Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


1. Model Biopsikososial Kesehatan
Model biopsikososial pertama kali di kemukakan oleh George Engel, model
biopsikososial terdiri dari aspek biomedis, psikologis, dan social. Model biomedis
mempelajari penyebab biologis tentang penyakit pada individu. Banyak penyakit
dan gangguan kesehatan disebabkan faktor biologis, misalnya seperti faktor
genetik, rendahnya imunitas tubuh, hormon, dan juga trauma fisik. Namun
ternyata bukan hanya penyebab biologis saja yang menyebabkan terjadinya
penyakit pada tubuh tetapi juga diperlukan dua aspek lainya, yaitu psikologis dan
sosial. Sekarang ini model biopsikososial sudah diterima keberadaanya yaitu
dengan mengenal pentingnya kekuatan-kekuatan dari dalam maupun luar.
Aspek psikologis dalam model biopsikososial mengemukakan keadaan jiwa
juga menjadi latar belakang dan kontribusi dalam kesehatan dan juga dalam
manifestasi penyakit seseorang. Sedangkan aspek sosial dalam model
biopsikososial merujuk kepada pengaruh yang disebabkan oleh lingkungan sosial-
budaya-ekonomi-politik yang berada disekitar orang tersebut. Aspek sosial
menganalisis penyakit dari sudut pandang sosiologis, mempelajari seberapa jauh
faktor eksternal mempengaruhi manifestasi penyakit pasien. Faktor eksternal bisa
datang dari apa saja, mulai dari keyakinan agama, lingkungan budaya, kelompok
sebaya, latar belakang ekonomi, hubunganya dengan anggota masyarakat lainya,
media massa dan sebagainya (Murti, 2016).
2. Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah hilangnya darah 500 ml yang terjadi setelah bayi
dan plasenta lahir, atau lebih dari 1.000 ml setelah persalinan abdominal (WHO,
2012; Arora, 2012).
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang massif yang berasal dari
tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan

5
6

merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil
ektopik dan abortus (Prawirohardjo, 2009).
a. Klasifikasi Perdarahan Postpartum
Berdasarkan klasifikasinya perdarahan postpartum dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
1) Perdarahan Primer (Early Post Partum Hemorrhage)
Perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi 24 jam pertama setelah
bayi dan plasenta lahir (Sukarni, 2013; Nugroho, 2012).
2) Perdarahan sekunder (Late Post Partum Hemorrhage)
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam setelah
bayi dan plasenta lahir (Sukarni, 2013; Nugroho, 2012).
b. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan postpartum primer disebabkan oleh atonia uteri,
ruptur uteri, sisa sebagian plasenta dan inversio uteri, sedangkam perdarahan
postpartum sekunder disebabkan oleh sisa plasenta, selain itu faktor predisposisi
yang harus diperhatikan adalah riwayat perdarahan sebelumnya, usia, paritas
tinggi, anemia, perdarahan antepartum, dan partus lama (Prawirohardjo, 2009;
Sukarni, 2013; Edhi et al, 2013; kerr et al, 2016).
c. Patofisiologi
1) Atonia Uteri
Perdarahan postpartum bisa di kendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-
serat myometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya
pembuluh-pembuluh darah ke tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan
mekanisme akibat gangguan fungsi miometrium dinamakan atonia uteri.
Dimana penyebab terbesar terjadinya perdarahan postpartum adalah atonia
uteri, yaitu keadaan lemahnya kontraksi uterus/rahim yang mengakibatkan
uterus tidak mau menutup, sehingga menyebabkan perdarahan dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2009;
Mavrides et al, 2016).
7

Kegagalan kontraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan


perdarahan yang cepat dan dapat menimbulkan syok hipovelemik. Kontraksi
miometrium yang lemah dapat diakibatkan karena kehamilan gemeli dan
polihidramnion, kelelahan karena paersalinan lama atau persalinan yang
terlalu cepat, paritas tinggi, anemia, mioma uteri, infeksi intrauterine dan
riwayat obstetri. Selain itu, obat-obatan seperti anti-inflamasi nonsteroid,
magnesium sulfat, beta-simpatomimetik, dan nefidipin juga dapat
menghambat kontraksi miometrium. Atonia uteri juga dapat timbul karena
salah dalam penanganan kala III persalinan. Pemberian oksitosin, peregangan
tali pusat terkendali, tekanan dorso kranial dan massage fundus uteri yang
dilakukan tidak tepat waktu dan salah dapat mengakibatkan terjadinya atonia
uteri (Edhi et al, 2013; Hakimi, 2010; Rueda et al; 2013).
2) Tissue
Tissue terdiri dari retensio plasenta yaitu dimana plasenta belum lahir 30
menit setelah bayi lahir, yang disebabkan karena plasenta belum lepas dari
dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi sebagian. jika plasenta belum
lepas sama sekali, maka tidak terjadi perdarahan, tetapi apabila terlepas
sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkanya sehingga perlu dilakukan manual plasenta. Sisa plasenta
dapat terjadi apabila kala uri tidak berlangsung lancar, atau setelah melakukan
manual plasenta menemukan kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta, dan masih ada perdarahan dari ostium uteri
eksternum, pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir
sudah terjait. Untuk itu harus segera dilakukan eksplorasi ke dalam rahim
dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika (Belfort et
al. 2010; Ward et al, 2013; Prawirohardjo, 2009).
3) Trauma
Trauma jalan lahir meliputi ruptur uterus, inversi uterus dan robekan jalan
lahir. perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya terjadi
karena ada robekan jalan lahir. Pertolongan persalinan yang semakin
8

