Anda di halaman 1dari 84

BAB 1.

Tentang Netra

“Ini gimana ngerjainnya sih?”

Kelas itu terlihat sepi. Hanya terdengar suara pensil yang beradu dengan buku
diselingi oleh suara gumaman seseorang. Suara itu dibuat oleh satu-satunya penghuni
kelas yang masih bertahan di dalam ruangan saat jam istirahat pertama berlangsung.
Gadis itu duduk di barisan tengah, sibuk mencoret-coret bukunya lalu sesekali
mengacak rambutnya.

Satu kata yang cocok untuk menggambarkan raut muka gadis itu adalah panik. Ya,
dia terlihat panik. Sesekali dia menggigiti ujung bolpoinnya. Keringat dingin pun
menetes di pelipisnya. Poni di dahinya sudah basah oleh keringat. Kerah leher
seragamnya juga sudah basah. Rasanya dia kegerahan padahal dia hanya sendirian di
dalam kelas.

Suasana sepi di kelas IPA 4 ini sangat kontras dengan kegaduhan di depan kelas.
Pasalnya anak-anak kelas lebih suka menghabiskan waktu istirahat mereka di kantin,
di taman, di lapangan basket atau tempat mana pun selain di dalam kelas. Berada di
dalam kelas lebih lama lagi akan memberikan trauma bagi mereka.

Bukan. Bukan karena dia adalah seorang gadis cupu dan nerd sehingga dia
sendirian di dalam kelas. Gadis itu juga bukanlah tipe murid yang mau menghabiskan
waktu istirahatnya untuk merasakan dinginnya dinding-dinding kelas. Dia tidak
bermaksud untuk mengurung diri dalam kelas. Namun apa daya, ada pekerjaan rumah
yang lupa dia kerjakan. Dia hanya punya waktu sampai jam istirahat ini berakhir
untuk menyelesaikan tugasnya. Hal tersebut membuatnya harus mendekam dalam ruangan
yang pengap berbentuk balok itu. Sementara teman dan sahabatnya sudah membebaskan
diri di luar sana.

“Huahahahaha!”

Suara derai tawa yang bersahut-sahutan itu terdengar memekakkan telinga Netra.
Teman-temannya di luar sana sengaja memecah konsentrasi Netra. Saat mereka tahu
bahwa Netra lupa membuat pekerjaan rumah, bukannya membantu mereka malah
menertawakan Netra sambil mengolok-oloknya.

“Sukurin!”

“Mampus lo. Bu Ratih ngambek lagi nanti.”

Sebagian lain yang tidak menertawakan Netra hanya menggelengkan kepala. Mereka
seolah sudah memaklumi. Bukan hal yang baru ketika mendengar Netra lupa dengan
tugasnya.

“Diam!” Netra tidak tahan lagi. Kalau mereka tidak diam, dia tidak akan
menyelesaikan PR matematikanya. Huh, Netra menyesal karena kemarin malam dia
menghabiskan waktunya dengan bermaraton menonton drama korea sehingga lupa dengan
tugas sekolahnya.

Suara tawa itu makin keras. Netra menggerutu. Dengan jelas dia mendengar
nyanyian yang mereka dendangkan untuk mengejek dirinya.

“Ada yang marah, hoy! Haha.”

Itu suara Pulung, anak kelas sebelah. Bagi Netra, Pulung adalah seseorang yang
menyebalkan, seperti biasa dia selalu menggoda Netra.
“Net, keluar dong. Nggak asik lo!” Pulung berteriak lagi. Dia melongokkan
kepalanya ke dalam kelas untuk mengecek Netra. “Woy, Net. Jenita Janet!”

Netra pura-pura tidak mendengar. Pura-pura tuli ... pura-pura tuli ..., katanya
pada diri sendiri, menyugesti.

Netra kembali memfokuskan diri pada soal matematika di depannya. Memang dasar
kelasnya yang sial karena mempunyai seorang wali kelas yang juga merangkap sebagai
guru matematika yang sangat sinis. Jika ada muridnya yang belum mengerjakan PR,
pasti guru itu akan ngambek, tidak mau mengajar kelasnya lagi selama seminggu!

Soal nomor 4;

Ada berapa cara sebuah team bola voli terbentuk dari 10 siswa yang ada?

Netra membuka-buka buku catatannya. Baru saja dia mau serius pada PR-nya, anak-
anak pengganggu di depan kelasnya berulah lagi. Mereka meneriaki namanya bersamaan.

“Netra! Netra!” Seperti supporter sepak bola.

Netra tidak tahan lagi. Dia menggebrak meja lalu membentak, “Gila kalian
semua!”

Bukannya diam, mereka malah tertawa makin keras.

“Aw ... takut, Netra galak,” seru salah satu dari mereka dengan nada centil.

Netra berdecak sebal. Kalau para perusuh itu masih betah mengganggu, Netra
tidak yakin bisa menyelesaikan tugasnya dengan sisa yang hanya sepuluh menit. Netra
menyerah, dia butuh bantuan. Dia tidak bisa hanya mengandalkan otaknya sendiri
untuk menjawab soal-soal matematika ini. Kemudian Netra beralih pada tas Vino yang
duduk di dekatnya.

“Vin. Pinjem pe er lo ya.” Netra membuka tas Vino. Dia mencari-cari buku Vino
yang bertuliskan tugas matematika.

“Iya.” Netra menjawab pertanyaannya sendiri dengan suara yang diberatkan agar
menyerupai suara Vino.

Netra menyalin tugas Vino. Dia merasa menyesal sendiri karena sudah berpura-
pura menjadi gadis sok mandiri.

Ngapain gue susah-susah ngerjain PR sendiri. Nyontek kan beres, rutuknya dalam
hati.

Setelah berhasil mendapat contekan, Netra tersenyum mengejek dan menjulurkan


lidahnya ke arah kegaduhan teman-temannya.

“Net.”

“Netra.”

“Net.”

“Nat.”

“Nit.”

“Nut.”
“Not.”

Mereka bersahutan memanggil nama Netra. Layaknya katak yang sedang bernyanyi
bersama di sawah. Kung kang kung kong.

Sialan, gue disamain kodok.

Netra membiarkan mereka. Anggap saja menyenangkan orang lain, hitung-hitung


menambah pahala dan mengurangi dosanya yang sudah menggunung.

“Netra!!”

Satu panggilan ini mengagetkan Netra. Suara cempreng nan melengking yang sangat
khas. Tanpa melihat pun, Netra sudah tau siapa yang memanggil namanya. Bebarengan
dengan panggilan itu ada suara derap langkah kaki orang yang berlari menuju bangku
Netra.

“Huuuu ....” Anak-anak anarki yang berderet di depan kelas menyoraki gadis itu.

“Apa sih? Suka-suka aku dong!”

Netra menggeleng-gelengkan kepalanya, memaklumi. Bener-bener suara manja nan


khas milik Ayu.

Ayu mendekati Netra.

“Net!” sapanya. “Eh, lagi ngapain?” Ayu menunjuk buku di atas meja Netra dan
Netra secara bergantian dengan wajah ngeri. Jelaslah ini pemandangan langka. Netra
dan buku-buku tulisnya.

“Ngerjain PR-nya Bu Ratih, Ay.”

“Iyuh.” Ayu menutup buku tugas punya Vino di atas meja Netra. “Nggak penting
banget deh. Mending dengerin cerita Ayu.” Wajah Ayu berbinar-binar. Netra jadi
merinding. Firasatnya mengatakan kalau dia harus segera pergi dari sini.

“Emang lo udah ngerjain, Ay?”

“Udah dong, masa iya seorang Ayu belum ngerjain PR,” jawabnya enteng.

Netra merasa tersindir jadinya. Dia menelan ludahnya. Iya deh yang anak rajin.

Netra membuka kembali buku Vino yang tadi ditutup Ayu.

Ayu merengek, “Netra, dengerin cerita Ayu dulu. Nanti aja nyonteknya.”

Netra mendelik, “Lo pengen gue disunat sama Bu Ratih?”

“Ih, Netra omongannya jorok.” Ayu menepuk tangan Netra dengan keras.

Netra mengelus tangannya yang menjadi korban tangan mulus Ayu. Dia sudah
terbiasa dengan kebiasaan teman dekatnya ini. Dikit-dikit gampar orang. Ringan
tangan sekali Ayu ini. Sadis. Heran juga kenapa cewek seperti Netra bisa bersahabat
dengan spesies macam Ayu.

“Ya udeh, cerite aje, Neng. Gue dengerin tapi sambil nyalin pe er ini.”

Ayu pun mingkem di dekat Netra. Kemudian bibirnya tersenyum lebar. Lebar sekali
hingga mendekati telinganya. Dia duduk di depan meja Netra.

“Coba tebak apa yang barusan aku lihat?”

“Hmm ...?” Netra hanya menjawab pertanyaan Ayu dengan gumaman. Otaknya tidak
bisa diajak ber-multi tasking dengan memikirkan teka-teki dari Ayu sementara dia
sedang sibuk menyalin jawaban.

“Tadi aku lihat Aldi maen basket, keringetan gitu, Net. Ih, keren deh, Net.”

Krik ... krik ... krik ....

Kemudian hening.

Netra melihat kedua tangannya di atas meja lalu kepalanya ditumpukan di


atasnya. Tidur di tempat, grak! Tiba-tiba dia mengantuk. Dia disuruh berhenti
menyalin PR yang urgent hingga digampar oleh Ayu hanya karena Ayu melihat Aldi
bermain basket dan keringetan.

Hellow. Hebat, beruntung sekali kau, Ayu.

Cerita ini lagi.Netra sudah bosan mendengarnya. Kemarin—kalau Netra tidak salah
ingat, Ayu sudah cerita tentang Aldi yang bermain basket. Kemarinnya lagi tentang
Aldi yang bermain gitar. Kemarin lusanya, Aldi pakai kacamata.

Di mana letak spesialnya? Di mana segi beritanya?

Selanjutnya informasi itu akan dilanjutkan dengan pujian Ayu yang berlebihan.
Keren-lah, macho-lah, dewasa-lah.

Selera menyontek Netra langsung menguap seketika. Dia memilih tidur di mejanya.

“Netra, dengerin Ayu napa?” Ayu merajuk pada Netra.

“Gue bosan, Ay. Aldi terus yang dibicarain. Apa bagusnya siih?”

“Netra!” Ayu mencubit pipi Netra, “Buka mata, buka telinga, buka semua panca
indera kamu.” Netra malah menutup mata dan hidungnya. Ayu mencebik kesal.

“Aldi itu sosok pangeran di sekolah ini. Dia sempurna. Dia ketua OSIS, kamu
ingetkan? Kamu satu organisasi sama dia. Aldi pintar olahraga, kaya, keren, juara
paralel, jadi yang pastinya pintar.”

Netra mendengus kesal. Apa maksud Ayu menyebut Aldi pintar sampai dua kali.
Dirinya yang tidak terlalu pintar jadi tersindir karenanya. Netra selalu berubah
menjadi perempuan sensitif jika itu menyangkut Aldi.

“Ayu, nggak ada manusia yang sempurna.”

“Iya, tapi Aldi itu nyaris sempurna.”

Itu ... itu ... itu yang dibenci Netra. Banyak perempuan di sekolahnya yang
mengelu-elukan Aldi. Hanya karena satu alasan yaitu Aldi sempurna. Netra paling
tidak mempercayai ada manusia yang sempurna.

Selain karena teori Netra itu, sebenarnya Netra punya dendam tersendiri pada
Aldi. Hanya dia dan Tuhan yang tahu tentang dendamnya ini. Asal muasal dendamnya
itu tidak lain tidak bukan karena Aldi satu kelas dengan Netra. So what?
Jadi begini ceritanya,

Karena Aldi lah, Netra terlihat sebagai cewek yang paling bodoh di kelas. Guru-
guru selalu membandingkan Netra dengan Aldi. Netra sebagai contoh buruk sementara
Aldi sebagai contoh yang baik yang harus dijadikan panutan.

Ada satu kata-kata mutiara para guru yang sangat melekat di hati Netra.

“Anak-anak contoh Aldi itu, jangan seperti Netra.”

Hmm ....

Pernah suatu hari, Netra lupa membawa tumbuhan sebagai bahan praktikum biologi.
Bu Indri lalu menyuruh Netra untuk mencari teman-temannya yang membawa dobel.
Kebetulan saat itu Aldi membawa dua buah pot. Lalu diberikanlah satu pot tanaman
itu pada Netra. Dengan berat hati, Netra pun menerimanya.

“Netra, kamu contoh Aldi. Dia baik, rajin, dan pintar. Bahkan dengan senang
hati memberi satu pot tanamannya padamu. Tidak seperti kamu, telinga terpasang di
sana tapi tidak dipakai. Lebih baik kamu tinggal saja di rumah.”

Netra hanya bisa meringis mendengar sindiran gurunya. Tidak akan seperti ini
jika bukan Aldi yang meminjaminya bahan praktikum.

Beberapa anak cowok menertawakan Netra sedangkan anak-anak perempuan iri karena
Aldi memberikan tanamannya pada Netra.

Idih, memangnya gue sengaja lupa? Kalau kalian mau sih, gue bakal kasih tanaman
ini sepupuk-pupuknya!

Netra tahu seharusnya dia berterima kasih pada Aldi. Tapi apa boleh buat, dia
malah dibuat makin sebal. Mana ada yang suka dibanding-bandingkan, sih?

***

Assalamualaikum, wr, wb
Alhamdulillah. Saya comeback dengan cerita baru! :relaxed:
Masih fresh from the oven. Masih anget. Semoga kalian suka dan jangan lupa
tinggalkan komentar di cerita ini.
Psst, jangan lupa klik love-nya :heartbeat: :heartbeat:
Salam sayang,
nanoniken
BAB 2. Aldi Fever

Kantin ... kantin ... dan kantin.


Suatu sekolah itu memang tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya kantin.
Tempat ini adalah salah satu tempat tongkrongan terfavorit di sekolahan setelah
kamar mandi. Tak menutup kemungkinan juga jika ada siswa yang bela-belain rajin ke
sekolah hanya untuk nongkrong di kantin. Aroma berbagai macam makanan, kesibukan
pedagangnya dan keruwetan para siswa yang berjejalan menjadi daya tarik tersendiri.
Bahkan lihat saja, para alumni kalau datang ke sekolah lamanya, pasti ujung-
ujungnya ke kantin juga.
Netra sedikit tidak setuju dengan pendapat tersebut. Netra termasuk dalam salah
satu siswa yang tidak suka ke kantin. Menurut Netra, kantin hanya sebuah sarana
yang membuat kantongnya jebol karena dia termasuk cewek yang suka mengemil.
Daripada menjadi tidak terkendali oleh jajanan yang dijajakan di sana, Netra lebih
memilih untuk nongkrong di depan kelas sambil kongkow-kongkow bersama anak-anak
kelasnya. Kalau dia sedang beruntung, ada temannya yang bisa dimintai makanan. Dia
penyuka makanan gratis. Secara teman-temannya kan baik. Mereka suka memberi jadi
cocok dengan Netra yang suka meminta.
Siang ini berbeda. Netra merasa perutnya sangat lapar seolah dia baru berpuasa
23 jam lamanya padahal baru dua jam tadi dia menghabiskan sandwich yang dibawa Ayu.
Oleh karena itu, setelah bel istirahat kedua berbunyi, dia langsung melesat ke
kantin dan memesan sepiring siomay kesukaannya. Salah satu makanan yang top di
kantin sekolah Netra. Rasanya mak nyuss, saus kacangnya luber di mulut kayak es
krim; potongan siomay, tahu, telur, kentang dan kubisnya pun disajikan dalam porsi
besar yang tidak pelit.
Siomay-nya datang bersamaan dengan kedatangan ketiga temannya— Ayu, Merlin dan
Indah. Mereka menyerbu di meja Netra.
“Halo, Tante-tante. Eh, Merlin ... lo kenapa?” sapa Netra.
Merlin memang memasang raut cemberut ketika duduk di samping Netra.
“Gue ditolak Aldi,” akunya.
Uhuk. Belum juga berhasil menelan siomaynya, Netra sudah keselek. Pertanda
buruk nih, batinnya.
Dia tidak salah dengar kan? Netra menajamkan kupingnya. Kali aja ada siomay
yang nyungsep ke kupingnya jadi pendengarannya kurang jelas.
“Haha ... muka lo gitu amat.” Indah menepuk pipi Netra.
“Maksudnya nolak? Lo nembak Aldi?”
Beberapa pasang mata menoleh pada Netra. Ternyata suara yang dikeluarkan Netra
barusan sedikit keras sehingga terdengar oleh siswa lain. Jadilah Netra digampar
Ayu.
“Nggak usah di-loadspeaker juga mulut kamu, Net!”
“Sorry.” Netra mengelus pipinya yang kena gamparan Ayu lalu dia mengulang
pertanyaannya pada Merlin, “Lo nembak Aldi?”
Merlin mengangguk, malu.
Netra membulatkan matanya tidak percaya. Dia mengunyah siomaynya lalu
menelannya dengan susah payah. Apa temannya satu ini sudah tidak waras? Iya, Netra
tahu ini zaman emansipasi wanita. Tapi menembak seorang cowok? Emm ... Netra kok
tidak setuju dengan ide itu ya. Di mana-mana itu sperma yang mengejar-ngejar sel
telur. Belum pernah dia mendengar cerita sel telurnya yang mendatangi sperma.
Netra menggelengkan kepalanya. Zaman memang serba terbalik. Ini yang dinamakan
kaki di kepala, kepala di kaki. Otak pun yang awalnya di kepala jadi pindah ke
dengkul.
“Tadi pas istirahat jam pertama. Gue bilang kalau gue fans beratnya. Terus gue
tanya boleh nggak, gue jadi pacarnya. Eh, dianya nggak mau.” Merlin menutup mukanya
dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
Netra mencibir, “Ih, dasar elo aja yang goblok.” Netra berbicara enteng seraya
menelan kunyahan siomaynya.
Ketiga teman Netra tidak menanggapi ucapan Netra sehingga dia keki sendiri.
“Aldi ngomong gimana, Mer? Pas hmm ..., nolak lo?” tanya Ayu.
Merlin berdeham-deham, “Sorry, Mer. Ada cewek yang gue suka. Sorry banget ya.”
“Iyuuuh ... keren!” sahut Ayu dan Indah bersamaan.
Netra mendengus sebal. Konyol. Ditolak kok keren. Dari sudut mana kerennya
coba?
“Iya kan? Gue jadi tambah nge-fans. Walaupun dia nolak gue, tapi nolaknya so
sweet.”
Heh, dari mana sisi so sweet-nya? Netra menggeleng-gelengkan kepala.
Menurutnya, yang namanya so sweet itu kalau Aldi menerima pernyataan cinta Merlin.
Lalu mereka berpacaran dan hidup berbahagia seperti cerita dongeng.
Dasar buta, tuli, dan dungu!
“Ya ampun pangeranku. Kenapa ada lelaki sesempurna elo, sih?” Indah meracau.
Ketiga teman Netra ini langsung terdiam, larut dalam khayalannya masing-masing.
Khayalan tentang pangeran yang turun dari kuda putih sambil membawa pedang panjang.
Kalau berjalan prok prok prok.
Netra memutar matanya bosan. Rasanya dia salah pergaulan. Kenapa dia bisa
terjebak di tengah-tengah para penyidap Aldi fever.
Bosan. Bosan. Netra Bosan. Tadi pagi Ayu cerita tentang Aldi, sekarang Merlin
pun demikian. Temannya itu bercerita tentang Aldi juga. Makin sebal rasanya Netra
pada Aldi. Netra jadi tidak berselera pada siomaynya lagi.
Ya iyalah, secara siomay di piringnya sudah dia habiskan.
Netra mencibir, “Apaan sih kalian, Aldi terus yang dibicarakan. Apa bagusnya
sih dia?”
“Buka mata, buka hati dan buka telinga deh, Net.” Ayu mencubiti pipi Netra
gemas. Dasar Netra yang suka cari gara-gara, dia malah menutup mata lalu
telinganya.
“Nyolot lo, Net. Orang yang nggak suka sama Aldi mending diem, nggak usah
protes!” lanjut Indah.
Bertepatan dengan berakhirnya kalimat Indah, Aldi datang mendekati Netra. Entah
dia datang dari arah mana sehingga hawa manusianya tidak terdeteksi oleh mereka.
Jantung Netra, Ayu, Merlin, dan Indah langsung dag dig dug duer.
Trio Aldi fever menjadi deg-degan karena pangeran pujaannya ada di jarak kurang
dari satu meter dari mereka. Sedangkan Netra deg-degan karena khawatir Aldi
mendengar pembicaraan mereka. Bagaimana pun Netra tidak ingin Aldi memergoki Netra
sedang membicarakannya. Ih, Netra jadi bergidik ngeri membayangkan apa yang akan
Aldi pikirkan.
Aldi berhenti tepat di samping Netra. Dengan takut-takut, Netra mengangkat
kepalanya untuk menatap wajah Aldi.
“Net, nanti ada rapat OSIS sepulang sekolah,” kata Aldi. Ternyata Aldi
mendatanginya secara langsung untuk memberikan informasi itu.
Lalu pria itu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Netra. Ih, sombongnya,
gerutu Netra dalam hati.
Ketiga temannya menghembuskan napas panjang. Nampaknya ketiganya tadi tengah
menahan napas ketika Aldi datang.
“Uh ... suaranya bikin meleleh.”
Netra menggerutu. Dia meraih minuman kalengnya lalu meremas kaleng itu saking
sebalnya. Namun, sayang sekali. Kaleng yang diremas dengan penuh tenaga itu tetap
utuh. Kalau saat ini Netra ada di dunia komik pastilah kaleng tersebut sudah hancur
menjadi dua dan isinya muncrat ke muka ketiga temannya.
Belum reda emosi Netra, ponselnya bergetar. Ada pesan yang masuk, Netra
membukanya.
Aldi : Oya, kasih tau ke anggota lain kalau nanti ada rapat OSIS.
Netra menggeram kesal.
Ketua OSIS kurang kerjaan. Ngapain dia harus nyamperin gue ke kantin kalau
akhirnya SMS juga. Mau nampang di depan fans-nya, hah? Biar dibilang bijaksana,
cool, dan mempesona? Dasar tukang tebar pesona!
****
Sementara itu di ujung sana, Aldi tengah terkekeh. Dia membayangkan wajah Netra
yang pucat ketika dia datangi. Sebelum itu, Aldi sebenarnya hanya mau membeli
minuman ke kantin. Tapi, telinganya tanpa sengaja mendengar pembicaraan beberapa
cewek yang berkumpul di meja kantin.
“Apaan sih kalian, Aldi terus yang dibicarakan. Apa bagusnya sih dia?”
Dia mengenali siapa pemilik suara itu. Netra. Seorang gadis yang sekelas
dengannya dan kebetulan satu organisasi dengannya di sekolah. Sejak satu kelas
dengannya, gadis itu selalu menatap sinis pada Aldi. Padahal Aldi merasa dia tidak
pernah mengusik kehidupan Netra di sekolahan. Dari dulu dia selalu berusaha berbuat
baik pada Netra sebagaimana seharusnya sikap seorang ketua OSIS. Dia sering
menolongnya di kelas, namun di setiap pertolongannya dia tidak pernah mendapatkan
ucapan terima kasih dari bibir merah gadis itu.
Karena namanya disebut, dia pun berhenti sebentar. Dia mengurungkan niat untuk
membeli minuman hanya untuk mencuri dengar lebih lanjut. Aldi tertarik dengan apa
yang Netra bicarakan tentangnya.
Di sana, Netra sedang bersama dengan teman satu geng-nya. Entahlah mereka bisa
disebut geng atau tidak. Setahu Aldi, keempat cewek itu sering menghabiskan waktu
bersama di sekolah. Dari ketiga teman Netra itu, perhatian Aldi tertuju pada Merlin
yang duduk bersama Netra. Tadi pagi gadis itu mengajaknya bicara berdua untuk
menyatakan perasaannya. Dia menawarkan diri untuk menjadi pacarnya.
Sebenarnya Aldi sudah mau menerima Merlin. Aldi bukan tipe yang terlalu pemilih
dalam urusan pacar. Kalau ada yang meminta untuk menjadi pacarnya, ya jalani saja.
Tapi ini Merlin, Aldi ingat kalau gadis ini adalah salah satu teman Netra. Aldi
tidak mau berurusan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Netra. Jadi Aldi
menolak Merlin dengan sopan.
Mungkin saat ini Netra dan teman-temannya sedang membicarakan kejadian pagi
tadi.
Begitu mendengar secara langsung bahwa seorang Netra pun juga bisa membicarakan
dirinya, timbul ide jahil dari diri Aldi. Dia menghampiri Netra ke mejanya.
Keempat gadis yang sebelumnya berisik ini langsung menutup mulut mereka rapat-
rapat. Aldi harus bersusah payah menahan tawanya saat melihat wajah pucat Netra.
Gadis itu mendongakkan kepalanya.
“Net, nanti ada rapat OSIS sepulang sekolah.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Aldi berbalik keluar dari kantin. Di luar
kantin, dia tak kuasa menahan tawa karena ulahnya sendiri.
Kejahilannya tidak berhenti sampai di situ saja. Dia mengambil ponsel di saku
kemejanya lalu mengirimi pesan pada Netra. Puas rasanya karena sudah mengerjai
gadis sinis itu.
“Ngapain lo nempel di tembok sambil megangin perut?” Suara Genta mengagetkan
Aldi.
Aldi berdiri dengan tegap lagi. Dia harus menunjukkan sikap seorang ketua OSIS
yang berwibawa di sekolahan ini. Dia tidak mau dipergoki sedang melakukan hal
konyol seperti mengerjai seorang cewek.
“Nggak apa-apa, Bang.” Aldi menepuk pundak Genta.
Genta mengangguk-angguk tanpa curiga.
“Nanti sepulang sekolah ada rapat OSIS, Bang,” katanya pada kakak kelasnya itu.

Genta mengangguk lagi, “Oke. Barusan gue juga udah dikasih tahu Netra lewat
Line.”
Gerak cepat juga si Netra, batin Aldi.
“Gue mau ke kantin. Lo ikut nggak?” tanya Genta.
“Nggak deh, gue habis dari sana.”
“Beli apa?” tanya Genta ketika melihat Aldi tidak membawa apa-apa di tangannya.

“Permen,” jawab Aldi lalu dia berbalik meninggalkan Genta supaya lelaki itu
tidak menanyainya lebih lanjut lagi.
Sebenarnya Aldi ingin ikut Genta ke kantin lagi. Dia tadi belum jadi beli
minuman. Apalagi kalau bukan karena mengerjai Netra. Tapi kalau dia masuk ke dalam
kantin lagi, dia takut tidak bisa menahan tawanya ketika melihat wajah Netra.
****

Bersambung ~

Semoga kalian suka ^^


Ditunggu comment-nya. Yukkk :kissing_heart:

BAB 3. Si Abang yang Paling Ganteng Seantero Rumah

“Assalamualaikum,” Netra mengucapkan salam ketika memasuki rumah.

Netra menguap selebar-lebarnya setelah dia mengucap salam. Sejak dia mengikuti
rapat OSIS dia sudah menahan-nahan untuk tidak menguap. Rapat OSIS barusan dia
ikuti dengan terkantuk-kantuk. Maklum, guru yang mengajar di pelajaran terakhirnya
tadi adalah Bu Siska yang terkenal bersuara pelan dan mendayu-dayu seolah dia
sedang menceritakan dongeng sebelum tidur. Efeknya langsung berpengaruh ketika
rapat tengah berlangsung.
Rapat kali ini adalah rapat untuk menentukan panitia pentas seni yang akan
diselenggarakan sekolah mereka empat bulan ke depan. Netra masuk ke dalam panitia
pensi tersebut sebagai wakasie 4—Wakil Ketua Seksi 4 karena Netra termasuk anggota
OSIS.

Netra masuk ke dalam kepengurusan OSIS sejak kelas dua. Baru dua bulan juga dia
menjalani tugasnya sebagai anggota OSIS. Dulunya Netra sangat excited karena
dirinya yang ber-IQ jongkok—malah hampir melata, dan juga bisa masuk ke program IPA
karena berbekal hoki ini bisa menjadi pengurus OSIS. Namun setelah mengetahui bahwa
dirinya ada di bawah pimpinan Aldi, rasa excited-nya sedikit demi sedikit terkikis.

Mulanya sikap Netra biasa saja kepada Aldi. Lha wong pas kelas satu mereka
tidak saling kenal karena tidak sekelas. Baru ketika Aldi menjadi idola banyak
cewek, Netra menjadi kurang respect pada Aldi. Untunglah, selama ini Netra masih
bisa membedakan mana urusan pribadi dengan kepanitiaan. Netra mau mengesampingkan
perasaan tidak sukanya, dia masih mau melaksanakan apa yang menjadi tugasnya, hanya
saja dia tidak mau berhubungan lebih dekat dengan Aldi. Setiap kali Aldi berada di
dekatnya, akan ada alarm tanda peringatan untuk Netra.

Awas, ada cowok jaim di dekat lo. Menjauhlah.

Setiap kali dia berada di dekat Aldi, dia selalu memberi pandangan ‘senggol
bacok’ sehingga Aldi pun enggan berurusan dengan Netra.

Hoahm. Netra selonjoran di karpet ruang keluarga. Belum lepas sepatu, belum
lepas kaos kaki, belum ganti baju dan masih bau matahari.

“Ngantuk.” Netra menguap lagi. Tangannya diangkat ke atas untuk merenggangkan


ototnya. Lalu bersamaan dengan itu, Netra merasakan sesuatu di telapak tangannya.
Netra menurunkan tangannya untuk melihat sesuatu itu.

Hah, duit? Rejeki dari mana nih?

“Beliin gue obat sakit kepala, gih.” Satrio—abangnya—muncul di sampingnya.


Ternyata uang tadi dari Satrio.

“Ih, baru pulang sekolah bukannya disambut malah disuruh-suruh. Capek!” Netra
mengembalikan uang itu pada Satrio.

“Kok ih? Manja ah, minta disambut. Abang lo yang paling cakep seantero penjuru
rumah ini lagi pusing. Nggak kasian lo?” Satrio tidak menyerah. Dia menaruh uang
itu di atas kepala Netra. Netra mengambilnya lalu sekali lagi mengembalikannya.

“Capek tau. Siapa suruh pake acara pusing segala. Padahal mikirin negara juga
enggak, mikirin kuliah, ih, tambah nggak mungkin. Paling juga cuman mikirin
pengagum rahasia lo yang rese itu kan?” gerutu Netra panjang lebar.

“Nggak usah cerewet. Lagi sakit kepala masih juga harus dengerin lo nyinyir
mulu. Udah, beli sana. Cuma di warung depan situ aja!” Satrio mengacak-acak rambut
Netra.

Kya! Netra berteriak. Dia paling benci kalau ada yang menyentuh rambutnya.
Tangan-tangan itu belum tentu bersih, entah apa yang mereka pegang sebelumnya.
Dengan terpaksa, dia berlari keluar untuk membelikan obat sakit kepala sekalian
membeli suplemen penambah tenaga buat dirinya sendiri. Hyaaa, tidak mungkin lah
Netra beli suplemen seperti itu. Maksudnya penambah tenaga itu, camilan-camilan
yang manis dan cokelat.

Setelahnya selesai melaksanakan perintah, Netra pulang ke rumahnya dengan hati


dongkol. Mbak-mbak penjaga warung tadi rese banget. Dia sibuk sama handphonenya
ketika Netra memanggil-manggilnya.

“Mbak,beli obat sakit kepala satu.”

“Oya, Mbak,” sahutnya sambil mengotak-atik handphonenya.

Tik ... tok ... tik ... tok ....

Lama sekali.

“Tadi obat apa, Mbak?” tanyanya lagi dengan mata yang tidak lepas dari layar
handphone.

“Obat sakit kepala,” jawab Netra penuh kesabaran.

“Oh, sakit kepala ya.” Mbaknya baru meletakkan handphonenya sebentar lalu
mencari obat. Akhirnya ....

Ih, kalau Netra yang jadi pemilik warung itu, bakal Netra pecat sekarang juga.
Nggak profesional banget kerjanya. Netra tidak jadi membeli camilan, takutnya malah
makin lama.

Satrio sudah siap dengan air minumnya ketika Netra melempar obat yang
dibelinya. Satrio mengambil satu tablet lalu menelannya bersamaan dengan air minum.

“Mmmmh.” Satrio sedikit mengerang, kemudian dia bersandar di sofa sambil


memejamkan mata.

Netra mengernyit, memperhatikan sikap Satrio yang mirip orang sakaw. Sepertinya
Satrio memang benar-benar sedang sakit. Netra menjatuhkan dirinya di sofa, di dekat
Satrio. Netra mendengar dengusan dari Satrio.

“Bau,” ucap Satrio lirih.

“Wangi,” sahut Netra. Dia ikut memejamkan mata. Dia mengantuk, tertular oleh
Satrio.

Rumahnya sangat sepi sore ini. Ayahnya sedang pergi ke luar negeri sedangkan
ibunya ke luar kota. Kalau saja Satrio tidak sedang sakit, pasti dia juga lebih
memilih untuk pergi bersama teman band-nya. Walhasil, Netra akan sendirian di
rumah.

Dulu, ibunya tidak sesibuk sekarang. Namun, setelah beliau memutuskan untuk
membuka butik, ibu Netra jadi lebih sibuk. Apalagi gaun pengantin rancangan ibu
Netra banyak diminati orang-orang. Oleh karena itu, ibu Netra juga mengembangkan
usahanya ke luar kota.

“Nanti malam Mama pulang,” kata Satrio. Netra tidak kaget kenapa abangnya bisa
tahu apa yang ada di pikiran Netra saat ini. Karena sejak kecil, Satrio-lah yang
menjaga Netra jika kedua orang tuanya sibuk bekerja. Jadi Satrio sudah hapal
kebiasaan Netra. Kalau Netra diam saja di dekat Satrio, pastilah dia sedang
memikirkan kedua orang tua mereka.

“Gue nggak lagi mikirin Mama, kok.” Dan Netra akan selalu mengelak. Hal itu
malah semakin menyakinkan Satrio kalau adik semata wayangnya itu sedang kangen
dengan kasih sayang orang tuanya.

“Kalau kangen bilang, biar Abang peluk, sini. Dalam darah Abang kan juga
mengalir darah mereka.” Satrio mendekatkan diri pada Netra.

Netra mendorong Satrio menjauh. “Males. Ntar yang ada sakit kepalanya nular ke
gue.”

Satrio tidak menanggapi kata-kata adiknya yang gila itu. Mana ada sakit kepala
yang nular?

“Lo pulang telat, dari mana aja?”

Pertanyaan Satrio mengembalian ke-bete-an Netra yang awalnya sudah hampir


menguap. Kini kepalanya mendidih kembali.

“Rapat OSIS,” sahut Netra singkat.

“Rapat apaan?” tanya Satrio.

“Buat pembagian tugas panitia pentas seni sekolah, Bang.”

“Oh ..., bentar lagi sekolah ngadain pensi ya? Dapet tugas jadi apa lo, Net?”

“Wakasie 4, di bawahnya si Genta. Seksi acara, seksi ribet, yah badan gue seksi
sih,” jawab Netra sedikit melantur.

