Anda di halaman 1dari 43

Bed Side Teaching

PERDARAHAN POST PARTUM

Oleh:

Firsti Wise Privanti 2140312160


Dwiki Agung Adhadi 2040312111

Preseptor:
dr. Syamel Muhammad, Sp.OG (K)

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG
2022
BAB 1
PENDAHULUHAN

1.1 Latar Belakang


Penyebab klasik kematian ibu adalah infeksi, preeklampsia dan
perdarahan. Perdarahan post partum adalah perdarahan masif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan
merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena hamil
ektopik dan abortus. Perdarahan post partum bila tidak mendapat penanganan
yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu.1
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal
terbanyak. Insiden perdarahan postpartum pada negara maju sekitar 5% dari
persalinan, sedangkan pada negara berkembang bisa mencapai 28% dari
persalinan dan menjadi masalah utama dalam kematian ibu. Penyebabnya 90%
adalah atonia uteri, 7% robekan jalan lahir, sisanya dikarenakan retensio plasenta
dan gangguan pembekuan darah.2
Angka kematian maternal merupakan indikator yang mencerminkan status
kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu. Setiap tahun diperkirakan
529.000 wanita di dunia meninggal sebagai akibat komplikasi yang timbul dari
kehamilan dan persalinan. Sehingga diperkirakan angka kematian maternal di
seluruh dunia sebesar 400 per 100.000 kelahiran hidup. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) pada tahun 2019 memperkirakan jumlah kematian ibu 295.000 jiwa.
Penyebab terbanyak dari kematian pada ibu adalah perdarahan, hipertensi selama
kehamilan, infeksi, gangguan metabolik, dan lain-lain.3
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai perdarahan lebih dari 500
mL setelah persalinan pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan
abdominal. Perdarahan tersebut dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai
perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan terjadi lebih dari 24 jam
disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.4,5
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen,
yaitu resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum.5,6

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang definisi, etiologi, faktor resiko,
patogenesis, tanda dan gejala, diagnosis, pemeriksaan penunjang, tatalaksana, dan
komplikasi perdarahan post partum.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi, faktor
resiko, patogenesis, tanda dan gejala, diagnosis, pemeriksaan penunjang,
tatalaksana, dan komplikasi perdarahan post partum.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang
merujuk kepada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Perdarahan post partum secara umum didefinisikan sebagai kehilangan


darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000
ml setelah melahirkan secara seksio sesarea.7 Perdarahan post partum
didefinisikan sebagai perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. 8,9
Perdarahan post partum dapat bersifat minor (500-1000 ml) atau pun mayor
(>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang (1000-2000 ml) atau
berat (>2000 ml).7 Perdarahan post partum primer adalah perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam pertama setelah melahirkan sedangkan perdarahan post partum
sekunder merupakan perdarahan yang terjadi setelah periode 24 jam tersebut
sampai 6 minggu.7

2.2. Epidemiologi Perdarahan Postpartum

Setiap tahun diperkirakan 529.000 wanita di dunia meninggal sebagai


akibat komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan. Sehingga
diperkirakan angka kematian maternal di seluruh dunia sebesar 400 per 100.000
kelahiran hidup. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2019 memperkirakan
jumlah kematian ibu 295.000 jiwa. Penyebab terbanyak dari kematian pada ibu
adalah perdarahan, hipertensi selama kehamilan, infeksi, gangguan metabolik, dan
lain-lain.3

2.3. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah 4T
(Tonus, Tissue, Trauma, dan Trombin) dimana tonus paling banyak disebabkan
oleh atonia uteri, sedangkan tissue disebabkan oleh retensio plasenta, serta sisa
plasenta; trauma disebabkan salah satunya oleh perlukaan jalan lahir, serta
trombin biasanya akibat kelainan pembekuan darah.9
Tabel 1. Etiologi Perdarahan Post Partum

2.4. Faktor Resiko

Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan


faktor resiko yang paling besar sehingga segala upaya harus dilakukan untuk
menentukan tingkat keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum meliputi penggunaan anestesi
umum, rahim yang distensi berlebihan terutama dari kehamilan multipel, janin
besar, atau polihidramnion, persalinan lama, persalinan yang terlalu cepat,
penggunaan oksitosin untuk induksi persalinan, paritas tinggi terutamanya grande
multipara, chorioamnionitis, atau riwayat atoni pada kehamilan sebelumnya.10
Faktor resiko utama yang mempengaruhi perdarahan postpartum menurut
Sarwono (2000) adalah seperti faktor usia, gravida, paritas, jarak antara kelahiran,
antenatal care, dan kadar hemoglobin.10 Usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 18-35 tahun, karena pada usia tersebut rahim sudah siap untuk
menghadapi kehamilan, mentalnya sudah matang, dan sudah mampu merawat
bayi dan dirinya. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia
kurang dari usia 18 dan lebih dari 35 tahun ternyata 2 sampai 5 kali lebih tinggi
daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 18-35 tahun.10

2.5. Diagnosis
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok.
atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus
menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun
jatuh kedalam syok.11 Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala
penurunan tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai
terjadi syok.11

Volume Tekanan
Gejala dan Tanda Derajat
Kehilangan Darah
Syok
Darah Sistolik
500-1.000 Palpitasi,
mL Normal Terkompens
Takikardi,
(10-15%) asi
Pusing
1000-1500 Penurunan ringan Lemah,Takikar
mL (80- Ringan
di,
(15-25%) 100 mm Hg) Berkeringat
1500-2000 Penurunan scdang Gelisah,
mL (70- Sedang
Pucat,
(25-35%) 80 mm Hg) Oligouria
2000-3000 Penurunan Pingsan,
mL Be
tajam (50-70 Hipoksia,
(35-50%) rat
mm Hg) Anuria

Tabel 2. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok

Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio


plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan
akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta
lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan
lahir. Pada pemeriksaan obstetrik kontraksi uterus akan lembek dan membesar
jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk
mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir. Berikut langkah-langkah
sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum:11,14
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari:
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan Rahim
c. Plasenta seksenturiata adalah plasenta yang mempunyai satu
kotiledon tambahan yang timbul jauh dari struktur plasenta
utama.
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises
pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium: penurunan kadar fibrinogen (PT/APTT)
6. Ultrasonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.