manipulatik dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dank arena
itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum
lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan
perineum, trauma forsep, vakum ekstraksi atau karena versi ekstraksi.
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu derajat satu
dimana robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum, derajat dua
robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot perineum, derajat tiga
robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum, dan otot
sfingter ani eksternal, derajat empat robekan mengenai mukosa vagina, kulit
perineum, otot perineum, otot sfingter ani eksternal, dan mukosa rectum.
pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva,
vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber
perdarahan. (Prawirohardjo, 2009; Sukarni 2013).
4) Thrombin
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena kelainan pada pembekuan
darah yang disebabkan karena defisiensi faktor pembekuan dan penghancuran
fibrin yang berlebihan. Kelainan pembekuan darah terjadi saat kehamilan, ada
riwayat kelainan pembekuan darah pada persalinan sebelumnya dan kelainan
pembekuan darah bisa terjadi karena penyakit keturunan. Kelainan
pembekuan darah bisa berupa hipofibrinogenemia, thrombocitopeni,
idiopathic thrombocytopenic pupura, HELLP syndrome (hemolysis, elevated
liver enzymes, and low platelet count), disseminated intravaskuler
coagulation, dilutional coagulopathy (Gerald & Nageotte, 2009).

d. Gejala Klinis Perdarahan Postpartum


Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir,
sehingga ibu kehilangan banyak darah yang dapat menimbulkan tanda-tanda syok
yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas
dingin dan dapat terjadi syok (Prawirohardjo, 2009).
9

Penilaian klinik untuk menentukan derajat syok dapat digolongkan berdasarkan tabel
berikut ini:
Tabel 2.1 Penilaian Klinis Untuk Menentukan Derajat Syok
Volume Tekanan Darah
Gejala dan Tanda Derajat Syok
Kehilangan Darah (Sistolik)

500-1.000 mL Palpitasi,
Normal Terkompensasi
(10-15%) Trakikardia,
Pusing
Lemah,
1000-1500 mL Penurunan ringan
Trakikardia, Ringan
(15-25%) (80-100 mmHg)
Berkeringat
1500-2000 Ml Penurunan sedang Gelisah, Pucat,
Sedang
(25-35%) (70-80 mmHg) Oliguria
Pinsan, Hipoksia,
2000-3000 Ml Penurunan tajam
Anuria Berat
(35-50%) (50-70 mmHg)
Sumber: Nugroho (2012)
e. Pencegahan Perdarahan Postpartum
Berdasarkan Prawirohardjo (2009) pencegahan terhadap perdarahan postpartum
yang dapat dilakukan yaitu persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki
kejadian keadaan umum dan mengatasi penyakit yang timbul pada masa
kehamilan, sehingga pada saat hamil dan persalinan ibu dalam keadaan optimal,
mengenal faktor predisposisi perdarahan postpartum seperti multiparitas,
makrosomia, gemelli, hidramnion, riwayat perdarahan postpartum sebelumnya
dan kehamilan risiko tinggi lainya yang timbul saat persalinan, persalinan harus
selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama, kehamilan risiko tinggi
agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan, kehamilan risiko rendah agar
melahirkan di tenaga kesehatan terlatih, menguasai langkah-langkah pertolongan
pertama menghadapi perdarahan postpartum dan mengadakan rujukan
sebagaimana mestinya.
Penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi
dan tingkat keparahan perdarahan postpartum. penangan aktif kala III yaitu
dengan pemberian uterotonika segera setelah bayi dilahirkan, penjepitan dan
pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat dan penarikan tali pusat dengan
benar. Setiap komponen dalam manajemen aktif kala III mempunyai peran
10