“Orang luar boleh masuk nggak?”

“Kayaknya tertutup buat orang dalem aja deh. Tapi alumni boleh masuk lah. Nggak
tau deng, gue sih nurut apa kata ketua OSIS aja deh.”

Jawaban Netra malah membuat Satrio tertawa terbahak-bahak, “Lo masih sebel sama
Aldi itu, ya?”

Abang Netra ini juga alumni sekolah Netra. Dulunya ketika Netra disuruh memilih
melanjutkan sekolahnya, dia tidak mau repot dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti
abangnya untuk sekolah di SMA yang sama. Walaupun Netra tahu hal itu akan
menimbulkan sedikit resiko. Netra akan lebih dikenal sebagai ‘adik Satrio’ daripada
‘Netra Vanyasita’. Terlebih lagi Satrio termasuk salah satu cowok idola semasa SMA
dulu, temannya banyak, masuk geng ini, geng itu, dan juga salah satu pengurus OSIS.
Netra awalnya takut teman-temannya jadi sungkan dekat dengannya. Tapi, peduli gila!

Itung-itung numpang eksis aja, pikir Netra.

“Habis orangnya sok sempurna banget sih.”

“Dia emang gitu sih orangnya.” Satrio menjawab dengan datar. Berkecimpung di
satu organisasi yang sama membuat Satrio mengenal dekat sosok Aldi.

Netra berdecak sambil mengulang kalimat Satrio dengan suara yang dibuat-buat,
“Dia emang gitu sih orangnya.”

“Hmm ..., gimana, ya? Soalnya lo kan selalu mengelu-elukan abang lo yang
ganteng, pintar, rajin, suka menabung, suka menolong dan rajin beribadah ini. Jadi
begitu ada sosok idola baru di sekolah, lo jadi cemburu alias nggak rela alias iri.
Tenang, Adikku. Abangmu ini rela kok kalau harus turun tahta dan digantikan oleh
Aldi. Tapi tetap karisma seorang Satrio tidak akan luntur dan lekang oleh waktu.”
Satrio mulai meracau.

Netra mencibir namun tersenyum geli, “Udah ngomongnya? Bawel amat sih, kalah
deh mulut cewek sama mulut bawel lo itu, Bang.”

Walaupun begitu, dalam hati Netra menyetujui kalimat Satrio. Memang, kalau Aldi
dibandingkan dengan Satrio, jelas lebih bagusan Satrio kemana-mana lah. Satrio easy
going, mudah bergaul, dan suka menolong. Nggak seperti Aldi yang sok berwibawa,
misterius dan kelewat jaim.

Netra menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menghilangkan pikirannya barusan.


Nggak worth it banget membanding-bandingkan Aldi dengan abangnya. Buang-buang
waktu.

“Ah susah sih, abisnya lo kan brother complex stadium parah,” ejek Satrio
sambil memijat pelipisnya.

Netra yang tidak terima disebut brother complex melontarkan perlawanan, “Eh,
elo tuh yang sister complex. Nyatanya lo belum punya pacar sampai sekarang. Pergi
kemana-mana masih ngajakin gue.”

“Lo juga sama aja, nggak punya pacar.” Satrio membalik kata-kata Netra. Mau
tidak mau Netra mengunci mulutnya. Malah sebuah pemikiran terlintas di benaknya.

Masa iya, dia dan Satrio brother and sister complex sih? Dia bergidik ngeri.
Selama ini mereka sering jalan-jalan berdua. Bukannya mereka belum pernah menjalin
hubungan dengan orang lain. Hanya saja kalau berpacaran tidak pernah bertahan lama.
Akhirnya jomblo lagi.

Netra menelan ludahnya dengan susah payah. Sebuah tangan mendarat di kepala
Netra lalu serta merta mengacak rambut Netra.

“Ih, jangan acak-acak rambut juga sih!”

“Muka lo jelek kalau lagi mikir. Makanya lo jangan pikir yang macem-macem.
Ganti baju sana!”

Netra baru saja mau menolak. Dia masih ingin bersantai-santai dulu dengan
Satrio. Beradu komentar dan saling mencela. Namun Satrio mengambil tas Netra lalu
melemparnya ke bawah dengan tidak punya perasaan. Netra mencak-mencak nggak
mengerti dengan sikap kasar Satrio.

“Rese lo, Sat! Kok tas gue dibuang-buang sih? Kalau ada yang pecah gimana?”
Netra mengambil tas lalu memeriksa isinya.

“Emangnya lo ke sekolah bawa barang pecah belah semacem piring sama gelas?”
tanya Satrio tanpa dosa.

“Maksud gue hape, dodol!” Netra meninggalkan Satrio sambil menenteng tasnya
dengan sebal.

****
Bersambung ~

Saya sedikit bingung nih, kalau Netra manggil Satrio masa' Bang ... ehm ... Sat
Hahaha
Jadi saya putuskan Satrio aja atau Bang aja hehe
Selamat membaca. Semoga suka dengan part ini :heartbeat: :heartbeat:
Salam sayang,

nanoniken
BAB 4. Tragedi Netra dan Bola
Wajah Netra memucat. Dia membawa bola basket dengan keringat dingin yang terus
mengucur. Tangannya membawa bola dengan gemetaran, kakinya bergerak-gerak ingin
kabur dan giginya sibuk menggigiti bibir merahnya. Setiap dia melangkahkan kaki ke
depan, tidak lupa dia menelan ludahnya, gugup. Itu artinya gilirannya makin dekat.

Ivo baru saja selesai menembakkan bola ke ring basket. Dan masuk! O ... ow ...
Netra harus melangkahkan kaki lagi. Belum apa-apa badannya sudah panas dingin. Ini
dia salah satu lagi kelemahan Netra di antara begitu banyak kelemahan yang dia
punya. Netra tidak pandai berolahraga berat semacam basket, voli, sepak bola, dan
bola kasti. Karena kenyataannya adalah Netra takut pada bola! Mau tidak mau Netra
harus mengakui kekonyolannya. Tapi bagaimana lagi? Bagaimana dia bisa bermain bola
jika setiap kali dia diberi operan bola, Netra malah menghindar untuk kabur. Kocar-
kacir, bersembunyi di belakang badan temannya dan berteriak histeris.

Setelah Ivo, kini Fera sudah selesai menembak. Netra maju satu langkah lagi. Dia
lalu menghitung ada berapa orang lagi di depannya. Satu ... dua ... Buset! Netra
kaget sendiri begitu menyadari dia ada di urutan ketiga. Netra menghadap ke
belakang.

“Lo duluan aja deh, Sar. Gue rela kok lo langkahin.”

Di belakangnya, Sarah hanya cengar-cengir nggak jelas.

"Nggak mau ah, Net. Gue bukan kucing yang suka nglangkahin orang. Terimalah
kenyataan.”

Netra melihat wajah-wajah setan di muka teman-temannya. Mereka semua memandang


Netra dengan dua tanduk di kepala. Sialan. Kalau memang benar dugaan Netra, mereka
pasti sedang menunggu giliran Netra untuk menembak.

“Netra.”

Deg.

Netra melonjak kaget ketika guru olahraga memanggil namanya. Dia berbalik lalu
meringis dengan wajah menyedihkan. Sudah tidak ada orang lain lagi yang berdiri di
depannya. Matilah gue, rutuk Netra dalam hati.

“Ayo lempar bolanya!” Pak Sogi terpaksa membentak Netra karena anak itu diam saja
ketika gilirannya menembakkan bola.

Pak Sogi tidak tahu saja kalau saat ini Netra merasakan dia akan kencing di
celananya.

“Kalau besok aja gimana, Pak?” Netra mencoba bernegosiasi dengan guru olahraga
yang terkenal galak itu.

Pak Sogi memberi hadiah sebuah pelototan pada Netra. Sementara Netra mengangkat
jari telunjuk dan jari tengahnya untuk membentuk huruf V.

“Iya, Pak. Peace, Pak. Saya cuma bercanda. Bapak tahu kan kalau saya suka
bercanda. Walaupun saya suka bercanda, perasaan saya nggak sebercanda itu kok,
Pak.”
Di belakangnya, Sarah mencubit pinggang Netra.

Netra meringis ketika Pak Sogi makin melotot padanya. Dia mengambil napas panjang
untuk ancang-ancang.

Tenang, Net. Ring basket itu pendek. Iya, pendek, Net. Jadi nanti setelah lo
lempar bolanya, itu bola nggak akan memantul ke arah lo lagi, ucap Netra pada
dirinya sendiri. Itu namanya sugesti. Sugesti!

Namun setelah Netra mendongak untuk melihat ring basket. Naudzubillah, tinggi
banget. Secuil keberanian yang sempat Netra kumpulkan tadi, hancur berkeping-keping
seperti remahan biskuit konghuan.

“Netra!” bentak Pak Sogi yang berhasil membuat Netra kaget setengah wafat. Tanpa
sadar Netra melempar bola basketnya ke atas.

“Uwa ....!” Netra berjongkok sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak
tangan. Kemudian ..., doeng! Bola itu jatuh tepat di ubun-ubun Netra. Nggak keras
sih, hanya bikin Netra harus tergeletak tak berdaya di pinggir lapangan.

Netra mengelus ubun-ubunnya. Sakit, kepalanya puyeng. Ini nih alasannya kenapa
Netra takut sama bola. Dia takut kepalanya terbentur benda bulat itu. Kan sakit.

Sementara Netra mengaduh dan menggerutu sebal, teman-teman sekelasnya malah


menertawainya.

“Kyaa ... bola ... atut!” Azril berputar-putar di lapangan seakan dia takut sama
bola. Netra merasa direndahkan. Sepertinya anak-anak cowok tadi melihat tragedi
Netra dan si bola basket tadi.

“Aldi! Lempar bolanya ke sini. Lempar ke sini, Di!” Azril yang sudah ada di dekat
Netra melambai-lambaikan tangannya dengan heboh kepada Aldi yang sedang bersiap-
siap untuk menembak bola.

“Eh, Zril! Gila lo, Zril.” Netra panik. Dia udah mencari-cari tempat sembunyi.

“Bentar dulu, Zril.” Aldi memberikan senyum satu sentinya. Hih, Netra yang
mengintip dibalik tubuh Azril jadi muak melihatnya. Tapi tidak dengan cewek-cewek
lain. Mereka berteriak heboh.

“Ih, senyumnya cool banget!” Suara mereka dibuat-buat menjadi manja.

Aldi mulai menembakkan bola ke ring basket. Dalam sekali lempar dan ... plung!
Eh, masuk loh. Netra sendiri kaget. Segampang itukah?

Walaupun kelihatannya gampang namun tetap saja jika Netra disuruh melempar bola
lagi, dia nggak mau.

“Kyaa ... uwa ... Aldi keren!” Baru saja anak-anak cewek terdiam karena
terhipnotis pada Aldi, sedetik kemudian mereka heboh karena terpesona dengan Aldi.

Netra mencibir, “Cih, show off.”

Sedangkan Azril yang ada di dekatnya ikut-ikutan heboh memanggil Aldi tapi dengan
niatan yang berbeda, “Aldi bola! Aldi bola!”

Aldi dengan senang hati mengoper bola basket pada Azril yang ada di dekat Netra.
Langsung saja Netra berlari menjauh.
“Azril monyong! Awas lo Zril, asal lo tau aja, karma itu ada!” ancam Netra.

Yang diberi ancaman malah tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut di


pinggir lapangan. Azril sama sekali tidak takut oleh ancaman Netra.

Setelah aksi Aldi barusan, Pak Sogi menyuruh anak-anak sekelas untuk membuat
barisan. Itu tandanya pelajaran olahraga akan diakhiri dan waktunya Pak Sogi untuk
me-review olahraga kali ini. Netra yang feeling-nya cukup kuat sudah menunggu-
nunggu saat namanya disebut.

“Dan untuk Netra,” ucap Pak Sogi.

Nah, ini dia. Netra memutar matanya tanda bosan. Kurang lebih dia sudah tahu apa
yang akan Pak Sogi katakan setelahnya.

“Netra, kamu jangan takut bola lagi. Cobalah untuk menyembuhkan ketakutanmu itu.
Kalau begini terus, saya harus kasih nilai kamu berapa? Gimana nilaimu bisa bagus,
nilai olahragamu itu paling jelek di antara temanmu yang lain, lho. Lihat itu
Aldi ....”

Netra mendengus. Yah, kata-kata mutiara itu lagi. Lihat itu Aldi ....

Peduli gila sama Aldi.

“Aldi itu jago bermain basket. Kamu tadi lihat kan? Gampang banget masukin bola
ke ring basket. Yang penting itu kamu harus percaya dan nggak takut sama bola. Atau
kalau kamu mau, kamu bisa minta diajarin sama Aldi biar jago. Pokoknya minggu depan
saya nggak mau tahu, kamu harus sudah bisa melempar yang benar. Coba lempar dulu
aja deh, masuk enggaknya urusan belakangan.” Kata-kata Pak Sogi meluncur dengan
deras dari kuping kanan ke kuping kiri Netra.

“Tapi Aldi kan cowok, Pak. Nggak adil dong saya dibanding-bandingkan dengan anak
cowok. Mereka jelas lebih jago lah,” protes Netra.

“Nggak ada itu alasan cowok dan cewek dalam olahraga. Kamu aja yang takut bola,
Net. Coba kamu pikir berapa nilai olahragamu!”

“Olahraga kan nggak cuma basket, Pak. Memang nilai olahraga saya jelek kalau
sudah menyangkut dunia bola, tapi nilai lari, senam, dan olahraga lain nggak jelek-
jelek amat kan, Pak.” Netra masih saja mendebat guru olahraganya.

“Memang betul nggak jelek-jelek amat tapi juga nggak bagus-bagus amat. Belum
cukup untuk menutup nilaimu dalam permainan bola!” seru Pak Sogi.

Nyali Netra mengkeret juga akhirnya begitu mendengar bentakan Pak Sogi. Netra
memilih untuk terdiam, tidak mau protes lagi.

Pak Sogi menyudahi sesi review-nya lalu membubarkan barisan. Anak-anak berlarian
ke kelas untuk berganti pakaian.

Setelah selesai berganti pakaian, Netra, Merlin, dan Ayu beristirahat di depan
kelas. Awalnya mereka bertiga asik-asik saja, mengobrol dengan santai. Namun ketika
Aldi lewat di depan mereka, semua yang asik menjadi tidak asik. Mata Merlin dan Ayu
jadi jelalatan ke Aldi. Mereka sibuk merapikan baju dan rambut mereka. Kemudian
mereka memberi senyum termanis yang mereka punya walaupun hanya untuk dibalas oleh
senyum setengah centinya Aldi. Songong banget nggak tuh. Netra langsung memasang
wajah bete.

“Ih, senyumnya memikat.” Merlin mulai membuka topik tentang Aldi begitu yang
dibicarakan sudah menjauh.

“Ah, gue nggak mood deh kalau kalian ngomongin dia.”

“Netra ....” Ayu memanggil Netra dengan gemas, “Kamu kok segitu nggak respect-nya
sama Aldi? Padahal kalian berdua itu sama-sama pengurus OSIS. Harusnya kalian akrab
dan kompak.”

“Ayu ....” Netra balas memanggil Ayu dengan geraman, “Udah berapa kali gue
bilang, gue nggak suka sikapnya. Kayak nggak ngehargain orang banget. Disenyumin
cuma bales nyengir, nggak ikhlas lagi. Dan urusan OSIS mah harus dipisah dengan
urusan pribadi ya, Neng. Orang kayak itu tuh sempurnanya dari mana, cool dari mana?
Gue tuh kadang heran sama mata kalian.” Netra memberi tekanan pada setiap kata
‘dari mana’.

Merlin hanya menggeleng-gelengkan kepala. Perdebatan seperti ini nih tidak akan
ada habisnya. Inti dari perdebatan ini hanyalah perbedaan selera.

“Satu ya, Net. Aldi itu juara paralel. Dua, Aldi itu ketua OSIS. Tiga, Aldi jago
olahraga, kamu lihat sendiri kan tadi? Empat, di antara semua nilai plus dia, dia
juga dianugerahi nilai plus lain yaitu dia tajir. Lima, Aldi cakep. Enam, Aldi itu
bisa terlihat cute di saat-saat tertentu. Tujuh, Aldi berwibawa, ya secara ketua
OSIS. Delapan, Aldi bertanggung jawab. Sembilan, ah pokoknya gue sampai nggak bisa
hitung lagi semua nilai lebihnya dia.” Ayu menjelaskan panjang lebar.

Merlin mengangguk-angguk membenarkan kata-kata Ayu, sementara Netra sudah


tertidur lelap dengan sukses.

“Elo mah gitu, rese! Nggak pernah mau dengar pendapat orang lain.” Merlin menoyor
kepada Netra.

“Kalian berdua itu terlalu fanatik dan terobsesi sama Aldi, Ay, Mer. Ingat yang
namanya terobsesi itu ujung-ujungnya pasti nggak baik. Kalian tahu di Korea Selatan
sana ada yang namanya sasaeng fans 1? Hih, kalian mau mengikuti jejak mereka gitu?”

“Hih, kita juga belum se-ekstrim sasaeng fans kali, Net!” protes Merlin.

“Nah itu, lo sendiri bilang belum. Jadi ada rencana mau menuju ke sana kan?
Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian dan
mencegah kalian menjadi sasaeng fans, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!”
ucap Netra mantap.

Saat itu Netra belum menyadari akan adanya mala petaka yang ditimbulkan karena
janjinya barusan.

1 sasaeng fans :
Fans yang terlalu teobsesi pada idolanya. Bisa dibilang fans yang fanatic.

****
BAB 5. Persiapan

Netra adalah seseorang yang konsisten pada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Kalau dia bilang mau menyelidiki seseorang, maka dia akan menyelidikinya dengan
total. Over malahan.
Sehari setelah mulutnya mengikrarkan janji untuk mencari tahu tentang kelemahan
Aldi, Netra sudah bersiap untuk mencatat barang-barang yang dia butuhkan untuk
membantu proses penyamaran. Tujuan dia menyamar adalah supaya si target tidak
mengenali dirinya. Oleh karena itu, Netra sudah duduk dengan manis di sofa ruang
keluarga. Dia siap dengan scrapbook dan pensil di tangannya. Dia sibuk mencatat
perlengkapan yang dia butuhkan.

Barang-barang yang harus dibeli :

1. Kacamata, ini barang yang wajib untuk dipakai dalam penyamaran.

2. Topi, tidak terlalu penting sih. Malah bisa saja membuat orang lain curiga.
Tapi bolehlah, untuk menutupi muka.

3. Tompel palsu, agar lebih meyakinkan.

Hmm ..., setelah dipikir-pikir, Netra akhirnya mencoret nomor tiga dalam
daftarnya. Terlalu ekstrim rasanya kalau dia harus memakai tompel. Kalau tiba-tiba
lepas bagaimana?

Lalu apalagi? Begini ini kalau otak yang jarang digunakan mikir disuruh berpikir
keras, kepala Netra jadi pusing. Netra mengacak-acak rambutnya. Oiya, rambut?

Aha, bagaimana kalau gue mengurai rambut gue? pikir Netra. Kata Satrio, Netra
kelihatan beda banget kalau rambutnya diurai. Maklum selama ini rambutnya Netra
selalu dikuncir satu ke atas. Oke, persiapan beres. Netra tersenyum puas.

Tapi muncul satu permasalahan. Netra sedang tidak punya uang lebih untuk membeli
kacamata dan topi. Kebetulan sekali Satrio lewat di depan matanya. Abangnya itu
duduk di sofa sambil membaca majalah. Ditataplah Satrio dengan mata yang berbinar-
binar. Bola mata Netra tidak pernah lepas dari setiap gerakan Satrio. Sampai
akhirnya Satrio risih sendiri. Satrio melempar majalah yang dibacanya ke muka
Netra.

Barulah Netra melepas ikatan matanya. Dia tertawa.

“Ngapain sih? Tadi ngliatin mulu, sekarang ketawa nggak jelas. Tingkat kewarasan
lo sudah menipis ya?” tanya Satrio. Dia berjalan mendekati tumpukan CD.

“Bagi duit, Bang,” jawab Netra tanpa basa-basi.

Satrio yang sedang memasukkan kepingan CD ke DVD Player langsung menghentikan


gerakannya. Dia memandang Netra dengan mulut menganga.

“Eh, duit buat apaan?” Satrio memekik.

“Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh.”

“Buset!” Satrio meraih bantal sofa lalu melemparnya ke muka Netra.

“Buat apaan kacamata sama topi? Tumben banget lo beli barang-barang kayak
begituan? Udah punya pacar lo?”

“Sok tau deh lo, Bang.” Netra melempar bantal ke muka Satrio.

Satrio mengelak, “Emang duit jajan lo abis?”

“Itu dia! Gue juga bingung, kok bisa abis, ke mana aja mereka? Hilang tanpa
jejak, nggak mungkin kan mereka jalan-jalan sendiri keluar dari dompet gue. Padahal
jelas dompet gue lebih hangat daripada dinginnya dunia luar.”

“Alesan aja lo. Tanya tuh sama perut lo, selama ini dia dikasih makan apa aja.”

Netra hanya cengar-cengir tanpa dosa. Memang selama ini uang jajannya selalu
habis untuk makan. Sudah tau kan, Netra itu doyan makan. Laper dikit dia nyamil mie
ayam. Kalau lapernya banyak dia nyamil mie ayam bakso—mie ayam satu mangkuk dan
bakso satu porsi isi komplit.

“Ayolah, Sat. Itung-itung lo sebagai sponsor dalam tugas gue menyelidiki Aldi,
nih. Jadi gue harus beli kacamata sama topi untuk alat penyamaran. Apa perlu gue
bikin proposal? Elah, duit cepek aja.”

“Wait, apa lo bilang? Menyelidiki Aldi? Ya ampun, Net. Lo tuh aneh-aneh aja,
penyelidikan macam apa lagi sih?” Satrio masih ogah-ogahan untuk memberi, namun dia
sudah mengeluarkan dompetnya.

Mata Netra berbinar-binar bahagia. “Besok-besok gue balikin kalau Papa Mama
pulang. Abisnya Mama kemarin cuma pulang sehari. Belum sempet minta duit lah.”

Walaupun mulut Satrio berdecak, tangannya bergerak juga mengambil selembar uang
berwarna merah di dompetnya. Dengan berat hati diangsurkannya uang itu pada Netra.

“Hutang loh ya.”

Netra menerimanya dengan suka cita, “Iya, Abangku sayang. Abangku yang paling
ganteng seantero rumah ini, baik, suka menolong dan tidak sombong. Ih, abangnya
siapa dulu dong ini. Netra makin sayang deh. Cinta deh.”

Netra mencium pipi abangnya itu. Lalu dia memasukkan uang itu ke dalam dompetnya.
Yah, suntikan dana buat dompetnya yang menipis. Beli kacamata sama topi kan nggak
sampai seratus ribu. Beli aja di pinggir jalan, nggak usah beli di distro yang
jelas harganya selangit. Kacamata paling sekitar dua puluh sampai tiga puluh ribu.
Topi juga sekitar segitu. Jadi sisanya lumayan banyak. Asik, bisa buat beli bakso,
batin Netra.

Walaupun istilahnya Netra ngutang, tapi sama keluarga sendiri dibayar setahun
kemudian boleh kan? Tinggal pintar-pintarnya Netra aja untuk mencari alasan.

Hehe. Netra paling pinter deh kalau ngibulin orang.

Satrio naik kembali ke kamarnya. Dia sudah tidak bernafsu untuk menonton DVD.
Niatnya tadi dia turun ke bawah untuk menghilangkan suntuknya di dalam kamar, malah
kena palak adik perempuannya. Apes bin sial bin ... titan.

Satrio menggerutu habis-habisan dalam hati. Aldi, apa yang lo lakuin sama adek
gue sih?

****

Netra baru saja mematikan motornya dan melepas helm ketika Aldi lewat di
depannya. Pandangannya lurus ke depan. Dia merapikan rambutnya dengan tangan, sama
sekali tidak menoleh pada Netra. Padahal Netra itu kan teman sekelas Aldi. Seingat
Netra, dia juga satu-satunya orang di kelasnya yang menjadi pengurus OSIS selain
Aldi. Bukannya Netra ingin disapa Aldi, hanya saja Netra heran dengan makhluk
angkuh yang barusan lewat.
Netra mencibir, “Ganteng sih tapi songong.”
Jujur, Netra mengakui kalau Aldi ganteng. Hanya saja sikapnya tidak se-ganteng
mukanya.
Setelah Aldi berjalan cukup jauh, Netra memutuskan untuk mengikutinya. Langkah
kakinya mengarah ke kantin sekolah. Nampaknya Aldi akan mampir ke kantin dulu
sebelum ke kelas. Netra mulanya ragu untuk ikutan masuk ke dalam kantin, namun
karena Netra punya tekad untuk menyelidiki kelemahan Aldi mau tidak mau dia harus
memulainya hari ini dan saat ini juga.
Aldi duduk di salah satu kursi kantin. Netra pun menjaga jarak dengan mencari
tempat yang cukup jauh dari Aldi. Netra mengeluarkan ponselnya supaya tidak
dicurigai. Paling tidak kalau Aldi tiba-tiba memergoki dan menanyainya, “Ngapain lo
lihat-lihat gue?”
Netra bisa berkilah, “Siapa yang lihatin lo? Lo nggak lihat gue dari tadi sibuk
sama HP gue. Ge er abis.”
Lumayan lama Netra dan Aldi berada di kantin. Keduanya masih duduk berjauhan,
tidak saling menyapa. Netra meletakkan kepalanya di meja karena bosan. Dia menoleh
pada meja Aldi. Pria itu tengah sibuk dengan laptopnya. Dia menyesap segelas teh
hangat di sampingnya. Lihat saja, dia kayak bapak-bapak aja, pagi gini sudah minum
teh anget, cibir Netra dalam hati.
Yang namanya orang curiga itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang yang dia
curigai akan terlihat salah di matanya. Contohnya saja Netra sekarang ini. Hanya
melihat Aldi minum teh hangat, dia mengatai Aldi seperti bapak-bapak. Padahal tidak
semua bapak-bapak suka minum teh hangat di pagi hari.
Lama Netra memandang Aldi. Kalau dipikir-pikir Aldi memang terlihat dewasa.
Penampilan, pembawaan dan juga daya pikirnya. Hanya saja perilakunya itu yang
membuat penilaian Aldi di mata Netra jatuh sampai ke dasar. Dia sangat angkuh,
tidak ramah, dan terlalu jaim. Netra sangat jarang melihat Aldi bercanda-canda
dengan anak-anak sekelas. Dia juga berbicara seperlunya saja. Netra baru bisa
melihat Aldi berbicara panjang kali lebar kali tinggi saat di rapat OSIS, atau saat
dia berpidato. Selebihnya, pria itu terlalu jaim untuk berbicara. Sikapnya kaku dan
tidak santai, membuat Netra geregetan ingin mengurut urat-urat sarafnya agar tidak
tegang terus.
Begitu Netra sadar dari lamunannya, dia mendapati Aldi sedang melirik padanya.
Segera setelah Netra memergokinya, Aldi membuang muka, kembali memfokuskan diri
pada laptopnya. Namun Netra merasa janggal pada tangan kanan Aldi. Sejak kapan di
tangan itu ada ponsel?

Saat Netra sibuk berpikir, Aldi meliriknya lagi. Netra menegakkan punggungnya dan
memberanikan diri untuk membalas lirikan Aldi. Tapi Aldi mengalihkan pandangannya
lagi.
Eh, kenapa dia dia jadi hobi lirik-lirik gue sih?
Netra jadi merasa salah tingkah. Dia takut Aldi mencurigaikan sehingga dia
berpura-pura menguap sambil ngulet sebentar.
“Ngantuk ....” Netra berdiri lalu balik kanan dan ngibrit menuju ke kelasnya.
Pagi ini Netra belum mendapat informasi apa-apa. Yah, apa boleh buat, ini kan
baru permulaan. Semoga saja siang nanti lebih baik.
Berdoa saja, Net.
****
Akhirnya waktu pulang itu datang juga. Sejak pelajaran pertama tadi dia merasa
seolah-olah ada mata yang terus memandanginya dengan tajam dari belakang. Intuisi
Netra mengatakan bahwa sepasang mata itu adalah mata Aldi. Entahlah, Netra tidak
berani memastikan. Dia tidak berani melihat muka Aldi yang duduk di barisan
belakang. Netra biasanya sesekali menghadap ke belakang hanya untuk ngobrol dengan
Wingki dan Rizal yang duduk di belakangnya. Namun hari ini dia jadi memfokuskan
diri ke depan tepatnya ke papan tulis. Dia tidak berani menoleh ke kanan ataupun ke
belakang. Karena sedikit menoleh saja, dia takut matanya pasti bertumbukan dengan
mata tajam itu. Mengerikan. Hanya membayangkannya saja, Netra sudah bergidik ngeri.

“Cie, yang sekarang rajin lihat ke depan. Nggak mau ngobrol sama gue. Sombong,”
sindir Wingki ketika mereka sedang membereskan tas dan bersiap untuk pulang.
“Sori, Ki. Kan udah gue bilang, leher gue keseleo.”
“Ngeles aja lo kayak bajaj!”
Netra diam saja karena saat itu Aldi lewat di sampingnya lalu berjalan keluar.
Jantung Netra berhenti berdetak seketika. Begitu Aldi tidak terlihat lagi, Netra
menghembuskan napas lega. Jantungnya bekerja normal kembali.
“Kenapa Net?” tanya Wingki.
“Nggak pa-pa. Gue cuman habis kentut,” jawab Netra santai lalu dia ngibrit keluar
diiringi tatapan jijik dari Wingki.
“Sumpah lo, Net? Kok nggak bau?” Wingki mengendus-endus.
“Gue bohong kali, Ki!” Tawa membahana dari Netra menggema di luar kelas. Konyol
sekali melihat hidung Wingki yang kembang kempis, sibuk mengendus-endus.
Netra tidak mempedulikan umpatan yang dilontarkan Wingki kepadanya. Dia mencari-
cari sosok Aldi yang baru saja keluar dari kelas. Ternyata tidak memerlukan waktu
lama untuk mencari. Netra tersenyum. Tidak ada ruginya juga para perempuan di
sekolahnya mengidolakan Aldi. Seperti kata pepatah, di mana ada cewek cantik
(baca : Netra) disitu ada pria-pria tampan yang mengerubunginya. Berlaku juga untuk
Aldi, dimana ada Aldi, disitu ada cewek-cewek yang berkumpul, saling curi-curi
pandang bahkan ada yang memandang Aldi tanpa berkedip. Dengan begitu Netra dengan
mudah melacak posisi Aldi. Ikuti saja arah pandang mereka.
Mereka sedang memandangi tempat parkir. Netra menyusul ke tempat parkir. Tepat
sekali, Aldi memang berada di sana, sedang mengambil motornya lalu menyalakannya
dan keluar dari tempat parkir. Tanpa pikir panjang, Netra ikut mengambil motornya
untuk membuntuti motor Aldi.
****

Hai! Terima kasih sudah membaca. Semoga kalian suka dengan cerita yang sedikit ehem
... konyol ini *hahah saya malu :flushed:
Sudah masuk bab 5 nih, yuk yuk berikan komentar untuk cerita ini :heartbeat:
Salam sayang,

nanoniken
BAB 6. Menguntit (1)

Netra mengikuti Aldi dengan hati-hati. Dia memperhitungkan jarak yang aman antara
motornya dengan motor Aldi. Tidak boleh terlalu dekat supaya tidak ketahuan. Namun
juga tidak boleh terlalu jauh supaya dia tidak kehilangan jejak.

Netra masih belum tahu ke mana tujuan Aldi. Dilihat dari langkah buru-burunya
saat keluar kelas, mungkin Aldi mau langsung pulang ke rumah. Jujur saja, Netra
belum tahu rumah Aldi.

Netra mengernyit. Dia menajamkan pandangannya. Hampir saja dia kehilangan motor
Aldi karena mobil yang tiba-tiba muncul di depannya.

Aldi berbelok ke satu gang. Netra memelankan laju motornya. Cukup jauh di depan
sana, Aldi menghentikan motornya di depan sebuah rumah besar. Lalu pagarnya terbuka
dan Aldi menghilang di balik pagar bersama motornya. Netra melewati rumah itu
dengan pelan, sebelumnya dia sempat melirik nomor rumahnya. Nomor 116. Oke, Netra
akan mengingatnya.

Penyelidikan berhenti sampai di sini. Paling tidak Netra sudah mengetahui di mana
rumah Aldi. Netra cukup puas dengan hasil yang dia dapat saat ini.

****

“Bukaaaan, Net!”

Seruan dari tiga cewek di sekitar Netra ini tidak hanya memekakkan telinga Netra,
tapi juga menghancurkan hati Netra.
“Rumah Aldi bukan di situ?” tanya Netra sekali lagi untuk memastikan. Dia belum
percaya dengan kesalahannya.

“Bukan. Bukan. Bukan.” Ayu menjawab dengan mantap, “Emang kamu dapet info dari
mana kalau rumah Aldi di situ?”

“Kemarin gue ngikutin dia pas pulang,” tutur Netra dengan polosnya.

“Netra yang bego ..., dangkal banget sih pikiran lo? Belum tentu dia pulang
langsung ke rumahnya kan? Mungkin saja dia mampir ke rumah simbahnya, om, tante,
nenek, atau budhenya dulu, gitu,” jelas Indah.

Netra melirik sebal pada Indah karena temannya itu menyebutnya bego. Tapi
kemudian dia mengerjab-ngerjabkan matanya. Iya, ya, mengapa dia baru menyadari hal
itu? Netra memukul mejanya dengan gemas. Di hari pertama saja dia sudah gagal
total. Rumah yang dia kira rumah Aldi ternyata bukan rumah Aldi!

Mampus lo, Net. Sia-sia lo ngikutin dia sepulang sekolah kemarin.

Netra menggeram dalam hati. Memang benar apa kata Indah, pikiran Netra terlalu
dangkal.

“Kamu juga aneh sih, Net. Kalau pengen tahu rumah Aldi ya tinggal tanya kita aja.
Ngapain pake acara nguntilin Aldi segala.”

Netra memandang Ayu dengan penyesalan. Ayu benar.

“Iya, ya.” Netra menggaruk-garuk kepalanya, malu.

“Net, lo nggak gunain kesempatan ini buat ngedeketin Aldi, kan? Nggak ada udang
dibalik bakwan, kan?” selidik Merlin tiba-tiba.

Ayu, Indah dan Netra memandang Merlin dengan pandangan meminta penjelasan.

“What the meaning of the maksud, Mer?” tanya Netra.

Merlin mengedikkan bahu. “Ya, tahu sendirilah sebegitu bencinya Netra sama Aldi.
Jangan-jangan karena benci itu lo malah jadi suka. Benci itu kan beda tipis sama
cinta, setipis pembalut extra slim. Tapi karena lo gengsi mau bilang suka sama
Aldi, jadi lo buat skenario ini, “ jelas Merlin panjang lebar.

Gantian dua temannya yang lain memandang Netra meminta kejelasan. Merlin
menatapnya dengan matanya yang tajam. Netra menelan ludahnya kemudian dia tertawa
terpingkal-pingkal melihat raut serius dari ketiganya.