Gejala dan Tanda Penyu Diagnosis


lit Kerja
Uterus tidak berkontraksi dan Syok, Atonia Uteri
lembek Perdarahan segera setelah Bekuan darah pada serviks atau
anak lahir posisi telentang akan
menghambat aliran darah
keluar
Darah segar mengalir segera setelah bayi Pucat, Lemah, Menggigil Robekan
lahir Jalan Lahir
Uterus berkontraksi dan keras Plasenta
lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio
menit Perdarahan segera traksi berlebihan Plasenta
Uterus berkontraksi dan keras Inversio uteri akibat
tarikan Perdarahan
lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap Uterus berkontraksi tetapi Retensi
Perdarahan Segera tinggi fundus tidak berkurang Sisa
Plasenta
Uterus tidak teraba Neurogenik Inversio Uteri
Lumen vagina terisi massa syok Pucat dan
Tampak tali pusat (plasenta belum lahir) limbung
Sub involusi uterus Anemia Demam Endometritis
Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus atau sisa
Perdarahan sekunder fragmen
plasenta

Tabel 3. Gejala klinis perdarahan

Tabel 4. Klasifikasi Derajat Perdarahan


2.6. Atonia Uteri

Atonia uteri adalah tidak berkontraksi uteri dalam 15 detik setelah


dilakukan rangsangan taktil (pemijatan) fundus uteri. 10 Perdarahan atonia uteri
terjadi bila uterus atonik dan tidak mampu berkontraksi dengan baik setelah
kelahiran.11

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir didapatkan perdarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri
masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. 3 Atonia uteri dapat
disertai dengan syok maupun tanpa syok.

Penatalaksanaan Atonia Uteri13


a. Lakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan kompresi
bimanual.
b. Pastikan plasenta lahir lengkap (bila ada indikasi sebagian plasenta masih
tertinggal, lakukan evaluasi sisa plasenta) dan tak ada laserasi jalan lahir.
c. Berikan transfusi darah bila sangat diperlukan
d. Lakukan uji beku untuk konfirmasi sistem pembekuan darah

Kompresi Bimanual Internal (KBI)


1. Caranya :
a. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut
masukkan tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung jari) ke introitus
dan kedalam vagina ibu.
b. Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada
kavum uteri mungkin uterus tidak dapat berkontraksi secara penuh.
c. Letakkan kepalan tangan pada foniks anterior, tekan dinding anterior uterus,
sementara telapak tangan lain pada abdomen, menekan dengan kuat dinding
belakang uterus ke arah kepalan tangan dalam.
d. Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat, kompresi uterus ini
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding
uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.
e. Evaluasi keberhasilan
● Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan
KBI selama 2 menit, kemudian perlahan – lahan keluarkan tangan dari
dalam vagina. Pantau kondisi ibu secara melekat selama kala empat.
● Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa
perineum, vagina dan serviks apakah terjadi laserasi dibagian tersebut
segera lakukan penjahitan jika ditemukan laserasi.
2. Jika kontraksi uterus tidak terjadi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga
untuk melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE) kemudian teruskan
dengan langkah–langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya.
3. Berikan 0,2 mg ergometrin 1 M. Jangan berikan ergometrin kepada ibu
dengan hipertensi karena ergometrin yang diberikan akan meningkatkan
tekanan darah lebih tinggi dari kondisi normal.
4. Menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus
dan berikan 500 ml larutan ringer laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.
Jarum dengan diameter besar, memungkinkan pemberian cairan IV secara
cepat, dan dapat langsung digunakan jika ibu membutuhkan transfusi darah.
Oksitosin IV akan dengan cepat merangsang kontraksi uterus. Ringer laktat
akan membantu mengganti volume cairan yang hilang selama perdarahan.
5. Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.
6. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, segera
lakukan rujukan berarti ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan
perawatan gawat–darurat di fasilitas kesehatan yang dapat melakukan
tindakan pembedahan dan tranfusi darah.
7. Dampingi ibu ke tempat rujukan, teruskan melakukan KBI hingga ibu tiba
di tempat rujukan. Teruskan pemberian cairan IV hingga ibu tiba di fasilitas
rujukan:
a. Infus 500 ml yang pertama dan habiskan dalam waktu 10 menit.
b. Kemudian berikan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga
jumlah cairan yang di infuskan mencapai 1,5 liter, dan kemudian berikan
125 ml/jam.
c. Jika cairan IV tidak cukup, infuskan botol kedua berisi 500 ml cairan
dengan tetesan lambat dan berikan cairan secara oral untuk asupan cairan
tambahan.
8. Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa
kadar hemoglobin
Kompresi Bimanual Eksterna (KBE)
1. Penolong berdiri menghadap pada sisi kanan ibu.
2. Tekan dinding perut bawah untuk menaikkan fundus uteri agar telapak tangan
kiri dapat mencakup dinding belakang uterus.
3. Pindahkan posisi tangan kanan sehingga telapak tangan kanan dapat menekan
korpus uteri bagian depan.
4. Tekan korpus uteri dengan jalan mendekatkan telapak tangan kiri dan kanan
dan perhatikan perdarahan yang terjadi.
5. Perhatikan perdarahan yang terjadi. Bila perdarahan berhenti, pertahankan
posisi demikian hingga kontraksi uterus membaik. Bila perdarahan belum
berhenti lanjutkan ke tindakan berikut.