dalam pencegahan perdarahan postpartum. semua wanita yang melahirkan harus


diberikan uterotonika selama kala III persalinan untuk mencegah perdarahan
postpartum. Oksitosin (IM/IV 10 IU) direkomendasikan sebagai uterotonika
pilihan. Uterotonika injeksi lainya dan misoprostol direkomendasikan sebagai
alternatif untuk pencegahan perdarahan postpartum ketika oksitosin tidak
tersedia. Peregangan tali pusat terkendali harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang terlatih dalam menangani persalinan. Penarikan tali pusat lebih awal yaitu
kurang dari satu menit setelah bayi lahir tidak dianjurkam (Sujiyatni et al. 2009;
WHO, 2012).
e. Diagnosis Perdarahan Postpartum
Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Diagnosis Perdarahan Postpartum
No Gejala Dan Tanda Penyulit Diagnosis
- Uterus tidak berkontraksi dan lembek - Syok
1 - Perdarahan segera setelah anak lahir Atonia Uteri
(Perdarahan Pascapersalinan Primer)
- Perdarahan darah segar yang - Pucat
mengalir segera setelah bayi lahir - Lemah Robekan jalan
2
- Kontraksi uterus baik - Menggigil lahir
- Plasenta lengkap
- Plasenta belum lahir setelah 30 menit - Tali pusat putus
- Perdarahan segera akibat traksi
- Kontraksi uterus baik berlebihan Retensio
3
- Inversio uteri akibat Plasenta
tarikan
- Perdarahan lanjutan
- Plasenta atau sebagian - Uterus berkontraksi Tertinggalnya
4 selaput tidak lengkap tetapi tinggi fundus sebagian
Perdarahan segera tidak berkurang plasenta
- Uterus tidak teraba - Syok neurogenik
- Lumen vagina terisi massa - Pucat dan limbung
5 - Tampak tali pusat (jika Inversio
plasenta belum lahir) uteri
- Perdarahan segera
- Sub-involusi uterus - Anemia Endometritris
- Nyeri tekan perut bawah dan uterus - Demam atau sisa
6 - Perdarahan (sekunder) fragmen
- Lokhia mukopurulen dan berbau plasenta
(jika terdapat infeksi)
Sumber: Saifuddin (2009)
11

f. Dampak Perdarahan Postpartum


Perdarahan yang masif dapat mengakibatkan kematian pada ibu, dikarenakan
berkurangnya volume darah yang dapat menimbulkan penurunan fungsi jaringan
hingga terjadi syok hipovolemik, yang dapat menimbulkan kematian pada ibu.
selain itu terjadinya perdarahan postpartum pada ibu akan mengganggu
penyembuhan masa nifas, proses involusi, dan laktasi (Prawirohardjo, 2009;
Miller et al, 2017). Perdarahan postpartum juga dapat mengakibatkan gejala
depresi postpartum, namun tidak mempengaruhi langsung meningkatkan risiko
depresi postpartum akan tetapi secara tidak langsung dapat menimbulkan depresi
postpartum melalui anemia (Eckerdal, 2016; Hakimi, 2010).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perdarahan Postpartum


a. Usia
Usia yang cukup pada saat mengawali kehamilan akan membantu seorang
wanita dalam menghadapi perubahan selama hamil. Karaketeristik ibu hamil
berdasarkan usia sangat berpengaruh dalam perhatian dan persiapan dalam
proses persalinan. usia reproduksi sehat yang aman untuk mengalami kehamilan
dan persalinan adalah pada umur 20-35 tahun. Berdasarkan penelitian Kematian
maternal pada wanita hamil dan melahirkan banyak terjadi pada wanita yang
berusia <20 tahun dan >35 tahun. ( Marshall et al, 2017; Kerr et al, 2016).
Salah satu faktor yang berkaitan dengan resiko tinggi kehamilan dan
persalinan pada ibu adalah usia ibu terlalu muda atau terlalu tua. Usia terlalu
muda adalah ketika ibu berusia kurang dari 20 tahun saat hamil dan usia terlalu
tua adalah jika ibu berusia lebih dari 35 tahun. Pada wanita yang melahirkan
pada usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan berbagai komplikasi dalam
persalinan, dikarenakan organ reproduksi wanita belum sepenuhnya sempurna
sehingga belum siap untuk mengalami kehamilan dan persalinan, sedangkan
wanita yang melahirkan pada usia lebih dari 35 tahun juga dapat menimbulkan
berbagai komplikasi dikarenakan alat-alat reproduksi mulai terjadi penuaan dan
degenerasi sehingga terjadi penurunan fungsi yang dapat menyebabkan
12

gangguan dalam kehamilan dan persalinan. Organ–organnya mulai kendor dan


kaku, maka terjadi regresi atau kemunduran sehingga sangat berpengaruh pada
penerimaan kehamilan dan proses melahirkan. Pada sebagian besar kasus, atoni
uteri akan terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi apabila melahirkan pada usia
<20 tahun dan <35 tahun adalah keguguran, prematuritas, anemia. perdarahan
postpartum, preeklamsia, eklamsia, berat badan lahir rendah (Lao et al, 2014;
Cavazos-Rehg et al, 2015; Kemenkes RI, 2013).
b. Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahirahan hidup yang dipunyai oleh seorang wanita.
Suehelif Paritas adalah status seorang wanita sehubungan dengan jumlah anak
yang pernah dilahirkanya. Wanita yang pernah melahirkan bayi aterm dibagi
menjadi 3 yaitu:
1) Primigravida adalah wanita yang hamil untuk pertama kali.
2) Multigravida adalah wanita yang pernah hamil beberapa kali, dimana
kehamilanya tersebut sampai 5 kali.
3) Grande multigravida adalah wanita yang pernah hamil sampai 6 kali atau
lebih.
Paritas dapat mempengaruhi kesiapan ibu dalam menghadapi persalinan, Ibu
yang baru pertama kali hamil merupakan hal yang sangat baru sehingga
termotivasi dalam memeriksakan kehamilanya ketenaga kesehatan. Sebaliknya
ibu yang sudah mengalami persalinan akan mempunyai anggapan bahwa ibu
lebih paham apa saja yang harus dipersiapkan sebelum persalinan sehingga
tidak termotivasi untuk memeriksakan kehamilanya (Prawirohardjo, 2009;
Maupin et al 2018; BKKBN, 2012).
Paritas merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan postpartum.
pada paritas yang lebih rendah dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam
mengahadapi komplikasi dan pada masa kehamilan dan persalinan, sedangkan
pada wanita yang melahirkan lebih dari 4 kali risiko mengalami komplikasi
pada persalinan atau kematian lebih tinggi, dikarenakan telah mengalami
penurunan fungsi reproduksi atau uterus sudah melemah. Wanita dengan paritas
13