“Untuk sekarang ini, gue nggak ada niatan selain mau nyari kelemahan Aldi,” jawab
Netra dengan diplomatis.

Suasana jadi sedikit canggung. Ayu dan Indah saling memandang lalu sama-sama
meringis. Di tengah-tengah kecanggungan itu, Merlin malah tertawa lepas.

“Huahahaha, kalian tegang amat.” Merlin mengerling pada Netra dengan mata
jenakanya, “Kata-kata gue tadi bercanda, Net.”

Ayu dan Indah menghela napas panjang. Netra sendiri juga bisa mengatur napasnya
kembali. Walaupun dia tahu bahwa pendapat Merlin tadi jelas-jelas tidak masuk akal.
Hanya saja Netra selalu takut kalau Merlin sudah menatapnya tajam seperti tadi.
Siapapun orang yang sudah kena pelototan Merlin pasti nyalinya ciut seketika.
Makanya Netra berpura-pura tertawa agar suasana sedikit mencair. Sempat tadi Netra
berpikir bahwa persahabatan mereka ada terusik gara-gara penyelidikan Netra.

“Muka lo tegang banget, Net. Gue tahu lo pura-pura ketawa-ketiwi padahal dalam
hati takut setengah mampus,” sindir Merlin. “Tapi tenang aja, kalaupun kata-kata
gue tadi bener, gue ikhlas, rela, ridho dunia akhirat. Gue restuin hubungan kalian
berdua. Cocok kok.” Merlin mengucapkan kalimatnya dengan serius.

“Cocok, kepala lo!” Netra memaki-maki Merlin.

Lalu secara ajaib orang yang sedang mereka bicarakan berjalan mendekat. Ayu,
Indah, dan Merlin memasang wajah manis lalu menyapa Aldi, “Aldi ....”

Aldi menoleh, “Hai,” balasnya singkat lalu dia lewat begitu saja.

Netra tidak ikut dalam perbincangan yang teramat sangat singkat antara mereka
berempat. Dia memandang Aldi acuh tak acuh.

Setelah Aldi menjauh, barulah Ayu menyolek lengan Netra.

“Apa sih colak-colek kayak sabun colek aja.”

“Mulai deh juteknya.”

Netra memutar bola matanya, “Hai, Aldi ....” Netra meniru suara Ayu, Merlin dan
Indah. Senyumnya mengembang.

“Hai.” Lalu Netra meniru suara Aldi dengan muka datar.

“Ah dasar buntelan kesombongan!” Netra mendengus.

“Net, gue kasih tahu ya, itu namanya cool!” Kata-kata terakhir itu mereka ucapkan
bersama-sama.

“Iya deh, cool ... kas!” Netra menutup kalimatnya dengan cengiran.

Ketiga temannya langsung menghadiahi Netra dengan jitakan di kepalanya.

****

Netra menjilati es krimnya dengan nikmat seolah itu adalah es krim yang paling
enak sejagat raya. Sebenarnya rasanya biasa saja, namun orang yang membelikannya
itulah yang membuat es krim itu menjadi istimewa. Es krim itu dibelikan oleh
Satrio. Abang semata wayangnya yang notabenenya sangat jarang menraktirnya makanan.

“Sat, enak banget, Sat. Jarang-jarang ini gue bisa makan es krim hasil dari
dompet lo.”

“Biasa aja kali makan es krim. Sampe belepotan gitu,” cibir Satrio sedikit
tersinggung.

“Eits, nggak bisa biasa! Lo itu jarang banget nraktir gue. Jadi ini ....” Netra
menunjuk es krim di tangan kanannya, “Berasa makanan terlezat di dunia. Yummy.”

Netra menyapukan lidahnya ke bibirnya.

Satrio menarik rambut Netra yang dikuncir kuda, “Bawel. Malu-maluin tingkah lo.
Elo itu nyindir apa muji?”
“Muji ini. Tulus, suer.” Joya cengar-cengir saja melihat abangnya yang cemberut.

Satrio makin gemas dengan adiknya. Jadi ceritanya, Satrio merasa bersalah karena
sudah mengganggu tidur sore Netra. Tadi Satrio membangunkan Netra untuk menemaninya
berbelanja pakaian ke mall. Oleh karena itu, untuk menebus rasa bersalah setelah
menyeret Netra dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, Satrio sengaja
membelikannya es krim. Sekali-kali menyenangkan adik perempuannya seperti ini perlu
juga. Apalagi hanya dengan satu cone es krim, Netra sudah bersemangat kembali.
Tidak seperti tadi, dia berjalan dengan muka terkantuk-kantuk.

Ketika sedang asyik-asyiknya bercinta dengan es krimnya, Netra dikagetkan oleh


sebuah nama yang keluar dari mulut Satrio.

“Aldi!” seru Satrio. Netra celingukan melihat ke segala arah.

Hah, Aldi di sini?

Netra tidak menyangka akan bertemu Aldi di mall yang sama dan waktu yang sama
pula. Sebuah istilah yang mengatakan bahwa dunia itu sempit, ternyata memang benar
adanya.

“Hei, Bang. Lagi sama siapa?” Suara Aldi terdengat sangat dekat.

“Sama Netra,” jawab Satrio.

Di belakangnya, Netra merasakan ada langkah kaki yang berjalan mendekat ke


arahnya. Bulu kuduk Netra merinding. Dia menoleh ke belakang sambil menelan
ludahnya.

Dia berjengit kaget menyadari Aldi sudah berdiri di depannya, bersama dengan
seorang perempuan yang sangat cantik. Netra mundur selangkah untuk memperlebar
jarak dengan Aldi.

“Hai, Net,” sapa Aldi.

Yang disapa hanya meringis canggung. Sebelumnya Netra belum pernah saling sapa
dengan Aldi. Rasanya kok ... aneh.

“Pacar lo nih, Di?” Satrio menunjuk perempuan yang berdiri di dekat Aldi dengan
dagunya.

Bukannya menjawab pertanyaan, Aldi hanya tersenyum, tidak menggeleng atau pun
mengangguk. Perempuan cantik itu juga diam. Namun tangan yang saling menggandeng
itu menjawab semuanya. Saat Netra melihat tangan kanan Aldi yang menggenggam tangan
kiri perempuan di sampingnya, Aldi segera melepas gandengan tangannya. Pria itu
berpura-pura menggaruk tengkuknya. Netra mengernyit, memperhatikan tingkah Aldi.

“Habis belanja apa lo, Bang?” tanya Aldi untuk merubah topik pembicaraan.

“Ini?” Satrio mengangkat plastik belanjaannya, “Nemenin Netra belanja, nih. Bawel
banget adek gue satu ini, maksa-maksa gue mulu. Suruh nganter ke mall.” Satrio
tertawa-tawa. Netra dengan santainya menginjak kaki Satrio sehingga abangnya itu
mengaduh.

“Idih, fitnah. Lo kali yang ganggu tidur sore gue.” Netra melipat kedua tangannya
di depan dada. Dia bete.

Satrio yang melihat wajah Netra yang menunjukkan tanda-tanda bosan pun akhirnya
berpamitan pada Aldi, “Ya udah deh, Di. Daripada lo lihat kita ribut di sini. Gue
sama Netra cabut duluan ya.” Satrio menepuk-nepuk pundak Aldi. Satrio menarik
tangan Netra untuk menjauh.

Aldi mengangguk lalu melambaikan tangannya. Mereka pun berpisah.

“Ngapain sih lo injek kaki gue?” protes Satrio ketika mereka sudah berpisah cukup
jauh.

“Salah sendiri jadiin gue kambing hitam. Padahal gue bukan kambing dan kulit gue
nggak item.” Netra melengos berjalan mendahului Satrio. Tapi beberapa langkah
kemudian, dia berbalik untuk menatap abangnya, “Cewek tadi beneran pacarnya, Bang?”

Satrio mengedikkan bahu, tidak peduli.

“Nggak tahu deh. Ngapain lo tanya-tanya? Nggak biasanya lo kepo sama Aldi,”
selidik Satrio.

“Tanya doang. Elah, susah ya jadi gue. Salah mulu di mata lo, Sat.” Netra
berbalik lagi. Dia berpikir dalam diamnya. Kalau memang benar perempuan cantik tadi
adalah pacar Aldi, Netra tidak bisa membayangkan reaksi teman-temannya begitu
mengetahui bahwa idola mereka tidak single lagi.

“Eh, Sat, lo kenal nggak sama cewek itu?”

Sebenarnya Netra sedikit tidak enak memanggil dengan sebutan ‘cewek itu’, tapi
bagaimana lagi, Netra belum tahu namanya. Dia berharap abangnya mengenal perempuan
itu. Secara, pergaulan Satrio kan lumayan luas dan kenalannya banyak. Dulunya dia
aktif di sekolah, pas kuliah dia juga aktif di organisasi kampusnya. Hampir semua
orang yang ditemui Netra mengenal Satrio.

“Kenal sih enggak. Tadi kan gue sama dia juga nggak saling sapa, Net. Gue cuma
tahu namanya. Dia Anggie, anak komunikasi semester lima di kampus gue.”

Mulut Netra sedikit menganga. Anggie itu senior Satrio. Jadi Aldi pacaran sama
anak kuliahan? Netra baru tahu kalau selera Aldi itu perempuan yang lebih tua.

****

Pagi! It's mon-ster-day! Time to take over the world, fellas :sunglasses:
Sub Judul di bab ini terinspirasi dari komen @fidyanh
Hahaha, maacih :heart_eyes:
Semoga kalian suka bab ini ... yuk yuk ditunggu komennya.
Salam sayang

nanoniken
BAB 7. Menguntit (2)

“Kenal sih enggak. Tadi kan gue sama dia juga nggak saling sapa, Net. Gue cuma
tahu namanya. Dia Anggie, anak komunikasi semester lima di kampus gue.”

Aldi berpacaran dengan perempuan yang lebih tua? Tante-tante?

Netra bergidik.

“Mikirin yang aneh-aneh pasti.” Satrio menoyor kepala Netra. Satrio hapal dengan
kebiasaan Netra. Terkadang imajinasi Netra bisa terlalu berlebihan. Kalau tidak
segera dihentikan oleh orang lain, imajinasi Netra bisa melanglang buana menembus
angkasa. Padahal sekarang mereka masih berada di tengah mall.

Netra berkedip-kedip setelah rohnya kembali ke daratan.

“Tutup itu mulut, takut kemasukan lalat,” ujar Satrio.

Netra menutup kembali mulutnya yang setengah terbuka. Lalu dia terdiam, berpikir
lagi. Netra mencoba mengingat-ingat tentang gosip pacar Aldi di sekolah. Namun dia
tidak menemukan apa pun di ingatannya.

Satrio yang mengetahui gelagat aneh Netra akhirnya menjelaskan, “Lo nggak tahu
ya? Aldi memang suka sama cewek-cewek yang lebih tua. Yang gue tahu sih, pacarnya
selama ini anak kuliahan. Sejak kelas 1 SMA dulu aja, dia sudah bisa dapetin Lana,
temen seangkatan gue. Setelah Lana, dia pindah ke Susan, anak 3 IPS 5, dan lainnya.
Nggak cuman di sekolah kita aja, di sekolah lain juga ada. Cuman ya gitu, dia
pacarannya diem-diem. Sekarang aja dia udah mulai merambah ke kampus gue. Senior
gue banyak yang kesel sama dia tuh, gara-gara gebetannya di kampus direbut Aldi.
Setelah gue pikir-pikir, minimal pacarnya itu harus dua tahun di atas Aldi.”

Satrio menghentikan penjelasan panjangnya ketika dia bertemu dengan seseorang


yang dia kenal. Dia melambai-lambaikan tangannya pada sekelompok pria tidak jauh
dari tempat Netra dan Satrio berada. Netra mengikuti arah pandang Satrio. Tidak ada
satu pun yang dia kenal di gerombolan itu, jadi pandangan Netra kembali pada wajah
abangnya.

“Senior gue di kampus. Mau gue kenalin ke mereka?” tawar Satrio.

Netra mendelik, “Nggak usah bikin acara kenal-kenalan lagi, deh. Lo rese kalau
lagi iseng, Sat. Temen-temen lo yang dulu aja gue udah lupa namanya.”

Teman Satrio yang banyak itu beberapa ada yang ingin berkenalan dengan Netra.
Satrio pun akhirnya secara tidak langsung menjodoh-jodohkannya dengan teman-
temannya. Satrio sering bercerita si A kemarin beli ini, si B baru pulang dari
liburan, si C habis jadi panitia ini. Tapi sayangnya, belum ada yang benar-benar
menarik hati Netra.

“Jahat lo, mereka pasti langsung patah hatinya kalau denger kata-kata lo itu.”

“Nggak usah mengalihkan pembicaraan deh, Sat!” Netra sedikit sebal. Dia kan tadi
sedang meninterogasi Satrio tentang Aldi.

“Oya, oya, jadi mau tanya tentang apa lagi sih adikku?” tanya Satrio sok imut.

“Dari mana lo tahu pacar-pacar Aldi?”

Netra masih tidak habis pikir. Selama ini dia kira Aldi masih single, jomblowan
sejati. Ternyata kiprahnya di dunia pacar-pacaran hebat juga. Beberapa mantan
pacarnya adalah kakak kelas, bahkan anak kuliahan. Ini berita baru. Soalnya selama
ini bisa dibilang kisah cinta Aldi sama sekali tidak terendus oleh media. Aldi
sangat pintar bermain kucing-kucingan nampaknya.

Netra belum pernah mendengar nama-nama pacar Aldi atau gosip bahwa Aldi pacaran
dengan kakak kelasnya. Netra baru tahu dari cerita kakaknya sekarang. Beruntung
sekali dia mempunyai kakak seorang Satrio jadi tidak perlu susah-susah baginya
untuk menggali informasi. Sepertinya Satrio cukup tahu banyak mengenai pacar Aldi.
Satrio adalah narasumber yang berperan penting untuk membantu Netra.
“Temen gue kan banyak, Net. Kebetulan pacar-pacar Aldi itu ada hubungannya sama
gue, satu lingkungan pergaulan juga sama gue. Baik itu temen gue sendiri atau fans
gue.” Satrio mengucapkan dengan nada bangga.

Netra mengacuhkan kalimat terakhir yang Satrio ucapkan. Sekarang ini dia malah
makin penasaran pada Aldi. Ada apa gerangan sehingga Aldi harus menyembunyikan
tentang kehidupan cintanya selama ini?

Netra yakin ketiga temannya akan kaget ketika Netra menceritakan tentang
kebenaran yang baru saja Netra temukan.

“Muka lo kelihatannya penasaran, Net.” Satrio dapat membaca mimik muka adiknya
itu. Dia tahu bahwa Netra tidak boleh dibiarkan penasaran, jika ingin habitat di
sekitarnya selamat.

Ya, Netra memang penasaran. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin Netra
tanyakan pada Satrio. Namun dia enggan untuk bertanya. Dia takut Satrio akan
berpikiran macam-macam padanya karena pertanyaan Netra yang terlalu jauh tentang
pacar Aldi. Oleh karenanya, Netra ingin mencari tahu sendiri.

“Sat, lo lanjutin belanja lo sendiri ya. Gue mau pergi sebentar, ada perlu
urgent. Nanti kalau lo udah selesai belanjanya, lo telepon gue.” Netra memberi
instruksi pada Satrio.

“Mau apa lo?” tanya Satrio penuh selidik.

Netra mengerutkan kening, berpikir tentang alasan yang cocok untuk Satrio,
“Pokoknya urgent,Sat! Urusan cewek.”

Satrio berdecak sebal, “Jangan berbuat sesuatu yang akan bikin malu keluarga.
Atau lo bakal gue tinggal di sini, nggak gue akuin adek lagi.”

“Siap, Kapten!” seru Netra seraya memberi hormat.

Satrio terlihat menimbang-nimbang baik dan buruknya. Akhirnya dia memilih untuk
mengangguk. Setelah mendapat balasan sebuah anggukan kepala dari Satrio, Netra
meluncur ke kamar mandi untuk mengubah penampilannya.

Netra mengubek-ubek tasnya. Beruntung kemarin dia sudah membeli kacamata dan
benda itu masih setia di dalam tasnya ini. Dipakainya kacamata itu lalu dia
mengurai rambutnya yang semula dikucir. Netra memandang pantulan wajahnya melalui
kaca di toilet mall. Dengan begini saja, dia sudah terlihat berbeda. Hanya satu
yang hampir dia lupa. Netra masih memakai baju yang sama dengan baju yang
dipakainya saat bertemu Aldi. Dia tidak mungkin mengganti bajunya karena dia memang
tidak membawa baju ganti.

Lama dia termenung di depan kaca, akhirnya sebuah ide cemerlang terlintas di
otaknya. Dia melepas cardigan yang dipakainya sehingga menyisakan kaos oblong kusut
yang menutupi kulitnya. Netra hanya bisa pasrah. Hilang sudah urat malu di
tubuhnya. Terserah apa kata orang yang melihatnya berkeliaran dengan kaos kusut di
mall. Dia hanya berharap semoga Aldi tidak hafal dengan baju yang dipakainya.
Lagipula sepertinya Aldi tidak memperhatikan penampilan Netra ketika menyapanya
tadi.

Netra sibuk menyakinkan diri sendiri. Ketika keyakinan itu cukup besar, dengan
langkah mantap Netra keluar dari kamar mandi sambil membawa cardigan di tangannya.

Ternyata tidak susah untuk menemukan Aldi dan pacarnya di mall yang seramai ini.
Baru saja Netra menuruni eskalator, dia melihat wajah Aldi di sebuah tempat
accesories cewek. Netra pun masuk ke gerai itu, berusaha untuk tidak menarik
perhatian pasangan itu. Netra tetap menjaga jarak dengan mereka. Dia pura-pura
sibuk memilih-milih boneka sementara matanya sibuk curi pandang ke Aldi dan Anggie.
Pasangan itu juga sedang memilih-milih boneka. Mungkin mereka sedang mencari boneka
yang bertuliskan AA. Aldi-Anggie. Double A.

Netra mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka. Dia mencoba menghilangkan


pikirannya yang menggelikan. Tanpa sengaja, Netra malah terkekeh karena pikirannya
sendiri. Karena kekehannya itu, Aldi menoleh. Netra sempat deg-degan ketika Aldi
memandanginya sekilas. Segera saja dia menarik rambutnya ke depan. Rambut Netra
berhasil menutupi seluruh wajah Netra jika dilihat dari samping. Lalu Netra
menunduk, berpura-pura mencari boneka di rak.

Detik-detik berikutnya dia habiskan dengan menahan napas, menunggu kalau saja
Aldi menghampiri dirinya. Dia sudah bersiap-siap jika tertangkap basah sedang
menguntit.

Tapi tidak terjadi apa-apa padanya. Dia melirik ke samping.

Fiuh. Netra menghela napas. Aldi tidak mengenalinya. Bahkan Aldi dan Anggie
meninggalkan tempat itu tanpa menoleh pada Netra sedikit pun. Netra melihat tangan
Aldi yang tidak menggandeng Anggie. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
Namun ketika Anggie menarik tangan Aldi, barulah pria itu menggandeng tangan si
gadis.

Netra mengernyit kembali karena keanehan tersebut. Dia semakin penasaran dengan
hubungan mereka. Lalu dia mengikuti Aldi dan Anggie. Netra berjalan agak jauh di
belakang sambil berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Pokoknya dia tidak boleh
membuat kedua orang itu curiga.

Hup. Netra berhenti di depan gerai kacamata. Dia membalikkan tubuhnya 90 derajat
kemudian berpura-pura melihat-lihat kacamata karena Aldi dan Anggie berhenti tiba-
tiba.

Dari sudut mata Netra, dia melihat Aldi melepaskan gandengan tangannya. Lalu
mereka berdua—Aldi dan Anggie, terlibat percakapan yang hanya bisa didengar oleh
dua orang itu saja.

Netra masih melihat dengan ekor matanya. Anggie menunduk dan Aldi mengusap-usap
kepala Anggie. Di mata Netra, mereka berdua terlihat sangat romantis. Netra tidak
habis pikir kenapa pasangan itu bisa begitu pedenya mengumbar kemesraan di mall
seramai ini.

Namun, setelah diperhatikan baik-baik, bahu Anggie bergerak naik turun.

Netra memicingkan matanya. Gerakan naik turun itu seperti gerakan ketika orang
sedang menangis. Apakah Anggie menangis.

Kenapa?

Belum sempat Netra mendapat jawaban dari pertanyaannya, handphonenya berbunyi.


Netra terkaget-kaget lalu menatap layar handphonenya.

Satrio is calling ....

Netra merutukinya dalam hati, kenapa lo telepon di waktu yang nggak tepat sih,
Sat?

“Halo?” bisik Netra ketika menjawab telepon.


“Di mana? Ayo balik,” ucap Satrio di seberang sana.

“Lo udah selesai? Eh, tunggu bentar lagi deh, lo beli apaan lagi gitu kek.
Underwear udah belum? Baju koko? Baju renang atau apalah apalah,” tawar Netra
ketika Satrio menyuruhnya untuk kembali ke tempat dia membeli es krim tadi.

Satrio marah-marah di seberang sana. Satrio ingin segera pulang dan tidak mau
menunggu lebih lama lagi. Sedangkan Netra masih ingin di sini. Dia masih harus
mendapat jawaban kenapa Anggie menangis. Kalau tidak, rasa penasarannya tidak akan
tertuntaskan.

“Lo ngapain sih, Net? Nyari apa? Pulang sekarang atau gue tinggal.” Terdengar
suara Satrio yang makin tidak sabaran.

Netra menghela napas, mengalah, “Iya deh, gue ke sana.”

Dengan langkah terpaksa, Netra mengalah. Dia tidak mau mengambil resiko ditinggal
pulang abangnya dan harus pulang ke rumah naik taksi. Netra berbalik arah
meninggalkan Aldi dan Anggie. Sebelum benar-benar pergi, Netra menyempatkan diri
untuk mengecek pasangan itu. Tapi pasangan itu sudah tidak ada di tempat tadi lagi.

Netra membuka kacamatanya lalu menguncir rambutnya kembali. Di penyelidikan kali


ini, Netra harus puas mendapatkan informasi yang menggantung.

Catatan #1 :

Aldi berpacaran dengan cewek yang lebih tua. Aldi membuat seorang cewek cantik
menangis.

****
Bersambung~
BAB 8. Tragedi Telat Berjamaah

Kalau ditanya; Siapa orang yang super duper menyebalkan bagi Netra hari ini?

Jawaban Netra adalah Satrio; abangnya tercinta.

Mengapa? Begini ceritanya,

Pagi ini Netra berniat untuk datang ke sekolah lebih pagi karena hari ini adalah
jadwal piketnya. Setiap hari piket, dia harus membersihkan kelasnya, bersama dengan
teman-teman lain yang juga piket hari itu. Tapi baru saja dia selesai sarapan dan
bersiap untuk berangkat, Satrio memanggil Netra.

“Net ... motor lo gue pake ya!” teriaknya dari lantai atas.

Netra langsung berbalik, menatap abangnya yang baru bangun tidur.

“Nggak! Gila aja lo, mau gue pake ke sekolah. Motor lo kenapa emangnya?” balas
Netra dengan berteriak juga seolah tidak mau kalah.

“Kemarin ngambek, mogok. Gue ada kuliah pagi. Lo gue anter ya!” Satrio turun ke
bawah untuk mendekati Netra.

Sebenarnya Netra ingin sekali menolak, namun ketika melihat kantung mata Satrio,
dia jadi tidak tega. Abangnya itu pasti begadang sampai pagi. Kemarin malam Satrio
sempat bercerita kalau dia punya tugas desain yang harus diselesaikan dan mewanti-
wanti Netra untuk tidak mengganggunya. Maklum Satrio baru semester awal, jadi masih
banyak tugas dari dosen.

“Ya, Net ... lo gue anter ya.” Satrio terlihat kesusahan untuk membuka matanya.
Berulang kali dia menguap di depan Netra. Dan ... uff ... napasnya bau.

“Ya udah, cepetan mandi sana. Gue telat nih! Elo juga, tau motornya mogok dan ada
kuliah pagi tapi nggak buru-buru mandi,” omel Netra.

Satrio hanya menggaruk-garuk kupingnya lalu berjalan dengan tersaruk-saruk


kembali ke dalam kamar untuk mengambil handuk. Dia bergegas untuk mandi. Sementara
Netra menunggu Satrio dengan harap-harap cemas di ruang tamu.

Netra sibuk menghitung waktu. Sebelum Satrio mandi saja, jam dinding sudah
menunjukkan pukul 06.10 pagi. Paling tidak butuh secepat-cepatnya dua puluh menit
untuk Satrio mandi dan bersiap-siap. Itu tidak termasuk waktu untuk sarapan,
soalnya Netra tidak akan memperbolehkan Satrio sarapan terlebih dahulu. Jadi paling
tidak pukul setengah tujuh, Netra dan Satrio baru bersiap untuk berangkat. Artinya
Netra tidak punya waktu untuk piket pagi ini dong? Alamat dia harus piket sepulang
sekolah nanti.

Kalau tidak untuk kakak semata wayangnya ini, Netra tidak mau menungguinya mandi.

Tiga puluh menit berlalu. Oh, ternyata lebih lama dari perkiraan Netra. Tak lama
kemudian Satrio muncul dengan muka yang lebih segar.

“Mana kunci lo?”

Netra mengulurkan kunci motonya dan disambut dengan cepat oleh abangnya. Cepat-
cepat mereka berlari ke garasi rumah. Satrio menstater motor matic Netra. Pagi ini
Netra benar-benar mengandalkan kemampuan mengebut Satrio agar dirinya tidak
terlambat ke sekolah.

Nggak piket pagi nggak apa deh, yang penting Netra nggak telat masuk sekolah.

Pas banget.

Dua kata itu membuat jantung Netra berasa jatuh ke perutnya. Pertama, karena dia
sampai di depan gerbang sekolah pas banget dengan Pak Satpam yang menutup pintu
gerbang. Kedua, Netra datang pas banget dengan kedatangan Aldi dengan motornya.

Netra saat itu tengah berkompromi dengan Pak Toni—satpam sekolah. Netra tidak
tahu harus membujuknya dengan rajuan seperti apa lagi. Karena Pak Toni masih enggan
untuk membukakan pintu untuk Netra. Tapi setelah kedatangan Aldi, Pak Toni mau
membukakan pintu gerbang.

Hanya dengan kata-kata seperti ini, “Maaf, Pak. Saya terlambat. Ada pekerjaan
dari OSIS.”

Kreekk. Pintu gerbang terbuka. Yah, Aldi sangat pintar memanfaatkan posisinya
sebagai ketua OSIS.

Netra ikut menimpali, “Saya juga OSIS loh, Pak.”

Netra nyelonong masuk. Sepertinya Pak Toni tidak mempedulikan kata-kata Netra.

Netra cemberut. Coba tadi Netra menyebutkan alasan yang sama seperti alasan Aldi,
pasti Pak Toni tetap tidak percaya. Yang ada Pak Toni malah menuduhnya, “Jangan
dusta.”

Hah, sepertinya Netra harus mengusulkan pengadaan kartu tanda anggota OSIS atau
member OSIS agar dia tidak diperlakukan berbeda seperti ini. Sayangnya kartu itu
tidak mungkin akan disetujui.

Netra melihat motor Aldi menuju ke tempat parkiran sementara dirinya sendiri
berlari-lari kecil menuju kelasnya. Baru sampai di koridor, Netra merasakan ada
langkah kaki orang di belakangnya. Netra menoleh dan berjengit kaget.

Aldi sudah berada di belakangnya. Cepat sekali dia memarkirkan motornya. Berdua
saja dengan Aldi di koridor kelas, Netra jadi canggung sendiri. Dia bingung harus
mempercepat langkahnya atau memelankan langkahnya. Sementara pintu kelasnya tinggal
beberapa langkah lagi. Hingga akhirnya Netra memutuskan untuk berhenti sambil pura-
pura mengecek isi tas ranselnya. Aldi melewatinya tanpa berkata sepatah kata pun.

Eh, tidak. Netra sempat menangkap sebuah suara walaupun itu pelan.

“Ayo, cepet,” katanya tanpa menoleh pada Netra.

Netra berhenti dari kesibukannya pada tas ransel. Dia berdeham lalu memutuskan
untuk mengikuti Aldi yang memasuki kelas.

Sigh.

Kelasnya menjadi senyap ketika Aldi masuk diiringi dengan Netra di belakangnya.
Aldi tampak biasa saja. Dia lantas meminta maaf pada bu guru karena terlambat masuk
kelas. Begitu juga dengan Netra.

Seisi kelasnya masih terdiam hingga sampai Netra duduk di bangkunya. Keheningan
mereka hilang, digantikan suara suit-suitan dan gebrakan meja dari kaum lelaki.
Netra juga merasakan tatapan aneh dari para cewek terutama sahabatnya.

Selama anak-anak lain sibuk menyoraki Netra dan Aldi, Netra sibuk mengumpat dalam
hati. Sialan, ini gara-gara Satrio. Kalau tidak karena dia, Netra tidak akan telat
ke sekolah dan tidak akan menjadi bahan sorakan teman-teman di kelasnya.

****

Netra duduk di bangku depan kelas dengan muka yang ditekuk-tekuk pertanda dia
sedang bad mood. Sesekali dia meneriaki cewek-cewek yang melintas di depannya dan
memandangnya aneh.

“Apa lo?” Netra memelototi mereka.

Setelah cewek-cewek barusan ngacir, muncul cewek lain dari arah berlawanan. Sama
seperti tadi, mereka berbisik-bisik dan memandanginya dengan muka minta ditonjok.
Netra sudah malas menegur cewek-cewek kurang belaian itu.

Heran deh, berita tentang dirinya yang terlambat masuk kelas saja dijadikan
kehebohan. Benar-benar kekurangan bahan gosip. Saat Netra mengomel di depan Ayu,
Ayu mengomentarinya dengan iri yang berlebihan juga. Irinya itu tidak masuk akal.

“Ya iyalah jadi heboh. Kamu kan telat masuk bareng sama Aldi. Hellow, sekali lagi
Aldi. Lain ceritanya kalau kamu telat masuk kelas bareng sama aku.” Kepala Ayu
bergerak-gerak mirip artis India.

Muncul lagi serombongan cewek yang meliriknya. Netra menggeleng-gelengkan


kepalanya, takjub. Ternyata populasi cewek di sekolahnya banyak banget. Dari tadi
yang lewat cewek mulu. Tanda-tanda kiamat sudah dekat.

“Ih, bete deh gue kalau kayak gini.” Netra menopang dagunya.

Ayu mengikuti Netra menopang dagu, “Iya, aku juga sebel sama mereka. Dari tadi
ngliatin kamu terus. Mana kebanyakan adek kelas lagi. Berani banget sih mereka
nggosipin kakak kelasnya.”

“Hem.” Netra hanya berdeham dan mengangguk, mengiyakan kata-kata Ayu.

“Lagi pula salah sendiri telat bareng Aldi.”

Netra memutar kedua bola matanya. Pembahasan ini lagi.

“Hei, salahin abang gue dong. Satrio tuh yang bikin gue telat. Embek bener lah
dia.”

Syut. Tiba-tiba ada tangan yang melingkar di pundak Netra.

“Kenapa wajah lo kusut gitu sih, Net. Butuh setrika?”

Netra melepaskan tangan Pulung yang merangkulnya, “Apaan sih, peluk-peluk gue.
Najis.”

“Ceileh. Sensi amat, Neng? Cuma colek dikit aja.”

Netra hanya diam ketika digoda oleh Pulung. Dia masih bad mood.

“Kenapa sih lo, Net?” Pulung bertanya pada Netra, namun tidak ada jawaban.
Clueless. Karena tidak mungkin dia bertanya pada rumput yang bergoyang, akhirnya
Pulung menoleh pada Ayu meminta jawaban.

“Kamu nggak tahu gosip antara Netra dan Aldi?” Ayu malah menjawab dengan
pertanyaan lagi.

Pulung menutup mulutnya dengan satu tangan, “Netra pacaran sama Aldi?”

Plak. Sebuah tamparan mendarat di mulut Pulung. Netra yang barusan menggampar
mulut Pulung.

Mas-mas tukang drama satu ini kampret sekali, geram Netra dalam hati.

“Jaga itu mulut. Kalau nggak bisa jaga sendiri, titipin sana di tukang parkir.”
Sementara Netra ngedumel, Ayu malah cekikikan.

Pulung mengelus-elus mulutnya. Dia meminta maaf, sepertinya bercandaannya kali


ini keterlaluan.

“Sori, Net. Gue bercanda, Net. Gosip lo yang telat bareng Aldi itu kan?”

“Iya.” Netra meneguk botol minuman milik Merlin yang baru datang dari kantin.

“Ada apa ini?” Merlin bertanya pada Ayu yang masih saja cekikikan.

“Pulung habis digampar Netra,” jawab Ayu disela tawanya.

Merlin baru saja ingin ikut menertawai Pulung, tapi kemudian dia membentak
sepasang cewek yang berbisik-bisik di belakangnya.
“Heh, ngapain bisik-bisik sambil lihatin temen gue. Dia bukan tontonan, ya.
Tonton aja muka kalian sendiri. Kalian nggak lesbi, kan?”

Netra, Pulung, Ayu dan beberapa orang di sekitar Merlin langsung melihat sepasang
cewek yang dibentak Merlin. Kelas sepuluh, artinya mereka itu adik kelas. Mereka
terlihat ketakutan. Mereka lalu meminta maaf dan pergi. Salah sendiri cari perkara.
Mereka belum tahu kalau Merlin memang terkenal sadis.

“Mangstab lo, Mer. Lo katain lesbi.” Pulung bertepuk tangan.

“Abisnya mereka rese. Lirik-lirik Netra mulu. Gue risih jadinya.”

“Tau tuh, gara-gara temennya Pulung nih, gue kena imbasnya.” Netra menyodok
tangan Pulung, “Temen lo tuh, populer amat jadi orang. Gue baru telat masuk bareng
sama dia aja berasa gue telat bareng bintang Hollywood. Padahal nggak sengaja juga.
Kalau bisa gue ulang, gue pilih nggak masuk hari ini.”

“Temen gue siapa? Aldi?” tanya Pulung belagak bloon

“Iya!”

“Haha ... Aldi temen gue? Haha.” Pulung tertawa-tawa seakan membantah.

“Emang Aldi bukan teman kamu?” tanya Ayu.

“Siapa yang bilang? Temen gue kok.”

Argh.

Andai saja dinding itu empuk, rasanya Netra ingin membenturkan kepala Pulung ke
dinding. Dia tidak sanggup untuk menghadapi satu cowok ini. Kok ada sih, cowok
menyebalkan seperti Pulung. Untung saja dia ganteng dan itu satu-satunya aset yang
bisa dia banggakan. Kalau tidak ... ih, mana ada cewek yang suka.

Tet ... tet ... Bel masuk berbunyi. Bersamaan dengan itu, Aldi masuk ke kelasnya,
entah dari mana. Netra memandangnya sinis. Ini dia tokoh utama yang membuat hidup
Netra tidak tenang hari ini. Berbeda dengan sikap Netra, Merlin dan Ayu malah
menyambut Aldi dengan ramah.