Gambar 4. KBI dan KBE


Masase fundus uteri segera
setelah plasenta lahir
(maksimal 15 detik)

Y Evaluasi rutin
Uterus a
kontraksi ?
Tidak

Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban


Kompresi bimanual interna (KBI) : maksimal 5 menit

Y Pertahankan KBI selama 1-2 menit


Uterus a Keluarkan tangan secara hati-hati
kontraksi ? Lakukan pengawasan kala IV
Tidak

Ajarkan keluarga melakukan KBE


Keluarkan tangan secara hati-hati
Suntikkan Methylergometrin 0,2 mg IM
Pasang IVFD RL + 20 IU oxytocin, guyur
Lakukan kembali KBI

Ya
Uterus kontraksi ?
Pengawasan kala IV
Tidak

Rujuk, siapkan laparatomi


Lanjutkan pemberian infus + 20 IU oksitosin minimal 500 cc/jam hingga mencapai tempat rujukan
Selama perjalanan dapat dilakukan kompresi aorta abdominalis atau KBI

Ligasi arteriuterina dan atau hipogastrika


B-Lynch method

tetap
Perdarahan ? Histerekt
omi
berhenti

Pertahankan
Uterus

Tabel 5. Bagan penanganan atonia uteri


Kompresi Aorta Abdominalis (KAA)
1. Raba pulsasi arteri femoralis pada lipat paha.
2. Kepalkan tangan kiri dan tekankan punggung jari telunjuk hingga kelingking
pada umbilikus, tegak lurus ke arah kolumna vertebralis hingga terhenti pada
bagian tulang yang keras.
3. Perhatikan pulsasi arteri femoralis dan perdarahan yang terjadi.
4. Bila perdarahan berkurang atau berhenti, pertahankan posisi tersebut dan
lakukan pemijatan uterus (oleh asisten) hingga uterus berkontraksi dengan
baik.
Balon Kateter dan Kondom Kateter
Pada kondisi di mana rujukan tidak memungkinkan dan semua upaya
menghentikan perdarahan tidak berhasil maka alternatif yang mungkin dapat
dilakukan adalah pemasangan balon kateter dengan menggunakan Sengstaken-
Blakemore tube, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley catheter) atau Bakri
tamponade balloon catheter. Cara penggunaannya adalah dengan menginsersikan
balon pada uterus kemudian dikembangkan dengan menggunakan cairan saline
sebanyak 500 ml lalu dapat dipasang tampon kasa pada vagina untuk menjaga
balon tetap berada dalam uterus serta untuk mengevaluasi perdarahan, dan dilepas
24-48 jam kemudian.

Gambar 3. Bakri ballon, Rusch hidrostatik balloon kateter (Folley


catheter), dan Sengstaken-Blakemore tube

Pada tahun 2003 Sayeba Akhter dkk mengajukan alternatif baru dengan
pemasangan kondom yang diikatkan pada kateter. Dari penelitiannya disebutkan
angka keberhasilannya 100% ( 23 berhasil dari 23 PPH ), kondom dilepas 24 – 48
jam kemudian dan tidak didapatkan komplikasi yang berat. Indikasi pemasangan
kondom sebagai tampon tersebut adalah untuk PPH dengan penyebab Atonia
Uteri. Cara ini kemudian disebut dengan Metode Sayeba. Metode ini digunakan
sebagai alternatif penanganan HPP terutama sambil menunggu perbaikan keadaan
umum, atau rujukan.
Cara pemasangan tampon kondom menurut Metode Sayeba adalah secara
aseptik kondom yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan kedalam cavum
uteri. Kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebanyak 250-500 cc sesuai
kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom dihentikan
ketika perdarahan sudah berkurang.
Untuk menjaga kondom agar tetap di cavum uteri, dipasang tampon kasa
gulung di vagina. Bila perdarahan berlanjut tampon kassa akan basah dan darah
keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus dijaga dengan pemberian drip
oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam kemudian. Diberikan antibiotika
tripel, Amoksisilin, Metronidazol dan Gentamisin. Kondom kateter dilepas 24 –
48 jam kemudian, pada kasus dengan perdarahan berat kondom dapat
dipertahankan lebih lama.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Gambar 4. Kondom Kateter

Tindakan Pembedahan
1. Ligasi Arteri : Pada A. Uterina atau A. Illiaca
2. B-Lynch

2.7. Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam
setelah janin lahir, keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya
hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta
manual dengan segera. Bila retensio plasenta tidak diikuti perdarahan maka perlu
diperhatikan ada kemungkinan terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta, plasenta
inkreta, plasenta perkreta.
Klasifikasi
Jenis-jenis retensio plasenta :
a. Plasenta Adhesive
Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan
kegagalan mekanisme separasi fisiologis
b. Plasenta Akreta
Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miometrium.
c. Plasenta Inkreta
Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus.
d. Plasenta Prekreta
Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa dinding uterus
hingga ke peritonium
e. Plasenta Inkarserata
Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan oleh konstriksi ostium
uteri.
Tanda dan Gejala Retensio Plasenta
Tanda dan gejala retensio plasenta adalah:3
1. Plasenta Akreta Parsial / Separasi
a. Konsistensi uterus kenyal
b. TFU setinggi pusat
c. Bentuk uterus discoid
d. Perdarahan sedang – banyak
e. Tali pusat terjulur sebagian
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta lepas sebagian
h. Syok sering
2. Plasenta Inkarserata
a. Konsistensi uterus keras
b. TFU 2 jari bawah pusat
c. Bentuk uterus globular
d. Perdarahan sedang
e. Tali pusat terjulur
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta sudah lepas
h. Syok jarang
3. Plasenta Inkreta
a. Konsistensi uterus cukup
b. TFU setinggi pusat
c. Bentuk uterus discoid
d. Perdarahan sedikit / tidak ada
e. Tali pusat tidak terjulur
f. Ostium uteri terbuka
g. Separasi plasenta melekat seluruhnya
h. Syok jarang sekali, kecuali akibat inversio oleh tarikan kuat pada
tali pusat.