tinggi mempunyai resiko perdarahan postpartum yang lebih besar akibat atonia
uteri, uteri inversi dan sisi konsepsi yang tertinggal dalam uterus. Hal ini terjadi
karena tonus kontraksi uterus yang lebih rendah dan tidak cukup kuat. Kalau
terjadinya atoni uteri, juga berkemungkinan adanya bekuan darah dalam uterus.
Ini menyebabkan miometrium gagal berkontraksi secara menyeluruh untuk
memampatkan pembuluh darah yang robek sehingga mencegah perdarahan
yang lanjut (Marshall et al, 2017; Maupin et al, 2012; Kemenkes, 2013).
c. Antenatal Care
Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan
keadaan mental dan fisik ibu hamil sehingga dapat mampu menghadapi
persalinan, nifas, menyusui dan kembalinya sistem reproduksi secara wajar.
Pelayanan Antenatal care untuk mencegah adanya komplikasi obstetri bila
mungkin dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta
ditangani secara memadai (Depkes RI, 2013; Prawirohardjo, 2009).
Antenatal care mempunyai peran yang sangat penting untuk menurun
kan angka kematian ibu dan perinatal. tujuan dilakukan antenatal care ini untuk
mengetahui perkembangan ibu dan bayi, sehingga kesehatan yang optimal dapat
dicapai dalam menghadapi persalinan, nifas dan laktasi, serta ibu bisa
mengetahui tentang kehamilanya, kebutuhan nutrisi yang baik dikonsumsi pada
saat hamil, mengenali tanda bahaya apa saja yang bisa terjadi pada maasa
kehamilan dan persalinan, mengetahui apa saja yang dipersiapkan pada saat
menjelang persalinan, dan mengetahui pentingnya memberikan ASI eksklusif
pada bayi. jadwal antenatal care dilakukan 4 kali selama kehamilan, yaitu pada
kehamilan trimester pertama (<14 minggu) satu kali kunjungan, trimester kedua
(14-28 minggu) satukali dan pada kehamilan trimester tiga (28-36 minggu
sampai lahir) dua kali kunjungan. Berdasarkan Sulistyawati (2009) pelayanan
antenatal, disesuaikan dengan standart pelayanan antenatal yang terdiri dari:
1) Kunjungan Pertama
Kunjungan baru ibu hamil adalah kontak ibu hamil pertama kali dengan
petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan.
14

2) Kunjungan Kedua
Kunjungan yang kedua pada ibu hamil, dilakukan pemeriksaan terutama
untuk menilai risiko kehamilan, laju pertumbuhan janin dan kelainan atau
cacat bawaan. Pemeriksaanya meliputi:
a) Anamnesa (keluhan dan perkembangan yang dirasakan).
b) Pemeriksan fisik dan obstetri.
c) Pemeriksaan dengan USG (Ultrasonografi), biometri janin (besar dan
usia kehamilan), aktifitas janin, kelainan atau cacat bawaan, cairan
ketuban dan letak plasenta serta keadaan paling sentral.
d) Penilaian risiko kehamilan.
e) KIE (perawatan payudara dan senam hamil).
f) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid).
3) Kunjungan Ketiga
Kunjungan ketiga dilakukan pemeriksan pada ibu hamil terutama untuk
menilai risiko kehamilan dan pemeriksaan laboratorium ulang.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a) Anamnesa (keluhan yang ibu rasakan).
b) Pengamatan kartu gerak janin (bila ada).
c) Pemeriksaan fisik dan obstetri.
d) Penilaian risiko kehamilan.
e) Pemeriksaan laboratorium ulang: Hb, Ht, gula darah.
f) KIE (senam hamil, perawatan payudara, gizi).
g) Pemberian imunisasi TT II.
4) Kunjungan Keempat
Kunjungan keempat adalah kontak ibu hamil yang keempat atau lebih
dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan,
dengan pemeriksaan yang akan dilakukan:
a) Anamnesa (Keluhan yang ibu rasakan).
b) Pemeriksaan fisik dan obstetri.
c) Penilaian risiko kehamilan.
15

d) KIE (tanda bahaya persalinan).