“Aldi dari mana?”

“Ruang OSIS.”

Singkat dan padat. Netra selalu benci dengan sikap Aldi ini. Irit omongnya itu
bikin Netra pengen gampar itu bibir biar nggak berhenti bicara.

Netra mendengus sambil memperhatikan Aldi dari atas sampai bawah, “Lebih
gantengan Mr. Bean juga.”

“Apa, Net?” Merlin dan Ayu menatap Netra.

O ... ow. Nampaknya Netra terlalu keras menyuarakan pikirannya.

“Itu ... si Pulung mirip Mr. Bean ya.” Netra sukses ngeles. Entah Ayu dan Merlin
percaya dengan alasannya atau tidak, yang jelas keduanya tidak bertanya lebih jauh
lagi.

Sebenarnya tadi Netra ingin meniru kata-kata Merlin.


“Apa liat-liat? Kalian juga lesbi sekarang?”

Namun dia takut mulut pedas Merlin beraksi lagi. Netra tidak mau ada pertumpahan
darah di pintu kelasnya.

****
Bersambung~
BAB 9. Tentang Aldi

Netra baru saja selesai mandi. Sekarang badan dan pikiran Netra segar kembali.
Padahal dia tidak kemana-mana, hanya nongkrong di kafe bersama Merlin dan Indah
namun badannya capek sekali dan bau keringat.

Netra mengambil ponselnya di meja belajar lalu turun ke bawah. Dia duduk di sofa
depan televisi. Baru beberapa menit dia tenggelam dengan acara di televisi,
ponselnya berbunyi. Ada pesan yang masuk. Netra membukanya.

Ternyata dari Ayu.

Ayu : Net, coba tebak!

Firasat Netra tidak enak. Dia akhirnya membalas pesan Ayu dengan malas-malasan.
Perhatiannya dari layar televisi beralih ke layar ponselnya. Dia berniat untuk
menjahili Ayu.

Netra : Ay, coba jawab.


Ayu : Ih, seriusan. Coba tebak tadi aku ketemu siapa?
Netra : Ketemu Yang Maha Kuasa?
Ayu : Naudzubillah, Netra! Gitu amat, ih.

Netra tertawa terbahak-bahak. Dia membayangkan bagaimana wajah Ayu sekarang.


Pasti bibirnya maju beberapa senti karena cemberut.

Netra : Ya apa? Ketemu siapa? Mana gue tahu, kan bukan gue yang ketemu.
Ayu : Aku kasih clue deh. Clue-nya dia itu pangeran
Netra : Pangeran Diponegoro?
Ayu : Ngaco. Dia udah wafat, Net. Gimana aku bisa ketemu?
Netra : Ya kali aja kamu nemu fotonya di rak buku bagian sejarah, Ay.
Ayu : Bukaaan. Coba tebak lagi. Pangeran di sekolah kita.

Firasat buruk Netra terbukti.

Netra : Pangeran Kodok?


Ayu : NETRA! BARUSAN KETEMU ALDI DI GRAMEDIA
Ayu : TP SAYANGNYA PAS DIA BARU DATENG, AKU UDAH JALAN KELUAR
Ayu : Gitu aja kok nggak bisa nebak sih, Net.
Ayu : Payah kamu.

Netra yang membacanya, mengernyitkan dahi. Siapa suruh meminta Netra untuk
menebak-nebak sementara dia sudah punya firasat buruk tentang ini. Lagipula apa-
apaan ini Ayu, mengiriminya pesan tidak penting dengan huruf kapital semua. Dia
pikir mata Netra itu rabun apa?

Netra pun menulis pesan balasan.

Netra : WOY, KAGA PENTING!


Netra : Syukurlah, Nak. Lo segera pulang. Gue nggak mau liat lo berbuat hal
senonoh di sana.

Netra terkikik sendiri ketika membaca pesan yang dikirimnya kepada Ayu.

Ayu : Shit kamu, Net.

Setelah mengirimkan pesan itu, Netra berpikir ulang lagi, dia menyadari satu hal.
Netra mengulang infomasi yang diberikan oleh Ayu. Aldi ke Gramedia?

Netra menjentikkan jarinya. Wah, informasi yang cukup penting ternyata.

“Mama!” Netra berlari keluar rumah untuk menghampiri mamanya yang sedang
menyirami tanaman.

“Apa, Net?” Mamanya berbalik menatap Netra.

“Bang Satrio udah pulang belum?” tanyanya sambil melongok ke garasi.

“Belum.”

Baru saja Mama Netra selesai bicara, terdengar suara deru motor memasuki halaman
rumah. Netra menyambutnya dengan riang.

“Aaaa ... abangku tersayang, abangku tercinta, hati dilanda rindu tanpa
kehadiranmu.” Netra bernyanyi-nyanyi di depan Satrio, “Akhirnya pulang juga.
Motornya mau gue pake.”

Netra berlari masuk ke dalam rumah diikuti oleh pandangan Satrio yang takjub
dengan tingkah adiknya. Satrio menggeleng-gelengkan kepalanya, “Adik sableng.”

Kemudian Satrio memarkirkan motornya di garasi. Sementara itu, Netra sibuk


mengganti penampilannya di kamar. Dia mengurai rambut panjangnya. Setelahnya dia
membekali diri dengan kacamata dan topi di dalam tas selempangnya.

“Satrio!” Netra keluar dari kamar lalu beranjak ke kamar Satrio yang berada di
sebelah kamarnya.

“Sat!” teriak Netra lagi karena dia tidak mendapat jawaban. Dia mengetuk pintu
Satrio.

“Apa?”

Deg. Netra tersentak kaget. Satrio muncul di belakangnya. Sambil gelagapan dia
menunjuk Satrio lalu menunjuk pintu kamar Satrio.

“Gue ambil minuman dulu tadi.” Satrio menjelaskan sebelum Netra bertanya.

Netra mengangguk-angguk melihat gelas minuman di tangan Satrio. Bahkan Satrio


masih mencangklong tas ranselnya. Itu artinya dia belum ke kamar sepulang kuliah
tadi.

“Kunci motor.” Netra menengadahkan tangannya.

Satrio menggeser tubuhnya sedikit, “Di saku kiri celana gue.”


Netra mengernyit bingung. Lalu kenapa nggak lo ambil, monyong, pikirnya.

“Lalu?” tanya Netra.

“Ambil sendiri. Tangan kanan gue lagi bawa minuman, yang kiri sibuk ngupil.”
“Ih! You wish! Cepetan ambil napa, Sat.”

Satrio tertawa puas lalu mengangsurkan kunci motor yang ternyata ada di kantong
tasnya, bukan di saku celananya. Netra mengumpat-umpat sekaligus bersyukur.
Untunglah dia tidak sebodoh itu untuk mengikuti perintah Satrio.

“Eh, tumben tuh rambut nggak dikuncir? Nggak gerah?” tanya Satrio.

“Lagi pengen.” Netra melesat pergi setelah mendapat kunci motornya. Dia berlari
menuju garasi lalu menyalakan motor dan bersiap menuju Gramedia.

****

Setelah berkeliling di lantai satu, Netra berlari ke lantai dua toko buku itu.
Dia berkeliling sambil melihat-lihat sekitar. Tapi akhirnya dia turun ke bawah
dengan wajah kecewa. Netra tidak menemukan Aldi. Kemungkinan besar Aldi sudah
pulang. Huh, desah Netra.

Dia duduk di tangga lantai dasar, melepas topi lalu garuk-garuk kepala. Netra
memangku tangan sambil terus menatap ke depan. Dari pada tidak ada kerjaan, Netra
bersenandung pelan seraya memperhatikan pengunjung toko yang berlalu lalang.

Saat Netra sibuk melihat seorang bapak yang baru turun dari motor, dia menemukan
sosok yang dicarinya melintas di sana. Mangsanya muncul! Netra segera memakai
topinya kembali dan mengikuti Aldi. Ternyata Aldi berjalan ke arah kafetaria yang
terletak di basement Gramedia. Kafetaria ini tidak terlalu luas, namun lumayan
ramai oleh para pengunjung. Aldi duduk di salah satu kursi. Netra pun memutuskan
untuk ikut duduk, namun tetap menjaga jarak yang aman dengan Aldi.

Netra hanya memesan jus alpukat. Sedangkan Aldi ... Netra melirik ke makanan yang
dipesan Aldi. Netra menajamkan matanya. Dia melihat benda berwarna hijau di piring
Aldi. Itu petai. Aldi memesan petai. Mata Netra sedikit melotot. Aldi doyan petai?
Bagi Netra yang tidak menyukai petai, it’s amazing. Seorang Aldi makan petai.
Netra tidak suka petai karena makanan itu hanya akan membuat mulutnya bau. Jadi dia
tidak pernah mencoba makanan itu. Jujur, Netra takjub pada beberapa orang yang
gemar dan doyan dengan makanan itu.

Tapi itulah yang dimakan Aldi. Memang Aldi memesannya dan sekarang memakannya
dengan lahap. Netra meringis geli ketika memperhatikan cara makan Aldi. Seolah
petai itu makanan yang paling enak di dunia.

Lama-lama Netra geli dengan ekspresi yang dimunculkan oleh Aldi. Netra kira Aldi
orang yang sangat kaku, namun dia bisa berubah sebegitu ekspresif di depan petai.

Tidak ada yang dilakukan Aldi setelahnya. Pria itu hanya duduk di sana,
menghabiskan makannya, melahap lalapan timun mentah lalu beranjak pergi.

Netra menelengkan kepalanya, berdecak. Jauh-jauh dia kemari hanya mendapatkan


pemandangan Aldi makan petai. Netra ragu untuk menuliskan ini di catatannya, namun
apa boleh buat, informasi sekecil apa pun tidak boleh dia lewatkan.

Catatan #2 :
Aldi doyan petai.

****

“Bro, gue lihat lo sering becandain Netra, anak kelas gue. Lo suka sama Netra,
ya?”
What? Kuping Netra bergerak-gerak ketika mendengar namanya disebut. Dia sedang
dalam perjalanan ke kamar mandi. Tapi karena dia mendengar sebuah pembicaraan yang
melibatkan namanya, dia memutuskan untuk menguping dahulu. Terlebih lagi orang yang
tengah membicarakannya itu adalah Aldi. Iya, Aldi yang kemarin makan petai di
Gramedia. Netra tidak habis pikir, tenyata selain doyan petai Aldi doyan gosip
juga.

Netra berdiri di balik pintu. Dia belum tahu siapa lawan bicara Aldi.

“Hahaha.”

Netra mendengar tawa seseorang yang sangat dia kenal.

“Nggak kok. Netra itu asik diisengin. Gampang ngamuk, mulutnya kadang nggak punya
aturan.”

Itu suara Pulung. Lawan bicara Aldi adalah Pulung. Tamat riwayat Netra. Kalau
Pulung mengatakan bahwa mulut Netra tidak punya aturan, mulut Pulung itu kayak
keran bocor. Kalau tidak segera disumpal kerannya, bisa tumpeh-tumpeh, meluber
terus banjir. Jangan-jangan nanti Pulung menceritakan seberapa bencinya Netra
kepada Aldi. Juga akan menceritakan semua boroknya Netra. Rusak sudah image Netra
yang awalnya memang sudah tidak bisa diperbaiki.

Netra harus menghentikan gosip dua pria itu. Netra tidak sanggup untuk
mendengarkan lanjutannya. Oleh karenanya, dia memutuskan untuk keluar dari kelas
dengan secepat kilat. Langkah kakinya disetel sepanjang mungkin.

“Net! Gabung sini deh.”

Sialnya, Pulung malah memanggilnya.

“Ogah, gue mau pipis. Keburu ngompol di sana, udah di pucuk ini,” sahut Netra
asal. Dia meneruskan langkah panjangnya ke arah kantin. Dia tidak lagi berhasrat
untuk ke kamar mandi.

Sret ... duk ... brak!

Sesampainya di kantin, Netra langsung menimbulkan kegaduhan. Netra menggeser


salah satu kursi di samping Ayu lalu menjatuhkan bokongnya di kursi dan tak lama
kemudian dia menggebrak meja. Suara gebrakan meja itu mengagetkan Ayu dan beberapa
anak lain yang satu meja dengannya.

“Sebel gue.” Netra mengambil es jeruk yang kebetulan ada di depannya. Entah punya
siapa.

“Entar harus lo ganti,” ucap Indah, si empunya es jeruk.

“Kenapa?” Ayu dan Merlin kompak menanyai Netra.

“Ternyata ada cowok yang doyan gosip. Parahnya gosipin gue.” Netra menopang
dagunya lalu terdiam cukup lama.

Ayu dan Indah mendekatkan wajahnya ke muka Netra. Heran, barusan dia ngamuk
sekarang diam. Cepat sekali ekspresinya berubah.

“Apa sih kalian berdua?” Netra risih. Dia mendorong kepala kedua temannya supaya
menjauh.
“Lo yang aneh.” Indah balas mendorong kening Netra dengan telunjuknya.

“Siapa yang gosipin elo, Net?” Lain dengan Ayu dan Indah, Merlin serius dengan
cerita Netra. Merlin dan Netra itu sama-sama tidak suka mendengar orang lain
menggosipkan mereka.

Yang ditanya malah gelagapan sendiri. Mendadak dia ragu untuk mengatakan bahwa
Aldi lah si tukang gosip itu. Sekarang mulutnya terkunci rapat sementara Merlin
menaikkan alisnya, menunggu jawaban.

Indah dan Ayu ikut penasaran. Kenapa Netra malah menutup mulutnya ketika ditanyai
Merlin?

“Itu si Pulung. Gosipin gue.” Netra berhasil mencetuskan satu nama itu. Terpaksa
sekali lagi dia harus menjadikan Pulung sebagai kambing hitam. Padahal Pulung bukan
lah kambing dan tidak berkulit hitam. Hanya saja dia lebih menyakinkan untuk
menjadi seorang tukang gosip. Coba saja kalau Netra nekat memunculkan nama Aldi
sebagai penggosip. Ketiga cewek di depannya ini pasti menyangkalnya mentah-mentah.

“Salah denger kali.”

“Halusinasimu itu, Net.”

“Nggak mungkin itu, lo salah. Ngapain Aldi ngomongin elo?”

Yang pasti Netra akan disalahkan. Lain ceritanya kan, kalau Netra menyebut nama
Pulung. Ketiga temannya hanya ber-“oooh” panjang sambil mengangguk-angguk.

“Tali aja tuh mulutnya si Pulung,” sahut Indah. Netra meringis lalu ngacir ke
kamar mandi. Gara-gara meminum es jeruk milik Indah, pekerjaan yang sempat tertunda
sekarang mendekati deadline.

Netra jadi benar-benar kebelet pipis.

Sebelumnya tidak lupa dia mencatat dalam pikirannya.

Cat #3 :
Aldi doyan gosip.

****

Ini aku nulis apaaaa. Haha, penulisnya gaje bikin part juga jadi gaje. Harusnya sub
judul di part ini juga; Part Gaje.
Maafkan kegajean penulis ya ^^
Mau cari-cari seseorang untuk dijadiin visualisasi sosok Aldi. Enaknya siapa ya?
Ada saran?
Terima kasih sudah membaca ya ^^
Salam sayang,

nanoniken
BAB 10. Aldi di Rumah Netra

Netra terbangun dengan keadaan yang masih sama seperti waktu di sekolah tadi.
Perutnya masih merasakan sakit yang tidak tertahankan. Tangannya bergerak menggapai
gelas minuman di meja nakas. Kerongkongannya terasa kering

Ketika merasakan gelas itu enteng, Netra mengumpat. Sialan. Habis, sepertinya
gelasnya bocor. Netra melirik ke jam dinding. Pukul 21.15, lumayan lama juga
dirinya tertidur. Sepulang sekolah tadi, dia langsung meringkuk ke kasur setelah
mengganti bajunya. Dia sedang tidak enak badan karena datang bulan.

Setelah sakit perutnya sedikit berkurang, dia berusaha berdiri dan menggerakkan
kakinya ke dapur. Badannya pegal-pegal seolah dia baru saja menggantikan tugas
kerbau-kerbau di sawah untuk membajak sawah.

Dengan susah payah Netra melangkah. Netra sangat bersyukur ketika dia sudah
berada di depan kulkas. Berjalan satu meter lagi saja, Netra pasti tidak akan
sanggup. Hari pertama haid memang sangat menyebalkan. Badan Netra menjadi lemah
tidak berdaya. Walaupun ada untungnya juga bagi Netra, dia jadi punya alasan untuk
tidak mengikuti pelajaran olahraga hari ini. Jadi dia bisa menghindari untuk
bertemu dengan permainan bola dan enak-enakan tidur di UKS.

Netra terkantuk-kantuk di meja makan. Kerongkongannya sudah tidak kering lagi,


sakit perutnya pun sudah berkurang. Di keheningan rumahnya, Netra samar-samar
mendengar suara genjrang-genjreng dan suara orang bernyanyi di depan rumahnya.
Netra membuka matanya. Rasa kantuknya berubah menjadi penasaran. Dia berjalan
keluar.

Netra menyipitkan matanya, berusaha mengenali beberapa orang di luar sana. Lampu
penerangan jalan tidak terlalu membantu Netra untuk mengenali wajah orang-orang
itu. Tapi satu yang pasti, Satrio ada di sana. Dia sangat hapal siluet tubuh Satrio
walaupun dari belakang. Maka pastilah itu gerombolan teman Satrio. Mereka bernyanyi
sambil merokok. Netra mendekati mereka dengan wajah tidak suka. Tahukah mereka
kalau mereka itu mengganggu?

“Hei hei, pengamen mana ini? Sembarangan masuk komplek rumah orang.” Netra
meluncurkan jurus juteknya. Orang-orang itu menoleh. Barulah Netra bisa melihat
wajah mereka.

“Lo udah baekan, Net?” Satrio bertanya pada Netra tanpa menoleh karena dia sedang
mematikan rokoknya.

“Sat, ngamen malem-malem gini, ganggu tetangga lain, kan.” Alih-alih menjawab
pertanyaan Satrio Netra malah mengomel padanya.

Iwang menimpali, “Adek kita satu ini dateng-dateng nggak nyapa malah ngomel.”

Iwang sudah lama mengenal Netra. Bahkan dulu dia pernah menembak Netra tapi
ditolak. Lalu secara sepihak dia memproklamasikan hubungan kakak-adik dengan Netra.

“Kalau siang sih terserah kalian, ya. Tapi malem-malem gini genjrang genjreng di
luar rumah itu nggak etis,” kata Netra tanpa semangat. Tubuhnya masih lemas, tiba-
tiba saja perutnya bergejolak lagi. Netra melirik pada Iwang. Tanpa sengaja dia
menemukan Aldi berada di sana. Dia berdiri di samping Iwang, sedang sibuk mematikan
rokoknya padahal rokoknya masih panjang. Ketua OSIS itu merokok juga ternyata. Satu
lagi nilai buruk Aldi di depan Netra. Netra sangat tidak suka asap rokok. Bukan
berarti dia tidak memperbolehkan orang lain merokok. Silakan saja merokok di
depannya asal asapnya ditelan jangan dikeluarkan.

Walapu begitu menurut Netra, perlakuan Aldi itu cukup gentle dengan tidak
membiarkan seorang cewek ikut merasakan asap rokok yang dia hasilkan. Tapi tetap
saja, dia merokok. Kalau ketahuan pihak sekolah, mampus dia. Catatan tambahan untuk
Netra.

Catatan #4 :
Aldi merokok.
Rasa sakit di perutnya muncul lagi. Netra terpaksa harus duduk di depan Satrio
sambil meringis, memegangi perutnya.

Aldi meliriknya sekilas.

“Halah, duduk juga,” ejek Iwang.

“Diem, lo!” sahut Netra. Dia memperhatikan gitar di tangan Iwang. Kok familier,
ya?

“Gitar gue ya itu?” Netra merebut gitar dari tangan Iwang, “Lo ambil pas gue lagi
tidur ya? Lo masuk kamar gue?” tuduh Netra.

“Bukan gue. Abang lo tuh,” bela Iwang.

Netra memandang Satrio meminta jawaban.

“Gue ambil pas lo tidur. Nggak enak juga gue bangunin lo,” aku Satrio. Lalu dia
kembali sibuk dengan cewek di sampingnya. Netra mengernyit. Cewek itu bawel sekali.
Sejak dari Netra datang, dia terus mengajak Satrio berbicara. Satrio sih mau-mau
saja menanggapi tapi Netra yang melihatnya jadi risih.

Bukan sekali ini saja Netra melihat cewek-cewek genit menggoda abangnya. Tapi
selama Satrio tidak protes dan menunjukkan raut terganggu, Netra membiarkan mereka
bersenang-senang.

Netra memetik gitarnya pelan. Kalau diingat-ingat sudah lama dia tidak bermain
gitar. Dia kangen bernyanyi diiringi dengan suara gitarnya.

Tanpa sadar, Netra bernyanyi. Namun keramaian yang ditimbulkan dari pembicaraan
teman-teman Satrio berhasil meredam suara Netra yang sangat pelan.

“Sat, soal ide pentas seni yang kemarin ....” Netra bisa mendengar suara Aldi di
antara suara lainnya. Aneh, kenapa suara Aldi masih bisa terdengar padahal ada
banyak suara lain yang menimpalinya.

“Ah, Aldi. Bentaran kenapa, gue lagi ngomong serius sama Satrio.”

Kenapa juga suara manja itu bisa tertangkap telinga Netra. Netra membuka matanya
lalu mengernyit. Wah, kalau Netra sudah mengernyit untuk kedua kalinya, itu
tandanya Netra sudah mulai terganggu. Cewek di dekat Satrio itu harus berhati-hati
karena Netra mulai marah.

Netra menghentikan petikan gitarnya lalu menggenjreng senar gitarnya dengan


keras. Anak-anak lain terdiam dan menoleh pada Netra.

Netra berdiri, “Mending tidur deh, ada cewek manja di sini.” Netra memberikan
penekanan pada kata ‘manja’. Dia melirik ke cewek di dekat Satrio, ingin tahu
apakah dia merasa tersindir. Sepertinya iya tuh, karena matanya berkilat marah pada
Netra.

Netra tergelak, “Sadar diri juga dia.” Lalu Netra ngeloyor masuk ke rumah dan
tidur tenang di kamarnya.

****

Slurp.
Netra terlihat sangat menikmati segelas susu di hadapannya. Harinya selalu
diawali dengan susu hangat. Segelas susu hangat di pagi hari itu sangat nikmat.
Selama enam belas tahun, Netra tidak pernah absen minum susu saat sarapan. Kecuali
saat dia berpuasa tentunya.

Abangnya turun dari kamarnya dengan muka yang masih sangat mengantuk. Belum
mandi, rambutnya acak-acakan dan dia berjalan sempoyongan. Dia menggeser kursi di
dekat Netra lalu duduk sambil memijat kepalanya.

“Selamat siang,” sapa Netra.

Satrio tidak menanggapi sapaan Netra yang mengandung ejekan di dalamnya.

“Gue pusing,” katanya sembari menguap.

Netra memperhatikan keadaan abangnya. Satrio pasti begadang semalam, tapi tidak
biasanya dia se-semrawut ini ketika bangun tidur. Akhirnya Netra menebak-nebak
sendiri.

“Lo minum-minum ya?” tanyanya tenang. Netra bertanya sambil mengoleskan selai ke
atas rotinya, seakan pertanyaan itu sangat wajar.

Satrio menggeplak pelan kepala Netra. Pusingnya hilang seketika. Dia sedikit
tersinggung karena adiknya berprasangka buruk terhadapnya, “Lo tahu gue nggak
pernah minum alkohol dan semacamnya. Gue itu clean!”

Netra mengelus kepalanya, “Siapa yang bilang alkohol sih? Gue kan cuma bilang
minum. Ya, minuman kan banyak macemnya.”

“Jadi yang lo maksud minum-minum apaan? Coba jelaskan biar gue nggak salah
paham.”

“Minum susu!” seru Netra sambil menggigit rotinya. “Kenapa lo pusing? Aneh.”

“Nggak tahu nih, kayaknya gue salah tidur. Eh, buatin gue roti dong.”

“Mau strawberry apa cokelat?” tanya Netra sambil menunjuk pada botol selai.

“Yang warna merah.”

Netra mengambil roti tawar di depannya lalu mengolesinya dengan selai strawberry.

Satrio menuangkan air putih lalu menenggaknya. Berbeda dengan Netra, Satrio itu
anti minum susu. Katanya sih enek, coba saja suruh dia minum susu, belum sampai
lewat ke kerongkongannya pasti sudah dimuntahkan duluan.

“Thanks, Sayang,” ucap Satrio ketika Netra memberikan roti untuknya. Satrio
menggigit roti itu, “Eh, Mama ke mana?”

“Ke luar kota lagi. Surabaya, katanya,” jawab Netra malas.

“Heran. Makin gila-gilaan ya, Mama. Sekarang jarang banget di rumah. Bisa di-stop
nggak sih? Gue takut Mama kecapekan. Ke luar kota terus.”

Netra mengangguk-angguk. Biasanya seminggu sekali ibunya pulang. Yah, walaupun


hanya sehari atau dua hari saja. Tapi sekarang, sebulan sekali ada di rumah.

“Coba, Sat. Lo yang ngomong ke Mama empat mata. Demi kebaikan Mama juga.”
Satrio hanya membalas dengan gumaman, “Gue coba deh, besok pas Mama pulang.”

Lalu keduanya melanjutkan sarapan dalam diam.

“Eh, Net ....” Satrio memecah keheningan, “Menurut lo, cewek yang kemarin itu
gimana?” tanya Satrio.

Netra mendengus, “Aduh, Sat. Hari ini lo cerewet banget sih?” Netra heran dengan
abangnya. Sedari tadi dia tanya ini, tanya itu, tanya anu. Biasanya kan Netra yang
bawel. Eh, giliran Netra pengen diem, Satrio yang mengganggunya dengan bibir
bawelnya itu. Barulah Netra tahu bagaimana perasaan abangnya yang selama ini selalu
menghadapi kebawelan Netra.

“Gue kan cuma nanya, Non. Gimana menurut lo soal Sacha. Sebagai sama-sama cewek
lo pasti punya penilaian sendiri dong.”

“Sacha siapa?” tanya Netra ketus.

“Cewek yang kemarin nempel terus sama gue. Yang kemarin lo sindir manja itu.”
Satrio tertawa tertahan.

“Nggak usah tanya pendapat gue, lo juga udah tau lah, Sat. Dengan sekali lihat
gue udah bisa tebak kalau cewek itu manja banget. Amit-amit jabang baby deh gue
lama-lama sama dia.” Netra melirik abangnya. Satrio mengulum senyumnya. Firasat
Netra tidak enak. Jangan ....

Jangan bilang kalau Satrio ....

“Sat, lo nggak berencana suka sama uler Sanca itu kan? Sadar, Sat. Lo lagi
kerasukan roh halus. Apa perlu gue sembur lo pake susu anget biar lo sadar. Masya
Allah, Sat!” Netra nyebut. Satrio terbahak-bahak mendengar celotehan ajaib yang
dikeluarkan dari bibir adiknya.

Sementara Satrio tertawa, Netra masih sibuk nyebut dan meracau tidak jelas.

“Aaa ... masa iya gue bakal punya kakak ipar kayak dia. Astaghfirullah, cobaan
apa ini, Ya Allah. Ampuni dosa Baim, Ya Allah.”

Satrio menoyor kepala Netra, “Nggak lah. Pikiran lo kejauhan. Gila apa gue bisa
suka sama cewek macem Sacha. Matre abis, perawatannya mahal. Tenang, Net. She’s not
my type.”

Netra mengacungkan kedua jempolnya ke depan muka Satrio, “Bagus. Terus tipe lo
yang kayak gimana?”

“Yang kayak elo gitu deh.” Satrio menaik turunkan alisnya, menggoda.

Netra bergidik geli. Dia melempar serbet ke muka Satrio, “Gue berangkat ke
sekolah dulu deh. Daripada dirayu playboy cap uler Sanca.”

Satrio terkekeh lalu melambaikan tangannya genit.

Dasar, Satrio. Kalau merayu tidak tanggung-tanggung. Masa iya, adik sendiri juga
dirayu. Sepertinya Satrio memang deeply and truly desperado.

****
Bersambung~
BAB 11. Children on the Street I
Beberapa jam sebelumnya …

“Wang, lo masih inget dulu pernah cerita tentang pengamen cilik yang suaranya
bagus?” tanya Satrio sambil mengambil satu batang rokok dari bungkusnya.

Iwang mengangguk-angguk, “Ucay maksud lo?” Iwang menanggapi dengan pertanyaan


lagi.

“Yah, gue lupa namanya, Wang. Lo masih sering ketemu pengamen cilik itu?”

“Iya, masih. Kadang gue ketemu dia lagi ngamen kalau gue lagi makan di warung Bu
Sri.” Iwang meminta pemantik api kepada Satrio. Dia mengikuti Satrio yang
menyalakan rokoknya.

Kedua pria itu sedang berada di teras rumah Satrio. Saling berbagi polusi udara.
Mereka berlomba-lomba menjadi perokok aktif sekaligus perokok pasif. Diam-diam
saling merusak paru-paru satu sama lain.

“Bocah itu beneran bagus nggak?” tanya Satrio.

“Kenapa, Sat?”

“Junior gue di SMA ada yang pengen ketemu Ucay.”

“Junior SMA? Netra dong?” Iwang menghembuskan asap rokok dengan membuatnya
menjadi beberapa bulatan.

“Bukan. Temennya Netra yang jadi ketua OSIS. Aldi namanya. Dulu gue pernah cerita
ke dia tentang Ucay. Eh, dia tertarik untuk ngajak Ucay manggung di pensi sekolah.”

“Pensi sekolah manggil bintang tamu pengamen cilik, Sat? Gue kok baru denger ya.
Lumayan unik tuh idenya.”

“Pensi SMA gue itu tertutup soalnya, Wang. Sekolah gue nggak mau bikin pensi yang
komersil. Kalaupun ngundang band juga tetep untuk intern sekolah aja. Biasanya sih,
isinya unjuk gigi ekstrakulikuler di sekolah. Tahun ini kayaknya Aldi mau bikin
acara yang sedikit berbeda,” terang Satrio.

Iwang mengangguk-angguk mengerti, “Ya ayolah kalau pengen ketemu. Gue tahu tempat
biasa mereka nongkrong kok.”

“Sekarang bisa?”

“Terserah, Sat,” sahut Iwang sambil meneguk minuman kalengnya.

“Coba gue tanya Aldi dulu deh. Biar dia ke sini dulu.”

Satrio pun mengeluarkan ponselnya untuk mengetikkan pesan.

Satrio : Di, lo ke sini sekarang ya!

Tak lama kemudian pesan balasan dari Aldi masuk ke ponsel Satrio.

Aldi : Yang butuh siapa, Bang?

Ah, elah, rese banget ini orang. Disuruh kemari malah nantangin, batin Satrio.
Dia menaruh ponselnya dengan kasar ke meja. Hilang sudah mood-nya untuk membantu
Aldi. Dia membiarkan pesan Line dari Aldi terbuka tanpa dia balas. Hingga pelan-
pelan layar ponselnya meredup. Beberapa detik kemudian, ponsel Satrio berbunyi
lagi, pertanda ada pesan yang masuk.

Aldi : Canda, Bang


Aldi : Ada apa? Kok gue disuruh ke sana

Satrio yang masih sedikit sebal membalasnya dengan malas-malasan.

Satrio : Lain kali kalau disuruh ke sini. Ya ke sini langsung aja.


Aldi : Ok bos, dicopy.

Satrio menghembuskan napas. Aldi memang begini orangnya. Lempeng banget. Nggak
peka.

Satrio : Masih pengen gue bantu buat ketemu pengamen cilik yang dulu pernah
gue ceritain nggak?
Satrio : Kalau masih minat, ke sini dalam 10 menit.
Aldi : Ok, gue ke sana sekarang.

Satrio melempar ponselnya lalu kembali menikmati rokoknya yang sempat


terlewatkan.

“Mau ke sini orangnya?” tanya Iwang sambil melirik pada Satrio.

“Iya. Gue suruh ke sini dalam sepuluh menit. Enak ya jadi senior, bisa nyuruh-
nyuruh semaunya.” Satrio tergelak.

“Senior kampret,” sindir Iwang. “Sat, pinjem gitar dong.”

Satrio terkekeh, “Rumahnya deket sini. Gue ambilin punya Netra, ya. Gitar gue
senarnya putus, belum beli.”

Iwang hanya menjawab dengan acungan jempol.

Satrio pun beranjak menuju kamar Netra. Dibukanya pintu kamar Netra dengan pelan
lalu dia mengendap-endap masuk untuk mengambil gitar Netra yang ditaruh di dekat
meja belajarnya. Netra sedang terlelap dengan selimut yang menutupi seluruh
badannya sampai ke muka.

Siang tadi adiknya itu pulang dengan muka pucat dan memegangi perutnya. Dia
langsung masuk ke kamarnya dan belum keluar sampai petang.

Begitu Satrio berhasil mengambil gitar Netra tanpa membuat Netra terganggu, dia
turun ke bawah. Dia mengulurkan gitar itu pada Iwang.

“Netra di mana, Sat? Kok nggak kelihatan. Suaranya juga nggak terdengar,” tanya
Iwang.

“Di atas, lagi tidur. Lo jangan cari masalah sama Netra. She’s on her first
period. Senggol bacok, Wang.”

Iwang tertawa, “Nggak lagi datang bulan pun dia tetep senggol bacok, Sat. Nyokap
lo dulu nyidam badak apa ya? Jadi Netra hobinya nyeruduk orang mulu.”

“Gue juga tobat kalau udah diseruduk Netra. Mulutnya itu susah diparkir.”

“Kalau soal mulut, itu mirip sama elo, Sat.”


Satrio serta merta menghadiahi Iwang dengan lemparan kulit kacang.

Bersamaan dengan itu, sebuah motor berhenti di depan rumah Satrio. Pengemudinya
turun dan masuk ke dalam rumah.

“Assalamualaikum, ya ahli kubur,” sapa Aldi.

“Wa'aikumsalam, wahai tukang gali kubur,” sahut Satrio. “Duduk, Di. Tuh, Iwang
nanti yang nunjukin jalan ke tempatnya Ucay.”

Aldi menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Iwang dan disambut oleh
Iwang. Dia kemudian duduk di kursi dekat kursi Iwang.

“Lo serius mau ngajakin Ucay manggung di pensi lo?” tanya Iwang.

“Iya, Bang. Tapi gue harus lihat penampilan dia dulu. Bagus apa nggaknya. Nggak
apa kan, Bang ... kalau gue ngajak Ucay? Maksud gue, ada yang harus ngasih ijin
nggak?” Aldi memberi tanda petik ketika mengucapkan tentang ijin.

“Nggak lah. Ucay bebas kok, nggak perlu ijin. Sekarang aja ke sana ya, keburu
maghrib nanti.”

“Gue ngikut aja lah, Bang,” sahut Aldi.

“Ya udah sekarang.” Satrio berdiri lalu mengeluarkan motornya. Sebelum dia pergi,
dia tidak lupa untuk mengirimi Netra pesan bahwa dia pergi keluar bersama temannya.
Takutnya Netra panik ketika dia bangun tidur dan menyadari Satrio tidak ada di
rumah.