Penatalaksanaan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:3
1. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter
yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida
isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan).
Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah
apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat
atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan
dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi
manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih
400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan
buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuretage sisa plasenta.
Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase.
Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding
rahim relatif tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan
infeksi sekunder.

Manual Plasenta
Manual Plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan
retensio plasenta. Teknik operasi manual plasenta tidaklah sukar, tetapi harus
diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan
jiwa penderita.20 Manual Plasenta merupakan tindakan darurat dengan indikasi
perdarahan di atas 400 cc dan terjadi retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam).

Prosedur Plasenta Manual3


Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau
Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan
memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk
mengatasi rasa nyeri.

Penetrasi Ke Kavum Uteri


1. Berikan sedatif dan analgetik melalui karet infuse.
2. Sebelum mengerjakan manual plasenta, penderita disiapkan pada posisi
litotomi.
3. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah satu tangannya
(tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan
jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut
4. Lakukan kateterisasi kandung kemih.
a) Pastikan kateter masuk kedalam kandung kemih dengan benar
b) Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan.
5. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegakan tali pusat sejajar lantai.
6. Secara obstetrik masukkan satu tangan (punggung tangan ke bawah)
kedalam vagina dengan menelusuri tali pusat bagian bawah.
7. Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk
memegang kocher kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri.
8. Sambil menahan fundus uteri, masukan tangan ke dalam kavum uteri
sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
9. Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke
pangkal jari telunjuk).
Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut dengan ujung jari
menelusuri tali pusat sampai plasenta.Jika pada waktu melewati serviks dijumpai
tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat diatasi dengan
mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut
tadi.Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding
perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah.Setelah tangan
yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir
plasenta.Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian pinggir plasenta
yang terlepas.

Tertinggalnya Sisa Plasenta


Perdarahan sisa plasenta adalah perdarahan yang terjadi akibat
tertinggalnya kotiledon dan selaput kulit ketuban yang menggangu kontraksi
uterus dalam menjepit pembuluh darah dalam uterus sehingga mengakibatkan
perdarahan1. Perdarahan sisa plasenta adalah perdarahan yang melebihi  500 cc
setelah bayi lahir karena tertinggalnya sebagian sisa placenta termasuk selaput
ketuban2. Tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus dapat menimbulkan
perdarahan post partum primer atau perdarahan post partum sekunder.21,3

Etiologi
Sebab-sebab plasenta belum lahir, bisa oleh karena:22
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan, jika
lepas sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus bisa karena:22
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus
desidua sampai miometrium.
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan tidak adanya usaha untuk melahirkan, atau salah penanganan kala tiga,
sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta.22
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang bisa ditemui adalah perdarahan segera. Pada
palpasi didapatkan fundus uteru masih teraba lebih besar dari yang diperkirakan.
Uterus berkontraksi tetapi pada palpasi tinggi fundus tidak berkurang. Plasenta
tidak lengkap/utuh saat dilahirkan. Adanya tanda-tanda syok seperti peningkatan
nadi, penurunan tekanan darah, gelisah, mual. Evaluasi pemeriksaan dalam
didapatkan pembukaan dan masih dapat diraba sisa plasenta atau membrannya.21,22
Tatalaksana
Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta: 23
1. Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi
ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan.
2. Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g
oral dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan
3 x 500mg oral.
3. Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase.
4. Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.

Gej Akreta parsial Inkarserata Akre


ala ta
Konsistensi uterus Kenyal Keras Cukup

Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat

Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid

Perdarahan Sedang- banyak Sedang Sedikit/ tidak ada

Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur


Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka

Pelepasan plasenta Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya

Syok Sering Jarang Jarang sekali,


kecuali akibat
inversio oleh
tarikan kuat pada
tali pusat

Tabel 7. Identifikasi jenis retensio plasenta dan


gambaran klinisnya22
Retensio plasenta

Penanganan umum :
● Infus transfusi darah
● Pertimbangkan untuk rujuk
RSU C

Perdarahan banyak 300 – 400 cc Perdarahan sedikit


- Anemia dan syok
- Perlengketan plasenta

Plasenta manual
- Indikasi
● Perdarahan 400 cc
● Pascaoperasi vaginal
● Pascanarkose
● Habitual HPP
- Teknik
● Telusuri tali pusat
● Dengan ulner tangan
● Masase intrauterin
● Uterotonika IM-IV

Plasenta rest : Plasenta melekat :


Berhasil baik : -Kuretase tumpul  Akreta
Observasi : -Utero-vaginal tampon  Inkreta
- Keadaan umum -Masase  Perkreta
- Perdarahan  Adesiva
- Obat profilaksis :
● Vitamin
● Fe preprat
● Antibiotika Perdarahan terus : Histerekt
● Uterotonika -Tampon bedah omi
-Atonia uteri Perti
mban
gan :
- Keadaan umum
- Umur penderita
- Paritas
penderita
Ligasi arteri