Kurangnya kunjungan antenatal care dapat menyebabkan berbagai
komplikasi pada masa kehamilan dan persalinan, dikarenakan sulit
untuk mendeteksi dini terjadinya penyakit pada masa kehamilan,
sehingga dapat menimbulkan komplikasi pada saat persalinan
(Prawirohardjo, 2009; Mbuagbaw et al, 2015; Obossou et al, 2015)
d. Jarak Kehamilan
Jarak kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uterine
mulai sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaaan persalinan. Jarak yang
terlalu dekat antara kehamilan satu dengan kehamilan berikutnya kurang dari 2
tahun (24 bulan). Jarak kehamilan yang optimal dianjurkan 36 bulan. Jika hamil
terlalu dekat dapat menyebabkan penyulit dalam masa kehamilan dan persalinan,
Jarak kehamilan yang pendek secara langsung akan memberikan efek terhadap
kesehatan wanita maupun kesehatan janin yang dikandungnya. Seorang wanita
setelah bersalin membutuhkan waktu 2 sampai 3 tahun untuk memulihkan
tubuhnya dan mempersiapkan diri untuk kehamilan dan persalinan berikutnya.
Bila jarak kehamilan terlalu dekat, rahim yang masih belum pulih benar akibat
persalinan sebelumnya belum bisa memaksimalkan pembentukan cadangan
makanan bagi janin dan untuk ibu sendiri (Rochjati, 2012).
Ibu dengan kehamilan dengan jarak <2 tahun kondisi rahim ibu belum
pulih sepenuhnya sehingga dapat berdampak tidak baik bagi ibu maupun
bayinya. Bagi ibu sendiri meningkatkan resiko terkena anemia akut. Ibu hamil
yang terkena anemia akut akan meningkatkan resiko terhadap komplikasi
kehamilan, bayi terlahir prematur, keguguran, kelainan letak sungsang serta
menghambat proses persalinan seperti gangguan kekuatan komtraksi yang dapat
menyebabkan terjadinya atonia uteri (Oberg et al, 2014; BKKBN, 2007).
e. Riwayat Obstetri
Riwayat persalinan yang lalu sangat berhubungan dengan kehamilan dan
persalinan berikutnya. Riwayat obstetri sebelumnya dapat memberikan informasi
identifikasi yang penting, serta untuk mengetahui sebelumnya pernah hamil atau
16

belum, hasil akhir yang terjadi, komplikasi muncul atau tidak dan intervensi
dilakukan atau tidak. Wanita yang pernah mengalami komplikasi pada
kehamilan atau persalinan sebelumnya akan lebih rentan terjadi risiko pada
kehamilan dan persalinan berikutnya (Nyflot et al, 2017).
Riwayat buruk pada persalinan sebelumnya kemungkinan besar dapat
menimbulkan komplikasi pada kehamilan dan persalinan selanjutnya, seperti
persalinan dengan retensio plasenta, perdarahan postpartum dan seksio sesaria.
Ibu yang memiliki riwayat persalinan dengan seksio sesaria sebelumya pasti
memiliki jaringan perut. Jaringan perut merupakan kontraindikasi untuk
melahirkan karena dapat terjadi rupture uteri. Ibu yang memiliki riwayat seksio
sesaria sebelumnya meningkatkan terjadinya ruptur uteri, plasenta previa,
perdarahan postpartum. Ibu yang memiliki riwayat perdarahan postpartum akan
lebih rentan terjadi perdarahan pada persalinan selanjutnya dibandingkan dengan
ibu yang tidak memiliki riwayat perdarahan postpartum, dikarenakan fungsi
uterus mengalami penurunan setelah mengalami perdarahan. (Prawirohardjo,
2009; Sheldon et al, 2013).
f. Anemia
Anemia didefinisikan sebagai kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) yang
berada dibawah normal. Anemia dapat disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi
selama kehamilan. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi sehingga hanya
memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolism besi yang
normal. Selanjutnya akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun
sampai dibawah 11 gr/dl. Dalam kehamilan anemia digolongkan sebagai berikut
anemia defisiensi zat besi yang biasanya berbentuk normositik dan hipokromik
serta keadaan tersebut paling banyak dijumpai pada kehamilan, anemia
megaloblastik anemia ini biasanya berbentuk makrosistik, penyebabnya adalah
kekurangan asam folat, anemia hipoplastik disebabkan oleh hipofungsi sumsum
tulang dalam bentuk sel-sel darah merah baru, anemia hemolitik disebabkan oleh
17