Setelah mereka siap, ketiganya pergi menuju tempat dengan petunjuk Iwang.

****

Setibanya di tempat yang dimaksud Iwang, mereka bertiga menyempatkan diri untuk
sholat maghrib di masjid sekitar sana. Kebetulan ketika tiba di tempat itu
terdengar azan maghrib.
Setelah mereka menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim, Iwang membimbing
untuk berjalan melewati gang sempit di dekat masjid. Sementara motor mereka
diparkirkan di parkiran masjid. Ketiganya menutup hidung ketika melewati sebuah
gang sempit yang bau pesing. Rasanya seperti melewati sebuah rintangan. Semua
rintangan dari Benteng Takeshi sudah pasti kalah dengan rintangan yang mereka
hadapi sekarang.
“Kampretlah ini, siapa yang seenaknya ngeluarin burungnya di sini sih. Bau
pesing, dikiranya gang ini toilet apa?” gerutu Satrio.
Iwang tertawa terbahak-bahak. Aldi yang berjalan di belakang Satrio hanya diam.
Mukanya pucat hampir muntah.
Setelah beberapa langkah melewati gang pesing itu, mereka berjalan beberapa meter
lagi. Lama kelamaan bau pesing itu menghilang.
“Wang, apa nggak ada jalan yang lain? Sial banget lo milih lewat jalan itu.”
“Cerewet banget lo, Sat. Mulut lo itu kayak mulut cewek,” kata Iwang ketika
mereka sudah sampai di depan sebuah pos kamling. “Nih, udah sampai. Ucay!”
Iwang memanggil Ucay dari depan pos kamling, “Ucay!”
Seorang bocah kecil menggunakan sarung, keluar dari bangunan. Dilihat dari
penampilan dan tubuhnya kemungkinan dia berumur 14-15 tahun. Di belakangnya muncul
beberapa bocah lain yang rambutnya basah. Sepertinya mereka juga habis sholat
maghrib berjamaah.
“Bang Iwang ngapain kemari, Bang?” tanya Ucay yang kemudian menyalami tangan
Iwang, Satrio dan Aldi bergantian.
“Temen abang ada yang mau ketemu elo. Tuh, Bang Aldi namanya.” Iwang menunjuk
Aldi dengan dagunya.
Ucap menatap Aldi. Matanya menilai Aldi dari atas sampai bawah. Dia mengambil
sikap waspada ketika melihat orang asing di depannya.
Iwang yang menyadari kecurigaan Ucay mendekati bocah itu. Dia merangkul pundak
Ucay dan membawanya untuk mendekat kepada Aldi.
“Tenang, Cay. Santai, ini Bang Aldi, temennya Bang Iwang. Kalau yang itu Bang
Satrio namanya.” Iwang menunjuk pada Satrio. Merasa dirinya ditunjuk, Satrio
langsung melambai-lambaikan tangannya dengan semangat. “Kalau manggil dia, harus
lengkap ... jangan dipotong ya, nanti orangnya ngamuk. Mereka ke sini nggak mau
bawa masalah malah mau minta tolong.”
Sekali lagi, Ucay menilai Aldi dari atas sampai ke bawah. Hal yang sama juga
diberikan untuk Satrio. Aldi memberi senyum bersahabat kepada Ucay sehingga sikap
tegang dari Ucay sedikit mencair.
“Ada urusan apa nyari saya, Bang?” tanya Ucay.
“Ngobrolnya sambil duduk aja ya, Cay.” Aldi mengajak Ucay untuk duduk di kursi
kayu di depan pos kamling. Iwang, Satrio dan bocah-bocah lain mengikuti mereka.
“Ucay biasanya kalau ngamen sama siapa aja?” tanya Aldi memulai pembicaraan.
“Sama semua bocah ini, Bang.” Ucay menunjuk satu persatu bocah yang ada di
sekitarnya, “Eko, Joni, Sono dan Musa. Kami biasanya ngamen barengan. Kalau Eko,
Joni dan Musa kadang juga kerja jadi loper koran di lampu merah.”
Aldi mengangguk-angguk lalu menatap bocah di depannya. Bocah laki-laki ini
sebenarnya mempunyai wajah yang manis. Hanya saja tubuh dan mukanya sedikit tidak
terawat. Baju yang digunakannya juga sudah lusuh. Kulit gosongnya pastilah hasil
berpanas-panasan di tengah terik matahari. Coba saja kalau takdir menempatkannya
sebagai anak rumahan biasa, pasti bocah ini sangatlah tampan dan menjadi pujaan
para gadis.
“Ucay sudah berapa lama jadi pengamen jalanan?” tanya Aldi. Dia sengaja
mendekatkan diri terlebih dahulu dengan Ucay sebelum mengutarakan maksud
sebenarnya. Dia ingin Ucay bisa berbicara dengan santai dengannya.
“Lama, Bang. Saya nggak pernah ngitung berapa lamanya,” jawab Ucay enteng.
“Biasanya sehari dapet berapa?”
“Nggak tentu lah, Bang. Namanya juga di jalanan, se-dikasihnya aja sih. Saya juga
nggak ngamen dari pagi sampai siang. Harus bagi-bagi waktu sama sekolah. Nggak
pernah sampai ratusan ribu, Bang. Itu dibagi-bagi sama temen-temen.”
Aldi mengangguk-angguk dan sedikit terperangah. “Kalian masih sekolah?” tanya
Aldi lagi.
“Masih, Bang. Mereka semua juga masih sekolah.” Ucay menunjuk teman-temannya.
Bocah-bocah polos itu menatap Aldi dengan mata bulat mereka.
“Gimana ceritanya tuh ..., emang dibolehin sama sekolahan?”
“Guru-guru saya tau sih, Bang. Saya sering malu juga kalau di tengah-tengah jalan
ketemu guru saya. Tapi mau bagaimana lagi, Bang. Saya bisanya cuma nyanyi. Padahal
saya ngamen juga buat bantu ibu bayar uang sekolah. Walaupun ada bantuan dari
sekolah, tapi buku dan perlengkapan lain kan bayar sendiri,” cerita Ucay panjang
lebar. Aldi tersenyum mendengar celotehan Ucay. Nampaknya bocah itu sudah sedikit
santai dengannya.
Ketika Aldi sedang senyum-senyum, Ucay berdiri lalu menatap Aldi dengan pandangan
menuduh. “Abang ke sini bukan jadi mata-mata guru saya kan, Bang?” selidik Ucay.
Aldi tertawa terbahak-bahak, “Nggak, gue belum sehebat itu untuk jadi mata-mata
guru elo. Kenal aja enggak, Cay.” Aldi menarik Ucay untuk kembali duduk di
sampingnya. “Tujuan gue ke sini dan nyari elo itu justru gue mau nawarin kerjaan
sama elo. Gue rencananya mau ngajak lo manggung di acara sekolah gue. Ucay, mau?”
****

BAB 12. Children on the Street II

“Tujuan gue ke sini dan nyari elo itu justru gue mau nawarin kerjaan sama elo.
Sekolah gue bentar lagi ada hajatan, Cay. Gue rencananya mau ngajak lo manggung di
acara sekolah gue. Ucay, mau?”

Ucay memandang Aldi tidak percaya, “Bang Aldi ngajak bercanda ya? Masa iya kami
pengamen jalanan seperti kami disuruh manggung di acara sekolah?”

“Lho, emang tema acara sekolah abang tentang pengamen jalanan yang suaranya
bagus. Gue denger dari Bang Iwang, suara lo bagus, Cay. Anggap saja buat bantu-
bantu bayar sekolah lo, Cay. Jadi lo bisa liburan, nggak usah ngamen lagi beberapa
waktu. Rezeki ini, lumayan duitnya.”

Ucay terlihat berpikir sebentar. Dia memandangi wajah teman-temannya. Mereka


menatap Ucay dengan binar-binar ketertarikan di kedua matanya. Ucay lalu beralih
pada wajah Aldi.

“Saya sih nggak pernah nolak rezeki, Bang. Ini uang halal lagi. Tapi yang jadi
masalah, apa saya pantas tampil di sana?”

“Pantas, Cay. Suara lo itu keren,” celetuk Iwang yang sedang bermain dengan Sono.

“Iya, Bang Ucay.” Eko ikut-ikutan menyahut.

Aldi menepuk bahu Ucay pelan. “Makanya, gue datang kemari mau lihat penampilan
kalian. Jadi gue bisa mutusin kalian pantas atau enggak.”

Tanpa berpikir lagi, bocah-bocah lain mengambil peralatan ngamen masing-masing.


Ucay pun akhirnya menyerah dan mengikuti teman-temannya.

Kemudian mengalirlah suara emas dari pita suara Ucay. Saat itu Ucay menyanyikan
lagu ‘Aku yang dulu bukanlah yang sekarang’ yang dinyanyikan oleh Tegar, seorang
pengamen cilik juga. Eko, Joni, Musa dan Sono mengiringi lagu itu dengan gitar yang
usang, dan alat sederhana lainnya.

Setelah lagu itu selesai, tanpa sadar Aldi, Satrio dan Iwang bertepuk tangan.
Ketiganya tersihir oleh suara Ucay yang mendayu-dayu. Bocah itu seharusnya bisa
sukses dengan suara emasnya. Hanya takdir yang kurang berpihak padanya sehingga dia
harus puas menjadi pengamen.

Rasanya ingin sekali Aldi mengangkat derajat mereka. Ia ingin sebutan pengamen
jalanan untuk mereka berevolusi menjadi musisi. Jalanan hanyalah tempat mereka
berlatih. Setelah mendengar suara Ucay, Aldi menyadari bahwa Ucay mempunyai bakat.

“Suara lo keren, Cay. Gue serius ngajak lo manggung di sekolah gue. Gimana?”

Ucay mengamati wajah teman-temannya. Mereka mengangguk bersamaan. Mereka


menyetujui tawaran Aldi dengan antusias. Akhirnya Ucay pun ikut mengangguk,
“Baiklah, Bang. Saya mau.”

“Oke, Cay. Gue kalau nyari lo di mana?” tanya Aldi.

“Biasanya pas istirahat saya di sini, Bang. Kalau sore habis sholat maghrib saya
juga di sini. Kalau saya nggak di sini, Bang Aldi bisa tanya ke tetangga sekitar.
Saya sama temen-teman sering bantuin tetangga sini bersih-bersih rumah, Bang. Rumah
saya di belakang sana, Bang.”

“Oke, Cay.” Aldi mengacak-acak rambut Ucay dengan sayang. Seolah dia telah
menemukan sebuah harta karun berharga.

Aldi memperhatikan bocah-bocah yang sedang memegang alat musik itu satu per satu.
“Cita-cita kalian apa?”

Sono kecil-lah yang pertama kali menjawab. Dia menjawab dengan antusias, “Sono
mau jadi dokter, Bang!”

Aldi menatap Sono, “Kenapa mau jadi dokter?”

Mata Sono yang mulanya berbinar-binar jadi sedikit meredup, “Abah di rumah sakit-
sakitan, Bang. Sono nggak tega lihatnya. Sono pengin sembuhin Abah.”

“Sudah dibawa ke rumah sakit?”

“Belum, Bang. Belum ada biaya. Baru dibawa ke puskesmas tapi belum sembuh-sembuh
juga.”

“Abang doain Sono jadi dokter biar bisa sembuhin Abah ya,” ucap Aldi.

“Amin, Bang.” Sono tersenyum lebar kembali.

“Yang lainnya?” Kepala Aldi beralih ke anak-anak lain.

“Saya ingin jadi polisi, Bang. Biar bisa menangkap penjahat,” ucap Musa lirih.

“Kalau mau jadi polisi harus tegas, Musa. Nggak ada polisi yang lembek dan
suaranya pelan kayak kamu,” ucap Aldi memberi semangat pada Musa.

“Saya mau jadi polisi supaya bisa nangkep penjahat, Bang!” seru Musa dengan
lantang. “Dulu pas saya lagi perjalanan pulang dari jualan koran pernah ada yang
maling jemuran, Bang. Saya jalan aja santai, eh ..., warga malah neriakin saya
sebagai temennya itu maling. Karena panik, saya lari daripada digebukin mereka,
Bang. Untungnya saya bisa kabur jadi selamat. Tapi saya sakit hati, Bang. Hanya
karena saya berpakaian lusuh saya jadi dituduh maling, Bang.”

Aldi menepuk-nepuk pundak Musa, “Belajar yang rajin. Kalau kamu ada niat dan
kemauan pasti ada jalan. Jangan lupa untuk rajin beribadah juga.”

Musa mengacungkan kedua jempolnya kepada Aldi, “Kalau itu sih beres, Bang. Ada
Bang Ucay yang selalu ngingetin kita untuk sholat.”

Tangan Aldi pun terulur untuk mengacak-acak rambut Musa dengan sayang.

Dalam hati kecilnya, Aldi bangga pada Ucay dan kawannya. Di usia mereka yang
masih kecil, mereka sudah bisa konsekuen dengan kewajiban mereka. Walaupun
sebenarnya Aldi tidak setuju dengan anak-anak yang sudah bekerja di usia wajib
belajar mereka. Mereka sebenarnya hanyalah korban dari keadaan ekonomi orang tua
mereka. Namun tidak bisa dihindari kalau di luar sana banyak realita yang
mengejutkan dan sulit untuk dimengerti. Ada realita yang begitu lekat dengan
jalanan, yaitu anak jalanan.

Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang
mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan
keluarga.

Bocah-bocah jalanan ini membuatnya menyadari sesuatu. Ternyata di balik


kelusuhan, kesederhanaan, dan etos yang dibangun di jalan, mereka membawa peran
lain yang harus mereka mainkan. Mereka turun ke jalan dan bergaya menjadi seorang
anak jalanan. Lalu ketika mereka memasuki lingkungan sekolah, mereka kembali
berperan sebagai pelajar dan sekaligus bertanggung jawab dengan seluruh kewajiban
seorang pelajar termasuk biaya sekolah. Mereka turun ke jalan untuk mencari uang
dan uangnya itu untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi mereka, anak jalanan tidak harus putus sekolah. Mereka masih bisa menjalani
keduanya walaupun dalam keadaan yang sulit. Seperti masalah waktu sekolah, bertemu
dengan guru, dan diledek teman sekolah. Mereka masih menyimpan cita-cita tinggi di
dalam hati mereka. Cita-cita tinggi di tengah keluarga yang kurang mampu. Kenyataan
itu membuat mereka harus nekat hidup di jalanan yang begitu keras dan tentu tidak
semanis gula aren.

****

Setelah selesai urusan dengan Ucay, ketiga cowok itu kembali ke rumah Satrio.

Aldi duduk di teras rumah Satrio dengan mata yang menerawang ke langit-langit.

“Gue bangga sama bocah-bocah kecil itu,” tutur Aldi.

Iwang yang sedang memetik gitar, menghentikan gerakannya. “Lo harus sering-sering
berhubungan dengan bocah-bocah itu supaya bisa melihat dunia lebih luas lagi, Di.
Pikiran lo jadi bisa lebih lebar lagi menatap dunia. Tidak selamanya hidup lo akan
enak terus. Mungkin pengalaman hidup mereka lebih banyak dari elo.”

Aldi setuju dengan perkataan Iwang.

“Rasanya mereka semua pengen gue jadiin adik, Bang. Baru ketemu beberapa jam aja
udah sayang. Udah kangen gue sama mereka.”

Iwang terkekeh, “Lo anak tunggal ya?”

Aldi mengangguk, “Gue penasaran sama penyakit Abah-nya Sono. Batuk nggak sembuh-
sembuh?”

“Do something for him, Di. Jangan cuma penasaran,” sahut Iwang sambil membuka
ponselnya. Ada pesan masuk di ponselnya.

Kata-kata Iwang membuat Aldi membisu. Do something, Di.

“Sat, Kipli mau ke sini. Dia bawa Sacha. Gimana?” kata Iwang pada Satrio yang
sedang bermain COC di ponselnya.

“Sacha?” tanya Satrio tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

“Sacha yang itu. Modelnya si Kipli. Masak elo lupa sih. Dia yang ngejer-ngejer lo
terus. Yang kata lo nge-follow semua akun social media elo. Beberapa kali dia
nanyain nomor hp lo ke gue tuh,” kekeh Iwang.

Satrio menghentikan gerakan jarinya di atas layar ponsel. Lalu dia berhenti
bermain, “Oh, Sacha yang itu? Lah kapan hari dia Whatsapp gue tuh. Gue kira lo yang
ngasih nomor gue ke dia. Gue mau marahin elo lupa terus.”

“Kagak, ngapain gue nyebar nomor elo. Nggak menghasilkan juga. Kalau Sacha minta
sambil nyodorin duit ke gue sih baru bakal gue kasih,” timpal Iwang.

“Laki kok mata duitan,” sindir Satrio. “Terus dia tahu nomor gue dari siapa?”

“Kipli mungkin. Siapa lagi kalau bukan dia? Ini gimana, boleh kemari nggak?”

“Kampret emang si Kipli. Ya udah suruh kemari aja lah,” sahut Satrio.
Aldi yang mendengar percakapan kedua seniornya pun akhirnya memutuskan untuk
pamit. Dia berdiri dari tempat duduknya.

“Mau ada tamu ya, Bang? Kalau gitu gue pulang dulu deh.”

Satrio menahan Aldi, “Eh, belum boleh. Belum ketemu Netra juga kan lo?”

Satrio terkekeh mengejek Aldi. Dia tahu kalau Aldi dan Netra itu seperti air dan
minyak. Kalau bisa minta dipisahin aja, mereka tidak mau berada di dalam satu
tempat.

“Gue kemari juga nggak mau ketemu Netra, Bang. Urusan gue sama Ucay. Dan udah
beres urusannya.”

“Pokoknya nggak boleh pulang atau besok gue bakal suruh Netra milok motor lo.
Netra pasti dengan senang hati bilang iya.”

Aldi berdecak dan akhirnya mendaratkan pantatnya kembali ke kursi teras.

Tak berapa lama kemudian beberapa teman Satrio datang. Dua laki-laki dan satu
perempuan. Satrio menyambut mereka dan akhirnya mereka pindah nongkrong di depan
teras rumah. Si perempuan ini langsung nempel pada Satrio.

“Sat, dari mana aja? Kata Kipli habis pergi sama Iwang.”

“Nganterin Aldi tuh.” Satrio menunjuk pada Aldi yang sedang dikerumuni teman
Satrio.

Teman-temannya itu bernyanyi sambil bermain gitar di depan rumah Satrio. Iwang
dan dua temannya sedang meracuni Aldi untuk mencoba rokok. Iwang bertingkah seolah
dia seorang guru dengan menjelaskan cara memantik api ke rokok dan cara menghisap
rokok.

“Pegangnya gini, Di.”

Aldi yang merasa paling kecil sendiri bertingkah seperti kerbau yang dicucuk
hidungnya. Dia mengikuti apa perintah Iwang. Dia mengambil satu batang rokok dari
wadahnya lalu menyulutnya dengan api. Kemudian dia menghisap ujung lain rokoknya.

Lalu dia terbatuk-batuk.

Iwang yang melihatnya hanya tertawa terbahak-bahak namun matanya menatap Aldi
dengan bangga.

“Hei hei, pengamen mana ini? Sembarangan masuk komplek.”

Suara Netra tiba-tiba muncul. Aldi panik dan takut kalau dia ketahuan sedang
merokok. Namun dia masih terbatuk-batuk sehingga dia tidak segera mematikan rokok
di tangannya.

“Lo udah baekan, Net?”

“Sat, ngamen malem-malem gini, ganggu tetangga lain, kan.”

“Adek kita satu ini dateng-dateng nggak nyapa malah ngomel.” Kali ini Iwang yang
menimpali.

Aldi melempar rokoknya ke tanah lalu menginjaknya supaya apinya mati. Aldi
berusaha menghilangkan barang bukti. Dia berharap Netra tidak menyadarinya.

“Kalau siang sih terserah kalian, ya. Tapi malem-malem gini genjrang genjreng di
luar rumah itu nggak etis.”

Saat itulah dia melihat mata Netra sedang menatap wajahnya dan ujung kakinya
secara bergantian.

Aldi ketahuan. Parahnya yang memergokinya itu adalah Netra.

****

Nah loooo ....


Iwang, apa yang lo lakuin ke Aldi itu ... J A H A T
Ada yang setuju kalau Iwang itu jahat?
Hihi. Semoga kalian suka dengan part ini. Walaupun sedikit berat bahasannya.
Salam sayang,

nanoniken
BAB 13. Tertangkap Basah

Netra berjalan mengendap-endap layaknya seorang maling yang mau menggasak sebuah
rumah. Seluruh indranya bekerja. Semua dalam mode awas. Dia berjalan berjinjit-
jinjit supaya langkah kakinya tidak menimbulkan suara. Sementara dia bersembunyi di
balik sebuah tembok sambil menajamkan telinganya.

Sepulang sekolah tadi, Netra curiga ketika melihat Aldi yang berjalan menuju ke
gedung belakang sekolah. Berawal dari kecurigaannya itu, dia nekat mengikuti Aldi
sampai di sini. Sedikit ngeri juga sih. Konon katanya, tempat ini sering digunakan
para seniornya untuk merokok, minum-minum,dan lainnya. Tapi itu cerita dulu sebelum
kepala sekolah Netra ganti. Hiii ... Netra merinding ketika membayangkannya. Kalau
nanti seniornya memergokinya bagaimana? Seberani-beraninya seorang cewek, pastilah
ada ketakutan ketika bertemu dengan orang mabuk.

Tapi itulah yang membuat rasa penasaran Netra muncul ke permukaan. Untuk apa Aldi
kemari? Netra sibuk berspekulasi jangan-jangan si ketua OSIS itu juga termasuk
siswa berandalan seperti yang disebutkan Netra tadi. Netra kan pernah melihat Aldi
merokok di rumahnya. Mungkin saja Aldi kemari untuk merokok diam-diam. Kalau memang
benar tebakan Netra, maka dirinya mendapatkan gudang emas di sini.

Netra melongok untuk melirik ke tempat Aldi. Ah, tidak ada senior-senior
berandalan seperti dalam bayangan Netra. Yang ada hanya Aldi dan beberapa pengurus
OSIS lainnya. Netra menarik kepalanya kembali. dia bersembunyi sambil sibuk
menerka-nerka apa yang ketua OSIS dan pengurus OSIS lainnya lakukan di sana.

Tiba-tiba otaknya mengirimkan tanda bahaya. Ada yang mengganggu di lubang


hidungnya. Dia membekap mulutnya, mencegah supaya tidak menimbulkan suara.

“Hatchi!” Percuma. Netra tidak berhasil menyembunyikan suara bersinnya. Debu di


sekitar sini sangat tebal hingga hidung Netra terasa gatal.

“Siapa?”

Gawat. Sepertinya Aldi mendengar suara bersin Netra.

O ... ow. Netra masih membekap mulutnya. Kalau Aldi sampai memergoki Netra sedang
bersembunyi di sini, tamatlah riwayat Netra. Dia harus memberi alasan seperti apa?
Kehidupannya di sekolah tidak akan tenang lagi. Mau ditaruh mana muka Netra. Dia
pasti tidak punya muka untuk berhadapan dengan Aldi.

Berpikirlah, Netra. Gunakan otak lo, jangan dengkul lo.

Netra memejamkan mata sementara otaknya sibuk bekerja mencari alasan.

“Meong ... meong.” Netra meniru suara kucing. Hanya ini ide yang muncul dari
otaknya yang kecil. Netra berharap semoga ini berhasil untuk mengelabui mereka.

“Kucing?”

Netra memilih untuk diam.

Hening. Mungkin saja orang-orang itu tidak lagi curiga pada suara bersinnya.
Netra bernapas lega. Tangannya yang membekap mulutnya terlepas.

Dia bukan lagi seorang maling yang hendak menggasak sebuah rumah. Dia ini seekor
kucing yang mengendap-endap untuk mencuri ikan asin di sebuah rumah.

“Terus mau kita apakan meja-meja ini, Di?”

Telinga Netra bergerak-gerak ketika menangkap sebuah suara di sana. Nampaknya


mereka sedang membicarakan tentang meja.

Meja? Netra mengerutkan kening.

“Gue juga bingung. Meja ini udah masih layak pakai. Kalau diperbaiki bisa nggak
sih? Semakin lama ditumpuk di sini takutnya nanti kayunya lapuk.”

Kali ini terdengar suara Aldi.

Lalu kasak kusuk lainnya. Netra makin penasaran. Akhirnya dia kembali mengintip
pada apa yang tengah mereka kerjakan. Oh, ternyata mereka sedang berdiri di depan
setumpukan meja yang tidak dipakai. Setelah tahu apa yang mereka kerjakan, Netra
menarik kepalanya. Di gedung belakang sekolah memang banyak bertumpukan meja dan
kursi yang rusak namun masih layak pakai. Dan benar kata Aldi, kalau dibiarkan di
sana, mungkin akan habis dimakan rayap.

Tidak ada suara lagi. Netra mengintip dan betapa terkejutnya dia karena Aldi
sudah berada di depannya. Dia tengah bersandar pada tembok, bersidekap sambil
menatap datar pada Netra.

“Memangnya ada ya kucing yang sebesar ini?” tanyanya.

Mampus. Iya, mampus lo, Net, rutuk Netra. Dia tertangkap basah. Tidak ada yg bisa
dia lakukan selain sibuk menutupi mukanya dengan topi agar tidak dikenali.
Sementara otaknya sekali lagi dipaksa untuk berpikir bagaimana caranya untuk kabur
dari depan mata Aldi.

Dia bukan jin dan bukan pesulap. Dia tidak bisa menghilang secara tiba-tiba dari
tempat ini.

“Lo nyari kucing? Itu tadi lari ke sana, kejar aja mungkin belum jauh.” Netra
menundukkan kepalanya.

Tidak disangka, Aldi malah memperhatikan Netra dari atas sampai bawah. Netra
berusaha berdiri tegap untuk menutupi ketakutannya. Tubuhnya panas dingin. Hatinya
tidak pernah berhenti mengucapkan doa supaya Aldi tidak mengenalinya. Untungnya dia
sempat merubah penampilannya. Rambut panjangnya digerai, dia memakai kacamata lalu
memasang topi di kepalanya.

“Tunggu ....” Aldi mengacuhkan pembicaraan tentang kucing, “Lo pakai seragam
sekolah gue, berarti lo sekolah di sini? Tapi rasanya gue pernah lihat lo di
Gramedia. Lo ngikutin gue?”tanya Aldi.

Mampus lagi! Netra meneriaki kata-kata itu dalam hati. Benar juga, saat ini dia
sedang memakai seragam sekolah. Benar-benar tamat riwayat Netra. Tamat. Tahu kan
artinya tamat? Berakhir sudah penyelidikan Netra. Hasilnya? Nihil. Tak lama lagi
Aldi akan tahu identitasnya.

****

Sementara Netra sibuk menenangkan diri, Aldi sibuk dengan pikirannya. Ya, memang
dia pernah melihat cewek di depannya ini di Gramedia. Dia duduk di meja makan tidak
jauh dari Aldi. Lalu ketika dia mengingat lebih keras lagi. Sebuah cuplikan
kejadian masa lalunya muncul. Cewek ini juga pernah dia temui di mall, ketika dia
sedang jalan-jalan dengan salah seorang mantan pacarnya. Cewek itu terkikik
sendirian tidak jauh darinya yang sedang melihat-lihat boneka untuk hadiah
temannya. Ketika Aldi menoleh dan menatapnya, cewek itu bertingkah sama seperti
sekarang ini. Menunduk dan menyembunyikan wajahnya dibalik rambut panjang dan
topinya. Aldi ingat saat itu dia sempat mencurigainya karena merasa baju yang
dikenakan cewek bertopiini terlihat familier.
Satu lagi yang membuat Aldi semakin curiga. Di ketiga pertemuannya dengan si
gadis bertopi, dia selalu berpenampilan sama. Rambut terurai, bertopi dan pakai
kacamata. Topi yang dia kenakan pun selalu sama. Aldi semakin penasaran karena
tidak dapat melihat wajahnya. Sebenarnya apa yang disembunyikan sehingga harus
menutupi-nutupinya.
“Siapa sih lo?” tanya Aldi.
Cewek yang ditanyainya masih diam membisu.
Tidak sabar dengan sikap cewek di depannya ini, tangannya pun terulur untuk
meraih topi yang dikenakan cewek itu. Refleks tangan cewek itu terangkat untuk
menutupi wajahnya. Gerakan itu membuat kecurigaan Aldi makin tebal. Cewek bertopi
ini tidak ingin identitasnya diketahui jadi memang ada sesuatu yang dia
sembunyikan.
Dengan kasar dia meraih kedua pergelangan tangan yang menutupi wajah cewek itu
lalu menurunkannya. Cewek itu sempat melawan dengan mempertahankan kedua tangannya
namun kekuatannya jelas kalah dengan kekuatan Aldi.

Setelah berhasil menyingkirkan kedua tangan yang menjadi perisai, dia melepas
kacamata yang bertengger di hidung cewek itu. Dia pun langsung bertatapan dengan
kedua bola mata bulat dan jernih yang memandanginya dengan ketakutan.
“Elo?” Aldi mengernyit ketika dia mengenali pemilik si bola mata bulat. Dia
memperhatikan rambut yang tergerai di kedua pundak si gadis.
“Netra?” Aldi berseru tidak percaya.
Sorot ketakutan yang mulanya terpancar di bola mata gadis itu, pelan-pelan
menghilang. Dia balas memandang Aldi dengan tenang.
“Hai.” Netra meringis. Kedoknya sudah terbuka, lalu apa?
“Apa yang lo lakuin di sini? Dengan topi, kacamata dan ... rambut yang digerai?”
tanya Aldi.
“Kalau menurut lo, kira-kira apa yang sedang gue lakukan?” Netra balik bertanya.
Walau diam-diam dia menelan ludahnya. Dari mana dia mendapatkan keberanian untuk
balas bertanya pada Aldi? Seolah dia menantang.
Keberanian yang muncul dari situasi kepepet. Itu jawabannya.
Aldi yang merasakan aura pertentangan dari pertanyaan Aldi, melipat kedua
tangannya di depan dada, “Selama ini lo ngikutin gue. Kenapa?” Aldi menatap Netra
dengan sikap tenang.
“Dan ingat gue nggak menerima jawaban sebuah pertanyaan lagi,” imbuhnya.
“Gue ... gue ....” Netra merasa terintimidasi oleh ketenangan Aldi. Dia jadi
terbata-bata untuk menjawab.
“Apa alasan lo ngikutin gue, Net? Seingat gue, kita nggak sedekat itu sampai lo
harus ngikutin gue. Seorang Netra yang selalu menatap gue dengan sikap sinisnya.
Apa jangan-jangan lo suka sama gue? Kalau memang begitu, gue tersanjung jadinya,”
cecar Aldi.
Netra menatap mata Aldi dengan garang. Sejak kapan cowok di depannya ini bisa
merangkai kata-kata sepanjang itu?
“Gue mau nyari kelemahan lo. Gue mau yakinin seisi sekolah kalau lo bukanlah
seorang ketua OSIS sempurna yang mereka pikirkan.”
Netra menghembuskan napas setelah mengucapkan kalimat itu dalam satu tarikan
napas. Netra pikir tidak ada gunanya untuk berbohong lebih jauh lagi. Lebih baik
berkata jujur, mungkin dengan begitu akan lebih mudah mencari kelemahan Aldi. Tidak
tahu juga sih, tapi yang jelas dia tidak lagi membutuhkan penyamaran untuk
mengamati Aldi. Dia tidak harus menggerai rambutnya lagi.
Say goodbye untuk kegerahan.
Aldi terlihat mengerutkan kening lalu sudut bibirnya berkedut dengan lucu
kemudian sebuah tawa dilepaskan dari bibirnya, “Nyari kelemahan gue? Ada-ada aja
sih lo, Net. Ya ampun, jadi ini yang dipikirkan oleh otak lo itu. Sekolah yang
bener dulu aja deh, Net. Terserah lo, deh. Gue bebasin.”
Suara tawa Aldi membuat beberapa pengurus OSIS lainnya berdatangan mendekat.
“Kenapa lo, Di?” tanya Suryo. Dia kaget ketika mendapati Netra berdiri di depan
Aldi, “Loh, Netra ngapain di sini? Kalian berdua lagi ngapain?”
Netra menggembungkan pipinya karena kesal. Dia sedang sangat serius namun Aldi
menertawakan otaknya. Walaupun begitu, dia sempat terperangah dengan pemandangan
Aldi yang tertawa lepas di depannya. Hey, baru kali ini Netra melihat Aldi tertawa
padanya.
“Dia lagi ngejar kucing yang tadi, Sur.” Aldi menjelaskan di sela-sela tawanya.
Netra berdesis sebal.
Suryo menatap Aldi dan Netra bergantian. Mereka menunjukkan ekspresi yang jauh
berbeda. Dari matanya dia melihat Netra yang sedang menahan emosi sedangkan Aldi
sedang menahan geli. Pada akhirnya dia mengedikkan bahu, tidak ingin ikut campur.
“Jadi mejanya gimana, Di?” tanya Suryo.
“Kita minta Pak Amin untuk bantu,” jawab Aldi.
“Oke.” Lalu Suryo dan pengurus OSIS lainnya berjalan meninggalkan gedung belakang
sekolah.
“Net, lo masih mau nyari kucing? Perlu ditemani nggak? Ngeri kalau sendirian di
sini,” ujar Ucup sebelum dia berjalan menjauh.
“Enggak,” jawab Netra ketus. Di sampingnya dia mendengar sebuah dengusan dari
Aldi.
Dengan dongkol Netra pun memilih untuk berbalik. Baru selangkah berjalan, dia
mendengar suara Aldi.
“Menarik,” ucap Aldi.
Netra menoleh. Aldi menatap mata Netra lekat-lekat lalu menyunggingkan senyum,
“Selamat mencari ya, Net.”
Lalu cowok itu melangkah melewati Netra. Sementara itu, Netra berdiri membatu di
tempatnya.
****
BAB 14. Kena Hukuman (lagi)

Haaaah ....

Netra menghela napas panjang. Keraguan muncul di benaknya. Apakah Aldi memang
tidak punya kelemahan ya? Tapi mana ada manusia yang tanpa cela di dunia ini.
Kemarin setelah Netra berkata jujur pada Aldi bahwa dirinya sedang menyelidiki
kelemahan Aldi, pria itu malah menanggapi dengan tawa. Aldi berlagak seolah dia
tidak punya kelemahan. Dengan ketenangan yang diperlihatkan Aldi, tanpa sadar dia
sudah menjatuhkan mental Netra. Dia tidak se-semangat seperti awalnya dulu. Bahkan
Netra mau berpikir ulang mengenai proyeknya.

Kalau dipikir-pikir, selama dua minggu ini hanya empat hal yang menjadi catatan
Netra.

1. Aldi pernah membuat seorang cewek menangis.

Tapi Netra masih ragu apakah cewek itu menangis karena Aldi? Bisa saja dia
menangis terharu, atau matanya kelilipan.

