu pembungkaman kebenaran. Seorang pembunuh yang mendapat perlindungan
sedemikian rupa hanya karena IQ-nya masuk kategori genius. Bukannya justru lebih miris lagi., kemampuan
otak seperti itu dislahgunakan untuk merancang rencana tawuran? Perbuatan kriminalnya dinetralisasi begitu
saja, dihapus dari catatan polisi dan media, bebas tanpa sanksi apa pun. Sementara sebelas orang cedera parah
dan dua orang lainnya meninggal. Amoral.

Mungkin itu sebabnya Io berniat menjadikan liburannya di Jakarta sedikit bermanfaat dengan
melindungi Kai dari efek samping yang dimiliki SMA Bina Indonesia. Setidaknya itu yang sedang dia pikirkan
sembari menyusuri koridor gedung utama, melihat-lihat sekeliling, setelah mengantarkan Kai berangkat sekolah
tadi. Io menghirup aroma yang diam-diam dia rindukan. Persis ketika seorang gadis keluar dari salah satu
ruangan dan nyaris menabraknya.

Aurora memilin ujung sweater sembari sesekali melirik Bu Nadia yang tenggelam membaca surat
dokternya.

“Check-up rutin, ya?”

Aurora berdeham. “Iya, Bu.”

Bu Nadia menghela napas. “Ya sudah. Tapi, Ra, untuk hal seperti ini kamu bisa lapor ke wali kelas
saja, loh.”

Aurora tersenyum sedikit. “Saya lebih suka bicara otoritas yang lebih tinggi.”

Atau sama otoritas mana pun yang nerima uang Papa lebih banyak.

“Ah... begitu.” Bu Nadia ikut tersenyum. Senyum palsu, tentu saja. “Kalau begitu, silakan. Kamu boleh
izin hari ini. Berikan ini ke ruang guru.”

Aurora mengangguk dan menerima surat dokternya kembali. Sebelum menyalami Bu Nadia dan
bergegas keluar ruangan. Saat itulah dia nyaris menabrak sosok laki-laki tinggi di depan pintu.

Mereka saling bertatapan selama beberapa detik, sebelum si laki-laki menggeser tubuhnya ke
samping,memberi celah untuk Aurora lewati. Aurora segera menyelinap dan

Anda mungkin juga menyukai