penghancuran atau pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari
pembuatanya. (Waryana, 2010; Leveno et al, 2009).
Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi
yang bersal dari makanan yang dimakan setiap hari dan diperlukan untuk
pembentukan hemoglobin. Pada masa kehamilan kebutuhan ibu akan zat besi
rata-rata mendekati 1000 mg. Wanita hamil membutuhkan gizi lebih banyak
daripada wanita tidak hamil, dalam Trimester III, pada saat ini janin mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Penyebab anemia juga dapat
ditemukan penurunan kadar hemoglobin selama kehamilan, yang dijumpai pada
wanita sehat yang tidak mengalami defisiensi zat besi atau folat. hal ini
disebabkan oleh ekspansi volume plasma yang lebih besar daripada peningkatan
massa hemoglobin dan volume sel darah merah yang terjadi pada kehamilan
normal. Kadar hemoglobin pada ibu hamil dapat digolongkan menjadi 3 yaitu,
pada trimester satu Hb<11 g/dL disebut anemia, pada trimester dua Hb <10,5
g/dL disebut anemia, pada trimester tiga Hb 11 g/dL disebut anemia.
pemeriksaan kadar Hemoglobin dalam darah dilakukan minimal dua kali selama
kehamilan yaitu pada trimester satu dan trimester dua (Leveno et al, 2009;
Masukume et al, 2015; Waryana, 2010).
Wanita yang mengalami anemia pada masa kehamilan dapat mengalami
komplikasi, dikarenakan kadar darah dalam tubuh yang berkurang, sehingga
mengakibatkan kurangnya oksigen yang di transfer ke sel tubuh atau otak dan
uterus. Jumlah oksigen yang berkurang menyebabkan otot-otot uterus tidak
berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang menyebabkan
perdarahan postpartum (Fadel et al, 2016; Prawirohardjo, 2009).
g. Pendidikan
Berdasarkan Undang-Undang pada pasal 1 angka 1 pendidikan adalah usaha
sadar dan terencanan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak, mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
18

masyarakat, bangsa, dan negara. Pasal 1 angka 8 menyebutkan bahwa jenjang


pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang
dikembangkan.
Menurut Cheng (2015) bahwa pendidikan memiliki manfaat yang sangat
luas. Dengan adanya pendidikan maka akandapat mengubah cara berpikir
seorang hingga dengan perubahan perilaku. Tingkat pendidikan yang formal
menentukan bagaimana individu dalam menyerap informasi maupun berbagi
informasi. Tingkat pendidikan yang tinggi dapat menentukan kemampuan
seseorang dalam mengambil keputusan hingga menyelesaikan masalah.
Pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang tentang pola hidup. Pendidikan adalah sarana untuk mendapatkan
informasi salah satunya adalah informasi yang berhubungan dengan kesehatan.
Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah dalam menerima informasi
baik dari orang lain maupun media massa, sehingga pada ibu dengan pendidikan
tinggi lebih kritis dalam menanggapi masalah kesehatan, mudah dalam
menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi dalam melakukan
pencegah. (Liddon et al, 2012; SDKI, 2012).

4. Health Belief Model (HBM)


Teori HBM adalah hubungan prinsip hidup sehat dan perilaku sehat yang dapat
berubah lebih atraktif atau kurang atraktif. Model kepercayaan kesehatan merupakan
salah satu model tertua yang membahas mengenai perilaku kesehatan. Model ini
membahas untuk melakukan perilaku sehat berdasarkan beberapa keyakinan
individu akan melakukan perilaku sehat, perilaku sehat tersebut dapat berupa
perilaku pencegahan maupun penggunaan fasilitas kesehatan. Health belief model
sering digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan preventif dan juga respon
perilaku untuk pengobatan pasien dengan penyakit akut dan kronis. kesehatan
(Simpson, 2015). Health belief model merupakan suatu konsep yang
mengungkapkan alasan dari individu untuk mau atau tidak mau melakukan perilaku
19

sehat belief model juga dapat diartikan sebagai sebuah konstruk teoritis mengenai
kepercayaan individu dalam berperilaku sehat. Health belief model adalah suatu
model yang digunakan untuk menggambarkan kepercayaan individu terhadap
perilaku hidup sehat, sehingga individu akan melakukan perilaku sehat, perilaku
sehat tersebut dapat berupa perilaku pencegahan maupun penggunaan fasilitas
kesehatan. Health belief model sering digunakan untuk memprediksi perilaku
kesehatan preventif dan juga respon perilaku untuk pengobatan pasien dengan
penyakit akut dan kronis. Health belief model digunakan sebagai prediksi berbagai
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan.
Teori HBM merupakan teori yang berfokus bahwa keyakinan atau presepsi
seseorang adalah pendukung utama seseorang dalam berprilaku sehat. Kepercayaan
tersebut antara lain yakni keyakinan atau presepsi seorang bahwa dia rentan atau
memiliki risiko tinggi terhadap penyakit atau masalah kesehatan, keyakinan
seseorang terhadap keparahan atau akibat yang mungkin akan dirasakan karena
penyakit atau masalah kesehatan, keyakinan bahwa pengobatan atau perilaku yang
dilakukan akan memiliki dampak positif dan memiliki efektifitas yang tinggi dan
keyakinan bahwa setiap perilaku yang akan dilakukan memiliki hambatan dan
tantangan. Pada model HBM ini juga disebutkan faktor lain yang mempengaruhi
perilaku sehat seperti karakteristik demografi dan dukungan lingkungan atau dari
luar individu. Setelah tahun 1998, faktor self efficacy menjadi bagian dari HBM
(Martin et al, 2010).
a. Efikasi Diri (Self Efficacy)
Efikasi diri adalah kepercayaan pada kemampuan sendiri untuk melakukan
sesuatu (Bandura, 1977). Sesuai model HBM, individu memiliki atau tidak
memiliki kepercayaaan diri dalam mengubah. individu tidak percaya bahwa
mereka dapat berhasil melakukan perubahan perilaku, maka mereka tidak akan
dapat melakukanya.
Konsep self efficacy sebenarnya adalah inti dari teori social cognitive
yang dikemukakan oleh Albert Bandura yang menekankan peran belajar
observasional, pengalaman social, dan determinisme timbal balik dalam
20