2. Aldi doyan makan petai.

Netra membaca ulang catatannya. Jika informasi ini dijadikan headline di sebuah
surat kabar pasti pembacanya mengerutkan kening, bahkan tidak sedikit yang
mengumpat pada si pembuat berita. Dari mana segi informasinya? Aldi doyan makan
petai. Apa yang salah dengan makan petai. Tidak ada impact yang ditimbulkan dari
berita makan petai. Itu manusiawi. Walaupun Netra tidak suka makanan tersebut, dia
tidak bisa melarang orang lain untuk tidak suka petai juga kan?

3. Aldi merokok.

Mungkin ini salah satu keburukan yang masuk akal. Pria itu merokok padahal dia
masih berstatus sebagai seorang pelajar. Tambahan lagi, dia seorang ketua OSIS.
Kalau pihak sekolah tahu mengenai hal ini, pastilah Aldi mendapatkan hukuman. Hanya
saja dia tidak pernah kedapatan merokok di sekolah. Netra juga baru tahu ketika
malam itu di depan rumah Netra. Dia bergaul dengan teman-teman Satrio yang
kebanyakan adalah seorang perokok aktif. Mau tidak mau Aldi pasti jadi ikut-ikutan.
Dan sialnya Netra lupa untuk mengabadikan momen di mana Aldi merokok.

4. Aldi tukang gosip.

Netra yakin ini karena Aldi salah bergaul dengan Pulung—si biang gosip.

Haaaa ....

Netra menghela napasnya lagi. Setelah berpikir ulang, dirinya seolah mencari-cari
pembenaran untuk Aldi.

Ketua OSIS kan identik dengan kata sempurna. Ketua OSIS kan memang sudah
seharusnya menjadi panutan. Dia seorang pemimpin, jadi diharuskan berwibawa, tenang
dan terlihat tanpa cela.

'Tuk ... tuk ... tuk ....'

Tanpa sadar Netra mengetuk-ngetukkan bolpoinnya ke meja. Dia tidak tahu bahwa
perbuatannya itu sudah mengundang kecurigaan dari gurunya. Netra memang duduk diam
dan tidak mengganggu teman sekelasnya, tapi roh gadis itu seakan tidak berada dalam
tubuhnya. Siswinya itu sedang melamun, tidak memperhatikan pelajarannya.

“Netra,” panggil Bu Indi.

Netra masih bengong. Dia memainkan bolpoinnya.

“Netra,” panggil Bu Indi untuk kedua kalinya. Langkah kakinya mendekat ke meja
Netra.
“Bentar, Bu. Saya sedang berpikir,” jawab Netra tanpa menoleh pada gurunya.

'Brak!'

Bu Indi memukul meja Netra, “Kalau kamu masih punya waktu untuk berpikir,
kerjakan soal halaman 132 nomor 1 sampai dengan 20. Kumpulkan sepulang sekolah!”
bentak Bu Indi.

Gebrakan meja tersebut telah menarik kewarasan Netra kembali pada dirinya.
Bolpoin di tangannya terjatuh ke lantai. Netra mengerjabkan matanya berulang kali.
Dia baru sadar sepenuhnya dan dikejutkan oleh tugas yang diberikan oleh gurunya.
Memangnya tadi dia berbuat salah apa sehingga harus diberi tugas sebegitu
banyaknya?

Netra hendak bertanya apa salahnya, namun dia keder duluan ketika melihat tatapan
tajam dari balik kacamata Bu Indi.

Nasib deh, dihukum mengerjakan dua puluh soal sepulang sekolah.

“Ya, Bu. Maafkan saya.” Netra hanya bisa meminta maaf pada gurunya.

Bu Indi berdeham lalu berjalan kembali ke depan papan tulis.

“Vin ... Vin ....” Netra menyenggol siku lengan Vino agar pria itu menoleh
padanya. Teman sebangkunya itu pun menoleh.

“Halaman berapa tadi?” bisik Netra. Dia memelankan suaranya supaya tidak didengar
oleh Bu Indi.

Dengan cueknya Vino mengacuhkan pertanyaan Netra. Dia sibuk pada buku di depannya
lalu balas berbisik, “Sorry, Net. Gue lagi sibuk nih, jangan ganggu gue.”

Netra mengernyit heran. Dia curiga. Tumben sekali Vino rajin mencatat pelajaran.
Netra masih memperhatikan gerak-gerik Vino. Kepala Vino bergerak-gerak dengan irama
teratur.

“Monyong lu!” Netra menemukan kabel earphone yang menjulur di leher Vino.
Ditariknya kabel itu sehingga terlepas dari telinga Vino.

“Sibuk dengerin musik?”

“Vino! Netra!” Terdengar suara bentakan keras dari arah depan.

Netra dan Vino langsung menegakkan punggungnya dan menatap ke depan. Mereka
mengkeret di bangkunya.

“Kalau ada guru yang menerangkan itu tolong didengarkan. Untuk Netra, kalau kamu
tidak selesai mencatat ini, hukuman untuk kamu akan bertambah.”

'Deg ... deg ... deg ....'

Mampus lagi. Netra meraba-raba kotak pensilnya dengan panik untuk mengambil
bolpoin. Dia harus segera mencatat.

“Ya, Bu!” seru Netra lantang. Dua puluh soal saja belum tentu bisa Netra
selesaikan sampai sepulang sekolah nanti, apalagi kalau ditambah. Bu Indi ngajak
bercanda, nih. Pasti Bu Indi sengaja supaya Netra tidak bisa pulang ke rumah.
Bu Indi kembali menerangkan dan mencatat di papan tulis. Netra menoleh kepada
Vino. Dia merasakan ketidakadilan sedang terjadi padanya.

“Kok elo nggak kena hukuman sih, Vin?” protes Netra. Dia mengerucutkan bibirnya.
Padahal Vino sedang mendengarkan iPod di kelas. Kok Bu Indi bisa nggak sadar dengan
gerak-gerik Vino. Apa Bu Indi tidak melihat kabel earphone yang terpasang di
telinga Vino?

“Faktor L. Lucky.” Vino terkekeh tanpa suara. Vino dengan kurang ajar menunjukkan
jempol tangan kanannya di depan muka Netra. Lalu jempol yang semulanya diarahkan ke
atas, diputar ke bawah.

Dengan bersungut-sungut Netra mencatat tulisan Bu Indi. Sampai akhirnya bel


istirahat kedua berbunyi. Netra bersyukur karena dia selesai mencatat semua tulisan
Bu Indi di papan tulis. Dia memandangi buku catatannya lekat-lekat. Dia merasa
bangga sekaligus terharu ketika melihat bukunya penuh dengan tulisan.

“Netra, kemarikan buku catatan kamu,” panggil Bu Indi.

Netra berjalan menuju meja guru di depan kelas dengan senyum lebar.

Saat Bu Indi meminta Netra untuk menunjukkan buku catatannya, Bu Indi mengernyit.
Catatan Netra jauh dari kata rapi. Bagaimana bisa rapi? Catatan Bu Indi itu banyak
sekali. Apalagi kalau Bu Indi sedang menerangkan itu bicaranya ngebut. Siswa-siswi
di kelasnya kadang ada yang bingung, harus menyimak Bu Indi atau mencatat dahulu.

“Catatan macam apa ini, Netra?” tanya Bu Indi menunjuk-nunjuk buku catatan Netra.

“Catatan Bu Indi. Sama seperti di papan tulis kok, Bu. Bu Indi bisa cek. Yang
penting catat sampai selesai kan, Bu?” ujar Netra memberi alasan

“Kamu itu, guru-guru banyak yang mengeluhkan tentang sikap kamu di kelas, Netra.
Coba sedikit saja kamu meniru teman-teman kamu yang rajin itu. Tiru Aldi itu, yang
satu kelas dengan kamu.”

Netra meringis, “Ya, Bu Indi. Besok-besok saya nggak melamun lagi di kelas.”

“Pastikan saja tugasmu selesai sepulang sekolah nanti.”

Bu Indi menghela napas panjang. Bu Indi terpaksa keluar kelas sambil menahan
emosi. Guru itu sudah hapal dengan tabiat Netra. Janji yang diucapkan hari ini
belum tentu akan direalisasikan esok hari. Netra itu pandai membolak-balikkan kata-
kata. Jadi tidak ada gunanya untuk mendebatnya lagi.

Sementara anak-anak kelasnya satu per satu mengikuti langkah Bu Indi yang
meninggalkan kelas. Netra sibuk menghitung waktu. Istirahat kedua lamanya adalah
tiga puluh menit. Beruntung dia sedang datang bulan sehingga dia tidak melaksanakan
sholat dzuhur. Jadi dia bisa menggunakan waktu tiga puluh menit penuh untuk
menyelesaikan tugas. Untuk pelajar seperti Netra, menyelesaikan 5 soal dengan waktu
sesingkat itu sudah sangat Alhamdulillah.

“Mana nih yang katanya kena hukuman Bu Indi?” Kepala Pulung nongol di pintu kelas
Netra. Padahal baru saja bel berbunyi. Netra membaca soal hukumannya saja belum,
tapi gosip tentangnya sudah menyebar ke kelas sebelah. Memang dahsyat sekali
kekuatan bibir-bibir tukang gosip di kelasnya.

“Pulung nggak usah ganggu gue ya. Lagi butuh serius.” Netra memberi peringatan
halus kepada Pulung.
Pulung mengedikkan bahu, dia melangkah keluar. Netra menatap kepergian Pulung
dengan tidak percaya. Dia hampir terharu dengan kesediaan Pulung untuk pergi tanpa
perdebatan dulu. Namun, tak berapa lama kemudian, Netra harus menghapus rasa
terharunya.

Kepala Pulung muncul lagi di pintu kelasnya. Dia melongok semakin dalam, “Netra,
main yuk,” rajuknya seperti anak kecil.

“Pulung keluar.” Netra memberi peringatan kedua.

Pulung berbalik sambil tertawa-tawa.

“Netra, gue punya pocari.” Dia nongol lagi dengan wajah tengil dan tangan kanan
menggenggam botol yang digoyang-goyangkan. Bukan saja botol yang bergoyang, badan
Pulung ikut bergoyang untuk menggoda Netra.

“Keluar! Pergi! Enyah dari hadapan gue,” seru Netra.

Bukannya pergi, Pulung malah menempel di pintu kelasnya lalu membuka tutup botol.
Dia meneguk minuman di tangan kanannya, “Seger lho, Net. Beneran nggak mau? Lo
pasti butuh ion buat mengganti ion yang hilang dari tubuh lo setelah ngerjain dua
puluh soal.”

“Bodo, Pul!”

“Netra ....”

“Pulung!” Netra tidak tahan lagi. Dia melempar bukunya ke pintu kelas.
Kesabarannya habis sudah. Dengan susah payah dia menahan emosi namun Pulung tidak
mengerti juga. Jangan salahkan dirinya yang hilang kendali. Ini pengaruh hormon
seorang perempuan yang sedang datang bulan.

Netra berdiri lalu berjalan mendekati Pulung. Dia mendorong Pulung untuk keluar
kelas kemudian menutup pintu rapat-rapat. Sebelumnya dia menyempatkan diri untuk
menendang betis Pulung.

Pulung mengaduh di luar sana. Bodoh amat. Amat saja nggak sebodoh Pulung.

Netra berbalik dan memungut buku yang tadi dia lemparkan. Ketika dia berdiri
kembali, betapa kagetnya dia begitu mendapati Aldi sedang berada di dalam kelas
bersama Netra. Mereka hanya berdua saja di dalam kelas yang tertutup pintunya.
Netra memperhatikan sekeliling kelasnya. Benar-benar hanya ada dirinya dan Aldi.
Pria itu sedang duduk di bangkunya, mendongakkan kepala, menatap Netra tanpa
ekspresi. Ditatap sebegitu intens oleh Aldi membuat udara yang dihirup Netra terasa
menipis. Tiba-tiba dia sesak napas.

Dengan kikuk, Netra berbalik lalu membuka pintu kelasnya lagi. Udara dari luar
kelas menyambutnya. Netra menghirup udara dalam-dalam. Ah, dia bisa bernapas
kembali.

Netra tertawa hambar, “Hehehe.” Kemudian dia berlari menuju bangku dan mejanya
sambil komat-kamit.

Tidak ada yang dia ucapkan selain merutuki dirinya sendiri.

Bodoh. Bodoh. Bodoh.

****
BAB 15. Hal Tak Terduga
Hueee ....

Rasane kepingin nangis yen kelingan Parangtritis.

Eh salah, itu lagunya Didi Kempot.

Tapi perasaan Netra sama seperti perasaan Didi Kempot ketika dia menyanyikan lagu
itu. Lirik dalam lagu itu mewakili perasaan Netra saat ini. Rasanya dia ingin
menangis! Anak-anak kelasnya sudah pulang dari tadi. Ketiga sahabatnya juga sudah
pulang duluan sementara Netra malah masih betah duduk di bangkunya, sibuk dengan
hukumannya. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak bel pulang berbunyi. Dari dua
puluh soal baru selesai separuhnya. Artinya, masih ada separuh lagi yang belum dia
kerjakan.

Ya ampun, padahal kelasnya sudah sepi. Kelasnya berada di ujung dan di luar sana
tidak ada suara teman-temannya lagi. Di ruangan ini, Netra hanya ditemani oleh
benda-benda mati, suara detak jarum jam dan sesosok makhluk hidup yaitu Aldi. Ya,
Aldi masih betah duduk di barisan belakang. Entah apa yang dia lakukan, Netra tidak
berani untuk menoleh padanya.

Keberadaan Aldi di dekatnya saat ini malah menambah kengerian di kelas ini.
Lagipula ngapain sih Aldi masih ada di kelas? Kenapa dia tidak langsung keluar sama
seperti siswa lainnya? Ke ruang OSIS kek, ke kantin kek, atau pulang, Netra tidak
peduli. Yang penting dia tidak terjebak dalam satu ruangan yang sama dengan Aldi.

Berada di satu tempat dan berbagi udara yang sama berdua saja dengannya adalah
satu hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Netra, even in her wild dream.

Hiks.

Netra membaca soal di buku diktatnya sambil menggigit bibir bawahnya. Ngeri.
Kelasnya menjadi lebih mencekam karena Netra merasakan ada sepasang bola mata yang
memperhatikan gerak-geriknya di belakang sana.

'Srek ... Srek ....'

Suara bolpoin yang berlarian di atas kertas, diselingi suara kertas yang dibolak
balik mendominasi kelasnya. Netra hanya mendengar suara yang dihasilkan olehnya.
Dia tidak mendengar suara lain. Tidak ada suara yang ditimbulkan oleh seseorang di
belakang sana. Seolah tidak ada tanda kehidupan selain dirinya. Mengerikan, bukan?
Netra penasaran dengan apa yang dilakukan Aldi. Kenapa dia begitu tenang? Tapi
sekali lagi, Netra takut untuk menoleh. Setiap kali dia berhasil mengumpulkan
keberanian untuk menoleh, sedetik kemudian keberanian itu menguap.

'Tap ... tap ....'

Seolah tahu dirinya sedang dibicarakan, akhirnya sosok di belakang Netra


mengeluarkan tanda-tanda kehidupan. Suara langkah kaki seseorang terdengar jelas di
telinganya. Makin lama makin mendekat dan terdengar horor di telinga Netra. Netra
menelan ludah.

“Ayo pulang.”

Netra tersentak kaget hingga bolpoinnya terlempar dari tangan dan terjatuh di
lantai. Ya Allah, saking seriusnya Netra pada suara langkah itu hingga dia tidak
sadar Aldi sudah berhenti di dekatnya. Jantung Netra mau copot rasanya.
Netra mendongak untuk menatap tajam pada Aldi yang juga sedang menatapnya tanpa
ekspresi. Ini nih, pelaku tadi yang bikin Netra kaget setengah wafat.

“Lo nggak lihat, gue masih ngerjain soal. Belum selesai. Pulang aja sana,”
katanya dengan nada menantang. Sejauh ini Netra baru bisa mengerjakan 13 soal
kimia, masih sisa tujuh lagi. Bagi Netra, tujuh bukanlah jumlah yang sedikit.

Aldi mendekatkan kepalanya. Eits, jangan berpikiran yang iya-iya dulu. Aldi bukan
mendekatkan kepalanya pada wajah Netra namun pada buku pekerjaan Netra. Walaupun
begitu, sikap Aldi yang tiba-tiba itu tak ayal membuat Netra deg-degan.

Orang ini mau apa? Apa maunya? Dia mau apa? Ya Allah, lindungilah hamba-Mu ini,
doa Netra dalam hati.

Aldi menjauhkan wajahnya lalu dia berjongkok untuk mengambil bolpoin Netra yang
terlempar ke lantai. Dia melangkah kemudian menarik kursi di depan Netra. Aldi
membalik kursi lalu duduk di kursi itu dengan posisi menghadap Netra. Netra tidak
sempat bertanya karena Aldi langsung merampas buku tulisnya dan menulis-nulis
sesuatu di atasnya.

Netra sedikit terperangah dengan sikap Aldi. Dia memperhatikan Aldi yang menekuri
buku pekerjaan Netra sambil sesekali melihat ke buku diktatnya.

“Kemarin gue sudah mengerjakan soal ini,” gumam Aldi tanpa melepaskan matanya
pada buku tulis di depannya.

Eh, Aldi sudah mengerjakan soal-soal itu? Jadi apakah yang sedang dilakukan Aldi
sekarang ini adalah membantu Netra menyelesaikan hukumannya?

Netra merasa semakin asing dengan keadaannya. Netra tidak menyangka Aldi akan
duduk di depannya, mengerjakan hukuman untuknya. Sejak kapan dan dari mana asal
mulanya dirinya dan Aldi bisa duduk berdua dengan Aldi yang membantu Netra
mengerjakan tugas? Yang lebih menambah keanehan lagi, Netra hanya diam saja ketika
Aldi duduk di depannya. Pemandangan di depan Netra ini rasanya asing dan Netra
malah takut karenanya.

Netra tidak berani mengganggu Aldi yang serius mengerjakan soal. Ih, padahal itu
bukan tugas dia. Jadi menit-menit berikutnya dihabiskan Netra dengan memperhatikan
tubuh bagian atas milik Aldi. Rambutnya yang terlihat halus, jari Netra gatal untuk
menyentuh rambut itu. Pasti Aldi rajin keramas. Matanya turun ke alisnya yang
tebal, matanya yang tajam, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang merah. Baru
kali ini Netra benar-benar mengamati wajah Aldi sedekat ini.

Netra menggelengkan kepalanya. Apa yang dilihatnya tadi? Pikiran apa yang
melintas di otaknya sehingga dia berani menelusuri lekuk wajah Aldi. Dia harus
segera mengalihkan matanya. Netra mengalihkan pandangannya ke jari-jari Aldi.
Tangannya begitu lincah menari di atas kertas. Dahinya sama sekali tidak berkerut.
Padahal saat Netra mengerjakan soal-soal itu, dahinya udah berlipat-lipat. Sebegitu
gampangnya kah soal kimia di mata Aldi.

Mata Netra tidak bisa berkompromi dengan alam sadarnya. Dia kembali mengamati
wajah Aldi tanpa bisa dicegah. Ketika Netra sedang sibuk-sibuknya melamun, Aldi
mendongakkan kepalanya. Mata mereka berdua bertemu dan berpandangan untuk beberapa
detik. Hingga Aldi duluan yang melepaskan dan memutuskan untuk berdiri dari tempat
duduknya.

“Selesai. Pulanglah.” Hanya itu yang dia ucapkan sebelum meninggalkan Netra yang
masih mematung di tempatnya. Matanya mengikuti punggung Aldi yang menjauh hingga
punggung itu menghilang.

Netra mengedipkan matanya beberapa kali lalu dia menunduk untuk mengecek buku
pekerjaannya yang sekarang sudah penuh. Senyum Netra melebar. Hebat, Aldi
mengerjakan dengan rapi. Tulisan Aldi kecil-kecil sedikit menyamai tulisan Netra.
Semoga saja Bu Indi tidak mencurigai tulisan Aldi.

Dengan terburu-buru dia membereskan mejanya. Dia harus segera mengumpulkan


tugasnya pada Bu Indi sehingga dia bisa pulang ke rumah. Dia juga tidak lupa
memasukkan bolpoin yang digunakan oleh Aldi ke dalam tas.

****

Netra menyusuri lorong-lorong kelas hingga lorong kantor guru dengan menggerutu.
Bibirnya dimoyongkan beberapa senti ke depan. Dia tidak henti-hentinya mencibir,
entah apa yang dia ucapkan. Yang pasti Netra sebal dengan Bu Indi. Ketika mendapati
lorong kelas yang sepi, Netra jadi teringat dengan kejadian di kelasnya tadi
sehingga Netra bisa dijatuhi hukuman. Guru itu terlalu santai mengejeknya. Santai
kayak di pantai.

Ketika sudah berada di depan ruang guru, Netra melongokkan kepalanya untuk
mencari-cari Bu Indi. Saat dia menemukan sang guru berada di sana, Netra mendatangi
Bu Indi yang anehnya masih setia menunggui Netra sampai dirinya selesai mengerjakan
hukumannya.

“Siang, Bu Indi.” Netra mengulurkan buku pekerjaannya pada Bu Indi.

Bu Indi melirik sekilas padanya lalu menerima buku itu, “Wah, bisa selesai juga
kamu, Net.”

Netra meringis kaku. Dia memperhatikan Bu Indi yang membaca-baca buku pekerjaan
Netra sambil mengangguk-angguk.

“Kalau kamu tidak saya kasih hukuman seperti ini, saya yakin kamu tidak akan
belajar kimia, Net. Otak kamu pintar juga ya kamu, rapi lagi tulisan kamu.”

'Deg.'

Netra menunggui Bu Indi selesai menilai sambil harap-harap cemas. Sinis amat ini
guru. Selain sedikit tersinggung karena otaknya disebut-sebut, dia juga berkeringat
dingin karena takut Bu Indi akan menyadari tulisan siapa yang apa di buku tugas
Netra.

“Nih.” Bu Indi mengembalikan buku itu kepada Netra. Netra menerimanya dengan
penuh tanda tanya. Begini saja? Segala usaha dan waktu yang dia habiskan untuk
mengerjakan 20 soal kimia berakhir begini saja?

“Tidak dinilai, Bu?” tanya Netra.

“Memangnya ada gunanya saya nilai? Saya kan cuma menyuruh kamu mengerjakan soal
itu, saya tidak pernah bilang mau menilainya,” jawab Bu Indi.

Tuh kan? Tuh kan? Tuh kan? Coba pikirkan bagaimana perasaan Netra saat ini?
Geregetan pastinya. Netra yakin dia sedang dikerjain oleh guru kimianya itu.

“Baik, Bu Indi. Saya sudah boleh pulang?”

“Iya. Hati-hati di jalan.”


“Baik, Bu. Selamat siang,” pamit Netra.

Begitu keluar ruang guru, Netra tidak berhenti mencibir sepanjang perjalanannya
ke parkiran motor. Ketika dia sampai di parkiran, dia melihat Aldi masih ada di
sekolah. Cibiran Netra berubah menjadi sebuah gumaman, “Kok Aldi masih ada di
sekolah, belum pulang?”

Netra jadi teringat bahwa dirinya belum berterima kasih atas pertolongan Aldi
siang ini. Tapi batinnya sedang bergejolak. Sisi satunya mengatakan bahwa dia tidak
harus berterima kasih, sementara sisi lain memaksanya untuk menghampiri Aldi dan
mengucapkan terima kasih. Mereka sedang berperang di dalam otak Netra. Mereka
saling jambak-jambakan rambut untuk menentukan siapa pemenangnya. Sementara Netra
berdiri terdiam menyaksikan perang batinnya.

Netra mengamati Aldi dari jauh. Dia mengamati Aldi yang asyik berbicara dengan
Pak Otong—penjaga parkiran. Aldi terlihat akrab dengan lelaki setengah baya itu.
Dia masih mengamati Aldi yang ... eh ... menoleh kepada Netra.

Perang batinnya berakhir bahkan sebelum Netra mengetahui siapakah pemenangnya.

'Set!'

Dengan gerakan cepat, Netra mengalihkan pandangannya lalu berjalan menuju tempat
motornya terparkir tanpa menoleh pada Aldi lagi. Walaupun dalam hati dia sangat
ingin untuk berterima kasih pada Aldi. Tapi egonya menahannya. Dia terlalu gengsi
untuk menghampiri Aldi dan mengucapkan dua kata itu. Mulutnya masih menolak untuk
mengucapkan kalimat itu kepada cowok seperti Aldi.

Wer ..., Netra menyalakan motornya lalu menjalankan motornya. Dia menutup rapat-
rapat kaca helmet. Ketika melewati tempat Aldi tadi, Netra sempat melirik dari
balik kaca helmet-nya. Tapi dia hanya melihat Pak Otong yang sendirian di sana.
Aldi ke mana? Padahal baru saja Netra hendak berubah pikiran untuk berterima kasih
pada Aldi. Ternyata dia terlambat untuk mengumpulkan keberanian. Aldi sudah
menghilang.

Catatan #5
Aldi perhatian. Aldi pintar dan tulisannya rapi.

****

Teruntuk pembaca Gotcha Netra! :


Gotcha, Netra! minggu ini nangkring di peringkat #5 di Top 20
Alhamdulillah wa Syukurillah ... warbyazaaah.
It's amazing. Penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada pembaca
semuaa.. kecup satu-satu , peluk satu-satu :heartbeat: :heartbeat:
Kalian luar biasa, kece badai... jos gandhos
Terima kasih sudah menyukai karakter Netra, Aldi, Bang Satrio, Pulung, dan lainnya.
Banyak yang bilang karakter Netra lucu. Ah, masih lucuan penulisnya kok #eh hahaha
Saya bahagia kalau kalian terhibur dengan cerita ini. Semoga tetap setia ya~
Salam sayang,

nanoniken
BAB 16. Nyari Ikan Malah Ketemu Kucing Garong

Ingin aku mengenalmu saat ini


Ingin menyapamu tapi aku malu
Dan kini hatiku mulai bertanya
Are you really the one i’ve been searching for?
(Ecoutez - Are you really the one)

Netra membuka matanya dengan perlahan. Dia bangun dari tempat tidurnya dan duduk
di tepi ranjang sambil garuk-garuk. Ringtone handphone-nya masih berbunyi,
memanggil-manggil Netra untuk mempedulikannya. Netra mengambil handphonenya lalu
menekan tombol jawab tanpa melihat siapa yang meneleponnya.

“Haloooh?” sapa Netra diselingi dengan menguap lebar. Dia melirik ke jam
dindingnya. Pukul delapan malam kurang sepuluh menit. Artinya Netra baru tidur
selama satu jam lamanya. Siapa yang meneleponnya? Tidak tahu diri. Dia berjanji
akan memberi pelajaran yang setimpal kalau seseorang yang menelepon mengganggu
tidurnya ini, mengatakan sesuatu yang tidak penting.

“Oyah? Sumpeh lo? Ciyus? Oke, gue ke sana sekarang juga.” Netra menekan tombol
yang berwarna merah di layar handphonenya lalu menyibakkan selimutnya. Dia berdiri
dan melakukan gerakan stretching sebentar. Dia merenggangkan punggung dan lehernya
ke kanan kiri. Kedua tangannya diangkat ke atas lalu disatukan. Setelah dia sudah
cukup segar, dia beranjak keluar menuju ke kamar mandi.

Barusan tadi yang meneleponnya adalah Indah. Dia memberi kabar kepada Netra kalau
di warnet depan kompleksnya punya film Finding Dori. Netra yang maniak banget
dengan film animasi tentang dunia ikan itu tentu saja ngiler. Dulu saat film itu
diputar dia tidak sempat untuk menonton di bioskop. Netra ingin segera mengcopy-nya
ke flashdisk agar bisa dia nikmati di laptopnya deh. Kebetulan kompleks rumah Indah
itu di samping kompleks rumah Netra. Jadi dekat.

Setelah mencuci wajahnya untuk menghilangkan muka bantalnya, dia meraih jaket
yang digantungkan di belakang pintu kamarnya lalu bergegas turun ke bawah,
mengambil motornya. Dia langsung melesat ke warnet depan kompleks rumah Indah. Tapi
sebelumnya Netra mengirimi pesan untuk abangnya.

Netra : Sat, gue keluar bentar.

Ini kebiasaan yang sudah mendarah daging antara Satrio dan Netra. Setiap kali
mereka pergi keluar rumah, mereka selalu mengirimi kabar satu sama lain. Jadi tidak
ada yang kebingungan ketika mendapati salah satu dari mereka tidak berada di rumah.
Salah satu bentuk tanggung jawab antara keduanya, sih. Supaya tidak seenaknya pergi
seolah tidak ada yang menunggunya di rumah.

Dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam, Netra melarikan motornya ke warnet.


Kedua matanya fokus pada jalan di depannya sehingga tidak memperhatikan sekumpulan
orang yang sedang asyik nongkrong di perempatan ujung kompleks rumahnya. Padahal
kalau saja Netra sedikit memperhatikan mereka, dia pasti menemukan Satrio ada di
sana. Satrio sedang tidak membawa ponselnya.

Beberapa menit kemudian, warnet yang dimaksudkan Indah sudah berada di depan
mata. Tanpa ba bi bu lagi, Netra memarkirkan motornya pada tempat yang teduh di
parkiran warnet. Dia melenggang masuk ke dalam warnet dengan terburu-buru. Netra
berharap warnet ini nggak ramai karena dirinya pasti tidak akan tahan kalau disuruh
untuk menunggu. Baru saja Netra mau bertanya pada operator warnet yang berjaga,
tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Tabrakan yang cukup keras sehingga bahunya
merasakan linu karenanya. Netra berpegangan pada meja untuk menahan tubuhnya agar
tidak jatuh. Sesuatu yang bertumbukan dengan tubuh Netra mengaduh dan mengeluarkan
pekikan khas seorang cewek.

“Maaf.” Netra melirik pada cewek yang dia tabrak. Dia juga sedang mengelus
pundaknya yang terbentur. Detik kemudian matanya merangkak ke atas lalu melebar.
Bukan cewek mungil dan cantik di depannya yang membuatnya membelalakkan mata. Namun
sosok cowok tinggi besar yang menjulang di belakang cewek mungil itulah yang
menyita seluruh perhatian Netra. Cowok itu sedang memandang Netra dengan wajah
tenang selayaknya seorang ketua OSIS yang bijaksana dan berwibawa. Matanya sekilas
sempat melebar namun dia berhasil menjaga ekspresinya agar tenang kembali.

“Apa sih lo kok lihat-lihat pacar gue?”

Netra terkaget oleh bentakan seseorang. Cewek mungil tadi memandanginya dengan
mata garang. Netra hampir tertawa ketika melihatnya yang mendongakkan kepalanya
karena perbedaan tinggi badannya dengan Netra. Kalau tidak karena melihat bibir si
cewek yang cemberut, Netra pasti tidak akan bisa menahan tawanya. Kemudian cewek
yang sedang marah itu berjalan keluar sambil menggamit lengan Aldi. Dalam
penglihatan mata Netra, Aldi terlihat sedang ditarik-tarik cewek itu untuk keluar.
Sementara Aldi mengikutinya dengan pasrah.

Netra mengikuti langkah kaki sepasang kekasih itu lewat matanya. Cewek tadi
menyebut kalau Aldi adalah pacarnya. Lalu cewek di mall kemarin itu? Sudah putus
ya?

Netra mendengus. Huh, anak kuliahan mana lagi dia?

“Mbak jadi ngenet nggak? Kok malah diam saja di depan kayak patung selamat
datang.” Suara operator warnet mengagetkan Netra. Sontak Netra melepaskan
pandangannya dari Aldi untuk berbalik menatap mas-mas operator itu.

“Iya dong, Mas. Masa iya saya ke sini cuma mau jadi patung selamat datang. Masnya
berani bayar saya berapa?”

“Haduh, soal bayaran itu langsung bicarakan ke bos saya aja.”

Netra terkekeh, “Malah ngajak ngobrol ih, masnya. Yang kosong nomor berapa, Mas?”

Mas operator mengecek di komputernya. “Nomor sebelas kosong, Mbak. Di situ,”


katanya sambil menunjukkan lorong tempat nomor sebelas berada.
Netra mengangguk-angguk lalu berjalan dengan santai menuju cubicel nomor sebelas
tanpa menoleh ke arah parkiran lagi. Netra tidak tahu bahwa Aldi sempat melirik ke
dalam warnet sebelum masuk dalam mobilnya. Matanya mencari-cari Netra namun yang
dia dapatkan hanya punggung Netra yang perlahan menghilang masuk ke dalam warnet.
Setelah punggung itu tidak terlihat lagi, Aldi membuka pintu mobilnya lalu masuk
dengan wajah yang sulit ditebak.

****

Ketika sudah berada di depan komputer, Netra langsung mencari file Finding Dori
di folder kumpulan film. Tanpa membuang waktu di menancapkan flashdisk-nya pada CPU
dan menekan tombol CTRL + C lalu CTRL + V di drive flashdisk-nya. Dia menunggu
proses salin data itu hingga selesai. Setelah mendapat apa yang dia mau, Netra
mencabut flashdisk-nya. Dia meng-log off komputernya dan bergegas membayar. Mas
operator sempat menaikkan alis.

“Cepet amat, Mbak?”

“Ngapain lama-lama kalau bisa cepet. Ya masak mau nginep, Mas?” Netra menjawab
dengan enteng. Dia malas berbasa-basi sebenarnya.

Netra mengangsurkan selembar lima ribuan lalu mengucapkan terima kasih ketika
menerima uang kembalian. Sebelumnya si mas operator kelihatan masih ingin
melanjutkan obrolan dengan Netra lebih lama lagi. Dia terus mencari-cari bahan
pembicaraan dengan bertanya-tanya tentang Netra sebelum mengangsurkan uang
kembalian. Untung saja ponselnya cepat berbunyi sehingga Netra bisa berpura-pura
sedang sibuk. Jadi dia bisa lolos. Kalau tidak, mana bisa Netra pulang cepat.
Padahal dia ingin segera sampai di rumah dan menonton Finding Dori ini bersama
abangnya. Netra tahu kalau abangnya juga suka menonton film animasi walaupun tidak
se-maniak Netra.

Lain halnya ketika berangkat tadi, di perjalanan pulang ini Netra tertarik dengan
sekelompok orang yang masih nongkrong di perempatan kompleks. Mereka tidak membuat
rusuh sih, hanya sekedar nongkrong, bercanda-canda dan bercerita. Netra menyipitkan
matanya untuk mengenali wajah-wajah orang tersebut dari kaca helmnya. Beruntung
mata Netra masih sehat dan belum minus sehingga dia dapat melihat wajah Satrio
dengan jelas di bawah cahaya lampu merkuri yang tidak terlalu terang.

Netra mendekatnya motornya pada kumpulan orang itu. Setelah mematikan mesin
motornya, dia membuka kaca helm. Pandangannya tertuju pada Satrio. Hanya Satrio.
Beberapa pasang mata beralih menatap Netra karena ingin mengenali seseorang yang
mematikan motor di sekitar mereka.

“Sat,” panggil Netra.

Satrio menoleh, “Eh, Net. Dari mana lo?”

Netra mengenyit ketika mendengar pertanyaan Satrio, “Dari warnet. Gue tadi udah
ngabarin lo, emang lo belum baca line dari gue?”

Satrio meringis, “Ketinggalan di rumah. Gue lupa nggak bawa handphone.”