Gambar 9. Penatalaksanaan retensio plasenta26


2.8. Robekan Jalan Lahir
2.8.1 Robekan Perineum
Tempat yang paling sering mengalami robekan akibat persalinan adalah
perineum. Robekan perineum terjadi hampir pada semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi
di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut
arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati panggul dengan
ukuran yang lebih besar.40
Menurut Sarwono, 2006, Robekan perineum dibedakan menjadi beberapa
tingkat (grade)yaitu40
1. Robekan perineum tingkat 1
Apabila hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek dan
biasanya tidak memerlukan penjahitan.
2. Robekan perineum tingkat 2
Pada robekan tingkat 2 ada robekan yang lebih mendalam dan luas ke
vagina dan perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma
urogenitalis. Pada robekan ini, setelah diberi anastesi local otot-otot
diafragma urogenitalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan
kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan
mengikutsertakan jaringan-jaringan di bawahnya.
3. Robekan perineum tingkat 3
Pada robekan tingkat 3 atau robekan total muskulus sfingter ani
eksternum ikut terputus dan kadang-kadang dinding depan rectum ikut
robek pula. Menjahit robekan tingkat 3 harus dilakukan dengan teliti,
mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit , kemudian fasia-
prasektal ditutup dan muskulus sfingter ani eksternum yang robek
dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan dengan
mengikutsertakan jaringan-jaringan di bawahnya.
Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, namun dapat juga
bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang
terjadi pada waktu persalinan normal atau persalinan dengan alat dapat terjadi
tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari
luar. Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar panggul sehingga mudah
terjadi prolapsus genitalia.
Umumnya perlukaan perineum terjadi pada tempat dimana muka janin
menghadap. Robekan perineum dapat mengakibatkan pula robekan jaringan
pararektal sehingga rectum terlepas dari jaringan sekitarnya. Diagnose rupture
perineum ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada tempat terjadinya
robekan akan timbul perdarahan yang bersiafat arterial.40
2.8.2 Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks sehinggga serviks seorang
multipara berbeda daripada yang belum pernah melahirkan per vaginam. Robekan
serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah
uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah
lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir,
khusunya robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks harus diperiksa dengan
spekulum. Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa
cunam ovum supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik. Jahitan
pertama dilakukan pada ujung atas luka baru kemudian diadakan jahitan terus ke
bawah.40
Bibir serviks uteri merupakan jaringan yang mudah mengalami perlukaan
pada waktu persalinan. Karena perlukaan itu porsio vaginalis uteri pada seorang
multipara terbagi dalam bibir depan dan belakang. Robekan serviks bisa
menimbulkan perdarahan banyak khususnya bila jauh ke lateral sebab ditempat itu
terdapat ramus desendens dari arteri uterine. Robekan ini dapat terjadi pada
persalinan normal tetapi yang paling sering ialah akibat tindakan- tindakan pada
persalinan buatan dengan pembukaan yang belum lengkap. Selain itu, penyebab
lain robekan serviks adalah partus presipitatus. Pada partus ini kontraksi uterus
kuat dan sering sehingga janin didorong keluar kadang-kadang sebelum
pembukaan lengkap. 40
Diagnosis perlukaan serviks dapat diketahui dengan pemeriksaan speculum.
Bibir serviks dijepit dengan cunam atraumatik, kemudian diperiksa secara cermat.
Bila ditemukan robekan serviks yang memanjang maka luka dijahit dari ujung
yang paling atas terus ke bawah. Pada robekan serviks yang berbentuk melingkar
diperiksa dahulu apakah sebagian besar dari serviks sudah lepas atau tidak. Jika
belum lepas bagian yang belum lepas itu dipotong dari serviks, jika yang lepas
hanya sebagian kecil saja maka itu dijahit lagi pada serviks. Perlukaan dirawat
untuk menghentikan perdarahan. 40
2.8.3 Robekan Vulva dan Vagina
Robekan pada dinding depan vagina sering kali terjadi di sekitar orifisium
uretra eksternum dan klitoris. Robekan pada klitoris dapat menimbulkan
perdarahan banyak. Kadang-kadang perdarahan tersebut tidak dapat diatasi hanya
dengan penjahitan, tetapi diperlukan penjepitan dengan cunam selama beberapa
hari. Robekan pada vagina dapat bersifat luka tersendiri, atau merupakan lanjutan
robekan perineum. Robekan vagina sepertiga bagian atas umumnya merupakan
lanjutan robekan serviks uteri. Pada umunya robekan vagina terjadi karena
regangan jalan lahir yang berlebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Bila
terjadi robekan pada dinding vagina akan timbul perdarahan segera setelah janin
lahir. Diagnose ditegakkan dengan mengadakan pemeriksaan langsung dengan
menggunakan speculum. 40
2.8.4 Ruptur Uteri40
Kejadian ini merupakan salah satu malapetaka terbesar dalam ilmu
kebidanan. Kematian anak mendekati 100% dan kematian ibu sekitar 30%. Secara
teori robekan rahim dapat dibagi sebagai berikut:
a. Spontan
- Karena dinding rahim lemah seperti pada luka seksio sesarea, luka
enukleasi mioma, dan hipoplasia uteri. Mungkin juga karena
kuretase, pelepasan plasenta secara manual dan sepsis pasca
persalinan atau pasca abortus
- Dinding rahim baik tetapi robekan terjadi karena bagian depan tidak
maju,misalnya pada panggul sempit atau kelainan letak.
- campuran
b. Violent (rudapaksa): karena trauma (kecelakaan) dan
pertolongan versi dan ekstrasi (ekspresi Kristeller)
2.9. Gangguan Pembekuan Darah
Kausal perdarahan post partum karena gangguan pembekuan darah baru
dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat
pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi
mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahn akan
merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari
gusi, rongga hidung dan lain-lain.
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah berupa penyakit keturunan
ataupun didapat, di antaranya:
a. Hipofibrinogenemia, kelainan pembuluh darah yang disebabkan
karena defisiensi fibrinogen dapat dijumpai pada: solusio plasenta,
kematian hasil konsepsi yang tertahan lama dalam uterus, embolismus air
ketuban, sepsis, dan eklampsia.5
b. Trombositopeni, kurangnya jumlah trombosit pada darah atau
trombositopenia merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
PPH, 3% dari kasus PPH karena trombositopenia disebabkan oleh
Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP). ITP merupakan suatu
keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di kulit/selaput
lendir dan berbagai jaringan dengan penurunan jumlah trombosit
karena sebab yang tidak diketahui, lebih sering terjadi pada wanita.
ITP merupakan penyulit yang jarang dijumpai dalam kehamilan.
Diagnosis dapat dibuat apabila ada purpura pada kulit, uji tourniquet
positif, jumlah trombosit kurang dari 100.000 per milimeter kubik,
ada perpanjangan masa perdarahan, retraksi beku, dan konsumsi
protrombin, dan jumlah megakariosit dalam sumsum tulang lebih
banyak.5
c. ITP adalah salah satu gangguan perdarahan di dapat yang paling
umum terjadi. ITP adalah sindrom yang di dalamnya terdapat
penurunan jumlah trombosit yang bersirkulasi dalam keadaan sum-
sum normal. Penyebab sebenarnya tidak diketahui, meskipun diduga
disebabkan oleh agen virus yang merusak trombosit. Pada umumnya
gangguan ini didahului oleh penyakit dengan demam ringan 1-6
minggu sebelum timbul gejala. Gangguan ini dapat digolongkan
menjadi 3 jenis, yaitu akut, kronik dan kambuhan. Pada anak-anak
mula-mula terdapat gejala diantaranya demam, perdarahan, petekie,
purpura dengan trombositopenia dan anemia.46
d. Sindrom HELLP

Merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL


untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets.
Patogenesis sindrom HELLP belum jelas. Sampai sekarang tidak
ditemukan faktor pencetusnya, kelihatannya merupakan akhir dari
kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan
aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi agregasi trombosit
dari selanjutnya kerusakan endotel. Peningkatan kadar enzim hati
diperkirakan sekunder dari obstruksi aliran darah hati oleh deposit
fibrin pada sinusoid.

Trombositopeni dikaitkan dengan peningkatan pemakaian dan atau


47
destruksi trombosit.

Kriteria diagnosis sindrom HELLP terdiri:


1. Hemolisis
2. Kelainan apus darah tepi
3. Total bilirubin >1,2mg/dl,
4. Peningkatan fungsi hati, serum aspartat aminotransferase (AST)
>70U/L, laktat dehidrogenase (LDH) >600 U/L.
5. Jumlah trombosit <100.000/mm3.48
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. VO
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Tanggal periksa : 20 Desember 2019
Alamat : Padang

Pasien 29 tahun kiriman Poli Ginekologi dg P2H2 dengan Hematuria ec


suspect Dehiscence luka post caesarean histerektomi + post repair buli ec ruptur
buli DD/ choriocarsinoma dengan metastasis buli.
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan buang air kecil bewarna merah setelah 2 hari post operasi.
Riwayat Penyakit Sekarang
● Pasien post Histerektomi ai plasenta akreta tanggal 15 Desember 2019,
setelah 2 hari post operasi pasien mengeluhkan BAK bewarna merah.
Nyeri saat BAK tidak ada, pasien kadang-kadang merasa tidak puas
setalah BAK.
● 7 hari setelah operasi terjadi infeksi pada luka operasi dan membaik steah
2 minggu kemudian.
● Demam tidak ada, nyeri pada luka operasi tidak ada.
● Riwayat menstruasi : Haid pertama saat usia 13 tahun, siklus haid teratur
28-30 hari, dapat berlangsung 4-7 hari, 2-3 kali ganti duk/hari, tidak
terdapat nyeri saat haid.

Riwayat Kehamilan/ Persalinan/Abortus:

1. Laki-laki, 15 bulan, SC
2. Laki-laki, BBL= 3100 gram PB=50 cm, A/S: 8/9
Riwayat Penyakit Dahulu

● Pasien tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, dan
tekanan darah tinggi
● Pasien riwayat SC ai plasenta akreta Oktober tahun 2019.

Riwayat Penyakit Keluarga

● Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, penyakit


menular, dan penyakit kejiwaan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan & Kebiasaan

● Riwayat Perkawinan : 1 kali tahun 2018


● Riwayat Imunisasi : ada
● Riwayat Kontrasepsi : tidak ada
● Riwayat Pendidikan : Sarjana
● Riwayat Pekerjaan : Ibu rumah tangga
● Riwayat Kebiasaan : minum alkohol tidak ada, narkoba tidak ada,
merokok tidak ada

Pemeriksaan Fisik (20 Desember 2019)


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis kooperatif
Vital Sign
TD : 110/80 mmHg
HR : 82 x/i
RR : 18 x/i
T : 36,7 oC
Berat Badan (sebelum hamil) : 53 kg
Berat Badan (setelah hamil) : 65 kg
Tinggi Badan : 152 cm
BMI : 28 kg/m2
Status Generalisata

Kepala : normocephal

Rambut : warna hitam, tidak mudah rontok

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik

(-/-) Hidung : tidak ditemukan kelainan

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Mulut : tidak ditemukan kelainan

Leher : JVP 5-2 cm H2O

Kelenjar tiroid tidak teraba

pembesaran

Kelenjar getah bening tidak teraba pembesaran

Thorax

Paru

Inspeksi : paru simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor pada kedua paru

Auskultasi : vesikuler kedua paru, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: 1 jari medial
LMCS RIC V

Auskultasi : S1S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Aksila : tidak ada pembesaran KGB

Abdomen : Status Obstetri


Genitalia : Status Obstetri

Anus : tenang

Inguinal : tidak ada pembesaran KGB

Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik, udem (-/-), varises (-/-),

refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-)

Status Obstetri

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-), Sikatrik (+)

Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), Defenase muscular

(-) Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Genitalia

Inspeksi : V/U tenang PPV (-)

Pemeriksaan Penunjang (28 November 2019)

Laboratorium

Hb : 10,5 g/dl
Ht : 35%
Trombosit : 708.000/
mm3
Leukosit : 11.700/
mm3
PT : 10,1 detik
APTT : 25,7 detik
Total : 6,7 g/dl
protein
Albumin : 3,8 g/dl
Globulin : 2,9 g/dl
SGOT : 6 U/L
SGPT : 3 U/L
Natrium : 145 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Kalsium : 9,6 mmol/L
Klorida : 107 mmol/L
Ureum : 5 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
Ca-125 : 8,22 u/ml
BHCG : < 1,2 mIU/ml
Kesan : anemia ringan, leukositosis, trombositosis, globulin meningkat
Pemeriksaan Urinalisis (Tanggal 11/11/2019)
Makroskopis
Jenis Hasil Pemeriksaan Nilai
Pemeriksaan Kuning rujukan
Warna Kuning-
kemerahan
Kekeruh coklat
Positif
an Negatif