pengembangan kepribadian. Menurut Bandura) self efficacy adalah keyakinan


seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol
terhadap fungsi orang itu sendiri dan kejadian dalam linkungan. Bandura juga
menggambarkan Self Efficacy sebagai penentu bagaimana orang merasa,
berfikir, memotivasi diri, dan berperilaku (Bandura, 1997).
Efikasi diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau
self knowwledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan maanusia sehari-hari
yang disebabkan efikasi diri yang dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam
menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
termasuk di dalamnya perkiraan berbagai kejadian yang akan dihadapi. Efikasi
diri yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan mendapatkan
hasil positif. Bandura mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap
perilaku (Santrock, 2007).
Efikasi diri sebagai keyakinan diri untuk mengetahui kemampuannya. Ibu
yang tidak yakin bahwa mereka dapat berhasil melakukan perubahan perilaku,
maka mereka tidak akan dapat melakukanya. Ibu hamil yang memiliki efikasi diri
tinggi akan memiliki keinginan untuk memeriksakan kehamilanya lebih sering,
sehingga kecukupan gizi ibu tercukupi selain itu juga ibu dapat mengetahui
perkembangan janin. Semakin kuat efikasi diri yang dimiliki ibu maka semakin
besar keyakinan diri untuk mempersiapkan persalinan (Simpson, 2015).
2.1.9 Penelitian Relevan
1. Penelitian oleh Nyflot et al (2017) dengan judul Risk factors for severe
postpartum hemorrhage: a case-control study. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi Perdarahan Postpartum.
metode penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Norwegia pada tahun (2011)
dengan menggunakan analisis regresi logistik. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa kejadian perdarahan postpartum dapat dilihat dari riwayat kehamilan.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis terdapat pada variabel
penelitian dan metode penelitian, yang akan menggunakan analisis jalur.
21

2. Penelitian oleh Oberg et al (2014) dengan judul Patterns of Recurrence of


Postpartum Hemorrhage in a Large, Population-Based Cohort. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perdarahan postpartum bisa terjadi
lagi di persalinan selanjutnya. Metode penelitian ini dilakukan di swedia tahun
(2008). Penelitian ini menggunakan studi kohort logistik dengan analisis data
regresi logistik. Hasil dari penelitian ini yaitu wanita dengan riwayat PPH
sebelumnya memiliki peningkatan risiko PPH 3 kali lipat dibandingkan dengan
yang tidak memiliki riwayat perdarahan sebelumnya. Perbedaan dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis terdapat pada variabel penelitian, metode
penelitian yang akan menggunakan case control dengaan menggunakan analisis
jalur.
3. Penelitian oleh Sheldon et al (2017) dengan judul Postpartum haemorrhage
management, risks, and maternal outcomes: findings from the World Health
Organization Multicountry Survey on Maternal and Newborn Health. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor risiko perdarahan postpartum di
Universitas Rumah Sakit Pengajaran Parakou. Metode penelitian ini adalah
penelitian ini dilakukan pada tahun 2014 menggunakan studi kasus kontrol terdiri
dari 63 kasus dan 126 kontrol. Hasil dari penelitian ini yaitu faktor-faktor yang
secara signifikan berhubungan dengan diagnosis perdarahan postpartum adalah
usia, paritas, usia kehamilan, induksi persalinan, operasi caesar. Perbedaan
dengan penelitian yang akan dilakukan penulis terdapat pada variabel penelitian,
jumlah sampel, analisis yang akan digunakan yaitu analisis jalur.
4. Penelitian oleh Nakagawa et al (2016) dengan judul Independent Risk Factors for
Postpartum Haemorrhage.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
risiko perdarahan postpartum. metode penelitian ini menggunakan analysis
retrospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Tomakomai Jepang. Hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa penurunan fibrinogen yang paling berpengaruh
meningkatkan risiko perdarahan postpartum yaitu sebesar 2,9%. Perbedaan
dengan penelitian yang akan dilakukan penulis terdapat pada variabel penelitian,
analisis yang akan digunakan yaitu analisis jalur.
22

2.2 Kerangka Berfikir

Pendidikan Ibu

Jarak Kehamilan ANC Efikasi Diri

Usia
Anemia Tablet Fe
Polihidramnion 2. Status Gizi

Persalinan lama
Atonia Uteri Stress
Penanganan Kala III

Paritas
Perdarahan Riwayat Obstetri
1. Koagulasi Postpartum
2. Trauma Jalan Lahir
3. Inversio Uteri Riwayat atonia uteri
4. Retensio Plasenta
Riwayat Abortus