Netra berdecak, “Gue habis ngopy film Finding Dori dari warnet nih, Sat. Mau
nonton nggak?”

Tapi sayangnya pertanyaan Netra kali ini bukan Satrio yang menjawab. Melainkan
seorang cewek yang awalnya keberadaannya sama sekali tidak dipedulikan oleh Netra.
Suara cewek itu sepertinya pernah dia dengar.

“Eh, ngapain lo ke sini? Ngikutin gue ya?”

Netra mencari-cari asal suara yang cempreng tadi hingga akhirnya dia menemukan
seorang cewek mungil berdiri tidak jauh darinya. Dia adalah cewek yang bertabrakan
dengannya di warnet. Suara cempreng itu asalnya dari mulut si cewek mungil. Karena
si cewek mungil ada di sini, mungkin saja gandengannya juga ada.

Tebakan Netra tepat sekali. Aldi berada tidak jauh dari tempat si cewek mungil
berdiri. Aldi hanya diam sementara pacarnya nyolot. Netra menaikkan alisnya lalu
terkekeh geli campur mengejek. Tanpa harus dia menjelaskan, Satrio sudah mendekati
Netra dan menawarkan diri untuk menjelaskan siapa Netra pada cewek cemburuan di
depan Netra.

“Citra, dia ini Netra. Adek kandung gue, jadi dia nggak ngikutin elo. Ngapain
juga, ketemu juga baru sekarang ini,” jelas Satrio.

Tawa membahana keluar dari mulut orang-orang lain yang mendengar penuturan
Satrio, mengikuti keterdiaman Citra. Sementara Aldi masih berdiri diam, tenang,
tanpa tahu bahwa cewek di sampingnya sedang butuh pembelaan.

Netra merasakan motornya sedikit oleng. Tenyata Satrio naik ke boncengan Netra
tanpa permisi terlebih dahulu.

“Nongkrongnya pindah ke rumah gue aja ya, bro. Adek gue ngajakin nonton film,”
kata Satrio enteng. Seolah dia yakin bahwa Netra akan setuju-setuju saja dengan
idenya.

Padahal Netra kaget setengah mati. Dia berbalik ke belakang dan menatap abangnya
dengan garang. Yang ditatapnya malah membalas dengan tesenyum tanpa dosa. Dia hanya
ingin menonton berdua saja dengan abangnya tanpa ada gangguan orang luar. Namun
teman-teman abangnya sudah terlanjur menjawab ‘ya’ dengan serentak. Netra tidak
bisa berbuat apa-apa selain menyetujuinya.

Dalam hati Netra membodoh-bodohi Satrio. Bukan saja karena acara nonton berduanya
dengan Satrio yang terganggu, tapi ada alasan lain. Kalau teman-teman Satrio ikut
ke rumah, tentu saja Aldi dan pacarnya juga ikut. Dasar Satrio, bego kok nggak
berkurang-kurang dari dulu.

“Oke deh. Dengan satu syarat, nggak boleh ada yang pacaran di rumah gue.” Netra
menatap lurus-lurus ke depan. Kebetulan saat itu dia sedang memunggungi obyek yang
dia sindir. Netra harap tanpa memandang obyek yang dia maksud, mereka sudah merasa
sadar diri.

****

Apakah ada yang belum tahu lagunya Ecoutez? Coba dengerin deh, bagus kok :blush:
Terima kasih sudah membaca. Semoga suka~
Salam sayang

nanoniken
BAB 17. Dia Lagi

“Oke deh. Dengan satu syarat, nggak boleh ada yang pacaran di rumah gue.”

Setelah mengucapkan hal sesinis itu, Netra menutup kaca helm lalu menjalankan
motornya diiringi oleh motor teman-teman Satrio dan mobil Aldi. Selama perjalanan
kembali ke rumah, Satrio tertawa geli di boncengan Netra.

“Bisa nggak sih, lo sedikit ramah dan bermanis-manis sama temen sekelas lo itu,”
ucap Satrio disela-sela tawanya.

“Perangai gue sesuai dengan yang mereka tunjukkan ke gue. Pacarnya dia duluan
yang nyolot. Ya, nggak salah dong kalau gue gigit balik.” Netra membela dirinya.

“Ah, Citra mah emang gitu orangnya. Lo maklumin aja.”

Netra mencibir, “Ah, dulu lo bilang Aldi emang gitu orangnya, sekarang Citra
emang gitu orangnya. Gue disuruh maklumin orang lain mulu. Lah siapa yang bakal
maklumin gue? Sekali-kali mereka yang maklumin gue dong.”

Di belakangnya, Satrio mengangguk-angguk saja, “Ya, ya, ya.”

Satrio turun dari motor Netra ketika mereka tiba di depan rumah. Satrio membuka
pintu gerbangnya lebar-lebar supaya Netra dan temannya yang lain bisa masuk.
Sementara mobil Aldi dibiarkan diparkirkan di depan rumah Satrio. Sementara itu,
setelah membuka gerbang, Satrio langsung melenggang masuk ke dalam rumah. Jadilah
Netra yang harus menutup gerbang. Punya abang kok tidak tanggung jawab. Netra
berdiri di samping gerbang, menunggui sampai teman-teman Satrio masuk ke dalam
rumah kemudian dia menutup kembali gerbangnya. Ketika Citra lewat di sampingnya.
Netra melirik dengan ujung matanya sekilas.

Ih, siapa dia sampai gue disuruh maklumin dia? gerutu Netra.
Kenapa juga sebagian besar teman-teman Satrio yang berjenis kelamin perempuan
satu spesies dengan Citra.

Setelah gerbang rumahnya terkunci rapat, Netra menyusul masuk ke dalam rumah. Di
lantai bawah, teman-teman Satrio sudah berkeliaran dengan seenak jidat mereka.
Mereka selalu menganggap rumahnya dan Satrio ini seakan rumah mereka sendiri. Ada
yang di sofa atau terlentang di karpet. Ada yang nyalain televisi tanpa ijin
terlebih dahulu. Bahkan ada yang malah nyasar ke dapur untuk numpang makan malam.
Yah, mereka memang sudah biasa kemari. Ibunya Netra dulu juga sudah menyuruh mereka
untuk santai saja kalau di rumah Netra. Jadi boleh ngapain aja, yang penting tidak
merugikan pemilik rumah.

Netra memberikan flashdisk-nya pada Satrio yang langsung menancapkan ke DVD


Player yang tersambung dengan televisi. Setelahnya Satrio menjatuhkan bokongnya ke
sofa. Netra melenggang ke dapur untuk mencari camilan. Dia mengambil beberapa
keripik kentang untuk bekalnya menonton film. Netra duduk bersila di sofa, di
samping Satrio.

“Eh, kalian jangan ramai ya di sini. Bi Sumi udah tidur deh kayaknya,” ucap Netra
sambil mengunyah keripik kentangnya.

Bi Sumi itu adalah pekerja rumah tangga di keluarga Netra. Sejak Netra masih
kecil, Bi Sumi sudah berada di rumahnya.

Mulanya mereka patuh dengan peringatan dari Netra. Mereka duduk dengan tenang
sambil menatap layar televisi. Tapi itu hanya berlaku untuk sesaat. Setelah bosan,
satu per satu akhirnya berlomba-lomba membuat keributan. Ada sekitar delapan orang
cowok yang berkumpul di satu ruangan. Tidak mungkin tidak menimbulkan keributan,
kan?

Mereka sangat ramai. Ada yang mengomentari tentang film. Beberapa ada yang
bermain kartu dan tertawa-tawa dengan volume yang cukup keras. Sebagian yang lain
malah berkaraoke lagu-lagu galau. Jadilah orang-orang itu dengan sukses
membangunkan Bi Sumi.

Bi Sumi keluar dari kamarnya lalu menghampiri Netra, “Non Netra, teman-temannya
mau dibuatkan minuman apa?”

“Ah, maaf banget, Bi. Mereka bukan temennya Netra. Temennya Satrio tuh, Bi. Rame
banget. Bibi jadi kebangun deh.” Netra meminta maaf atas nama teman-teman Satrio,
“Nggak usah dibuatin apa-apa, Bi. Biar tahu rasa.”

Bi Sumi tersenyum, memaklumi. Wanita tua itu sudah biasa dengan keramaian yang
ditimbulkan teman-teman anak majikannya.

“Nggak apa, Non. Kasihan kalau nggak dibuatin apa-apa, Non. Bibi siapin minuman
buat mereka, ya.”

“Bi Sum is the best. Netra jelek,” sahut Satrio yang sedang memeluk bantal sofa.

Bi Sumi terkekeh lalu menghilang di balik dinding dapur. Netra berbalik menatap
orang-orang anarki di sekitarnya dengan tatapan tajam, “Gara-gara kalian ribut
banget. Bi Sumi jadi bangun, tuh!”

“Yah, Net. Kita emang sengaja rame, biar dibikinin minuman gitu,” celetuk Eko
yang masih bisa-bisanya melucu.

Netra menyipitkan matanya, “Bikin sendiri napa? Biasanya kalau kemari gimana?
Tumben manja.”

Jurus judes Netra keluar lagi. Netra mengalihkan pandangannya hingga matanya
tidak sengaja bertubrukan dengan sebuah pemandangan lucu.

Di sana Citra sedang mencoba menarik perhatian Aldi dengan tidak henti-hentinya
mengoceh. Sementara Aldi yang diajaknya hanya mengangguk-angguk namun mata dan
jarinya fokus pada layar ponselnya.

Hahahaha. Itu tuh namanya dicuekin. Emang enak diduakan dengan benda mati.

Iseng, Netra mengeluarkan ponselnya lalu membidikkan kameranya ke arah Aldi dan
Citra. Dia memperhatikan gambar yang dihasilkan di layar ponselnya dengan puas.
Lalu dia membuat group chat di line. Dia memasukkan Ayu, Merlin dan Indah di
dalamnya. Netra mengirimkan bidikannya ke grup tersebut. Di sana nampak Aldi sedang
mengarahkan gelasnya ke mulut sementara Citra sedang menghadap ke Aldi, memasang
wajah manyun.

Netra : Pangeran Kodok kalian lagi digangguin sama Cinderella.

Tak lama kemudian Line-nya ramai penuh dengan notification.

Merlin : Cewek jelek itu siapa?


Ayu : Aldi lagi di rumah kamu, Net?
Ayu : Ngapain?
Merlin : Net, jawab pertanyaan gue!
Indah : Gue mau dong jadi gelasnya.
Merlin : Netra, kalo lo pikir dengan lo diem gue bakal penasaran. Lo salah besar.
Indah : Net, gelasnya jangan dicuci ya, buat gue.
Merlin : Neettrraaaaaaaaaaaaa! Lo, kampret, ah!

Sementara itu, Netra yang sedang dicari oleh Merlin sedang terkikik membaca
kehebohan di chat Line-nya. Katanya Merlin nggak penasaran, tapi kok di-chat dia
marah-marah karena dicuekin oleh Netra.

****
Netra itu memang hobi luntang-luntung di sekolah. Berbeda dengan kalangan cewek-
cewek lain di sekolahnya yang doyan bikin geng-geng atau kelompok yang
beranggotakan tiga sampai enam orang. Netra malah lebih memilih untuk jalan-jalan
sendiri, ke kantin sendiri, ke kamar mandi sendiri tanpa dikawal oleh teman-
temannya. Kan ada tuh, yang kalau ke kamar mandi pasti ngajak teman-temannya. Netra
pernah juga diajak Ayu atau Merlin untuk barengan ke kamar mandi, tapi dia tidak
mau. Dia nitip aja, katanya.
Walaupun begitu, bukan berarti Netra tidak punya sahabat. Ayu, Merlin dan Indah
itu adalah bukti nyatanya. Dengan segala keunikan dan perbedaan mereka, Netra bisa
nyaman kalau berkumpul dengan tiga penyidap Aldi fever itu. Dengan ketiga temannya
itulah Netra sering menghabiskan waktu senggangnya saat tidak ingin menyendiri.
Netra sendiri tidak pernah punya maksud untuk pilih-pilih teman, namun di antara
beberapa cewek di kelasnya, Netra memang paling klop dengan ketiga temannya itu.
Meskipun visi dan misi mereka berbeda, tetapi ketiga temannya itu bukanlah orang
yang mudah tersinggung. Itulah yang Netra suka dari mereka. Ketiganya berpikiran
luas dan berhati besar walaupun Netra sudah mencecar pemikiran mereka.
Tetap saja itu bukan menjadi alasan bagi Netra untuk terus berada di samping
ketiga temannya selama di sekolah. Netra masih suka jalan-jalan sendiri dan cuek
kalau ada kakak-kakak kelas di dekatnya. Terkadang kalau dia sedang suntuk dan
ingin mendapatkan suasana yang baru, dia malah muncul di lorong khusus para kakak
kelas.
Semua kepercayaan dirinya itu bisa dibilang dia dapatkan karena pengaruh
abangnya. Satrio adalah mantan ketua OSIS di masanya. Setelah mengetahui bahwa
Netra adalah adik Satrio, semenjak kelas 1 SMA, Netra tidak pernah berurusan dengan
senior-seniornya, khususnya para senior cewek. Padahal dari gosip yang beredar,
senior cewek di sekolahnya suka menggencet adik kelas mereka. Tapi karena status
Netra yang merupakan adik dari seseorang yang notabenenya adalah Ketua OSIS, tidak
ada yang berani macam-macam pada Netra. Satu macam pun tidak ada. Mereka segan
untuk sekedar menyentil Netra. Lagian siapa sih yang berani sama Satrio? Sobatnya
banyak, kenalannya di mana-mana. Mau cari mati? Kalau ingin aman di sekolah,
mendingan tidak usah berulah.
Yah, dengan begitulah kepedean Netra dia dapatkan. Dia sudah diajarkan oleh
Satrio untuk bersikap cuek di sekolahnya. Pokoknya jangan pernah tundukkan kepalamu
ketika berjalan kalau tidak ingin dianggap remeh dan dipandang dengan sebelah mata
saja. Setelah abangnya lulus dari SMA pun tidak ada yang berubah. Apalagi Netra
sekarang naik pangkat dari junior menjadi senior. Netra sekarang bebas mau
nongkrong di mana saja. Peduli gila kalau ada yang bisik-bisik membicarakannya.
Anggap saja mereka itu iri dengan Netra.
“Woy, wakil!”
Kepala Netra ditoyor oleh seseorang ketika dia sibuk melamun di taman. Netra
menoleh. Ternyata Genta pelakunya.
“Gentong, kenapa sih lo, dateng-dateng pukul kepala gue.” Netra lebih suka
memanggil Genta dengan Gentong karena sesuai dengan postur tubuhnya. Dia tinggi
besar dengan perut gembul. Kalau dia berenang dan terlentang menghadap ke atas di
kolam renang, pasti banyak yang mengiranya adalah Kentung, tokoh dalam cerita Tuyul
dan Mbak Yul. Jadi anggap saja Gentong itu panggilan sayang dari Netra untuk Genta.

Genta sendiri sudah pasrah dipanggil begitu. Dulu sih awalnya dia protes, namun
berpuluh-puluh teguran yang dilontarkan Genta hanya lewat saja di telinga Netra.
Gadis itu masih tidak mau memanggil nama aslinya. Genta pun menyerah namanya
diubah-ubah seenak jidatnya oleh Netra. Sehingga beberapa temannya ada yang ikut-
ikutan memanggilnya Gentong.
“Nanti pas rapat OSIS bawa flashdisk lo. Gue butuh contoh proposal yang dulu gue
simpen di flashdisk lo.”
“Sip!” Netra mengacungkan dua jempol tangannya. Genta membalas dengan acungan
jempol juga.
“Sori nih, gue nggak bisa nemenin lo di sini. Gue harus ke kantor guru.”
“No problem, big brother. Lagipula nggak ada yang nyuruh lo nemenin gue di sini.”

“Lo juga, demen banget sih menyendiri. Ati-ati lho, Neng. Gue pergi dulu ya,
Nyet.” Genta melambaikan tangannya lalu berjalan meninggalkan Netra. Kalau Netra
memberi panggilan sayang Gentong untuk Genta. Pria itu juga tidak mau kalau, dia
juga punya panggilan sayang untuk Netra, yaitu Nyet. Artinya monyet, tapi itu
plesetan dari Net, suku awal dari nama Netra.
Ketika Netra mengikuti punggung Genta yang menjauh, matanya menangkap sosok Aldi
yang melewati koridor kelas. Netra langsung mengalihkan pandangannya sembari
mendengus.
Orang itu lagi ... orang itu lagi. Kenapa sering banget muncul di depan muka gue
sih, rutuknya dalam hati.
****
BAB 18. Gue Maunya Elo

“Mati gue,” umpat Netra lirih. “Sumpah, mati gue.”

Netra mengobrak-abrik tempat pensilnya. Benda yang dicarinya tidak ada. Sekali
lagi dia mengeluarkan satu per satu isi tempat pensilnya. Diperhatikannya satu per
satu. Bolpoin hitam, bolpoin merah, tipe-x, pensil mekanik, penghapus karet, lalu
karet rambut. Ini kenapa karet rambut bisa masuk ke tempat pensil?

Tapi benda yang dia cari tidak ada. Pensil 5H-nya menghilang. Ada-ada aja nih si
pensil, padahal sebentar lagi adalah jam pelajaran seni lukis. Minggu kemarin
gurunya sudah memperingatkan untuk membawa pensil 5H untuk menggambar sketsa. Netra
yakin pensil itu tidak jalan ke mana-mana. Netra yakin masih menyimpannya di tempat
yang aman, yaitu tempat pensilnya. Namun, dia raib juga.

“Iya, gue mati abis ini,” gumamnya lagi.

Pencarian Netra beralih ke tas ranselnya. Dia berharap mungkin saja si pensil
jatuh ke dalam tasnya. Dengan keringat dingin yang mengucur di sisi keningnya, dia
mengeluarkan isi tasnya. Ketika isi tasnya sudah kosong, pensilnya tidak nampak
juga. Netra memijat tangannya untuk mengurangi ketakutan. Setelah mengembalikan
buku-bukunya ke dalam tas, dia melirik pada Vino yang duduk di sampingnya. Vino
tampak cuek saja dan tidak peduli dengan kepanikan Netra. Vino memangku dagunya
dengan tangan kanannya. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata Vino
tertidur.

Netra menghembuskan napas berat. Vino tidak bisa diandalnya. Tidak mungkin dia
punya pensil dobel. Netra bisa berharap apa padanya?

Netra melirik jam dinding di kelasnya. Tidak akan cukup waktunya untuk berlari ke
koperasi sekolah. Lagipula memangnya koperasi sekolahnya menjual pensil 5H?
Akhirnya Netra memilih pasrah dengan keadaan. Apa yang terjadi, terjadilah ....

Kata rajin memang tidak cocok untuk Netra. Dia sudah terlalu sering dimarahi
gurunya karena lupa membawa perlengkapan sekolah. Kalau pun dia harus dimarahi
sekali lagi, dia rela. Tidak ada bedanya untuk dia. Rajin tidak rajin, dia sudah
terlanjur dicap sebagai siswi pemalas.

Di tengah-tengah kekalutannya, seseorang tiba-tiba berdiri di samping mejanya.

“Net, nanti sepulang sekolah ikut rapat OSIS, ya.” Seseorang itu adalah Aldi.

Netra mendongak, “Hah?” Mulutnya menganga lebar.

Aldi memandang wajah Netra, “Nanti sepulang sekolah ada rapat OSIS. Dateng ya?”

Netra mengangguk-angguk dengan mulut masih menganga. Dia tidak percaya Aldi akan
mendatangi mejanya di saat kelasnya penuh dengan manusia berjenis kelamin
perempuan. Sampai dia harus menepuk-nepuk tangan Vino sehingga teman sebangkunya
itu bangun dari tidur lelapnya.

“Vin ... Vin ... bangun, Vin.”

“Apa sih, Net?” Vino mencebik kesal karena tidurnya terganggu.

“Cubit pipi gue, Vin. Gue takut gue lagi mimpi.”

“Yang ada, gue tadi yang lagi mimpi, Net. Ah, padahal tinggal dikit lagi tadi
tuh,” gerutu Vino.

“Banyak omongnya lo, Vin. Kalau gue bilang cubit ya cubit aja.”

Lalu dengan senang hati, Vino menjalankan perintah Netra. Dicubitnya pipi chubby
Netra tanpa mengurangi tenaga. Anggap saja sebagai pembalasan karena Netra telah
mengganggu mimpinya.

“Aw,” keluh Netra. Dia bisa merasakan sakit di kedua pipinya. Jadi ini nyata.

Jadi adalah sebuah kenyataan bahwa Aldi mendatangi meja Netra?


Hell yeah ....

Aldi tidak sadar bahwa perbuatannya menimbulkan efek dengan jangka lama untuk
Netra.

And guess what? Hell yeah, Aldi berhasil membuat Netra menjadi sasaran empuk para
penyamun. Setelah Aldi kembali ke bangkunya di belakang, Netra dikerumuni cewek-
cewek di kelasnya hanya untuk bertanya apa yang Aldi katakan padanya.

“Net, Aldi bisik-bisik apa sama lo?” tanya Merlin.

Netra mendelik pada Merlin. Bisik-bisik katanya? Siapa juga yang bisik-bisik sama
Aldi? Mata Merlin butuh ditetesi obat mata agar penglihatannya tidak kabur. Netra
mengalihkan pandangannya ke tempat pensil di depannya. Matanya terpaku pada sesuatu
yang asing di sana.

Ketika teman-temannya yang lain ribut menanyakan perihal yang sama kepadanya,
Netra diam saja di tempat duduknya. Mereka tidak tahu saja kalau saat itu Netra
sedang tertegun karena mendapati sebuah pensil 5H tergeletak di dekat tempat
pensilnya. Padahal sebelumnya pensil itu tidak ada. Netra yakin itu. Lalu Aldi
mendatanginya. Setelah itu benda itu ada.

Apa mungkin Aldi yang sengaja meninggalkan pensil 5H di meja Netra? Dia
menaruhnya tanpa sepengetahuan Netra sebelum berbalik kembali di bangkunya.

Di saat cewek-cewek yang mengerumuninya itu marah-marah karena Netra tidak juga
menjawab pertanyaan mereka, Netra malah memandangi pensil 5H itu. Dia mengerjab-
ngerjabkan matanya berulang kali. Dia masih tidak percaya dengan penglihatannya.
Mungkin saja itu hanya ilusi. Namun pensil itu tidak juga hilang dari
penglihatannya, akhirnya dia memberanikan diri untuk menyentuh benda tersebut.
Ketika jari-jari Netra berhasil memegang pensil itu, barulah dia yakin bahwa itu
nyata. Netra membalikkan pensil itu dan mendapati sebuah nama tertulis di sana.
Aldi.

Berarti memang benar pria itulah yang menaruh pensil 5H di mejanya. Sekali lagi,
dia tidak menyangka bahwa Aldi ternyata memperhatikan Netra yang kalang kabut
mencari pensil 5H miliknya.

Hebat, Vino saja nggak tahu kalau gue nyari-nyari pensil 5H di tas.

“Kenapa, Net? Kok melamun sambil melihat pensil?” tanya Ayu.

Netra kaget begitu menyadari bahwa dia masih dikelilingi oleh teman-temannya. Dia
segera memasukkan pensil Aldi ke tempat pensilnya. Bisa gawat kalau mereka tahu.

“Nggak apa-apa,” elak Netra. “Balik ke tempat lo, gih. Bentar lagi Pak Guru
dateng.”

Benar saja, tak berapa lama kemudian, gurunya masuk ke dalam kelas.

“Selamat siang, anak-anak!”

Seketika itu juga kerumunan cewek di meja Netra berpencar untuk kembali ke tempat
duduk masing-masing.

****

'Ding ... ding ... aaah ....'


Ponsel Netra mengeluarkan bunyi-bunyian lucu. Si pemilik ternyata sedang sibuk
memainkan game di ponsel. Game Farm Heroes Saga, permainan yang tidak ada habisnya.
Netra sudah masuk di level 400 lebih dan ending dari permainan itu belum terlihat
hilalnya. Pernah Netra meng-scroll ke atas level pada game tersebut untuk melihat
level paling ujung ternyata di atas sana masih ada awan yang menutupi. Bahkan si
pembuat game juga belum tahu mau mengakhiri game tersebut sampai level ke berapa.
'Nguik ... nguik ... aaah ....'
Benda itu berbunyi lagi setiap Netra berhasil menukar posisi lalu menggabungkan
buah dan produk pertanian dengan jenis yang sama. Netra tidak peduli dengan rapat
OSIS yang sedang berlangsung di dalam sana. Benar sekali, sekarang sedang diadakan
rapat di ruang OSIS. Tapi sebenarnya Netra tidak terlalu dibutuhkan dalam rapat
tersebut. Jadi sementara ketua dan pengurus OSIS yang bersangkutan asik berdiskusi
dan sesekali terdengar perdebatan seru di dalam sana, Netra bersama pengurus OSIS
lainnya menyimak di depan ruang OSIS sambil selonjoran di lantai. Netra mencuri
dengar kasak-kusuk pembicaraan orang-orang di dalam ruangan sambil menyandarkan
punggung di tembok. Dia mengambil posisi seolah mau tidur.
Netra sebenarnya tidak ingin datang ke rapat hari ini. Dia tahu bahwa rapat kali
ini adalah rapat intern para pengurus OSIS yang mempunyai jabatan penting. Kalau
dalam istilah gaul saat ini, ia sedang mager parah. Dia ingin segera pulang ke
rumah dan menikmati angin sepoi-sepoi di halaman belakang rumahnya.
Namun khayalannya tinggallah sebuah khayalan. Rencananya gagal total karena Aldi.
Pria itu kembali mengusik ketenangan Netra.
Netra merasa tidak enak pada Aldi kalau dia bolos rapat. Apalagi setelah kejadian
di kelasnya tadi. Netra terkejut ketika Aldi secara khusus mendatangi bangku
mejanya dan menyuruh Netra untuk menghadiri rapat OSIS sepulang sekolah. Ternyata
itu hanya kedok untuk meminjaminya pensil 5H.
'Ceklek ....'
Pintu ruang OSIS terbuka. Netra mendongak. Wajah Aldi-lah yang pertama kali
muncul dari dalam sana. Aldi menatap pada Netra dengan lekat. Lagi dan lagi, Netra
dibuat kaget setengah mati karena namanya yang pertama kali keluar dari mulut Aldi.

“Netra.”
Netra yang dipanggil langsung menampilkan sikap waspada. Netra balas menatap Aldi
dengan kening berkerut, menunggu kelanjutan kalimatnya. Tepatnya, menunggu apa
maksud Aldi memanggil namanya.
“Besok lo temenin gue ke suatu tempat.”
Aldi mengucapkan serentetan kata itu dengan suara yang berwibawa. Nada
suaranya ... nada suara memerintah. Netra berdecak, “Kenapa harus sama gue, sih?
Yang lainnya aja deh, gue sih no.”
Netra merasa ada yang salah dengan Aldi. Sikapnya sangat janggal. Kejanggalannya
bermula setelah Netra jujur kepada Aldi bahwa dirinya sedang mencari-cari sisi
buruk dari Aldi. Orang itu—Aldi—malah semakin mendekatkan diri padanya. Sering kali
dia muncul di hadapan Netra. Semenjak itu juga, Netra sering menyadari keberadaan
Aldi entah di rumah atau di sekolah.
Saat ini pun, Netra mencurigai apa motif Aldi dengan menyuruhnya untuk menemani
ke suatu tempat. Aldi tidak akan mengerjainya, kan? Kenapa harus Netra? Pasti ada
unsur kesengajaan. Tidak ada salahnya kan, kalau Netra berprasangka buruk kepada
Aldi. Tidak ada angin tidak ada hujan kok, dia minta ditemani. Tidak segampang itu.

Netra menatap Gentra, meminta penjelasan sekaligus sedikit protes padanya. Tapi
Genta hanya mengedikkan bahu dengan tampang pasrah.
“Gue maunya elo, Net. Lo harusnya seneng karena udah gue suruh nemenin gue.
Bukannya lo punya proyek untuk ....”
Alarm tanda bahaya di otak Netra langsung berkedip-kedip. Dia berdiri lalu
membekap mulut Aldi sebelum pria itu meneruskan kalimatnya.
Orang-orang yang sedang berada di sekitar, mengerutkan kening begitu melihat
sikap Netra. Bagi mereka rasanya aneh melihat kedekatan antara Netra dan Aldi.
Netra merasakan ujung bibir Aldi bergerak ke atas di bawah bekapan tangannya. Aldi
tersenyum, entah tersenyum mengejek atau tersenyum menghina. Aldi pasti merasa
dirinya menang karena sudah membuat Netra tidak berkutik. Netra langsung melepas
tangannya yang membekap mulut Aldi. Kemudian telapak tangannya dilapkan ke roknya
untuk menghilangkan bekas bibir Aldi. Netra merutuki refleks tangannya yang
bertingkah konyol.
Netra berdesis. Salah apa deh gue ini. Gue berbuat dosa apa di masa lalu sampai
kena karmanya sekarang.
Netra ingin sekali menolak perintah Aldi, namun teman-temannya memandanginya
dengan muka yang mengatakan, “Udah, Net. Terima aja apa susahnya.”
Cih, terpaksa Netra mengangguk, “Oke deh.”
Walaupun dalam hati dia mengumpat habis-habisan. Memang Netra sedang dalam proyek
mencari sisi buruk dari Aldi, namun berdua saja dengan Aldi itu neraka bagi Netra.
****

Baca lanjutannya yuk~~


BAB 19. Jalan Berdua?
BAB 19. Jalan Berdua?

‘Tet ... tet ... tet ....’

Bel berbunyi tiga kali. Itu artinya waktu istirahat telah tiba, sekaligus
menandakan bahwa pelajaran matematika juga telah usai di kelas 2 IPA 4. Setelah
guru selesai membereskan buku-buku dan keluar dari kelas, siswa-siswi kelas
tersebut langsung berebut untuk menyusul keluar kelas. Kecuali beberapa siswa yang
memang masih ada keperluan di dalam kelas. Kebetulan—yang sangat langka—Netra
termasuk ke dalam beberapa itu, dia merasa dirinya sedang dalam mode rajin hari
ini. Sebelum Bu Ratih menyudahi kelasnya hari ini, beliau sempat memberikan tugas
rumah kepada anak didiknya. Karena Netra merasa paham dengan pelajaran yang
diterangkan Bu Ratih, dia berencana mau mengerjakan tugas rumahnya di sekolah, saat
istirahat sedang berlangsung.

Daripada keburu dia malas kan, keburu dia lupa. Kalau dia sudah sampai rumah, dia
bisa lupa segalanya. Dia terlalu sibuk bersantai-santai. Belum tentu juga dia bisa
mengerjakannya di rumah. Bisa saja apa yang diterangkan hari ini oleh Bu Ratih
terbawa angin sepulang sekolah nanti. Entah Netra sedang kesamber setan apa. Yang
jelas bukanlah setan kredit, karena setan kredit hanya ada di film Warkop DKI.

Memang dasar niat baik seseorang itu pasti ada saja yang menghalangi. Ada saja
orang-orang yang mengganggu. Seperti Netra yang kini sedang ditarik-tarik keluar
kelas oleh Ayu dan Indah. Padahal dirinya baru saja membaca doa sebelum mengerjakan
tugas matematika. Netra melirik pada Indah yang ikut menariknya. Dia heran dengan
kecepatan Indah untuk masuk ke dalam kelasnya. Indah kan beda kelas dengan Netra,
Ayu dan Merlin. Apa mungkin dia sudah menunggu di depan kelas sebelum bel istirahat
berbunyi?

“Net, ah …, ayo keluar kelas. Makan, laper. Kepala batu banget sih jadi cewek,”
ujar Indah.

“Enggak. Gue di kelas aja. Kalian ke kantin sendiri tanpa gue. Jangan ganggu gue.
Biarin kepala batu, yang penting dalam kepalanya bukan otak udang. Barbie lagi
pengen jadi boneka yang rajin.”

Netra yang berusaha untuk mempertahankan supaya pantatnya tetap menempel pada
tempat duduknya. Ayu kesal dibuatnya. Oleh karena itu dia menambah bala bantuan.
Dia menyuruh Merlin untuk mencari cara supaya Netra bisa lepas dari bangkunya.

“Mer, angkat si Netra!”


Lalu Merlin pun ikut serta dalam upaya pengangkatan tubuh Netra. Merlin dengan
senang hati menggelitiki pinggang Netra. Merlin tahu akan kelemahan Netra. Cewek
itu tidak tahan dengan rasa geli. Dia pasti akan meronta-ronta jika digelitiki. Dan
benar saja, Netra berontak di tempat duduknya. Karena merasa risih dan geli. Segala
macam umpatan manis keluar secara refleks dari mulut tipisnya. Satu lawan tiga,
jelaslah Netra kalah. Dia mati kutu. Akhirnya Netra menyerah dan pasrah saja ketika
digiring ketiga iblis betina itu ke kantin sekolah.

Netra disuruh untuk duduk di salah satu kursi kantin. Di sekitarnya ada Ayu,
Merlin dan Indah mengelilinginya sehingga mereka berempat membentuk sebuah
konferensi meja bundar. Di depan Netra kini ada satu botol pocari dan beberapa
potong kue brownies. Netra mengalihkan matanya dari kenikmatan dunia tersebut lalu
mengamati wajah ketiga temannya dengan pandangan curiga dan penuh selidik.
Sementara orang-orang yang dipandangi Netra malah tersenyum lebar.

“Ada apa nih, kok kalian beliin gue pocari ...” Netra menunjuk minuman favoritnya
lalu menunjuk ke kue yang selalu membuat dia ngiler. “Dan brownies ini?”

Ketiga orang itu meremas-remas tangan masing-masing. Netra menyipitkan kedua


mata, mengamati tingkah mereka. Dia curiga kalau teman-temannya sedang bersekongkol
untuk menyogok Netra. Hanya saja motif dari tindakan mereka yang belum Netra
ketahui.

“Apa sih, Net? Curigaan mulu sama kita. Ingat … berburuk sangka itu dosa,” sahut
Ayu.

Karena setelah beberapa lama kemudian mereka sama sekali tidak membuka mulutnya,
Netra memutuskan untuk masa bodoh. Tanpa mengurangi kecurigaan, Netra mengangguk-
angguk. Tangannya terulur untuk mengambil botol pocari, membuka tutup botolnya lalu
meneguknya. Senyum ketiga temannya yang awalnya sudah lebar jadi semakin sumringah.
Mata ketiganya tertuju pada mulut Netra yang sedang meminum pocari.

“Net, lo masih nglanjutin penyelidikan lo sama Aldi? Lalu hasil penyelidikan lo


tentang Aldi bagaimana?” tanya Merlin, to the point.

Netra menaikkan alisnya. Dugaannya tepat sekali. Dia tidak terkejut karena dari
awal dia sudah menduga ketiga sobatnya itu sedang menginginkan sesuatu pada Netra.
Makanya ketiga orang itu sangat berbaik hati menraktir Netra. Basa basi mereka
terbaca dengan jelas oleh mata jeli Netra.