BJ - 1,003-1,030
pH 6 6-8
Mikroskopis
Leukosit 40-50/ LPB <5/LPB
Eritrosit 8-10/ LPB <1/LPB
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Epitel Gepeng + Positif
Kimia
Protein Positif ++ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Positif Positif
Kesan : Hematuria, Proteinuria
USG :

Kesan : Tidak tampak gambaran uterus, tidak tampak hematom subfasia atau
subkutis.
CT-Scan

Kesan: Massa pada heterogen di rongga pelvis sugestif berasal dari uterus dengan
curiga menginfiltrasi dinding posterior vesika urinaria disertai
limfadenopati inguinal bilateral.

Diagnosa Kerja

P2H2 dengan Hematuria ec suspect Dehiscence luka post caesarean histerektomi


+ post repair buli ec ruptur buli DD/ choriocarsinoma dengan metastasis buli.

Terapi

- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi Ceftriaxon 1 gr (iv)
- Kontrol KU dan VS
- Informed Consent
- Puasa
Rencana Terapi
- Sistoskopi + Histeroskopi

20 Desember 2019

Dilakukan Sistoskopi + Histeroskopi

- Didapatkan hasil pemeriksaan: Dehiscence luka + fistula vesiko uterin

A/ P2H2 dengan Hematuria ec Dehiscence luka + fistula vesiko uterin

P/ Awasi pasca tindakan

Kontrol KU dan VS

Follow up pasien :

Sabtu 21-12-2019

S/ BAK berdarah (-)

O/ Ku: sedang, Kes : CMC, TD: 110/70, Nd: 80, Nf: 20

Abdomen : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)

Genital : V/U tenang, PPV (-)

A/ Post Sistoskopi dan histeroskopi a.i fistula vesikouteri


P/ - Awasi KU, VS

- Cefixime 2x200 mg

-Paracetamol 3x500 mg

- SF 2x180 g

- Vit C 3x50 g
BAB 4
PEMBAHASA
N

Seorang pasien perempuan berusia 29 tahun datang datang kiriman dari


poli ginekologi RSUP Dr M Djamil Padang pada tanggal 19 Desember 2019
dengan diagnosis Hematuria ec suspect Dehiscence luka post caesarean
histerektomi + post repair buli ec ruptur buli DD/ choriocarsinoma dengan
metastasis buli.
Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa urin bercampur darah yang
terjadi 2 hari post operasi histerektomi. Tindakan histerektomi dilakukan atas
indikasi plasenta akreta yang terjadi bulan Oktober lalu. Pada pasien telah terjadi
perdarahan pasca persalinan/post partum. Perdarahan post partum (HPP) adalah
perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir.
Salah satu kondisi yang termasuk klasifikasi dari HPP adalah plasenta akreta,
yaitu dimana vili korialis berimplantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch
layer, dengan kata lain plasenta melekat langsung pada miometrium.

Plasenta akreta merupakan salah satu klasifikasi dari retensio plasenta ,


yang menjadi salah satu penyebab perdarahan post partum pada ibu. Retensio
plasenta berdasarkan segi patologi anatomi terbagi lagi atas :

- Plasenta akreta : vili khorialis berimplantasi menembus desidua basalis


dan Nitabuch layer, plasenta melekat langsung ke miometrium.

- Plasenta inkreta : vili korialis sampai menembus miometrium, tapi tidak


menembus lapisan serosa uterus

- Plasenta perkreta : vili korialis sampai menembus serosa atau parametrium

Pada vital sign didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran


komposmentis kooperatif, tekanan darah 110/80, nadi 82x/i, napas 18x/i suhu
36,7oC, anemis ada dan edema tidak ada. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
sikatrik post op SC berbentuk vertikal dan horizontal yang tidak bernanah dan
tidak ada jaringan yang terbuka. Pemeriksaan genital ditemukan vagina-uretra
normal, tidak ada perdarahan pervaginam, urin berwarna kemerahan

