Anda di halaman 1dari 2

Mengetuk mikrofon, membuat suasana berubah sunyi. Di belakangnya, ada pak Gum selaku Waka Kesiswaan.

Gadis itu buru-buru mencuri barisan kelasnya, berpisah dengan Ale. Karin dan Saski melambaikan tangan,
menunjuk satu kursi kosong untuk kai.

“Demi apa io temenan sama Ale sekarang ?”

“Bisa heboh, nih, kalau Thalia tahu!” kedua gadis itu tertawa

Setiap kali nama Thalia disebut, jantung Kai serasa diremas. Sudah seminggu berlalu, tapi dia belum
melakukan apa-apa. Gais itu berniat memberi tahu waktu yang tepat, ditambah lagi soa Re—

“Baik, Anak-anak, bisa saya mulai?”

Kai memfokuskan diri pada Bu Nadia. Menyiapkan diri untuk apa pun yang akan dikatakan. Bahkan, kalau itu
akan menyeretnya ke dalam skandal lain lagi.

“Kali ini, Ibu mengumpulkan kalian semua untuk membawa berita duka.” Tapi, kalimat pertama yang
terdengar justru membuat Kai membeku. “Hari ini, telah meninggal dunia sisiwi kelas 12 IPA 3 , Thalia
Prameswari...” Ada gumam terkejut yang melingkupi aula. “...tepatnya pada tanggal 12 Januari 2021 di rumah
sakit...”

Kalimat-kalimat selanjutnya nyaris tidak terdengar di telinga Kai. Otaknya penuh oleh gaung berisik
yang tidak nyata. Pandangannya kosong. Seluruh sarafnya mati rasa. Yang bisa dia rasakan hanya cengkraman
jemari Karin. Seolah tidak percaya. Seolah tidak mengerti. Seolah marah.

“Dia... bohong, kan?” Pertanyaan Saski datang. Seolah sedang menanyakan menu makan siang dan
membicarakan adik kelas. Seolah mereka berempat masih baik-baik saja.

“...saya mewakili dewan sekolah , guru, dan seluruh jajaran staf Bina Indonesia mengucapkan turut
berduka ci—“

Kai berdiri dari duduknya. Aula mendadak hening. Semua menoleh ke arah Kai. Tubuh gadis itu
gemetar. Tenggorokannya sakit. Lidahnya pahit. Tapi, dia memaksa vocal serak itu keluar.

“Ibu nggak akan menyebabkan mengumumkan penyebab kematiannya?” Sebelum ada yang bisa
menghentikan dirinya, Kai meluapkan amarahnya. “Ibu benar-benar nggak akan mengakui kerusakan otak yang
dialami Thalia adalah dampak fatal dari sistem peringkat Bina Indonesia?”

Keheningan otak?” Suara karin pecah di ujung. “Sistem... peringkat?”

Kemudian, begitu saja, teriakan-teriakan marah mulai terdengar memenuhi udara... untuk sekolah
terbaik di Nusantara.

“TENANG SEMUANYA!” Suara Pak Gum menghentikan kericuhan. Murid-murid terlihat berusah
menahan emosi mereka. Thalia adalah gadis kesayangan semua orang. Kehilangan thalia adalah kehilangan
yang berarti.

Bu Nadia berusaha berbicara dengan dengan stabil. “Penyebab kematian adalah privasi keluarga, dan
apa pun penyebabnya, saya bisa nyatakan itu ada di luar tanggung jawab sekolah.”

“Di luar—“ Kai tidak percaya apa yang di dengarnya. “Kita semua belajar mati-matian karena sistem
peringkat, dan ibu bilang ini di luat tanggung jawab sekolah?”

"Kanu tidak punya bukti penyebab kematiaanya adalah keruskan otak, Kalypso Dirgantari, dan sekal pun
itu benar, secara logika sekolah tidak pernah memaksa siswa belajar secara langsung. 8 jam, 12 jam, itu pilihan
kalian sendiri.”
“Secara logika, kita nggak akan akan ngambil pilihan itu kalau nggak ada tekanan!”

Nada Kai menaik. “Sekolah harusnya nggak cuman peduli sama nilai kita. Sekolah harusnya peduli kita terteksn
atau nggak! Sekolah harusnya peduli sama kesehatan mental kit, sama karakter kita! Ibu sadar, yang selama ini
sekolah lakuin adalah mencetak orang-orang ambisius yang bakal ngelakuin apa pun untuk dapet peringkat?
Yang selama ini sekolah lakuin, adalah masang harga di otak kita! Bukannya harusnya sekolah yang
bertanggung jawab mengajar dan mendidik siswa? Jadi, kenapa siswa yang harus bayar lebih kalau nilainya
kurang? Kenapa sekolah yang nuntut uang kalau sebenernya mereka sendiri yang gagal?”

Kai menarik npas tajam. “Kita nggak pernah memilih, Bu. Kita nggak pernah memilih mau punya
kemampuan otak seperti apa. Kita juga nggak pernah memilih mau punya orang tua dengan finansial seperti
apa.”

Kepalan-kepalan tangan mulai mengerat.

Anda mungkin juga menyukai