Netra menghela napas. Baru saja dia hendak membuka mulutnya, Ayu memotong, “Eh,
nggak boleh nggak cerita, ya. Kamu sudah terlanjut minum pocari dari kami,” kata
Ayu dengan nada mengancam. Netra menatap dengan sebelah mata pocari yang baru dia
minum sekali teguk. Tidak mungkin Netra menyalahkan minuman tersebut. Bukan
salahnya karena dia terlalu menggoda untuk diminum. Salah Netra sendiri yang begitu
mudahnya tergoda oleh tetes-tetes air yang membasahi permukaan botol.

Teman-teman Netra ini sudah ahli dalam menyuap temannya sendiri demi sebuah
informasi. Bukan sebuah tepatnya, tapi beberapa informasi.

“Cih, tadi siapa yang bilang gue nggak boleh berburuk sangka? Kenyataannya begini
kan, gue udah tahu kalian bakal tanya beginian. Memang di dunia ini tidak ada yang
gratis. Pipis aja bayar,” cibir Netra.

Ketiga orang yang dimaksud Netra membalas cibiran Netra dengan cengiran.

Netra menghembuskan napas, “Tapi i am sorry to say, nih. Gue nggak ada maksud
mengecewakan kalian tapi gue belum dapat satu pun kejelekan ketua OSIS robot itu.
Entahlah apa mungkin dia memang sebuah robot yang sudah dimasuki chip program jadi
lempeng-lempeng aja sampai sekarang.” Netra tersenyum kecut dengan muka penuh
penyesalan dan sedikit ragu.

Netra bingung dengan dirinya sendiri. Sekarang ini dia enggan membicarakan hasil
penguntitannya kepada ketiga temannya. Padahal niat awalnya ketika memutuskan untuk
memulai penyelidikan ini adalah untuk membuktikan kepada teman-temannya bahwa Aldi
punya kelemahan. Tapi sekarang, apa yang membuat Netra malah memutuskan untuk
merahasiakan hasil penyelidikannya beberapa hari belakangan ini?

Padahal Netra sudah mengumpulkan beberapa catatan. Netra mendapatkan sebuah fakta
bahwa seorang Aldi doyan makan petai. Netra juga menjadi saksi hidup bahwa Aldi
adalah seorang pria playboy. Netra tahu bahwa tipe pacar adalah cewek yang umurnya
minimal dua tahun lebih tua darinya. Netra juga memergoki saat Aldi merokok di
rumahnya. Tapi kenapa Netra ingin menyimpan semua catatan ini untuk dirinya
sendiri?

Tidak hanya itu. Netra juga ingin menceritakan bahwa seseorang yang pernah
membuatnya kesal karena digosipkan itu adalah Aldi. Pria itulah yang dulu
menggosipkan dirinya di depan kelas. Netra belum mau membuka itu semua.

Apa karena saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membeberkan semuanya?

Apakah juga karena itu semua belum bisa dibilang sebagai kelemahan Aldi? Netra
bingung. Mungkin alasan terakhir itulah yang benar. Semua catatan tentang Aldi yang
dia dapat selama ini belum kuat untuk dijadikan sebuah kelemahan. Netra belum
mendapat infomasi yang lebih lengkap dan mendalam mengenai Aldi jadi Netra rasa
belum saatnya dia mengungkap hasil penguntitannya terhadap Aldi.

“Nah, sekarang baru sadar kan … kalau Aldi itu emang nyaris sempurna. Dia tanpa
cela, Net. Ngapain juga lo susah-susah nyari jarum di tumpukan jerami. Ketusuk baru
tahu rasa!” ejek Indah

“Nooooo,” tolak Netra. “Gue masih sama dengan pendirian gue. Nggak ada yang
sempurna di dunia ini. Gue janji bakal menemukan celah di dalam manusia robot itu.
Sebuah program komputer pun bakal ada lubangnya.”

“Ya, gue meragukan aja. Masa iya lo belum dapet apa-apa selama dua minggu ini,
Net?” tanya Merlin tidak percaya. Secara sepengetahuan Merlin, Netra itu seorang
mata-mata yang top. Sifat dasarnya adalah mudah penasaran dan gampang curiga. Apa
saja yang dia selidiki selalu membuahkan hasil yang tidak mengecewakan.

Biasanya hanya dengan waktu yang relatif singkat, Netra bisa mendapatkan info
yang sebanyak-banyaknya. Kata Ayu, Netra punya bakat untuk mengorek kelemahan
orang. Bakat itu bukanlah bakat yang mudah, tidak sembarang orang bisa mempunyai
bakat seperti itu. Karena harus punya kemampuan observasi yang baik, mata yang awas
dan juga harus bisa membaca pikiran lawan.

Netra tersenyum kecut. “Tau deh, hidupnya lempeng aja gitu. Eh tapi, nanti siang
gue disuruh nemenin dia ke suatu tempat. Mungkin gue bisa cari tahu siang nanti.”
Ketiga temannya langsung menatap Netra dengan penuh minat.

“Ke mana, Net?”

Netra merutuki bibirnya yang keceplosan, rem yang terpasang di bibirnya


sepertinya sudah blong. “Ke mana? Emangnya siapa yang mau pergi?” tanya Netra pura-
pura polos.

“Ya elo sama Aldi. Kata lo barusan lo disuruh nemenin dia ke suatu tempat. Kalian
mau ke mana? Berdua?”
Netra mengerutkan keningnya, “Emang gue bilang gitu? Enggak ah, gue bilang gue
disuruh dia ke suatu tempat.”

“Enggak, Net.” Merlin masih tetap kekeuh, “Gue nggak mungkin salah denger.
Telinga gue nggak mungkin salah nangkap omongan lo.”

“Lah, tadi yang ngomong siapa? Gue, kan? Mulut gue yang ngomong. Lo dikasih tahu
kenapa ngeyel. Nih, gue ulang sekali lagi. Gue tadi bilang, gue disuruh ke suatu
tempat sama Aldi. Bukan berarti gue pergi berdua sama dia,” tukas Netra berbohong.

Indah dan Merlin memandang Netra dengan curiga.

“Nggak bohong kan lo?” tanya Indah.

Netra mengibas-ngibaskan tangannya ke depan, “Ngapain juga gue bohong. Nggak


penting.”

Pandangan Netra kemudian menerawang entah ke mana. Dalam hati Netra memang
penasaran. Selama ini sifat buruk Aldi cuma satu, yaitu Aldi adalah seorang
playboy. Kalau untuk merokok, itu karena dia salah pergaulan. Selama ini Aldi belum
pernah kedapatan merokok di area sekolahan. Lalu mengenai Aldi yang doyan petai.
Apa salahnya dengan makanan itu sih? Itu kan selera masing-masing orang. Hak Aldi
mau makan makanan apa saja. Petai halal kok.

Jadi sekarang pikiran Netra dipenuhi oleh karangan yang berjudul : Ketua OSIS
playboy yang sempurna.

‘Drrrt ... drrrt ....’

Ponsel yang dikantongi Netra dalam saku kemejanya bergetar. Netra mengecek pesan
yang masuk. Wow, batinnya. Baru saja dipikirkan, si ketua OSIS playboy yang
sempurna itu mengiriminya pesan di Line.

Aldi : Ingat, pulang sekolah nanti lo pergi sama gue

Netra mengernyit lalu mengetikkan sebuah balasan.

Netra : Y. Tapi tunggu sampai sekolah sepi baru gue mau pergi.
Aldi : Kenapa?
Netra : Nggak usah pakai nanya. Gue nggak melayani tanya jawab.
Aldi : Kalau lo nggak jawab, gue bakal nyamperin ke meja lo begitu pelajaran
terakhir kelar.

Gila, kalau dia beneran nyamperin gue begitu pelajaran terakhir kelar, hidup gue
juga kelar, teriak Netra dalam hati. Netra mengetuk-ngetuk layar ponselnya,
memikirkan sebuah jawaban.

Netra : Gue disuruh pak satpam buat bantuin dia nutup gerbang sekolah!

Setelah mengetikkan balasan itu, Netra menyimpan kembali ponselnya di dalam saku
kemeja. Dia tidak peduli dengan balasan Aldi selanjutnya. Tapi ternyata Aldi tidak
membalas lagi karena ponselnya tenang-tenang saja di dalam sana.

****
BAB 20. Jari Telunjuk
Sepulang sekolah ....

Netra berhasil melarikan diri ke mushola ketika jam pelajaran usai. Setelah
melaksanakan salat zuhur, dia ngumpet di dalam mushola seraya menanti waktu yang
aman baginya untuk menampakkan diri. Tapi seseorang di luar sana nampaknya sudah
tidak sabar menunggu. Dia terus memberondongi Netra dengan pesan-pesan teror.

Aldi : Keluar lo.


Aldi : Cepetan!
Aldi : Keburu maghrib
Aldi : Hei, jangan dibaca aja kayak koran. Bales, Net
Aldi : Lama. Keburu subuh.

Begitulah isi pesan teror dari Aldi. Kelihatan sekali kalau orang itu tidak
sabaran. Netra hanya membacanya tanpa berniat untuk membalas. Dia melihat ke luar
jendela mushola di lantai dua. Masih terlihat beberapa siswa yang berseliweran
walaupun tidak banyak. Dari tempatnya sekarang ini, dia bisa melihat ke arah
parkir. Motor-motor yang terparkir di sana sebagian besar sudah menghilang dibawa
pergi si pemilik.

Aldi kembali mengiriminya pesan.

Aldi : Apa perlu gue pinjem radio sekolah dan manggil-manggil lo lewat radio?
Netra : Gila lo! Coba aja kalau berani
Aldi : Berani lah, sekarang ini gue ada di depan ruang radio.

Rasanya mata Netra melompat keluar dari matanya. Dia tidak hiperbola dengan
reaksinya itu. Mata Netra memang melotot ketika membaca pesan balasan dari Aldi.
Segera dia membereskan tasnya. Sebelum dia beranjak pergi, Netra sempat mengirimi
Aldi pesan, takut dia terlambat menyelamatkan diri dan Aldi melakukan tindakan
konyol yang tidak diinginkan.

Netra : Stay back! On my way!

Netra bergegas berlari menuju ruang siaran. Benar saja, Aldi berdiri di sana,
menempelkan punggungnya di dinding. Sebelah tangannya dia masukkan ke dalam saku
celananya sementara sebelahnya lagi memegang ponsel. Ketika Netra sudah sampai
tepat di depan Aldi, pria itu menunjukkan layar ponselnya di depan muka Netra.

“Lima menit 35 detik,” ucapnya.

Netra yang sedang mengatur napasnya yang ngos-ngosan, mengerutkan dahi tidak
mengerti. Lima menit 35 detik untuk apa?

“Lama lari lo dari mushola ke tempat ini.”

Kampret, maki Netra dalam hati. Kok ada ya cowok yang menghitung waktu lari
seorang gadis. Dia tidak sedang ikut lomba lari maraton atau lari 100 meter.

“Dari mana lo tau kalau gue ada di mushola?” tanya Netra masih dengan napas yang
terengah-engah. Dia tadi benar-benar berlari ke ruang siaran.

“Feeling aja. Ayo buruan ke tempat parkir. Keburu pensinya mulai,” tegas Aldi,
hiperbola.

Aldi melangkah duluan, meninggalkan Netra di belakangnya. Netra menggerutu. Dia


masih kecapekan karena efek berlarinya. Tidak bisa istirahat sebentar apa? Dia
mengikuti langkah Aldi. Netra mencibir di belakang Aldi. Dia berjalan sambil
menundukkan kepala dan menghentak-hentakkan kedua kakinya. Hingga dia tidak sadar
kalau Aldi menghentikan langkahnya. Tabrakan antara mereka pun tidak bisa
dihindari.

“Aduh, kalau mau berhenti itu ngobrol, dong!” seru Netra.

Karena tabrakan tersebut, kepala Netra bertubrukan dengan sesuatu yang dingin.

Eh, dingin?

Barulah Netra mendongakkan kepalanya. Matanya disuguhi pemandangan sebuah botol


pocari dingin.

“Makanya kalau jalan itu lihat depan, jangan nunduk sambil marah-marah kayak
tadi. Nih, dinginin kepala lo dengan minum ini. Masih utuh kok belum gue ludahin.”

Mata Netra mendelik ke arah Aldi, “Kok elo jorok sih?”

“Kan gue bilang belum gue ludahin. Belum jadi joroklah,” timpalnya. “Mau nggak
nih? Kalau nggak gue masukin tas lagi.”

Tangan Aldi yang memegang botol minuman perlahan menjauh. Tangan yang satunya
bergerak untuk membuka tas ranselnya.

Netra dengan sigap menahan lalu merampas botol minuman dari tangan Aldi. “Apa
sih, kan gue belum bilang kalau nggak mau. Masa barang udah mau dikasih ke orang
lain dimasukin dalam tas lagi. Itu kayak menjilat ludah sendiri.”

Aldi mengedikkan bahunya lalu berbalik. Dia melanjutkan langkahnya kembali


sementara Netra mengikutinya sambil membuka tutup botol. Diteguknya isi dalam botol
minuman tersebut. Segar. Ionnya yang hilang karena berlarian tadi sudah terganti
dengan yang baru.

Sesampainya di lahan parkiran, kedua orang itu berpencar menuju motor masing-
masing. Parkiran motor di sekolah mereka ditata menurut warna. Motor Netra berwarna
merah, jadi diparkirkan di bagian barat sedangkan motor Aldi yang berwarna hitam,
tempat parkirnya di bagian timur. Lihat saja, bahkan tempat untuk meletakkan motor
mereka tanpa sengaja saling berjauhan dan berada di dua kutub yang bertolak
belakang.

Ketika Netra baru beberapa langkah jauhnya dari Aldi, pria itu memanggil-
manggilnya.

“Hoi!” seru Aldi.

Aldi tidak menyebut namanya jadi Netra sengaja tidak menoleh.

“Hoi!” seru Aldi lagi.

Nama gue bukan hoi, batinnya.

Netra dengan santai melangkah menjauh. Hingga Aldi menarik pergelangan tangan
Netra sehingga langkah Netra terpaksa berhenti. Netra tersentak kaget, badannya
langsung memutar 180 derajat. Dia sekarang menghadap ke belakang.

“Hei,” panggil Aldi.

Netra meringis. Dia tidak lagi dipanggil hoi tapi hei. Netra menarik tangannya
supaya lepas dari genggaman tangan Aldi.
Aldi hanya melirik pada tangan Netra yang terlepas. “Telinga lo ditaruh di mana
sih? Gue panggil nggak nyahut.”

“Situ manggil saya? Tadi teriak-teriak hoi hoi ya mana saya tahu, nama saya bukan
Nehoi atau Hoitra,” sindir Netra.

“Lo mau ke mana kok jalan ke sana?” Aldi tidak mempedulikan sindiran Netra. Dia
memasukkan sebelah tangannya di saku celana.

“Ya kalau kita ke parkiran itu mau ngapain sih? Pake tanya, ya mau ambil motor
gue dong.”

“Ngapain?” tanya Aldi sambil mengangkat kedua alisnya.

“Bukannya lo nyuruh gue ngikutin lo ke suatu tempat, ya gue ambil motor gue lah,”
jawab Netra sengit. Netra cuma mau ambil motor aja kok dipersulit.

“Ya maksud gue, ngapain ambil motor? Gue ngajak lo ke suatu tempat itu … ya
maksudnya lo bonceng gue aja. Motor lo ditinggal di parkiran sekolah dulu.”

Sekali lagi Netra dikagetkan oleh tingkah Aldi. Seharian ini jantungnya bekerja
terlalu keras, semua karena Aldi. Belum cukup dia membuat Netra kaget dengan
perintahnya untuk menemani ke suatu tempat, sekarang Aldi menambah syok dengan
meminta mereka untuk berboncengan motor. What?

“Eh, nggak ada cerita ya gue sama lo bonceng-boncengan. Gue berangkat ke sekolah
naik motor, pulang ya naik motor juga.”

“Nanti lo gue pulangin ke sekolahan lagi, jadi lo bisa pulang sama motor
tercinta,” sahut Aldi mendebat Netra.

“Gimana kalau sepulangnya dari tempat yang lo maksud, sekolah udah tutup? Motor
gue ketahan di dalam sekolahan sampai besok pagi dong. Lah gue berangkat sekolah
naik apa? Belum kalau motor gue hilang!” racau Netra. Dia sedang mengarang beberapa
alasan supaya Aldi tidak memaksa Netra untuk membonceng motornya.

Kalau ada temannya yang melihat, mau ditaruh di mana muka Netra esok hari. Bahkan
jelas Netra tidak punya lagi. Dia juga tidak mau berurusan dengan para fans fanatik
Aldi. Dia tidak mau kehidupan sekolahnya tidak tenang.

“Hari ini ada ekstrakulikuler bola voli dan ekstra lain, Net. Jadi sekolah
tutupnya sampai malem. Lo tenang aja, gue tadi sudah titip sama Pak Otong,” terang
Aldi. Dia menoleh ke belakang. “Ya kan, Pak Otong!”

Tidak jauh dari tempat Netra berdiri, Pak Otong yang sedang duduk-duduk di kursi
mengacungkan jempolnya ke arah Aldi dan Netra. Ini adalah sebuah konspirasi. Pasti
ada kongkalikong antara Aldi dan Pak Otong sebelumnya untuk membuat Netra
konstipasi.

Netra mendecak sebal. Dia kehabisan alasan lagi. Otaknya belum pernah digunakan
untuk memikirkan alasan yang lebih masuk akal lagi. Akhirnya Netra mengambil cara
konyol terakhirnya. Netra masih berusaha menolak dengan keras. “Nggak. Enak aja lo
pasti mau ambil kesempatan dalam kesempitan.”

Ketika dia dihadapkan dengan situasi yang terdesak seperti ini, tidak ada ide
cemerlang yang muncul, yang ada hanyalah kekonyolan. Sekarang dia mulai membawa-
bawa gender. Dia bertingkah seperti perempuan lugu yang takut dilecehkan. Netra
menyilangkan tangannya untuk menutupi dadanya. Sepertinya dia berpikiran terlalu
jauh.
Aldi memperhatikan tangan Netra yang tersilang di depan dada sambil menaikkan
sebelah alisnya. Sebenarnya dia sedang menutupi apa? Pemikiran Netra memang kadang
tidak bisa ditebak. Cara pandangnya terhadap sesuatu kadang membuat Aldi takjub.
Sama seperti sekarang ini, bisa-bisanya dia berpikiran bahwa teman sekelasnya yang
notabenenya adalah seorang ketua OSIS akan melecehkannya.

“Ambil kesempatan dalam kesempitan apa sih maksud lo, Net? Niat gue baik, biar lo
nggak kehilangan jejak pas ngikutin gue. Takutnya lo nyasar. Gitu aja sih, Net.”
Aldi mengucapkan kalimatnya dengan tenang tanpa ada nada tersindir di dalamnya.

“Tapi ... tapi ....” Netra tergagap. Otaknya tidak bisa berpikir lagi.

Aldi mulai menunjukkan kalau dia tidak sabar dengan Netra. Dia mengecek jam di
pergelangan tangannya. “Sebenarnya apa yang lo takutin sih? Harus berapa lama kita
berdebat? Udah jam tiga lebih, Net. Keburu sore.”

“Itu ....” Jari telunjuk Netra menunjuk ke sembarang arah.

Aldi yang tidak sabar akhirnya berdecak lalu mengambil sebuah tindakan yang tidak
terduga. Dia menyambar jari telunjuk Netra yang berada di udara.

Digenggamnya dengan erat jari telunjuk itu dan dia berbalik. Dia terpaksa harus
menyeret Netra dengan menggunakan jari telunjuknya supaya gadis itu mengikuti
langkahnya.

Sementara itu Netra masih tidak percaya dengan telunjuknya yang digenggam Aldi.
Netra terpaksa mengikuti langkah Aldi. Dia mencoba untuk melepaskan telunjuknya
namun kekuatannya kalah kuat dengan Aldi.

“Lepasin, Di.”

“Nggak. Kalau gue lepas lo bakal ngulur waktu lebih lama lagi,” ucap Aldi.

“Lepas, Di!”

“Enggak, Net. Gue bilang enggak ya enggak.”

“Tapi gue harus balik ke motor gue dulu.”

Aldi berbalik. Jari tangannya yang semua hanya menggenggam jari telunjuk Netra
sekarang malah menggenggam seluruh jari Netra.

“Sekali ini aja nurut sama gue. Hari ini lo bonceng motor gue, besok-besok
terserah elo, deh. Gue bener-bener dikejar waktu ini. Anak-anak di sana kasihan
kalau kelamaan nunggu gue.” Aldi memandang Netra dengan tatapan memohon.

Netra menunduk memperhatikan tali sepatunya. Dia tidak berani menatap mata Aldi
apalagi menatap tangannya yang dibalut tangan besar Aldi.

“Tapi ....” Netra masih mengucapkan keraguan.

“Net, please ya.”

“Iya, tapi itu ... helm gue,” ucap Netra lirih.

“Hah?” tanya Aldi.

Netra akhirnya memberanikan diri untuk menatap Aldi. Pria itu sedang memandangnya
dengan mata bulatnya.

“Helm gue masih ada di atas motor. Gue tetep harus balik ke sana dulu buat
ngambil.”

Aldi pelan-pelan melepas tangannya yang menggenggam tangan Netra. Lalu dia
berpura-pura terbatuk, “Ehem ... ya lo ambil helm lo aja dulu tapi habis itu balik
ke sini. Gue tunggu.”

****

Author Note :
Kemarin itu saya ada di tempat susah sinyal, jadi setelah update gak bisa intip-
intip web lagi hiks (udah gitu aja curhatnya haha)
Dan, ini Netra dan Aldi (singkat aja jadi NetrAl hehe) ngapaiiiinnnnn :see_no_evil:

Reaksi kalian baca bab ini gimana? Saya yang baca aja geli-geli gimana gitu~
Salam sayang,

nanoniken
BAB 21. Netra Bertemu Ucay

'Sniff ... sniff ....'

Netra menutupi hidungnya dengan kedua telapak tangan ketika menangkap bau yang
menyengat. Netra memperhatikan dengan seksama tembok yang mengapit gang sempit ini.
Setelah turun dari boncengan Aldi, ketua OSIS itu langsung menuntun Netra untuk
melewati gang sempit di dekat counter handphone. Awalnya Netra sempat curiga dan
ragu untuk melewati gang ini. Jalan sempit ini terlihat kumuh. Benar saja,
kecurigaannya terbukti. Beberapa langkah memasuki gang ini, Netra disambut oleh bau
pesing. Tembok-tembok di sisi kanan dan kiri juga penuh dengan coretan kata-kata
tidak jelas dan umpatan kasar.

Motor besar Aldi diparkirkan di sebuah masjid. Netra sempat tidak menyetujui. Dia
takut bakal ada maling. Bukan motor Aldi yang Netra khawatirkan melainkan helm
Netra. Helmnya itu baru saja dia beli dari hasil menabung, harganya pun lumayan
mahal. Tapi Aldi memberi penjelasan pada Netra bahwa masjid itu aman. Dan juga,
mereka tidak mungkin membawa motor ketempat tujuan karena gangnya tidak muat untuk
dilewati motor.

Selama perjalanan dari sekolah menuju masjid ini keduanya hanya berdiam diri di
atas motor. Tidak ada dari mereka yang berinisiatif untuk memulai membuka suara.
Percakapan yang terjadi di antara mereka hanyalah saat Netra baru menaiki motor
gede punya Aldi. Saat berada di boncengan Aldi, Netra bertingkah seperti gadis suci
yang tidak boleh disentuh siapa pun. Tidak salah sih, Netra memang masih suci kok.
Netra menaruh tas ranselnya ke depan sebagai pembatas antara dirinya dan Aldi.
Padahal Aldi sudah menaruh tas ranselnya di belakang punggungnya. Bisa dibayangkan
bagaimana bentuk mereka. Badan Aldi sudah cukup besar ditambah tas ransel di
punggungnya lalu tas Netra dan di ujung jok motor ada badan Netra. Penuh sudah.

Aldi mendengus ketika melihat tingkah Netra. Gadis itu semakin aneh saja ketika
berpegangan pada belakang motornya.

“Net, pegang tas gue aja. Tangan lo pegang situ, gue nggak nyaman lihatnya.”

“Nggak mau. Pegang ini aja udah aman,” debat Netra.


“Tapi takutnya nanti lo bisa jatuh ke belakang kalau gue rem mendadak.”

“Nggak. Udah jalan aja.”

Karena sebal dengan sifat keras kepala dari Netra, Aldi sengaja mengegas motornya
lalu mengerem. Tubuh Netra jadi tidak seimbang, pegangan tangannya di belakang
motor Aldi tidak bisa menjaga kestabilan tubuhnya. Sehingga dengan refleks dia
meraih tas ransel Aldi dan menggenggamnya erat-erat.

Setelah tubuhnya stabil, tanpa sadar dia memukul punggung Aldi dengan keras.
“Hati-hati kalau bawa motor, lo bawa anak perawan di belakang lo ini. Gue masih
pengin nikah dulu lalu kawin kemudian.”

Detik berikutnya dia menyesali apa yang dia lakukan dan katakan. Tangan dan mulut
kurang ajarnya memang harus disekolahkan supaya lebih terdidik. Siapa yang
menyuruhmu memukul-mukul punggung Aldi? Siapa juga yang menyuruh mulutnya
mengucapkan nikah dan kawin pada Aldi. Sok kenal sekali kalian. Kayak kalian
sepasang teman dekat aja.

“Tuh kan, makanya kalau gue suruh itu lakuin aja, nggak usah didebat terus.
Bukannya apa-apa, gue cuma takut lo jatuh ke belakang. Pegangan tas gue aja apa
susahnya sih,” ujar Aldi di balik helm.

Netra menjawab dengan menutup kaca helmnya dengan keras.

Setelahnya tidak ada percakapan lagi di antara mereka.

Kembali ke gang sempit nan pesing ini. Netra berjalan pelan-pelan sambil terus
bertanya dalam hati kapan perjalanan mereka akan berakhir. Langkah kaki Aldi masih
terus berjalan ke depan. Gang kecil ini terasa begitu panjang dan tidak berujung
bagi Netra. Semakin dalam Netra masuk ke jalan sempit itu, bau pesing itu semakin
menyengat. Netra mengumpat. Tipe orang macam apa sih yang sering kencing
sembarangan di sini. Memangnya mereka tidak punya toilet di rumahnya?

Tiba-tiba ada satu tangan terulur di depan mata Netra. Langkah kaki Netra
terhenti. Di depan mukanya, tangan itu mengulurkan sapu tangan kepadanya.

“Nih, tutup hidung pake sapu tangan ini. Muka lo udah pucet kayak mau muntah.”
Aldi mengucapkan dengan datar. Netra mengalihkan matanya dari sapu tangan ke wajah
Aldi. Tidak ada kesan mengejek, menertawakan ataupun ekspresi lain di raut
wajahnya. Flat.

Netra mendelik lalu mengambil sapu tangan yang diberikan oleh Aldi untuk menutup
hidungnya. “Kenapa nggak dari tadi gitu. Coba lo lebih peka.”

“Sama-sama,” jawab Aldi sekenanya. Netra mengerutkan kening. Eh, memangnya Netra
tadi mengucapkan terima kasih sehingga Aldi menjawab dengan sama-sama? Dasar cowok
aneh, rutuk Netra dalam hati.

Walaupun hatinya merutuki Aldi, mau tidak mau dia tersindir juga. Karena selama
ini, sebanyak apapun Aldi pernah membantu Netra—sesering apapun itu, Netra tidak
pernah mengucapkan terima kasih kepada Aldi.

Samar-samar terdengar suara beberapa orang sedang memainkan alat musik

“Kita sudah sampai,” ujar Aldi.

Aldi menunjuk pemandangan di depan mereka dengan dagunya. Dia menyuruh Netra
untuk ikut menyaksikan yang tersuguh di depan mata. Mereka berdua sekarang berada
di depan sebuah pos kamling.

Netra melihat orang-orang di depannya. Beberapa anak jalanan dengan alat musik
mereka masing-masing sedang bernyanyi-nyanyi dengan riang. Tidak bisa dipungkiri
bahwa suara yang mereka hasilkan sangat enak didengar. Padahal mereka menggunakan
alat musik sederhana dan terkesan murahan.Hanya dengan gitar dan kecrekan yang
terbuat dari tutup botol minuman soda yang ditancapkan pada balok kecil supaya
menghasilkan bunyi untuk mengiringi suara gitar serta suara nyanyian mereka. Tapi
bunyi yang dikeluarkan berpadu dengan indah. Serasa mereka punya musikalitas dan
selera musik yang tinggi.

Netra sendiri sudah diam terpaku pada suara si vokalis yang seolah menyihirnya.

Oh, ternyata Aldi ngajak gue untuk menemui ‘artis’ mereka, ucap Netra dalam hati.
Sebentar lagi, sekolah mereka akan mengadakan sebuah pentas seni sederhana. Acara
ini hanya digelar untuk intern siswa, guru dan alumni sekolah. Hanya untuk kalangan
orang dalam, tidak dibuka untuk umum. Di tahun-tahun sebelumnya biasanya pentas
seni ini merupakan ajang pamer para klub ekstrakulikuler. Namun di tahun ini ketua
OSIS mereka membuat sedikit perubahan yang cukup menarik. Di samping klub
ekstrakulikuler yang akan tampil, dia mengusulkan untuk menampillkan band anak
jalanan. Tentu saja akan ada penampilan para pengamen jalanan yang sudah dipilih
oleh panitia. Beruntung sekali usulan Aldi itu langsung disambut baik oleh kepala
sekolah. Beliau memang sangat berjiwa sosial, sehingga dengan senang hati membantu
dalam urusan dana. Bahkan beliau terus mendesak dan menanyai setiap kelanjutan
acara ini.

“Bang Aldi!” seru salah satu anak di sana. Aldi mendekati mereka, Netra mengikuti
saja di belakangnya.

“Sorry, nunggu lama ya?”

“Lumayan, Bang. Cukup untuk latihan lima lagu.”

Bocah-bocah itu menghentikan permainan musik mereka lalu satu per satu berdiri
menyalami Aldi dengan hormat. Selanjutnya mereka bergantian menyalami Netra.
Sementara Netra menyambut uluran tangan mereka sambil menerka-nerka umur mereka
masing-masing. Mungkin antara 12-15 tahun.

“Cantik nih, Bang.” Bocah yang menyapa Aldi tadi mengerlingkan matanya ke arah
Aldi. Tanpa disangka Aldi menggerak-gerakkan tangan di depan leher lalu mulutnya
berbicara tanpa suara. Namun Netra sempat memperhatikan gerakan bibir Aldi. Jadi
Netra tahu apa yang Aldi katakan.

“Galak.” Begitu katanya.

Netra mencibir. Cowok belagu.

Detik kemudian Aldi bergerak untuk mengenalkan satu persatu dari mereka. Netra
akhirnya tahu nama mereka masing-masing. Dimulai dari Eko dan Joni yang bermain
gitar. Musa yang memukul-mukul kursi kayu yang didudukinya sebagai ganti drum. Juga
Sono, bocah botak yang menghampiri Netra dan Aldi tadi. Sono ini yang paling muda
diantara teman-temannya. Serta cowok pendiam yang sedari tadi duduk diam di samping
Aldi bernama Ucay. Netra tidak percaya bahwa Ucay-lah vokalisnya sampai saat Ucay
mengeluarkan suara emasnya. Mulut Netra sontak menganga. Dia menyangka Ucay akan
menyanyikan lagu bernuansa melayu karena tampangnya yang ... maaf terlihat melayu
banget. Tapi ternyata bocah manis itu mempunyai suara yang sangat bertenaga. Arman
Maulana versi masih kecil, sebutan Netra untuk dia. Suaranya punya power, pokoknya
keren. Ucay seakan menjelma menjadi orang lain. Netra menikmati nyanyian mereka,
dia tersihir saat itu juga. Sempat terlintas di pikiran Netra untuk membuat Ucay
fans club setelah pensi berlangsung.

“Eh, nyanyi lagi dong!” pintaNetra.

“Mbak mau lagu apa?”

“Terserah deh. Aku bukan orang yang pilih-pilih soalnya. Semua lagu aku suka,
apalagi kalau yang nyanyi kamu, Ucay.” Netra mengedipkan sebelah matanya dengan
genit.

Di belakangnya, Netra mendengar suara dengusan. Netra mengacuhkan suara itu.

Lalu mereka pun mulai bernyanyi lagi.

Sedang asik-asiknya bernyanyi, Netra merasakan sesuatu yang aneh. Netra melirik
pada Aldi yang sedang berdiri dan mengarahkan camera digital-nya ke Netra dan para
pengamen jalanan ini. Netra menghentikan nyanyiannya lalu mendelik kepada Aldi. Apa
lagi ini? Aldi memotretnya?

“Lo ngambil foto apaan?” tanya Netra penuh selidik.

Dengan tampang yang amat sangat tenang, Aldi menjawab, “Mereka.”

Lalu dia kembali mengarahkan camdig ke anak-anak jalanan yang juga sudah
menghentikan permainan musik mereka.

“Bang Aldi ngambil foto kita kok nggak bilang-bilang sih?” Ucay menutupi mukanya
yang sedikit memerah. Netra memperhatikan tingkah laku Ucay yang sedikit grogi.
Netra gemas padanya, selain pendiam ternyata Ucay seorang pemalu.

“Nggak usah malu lah, Cay. Besok-besok pas pensi bakal banyak yang fotoin kalian.
Kalau kalian grogi kayak gini gimana? Padahal baru gue sama Netra yang lihat.”

“Iya tapi jangan sekarang juga fotonya, Bang. Penampilan kami masih malu-maluin
kayak gini.” Ucay memperhatikan penampilannya dari atas ke bawah. Kaos kusut yang
warnanya sudah luntur. Celana selutut yang sudah sobek di beberapa tempat. Dia malu
dengan penampilannya.

Aldi akhirnya menyimpan kameranya kembali ke dalam tas. Padahal dia baru
mendapatkan beberapa gambar yang bagus. Dia tahu kalau Ucay itu bocah yang sedikit
tidak pedean. Ucay gampang grogi dan selalu menghentikan nyanyiannya ketika tahu
bahwa Aldi mengarahkan kamera padanya. Terima kasih pada Netra karenanya Ucay
memergokinya lagi. Niatnya Aldi akan memasang foto-foto Ucay di mading sekolah
sebagai ajang promosi dan pengenalan artis pensi mereka. Terpaksa Aldi harus puas
dengan foto-foto yang dia dapat secara sembunyi-sembunyi tadi.

Aldi balas mendelik pada Netra, “Gara-gara lo nih.”

Mau tidak mau Netra merasa bersalah juga karena ternyata Aldi memotret band anak
jalanan ini bukanlah dirinya. Dan Netra sudah memergoki sekaligus mengganggu Aldi
dalam mengambil poto.

“Sorry,” ucap Netra lirih.

Mendengar satu kata itu keluar dari bibir Netra, alis Aldi terangkat ke atas.
Tanpa sepengetahuan Netra, Aldi tersenyum dalam diam. Baru pertama kalinya Aldi
mendengar perkataan maaf itu keluar dari bibir merah Netra.

It is amazing! Selama ini sepengetahuan Aldi, Netra selalu ketus padanya.


****

Anda mungkin juga menyukai