Pada hasil laboratorium didapatkan Hb 10,5 g/dl, Leukosit 11.700/mm3,


Ht 35%, Trombosit 708.000/mm3, dengan kesan anemia ringan, leukositosis
dan trombositosis. Anemia pada pasien disebabkan karena kehilangan darah
akibat komplikasi post histerektomi. Apabila kondisi ini dibiarkan dan tidak
terdeteksi, maka pasien dapat jatuh kepada kondisi syok hipovolemik sehingga
berujung pada kematian. Untuk memastikan sumber perdarahan pada pasien,
maka direncanakan untuk dilakukan sistoskopi. Sistoskopi merupakan suatu
tindakan untuk melihat kondisi uretra dan kandung kemih menggunakan
tabung yang lentur dengan kamera dan sumber cahaya. Berdasarkan hasil
sistoskopi didapatkan Dehiscence luka + fistula vesiko uterin. Maka tindakan
selanjutnya adalah merencanakan rekonstruksi untuk memperbaikin
dehisencen luka post histerektomi ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanifa W. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2013.
2. Parisei, Maryam, Shailendra, Archana, Dutta, Ruma, Broadbent. J A Mark.
2008. Obstetrics and Gynecology. Ed 2. Elsevier.
3. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/maternal-mortality
Diakses Januari 2022
4. Hanifa W. Gangguan dalam kala III persalinan. Dalam : Abdul, Trijatmo,
eds. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 1999. Hal. 653.
5. Joko, ed. Dasar-dasar obstetri dan ginekologi Jakarta: Hipokrates; 2001.
6. Mike, ed. Buku panduan high risks obstetrics: firedrills and workshop.
Jakarta: the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists; 2001.
7. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Perdarahan Pasca-Salin. Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal. 2016. Hal.
1-39
8. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2010.
9. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL dkk. Obstetrical Hemorrhage dalam Williams
Obstetrics. 2014. McGraw-Hill Education; Edisi 24
10. DeCherney AH, Nathan L. Curren. Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment,
Ninth Edition: Postpartum Hemorrhage & Abnormal Puerperium: Retained Placenta
Tissue. California: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2003. 28:323-327.
11. Smith, J. R., Brerman, B. G., Postpartum Hemorrhage, [online]. 2004.
Available from: URL: http://www.emedicine.com
12. Alan, Lauren, eds. Postpartum hemorrhage. United States of America:
McGraw Hill Company; 2007.
13. Errol, ed. Obstetrics and gynecology at a glance. Oxford: Blackwell; 2001.
14. Geoffrey, ed. Obstetrics by ten teachers. London: Oxford University Press;
1995.
15. Cunningham FG etc, editor. Williams Obstetrics 20th edition. Connecticut:
Applenton Lange. 1998.
16. Febrianto H.N. Perdarahan Pasca Persalinan. Fakultas Kedokteran.
Universitas Sriwijaya. 2007.
17. Anderson J, Etches DJ. Prevention and Management of Postpartum
Hemorrage. Am Fam physician. 2007. 558: 75 – 82.
18. Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar.2008
19. C. V-Lynch, L. G. Keith,A. B. Lalonde, and M. Karoshi, Eds. A Textbook of
Postpartum Hemorrhage. A Comprehensive Guide to Evaluation,
Management and Surgical Intervention. Sapiens Publishing. 2006.
20. Mochtar R. Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998.
21. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.
22. Rohani, Sasmita R, Marisah. Asuhan Kebidanan Pada Masa Persalinan.
Jakarta: Salemba Medika; 2011.
23. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2010.
24. Heller L. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri (Emergencies in
Gynecology and Obstetrics). Jakarta: EGC; 1997.
25. Hanifa W. Ilmu Bedah Kebidanan Edisi Pertama Cetakan Ketujuh. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo; 2007.
26. Jevuska. Patofisiologi Retensio Plasenta. 2013 Diakses pada tanggal 28
September 2013 dari http://www.jevuska.com/2011/09/10/patofisiologi-
retensio-plasenta
27. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine from African
Health Sciences Makerere Medical School; 2001. Diakses pada tanggal 28
September 2013 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/

28. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Diakses pada
tanggal 24 September 2013 dari
www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733
29. DeCherney AH, Nathan L. Curren. Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment, Ninth Edition: Postpartum Hemorrhage & Abnormal Puerperium:
Retained Placenta Tissue. California: The McGraw-Hill Companies, Inc;
2003. 28:323-327.
30. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. Obstetri Patologi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004.
31. Anonim. Perdarahan Post Partum Akibat Plasenta Rest. 2012. Diakses
pada tanggal 28 September 2013 dari
http://www.scribd.com/doc/135982233/Plasenta-Rest-Edit
32. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LG, Hauth JC,
Wenstrom KD. Obstetri Williams Volume 1 Edisi 21. Jakarta: EGC; 2005.
33. Prabowo E. Retensio Plasenta. Jakarta:
http://samoke2012.files.wordpress.com/2012/10/retensio-plasenta.pdf
34. Weeks AD. The Retained Placenta. USA: National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine from African
Health Sciences Makerere Medical School; 2001. Diakses pada tanggal 28
September 2013 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2704447/
35. Pernoll ML. Benson & Pernonoll’s Handbook of Obstetrics & Gynecology
Tenth Edition. New York: McGraw-Hill; 2001. 6:173-177; 11:341-342.
36. Memon SR, Talpur NN, Korejo RK. Rawal Medical Journal Volume 36
Number 4 : Outcome of Patients Presenting With Retained Placenta.
Pakistan: Departemen of Obstetrics and Ginecology; 2011. Diakses pada
tanggal 24 September 2013 dari
www.scopemed.org/fulltextpdf.php?mno=12733
37. Committee Opinion. Placenta Accreta. Washington DC: American Congress
of Obstetricians and Gynecologists; 2012. Diakses pada tanggal
26 September 2013 dari
http://www.acog.org/Resources%20And%20Publications/Committee%20O
pinions/Committee%20on%20Obstetric%20Practice/Placenta%20Accreta.a
spx
38. Anonim. Buku Acuan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar: Retensio
Plasenta. Bab 4-10.
39. Sarwono 2006
40. KA. Rana, P.S. Patel. Complete uterine inversion. American Institute of
Ultrasound in Medicine .J Ultrasound Med 2009; 28:1719–1722
41. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Obstetrical Hemorrhage.
Dalam: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Williams Obstetrics.
Edisi ke-23. New York. McGraw Hill,2010; 757 – 801
42. MK Karkata. Pendarahan Pasca Persalinan. Dalam: Prawihardjo S. Ilmu
Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta. PT Bima Pustaka,2010; 522 – 29
43. JP O’Grady, ME Rivlin. Uterine Inversion, Malposition of the Uterus.
Dalam :Obstetric Syndromes and Conditions. New York, NY: Parthenon;
2006
44. RS Gibbi, BY Karlan, AF Harney et all. Post Partum Hemorrhage. Dalam :
RS Gibbi, BY Karlan, AF Harney et all. Danforth's Obstetrics and
Gynecology. Edisi ke-10. New York. Lippincott Williams & Wilkins, 2008
45. Hanretty, ed. Obstetrics illustrated. London: Churchill; 2003.
46. ITP.Available from: URL: http://www.forbetterhealth.wordpress.com
47. John R. Sindrom HELLP. Cermin dunia kedokteran. [online]. 2006. [cited
2012 Februari 20]: Volume 151. Hal. 24. Available from: URL: http://www.
google com
48. DIC.Available from: URL: http://www.medicastore.com

Anda mungkin juga menyukai