Riwayat Perdarahan
Antepartum

Riwayat Perdarahan
Postpartum

Keterangan:
--------------------- : Tidak Diteliti
_______________ : Diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Perdarahan Postpartum
23

Keterangan :

Perdarahan postpartum dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya


adalah usia, paritas, antenatal care, riwayat obsteri, jarak kehamilan dan anemia.
Pendidikan rendah dapat mempengaruhi jarak kehamilan dan paritas, dikarenakan
kurang informasi tentang risiko dari jarak kehamilan yang terlalu dekat dan risiko
melahirkan lebih dari 4 kali. Jarak kehamilan yang terlalu dekat dan paritas tinggi
dapat mengakibatkan perdarahan postpartum, dikarenakan ibu yang memiliki jarak
terlalu dekat kondisi rahim ibu belum pulih sepenuhnya sehingga dapat
mengakibatkan berbagai macam komplikasi salah satunya adalah perdarahan,
sedangkan ibu yang melahirkan lebih dari 4 anak telah mengalami penurunan fungsi
reproduksi atau uterus sudah melemah dan bisa menimbulkan terjadinya atonia uteri
yang menyebabkan perdarahan saat persalinan (Mutua et a, 2013). Pendapatan rendah
dapat mempengaruhi kunjungan ANC, paritas tinggi, hal ini dikarenakan biaya
kehidupan yang cukup tinggi, sehingga perlu biaya lebih untuk memeriksakan
kehamilanya. Ibu yang jarang memeriksakan kehamilanya akan sulit untuk
komplikasi yang terjadi pada masa kehamilanya seperti anemia. Ibu yang memliki
efikasi diri rendah akan menimbulkan stress saat kehamilan dan mengakibatkan
kurang nutrisi dalam tubuh dan kebutuhan zat besi juga kurang, yang mengakibatkan
terjadinya anemia pada ibu. Pada Ibu yang mengalami anemia pada masa kehamilan
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum, dikarenakan kadar darah
dalam tubuh yang berkurang, sehingga mengakibatkan kurangnya oksigen yang di
transfer ke sel tubuh, otak dan uterus. Jumlah oksigen yang berkurang menyebabkan
otot-otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang
menyebabkan perdarahan postpartum (Jacobs et al, 2016). wanita yang melahirkan
pada usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan berbagai komplikasi dalam
persalinan, dikarenakan organ reproduksi wanita belum sepenuhnya sempurna
sehingga belum siap untuk mengalami kehamilan dan persalinan, sedangkan wanita
yang melahirkan pada usia lebih dari 35 tahun juga dapat menimbulkan berbagai
komplikasi dikarenakan fungsi reproduksi wanita sudah mengalami penurunan atau
24

sudah melemah yang dapat menimbulkan atonia uteri yang menyebabkan perdarahan
postpartum (Marshall et al, 2017; Cavazos-Rehg et al, 2015). Faktor risiko yang
menyebabkan atonia uteri adalah polihidramnion, persalinan lama, malnutrisi,
penanganan kala III, paritas tinggi, anemia, riwayat obstetri. faktor langsung yang
mempengaruhi perdarahan postpartum adalah gangguan koagulasi, trauma jalan lahir,
inversio uteri, retensio plasenta (Edhi et al, 2013; Mavrides et al, 2016).

2.3 Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan riwayat obstetri.
Ibu yang memiliki riwayat obstetri sebelumnya memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami perdarahan postpartum dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki
riwayat obstetri sebelumnya.
2. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan usia ibu. ibu
melahirkan <20 tahun dan >35 tahun memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami perdarahan postpartum dibandingkan dengan usia ibu melahirkan
pada umur 20-35 tahun.
3. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan paritas. ibu yang
melahirkan lebih dari 4 kali lebih besar memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami perdarahan postpartum dibandingkan dengan ibu yang melahirkan 2-3
anak.
4. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan anemia. Ibu yang
mengalami anemia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami perdarahan
postpartum dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami anemia
5. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengam jarak kehamilan
secara tidak langsung melalui anemia. Ibu yang melahirkan dengan jarak
kehamilan kurang dari dua tahun memiliki risiko lebih besar dibandingkan ibu
yang melahirkan dengan jarak kehamilan lebih dari 2 tahun.
25

6. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan antenatal care


secara tidak langsung melalui anemia. Ibu yang jarang memeriksakan kehamilan
memiliki risiko lebih besar untuk mengalami perdarahan postpartum
dibandingkan ibu yang rutin memeriksakan kehamilanya.
7. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan pendidikan secara
tidak langsung melalui jarak kehamilan, efikasi diri, antenatal care dan anemia.
Ibu yang memiliki pendidikan rendah memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami perdarahan postpartum dibandingkan dengan ibu yang memiliki
pendidikan tinggi.
8. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengam efikasi diri secara
tidak langsung melalui anemia. Semakin tinggi efikasi diri maka semakin rendah
risiko untuk mengalami perdarahan postpartum.

Anda mungkin juga menyukai