LANDASAN TEORI
5
6
merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil
ektopik dan abortus (Prawirohardjo, 2009).
a. Klasifikasi Perdarahan Postpartum
Berdasarkan klasifikasinya perdarahan postpartum dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
1) Perdarahan Primer (Early Post Partum Hemorrhage)
Perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi 24 jam pertama setelah
bayi dan plasenta lahir (Sukarni, 2013; Nugroho, 2012).
2) Perdarahan sekunder (Late Post Partum Hemorrhage)
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam setelah
bayi dan plasenta lahir (Sukarni, 2013; Nugroho, 2012).
b. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan postpartum primer disebabkan oleh atonia uteri,
ruptur uteri, sisa sebagian plasenta dan inversio uteri, sedangkam perdarahan
postpartum sekunder disebabkan oleh sisa plasenta, selain itu faktor predisposisi
yang harus diperhatikan adalah riwayat perdarahan sebelumnya, usia, paritas
tinggi, anemia, perdarahan antepartum, dan partus lama (Prawirohardjo, 2009;
Sukarni, 2013; Edhi et al, 2013; kerr et al, 2016).
c. Patofisiologi
1) Atonia Uteri
Perdarahan postpartum bisa di kendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-
serat myometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya
pembuluh-pembuluh darah ke tempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan
mekanisme akibat gangguan fungsi miometrium dinamakan atonia uteri.
Dimana penyebab terbesar terjadinya perdarahan postpartum adalah atonia
uteri, yaitu keadaan lemahnya kontraksi uterus/rahim yang mengakibatkan
uterus tidak mau menutup, sehingga menyebabkan perdarahan dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2009;
Mavrides et al, 2016).
7
manipulatik dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dank arena
itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum
lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan
perineum, trauma forsep, vakum ekstraksi atau karena versi ekstraksi.
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu derajat satu
dimana robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum, derajat dua
robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot perineum, derajat tiga
robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum, dan otot
sfingter ani eksternal, derajat empat robekan mengenai mukosa vagina, kulit
perineum, otot perineum, otot sfingter ani eksternal, dan mukosa rectum.
pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva,
vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber
perdarahan. (Prawirohardjo, 2009; Sukarni 2013).
4) Thrombin
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena kelainan pada pembekuan
darah yang disebabkan karena defisiensi faktor pembekuan dan penghancuran
fibrin yang berlebihan. Kelainan pembekuan darah terjadi saat kehamilan, ada
riwayat kelainan pembekuan darah pada persalinan sebelumnya dan kelainan
pembekuan darah bisa terjadi karena penyakit keturunan. Kelainan
pembekuan darah bisa berupa hipofibrinogenemia, thrombocitopeni,
idiopathic thrombocytopenic pupura, HELLP syndrome (hemolysis, elevated
liver enzymes, and low platelet count), disseminated intravaskuler
coagulation, dilutional coagulopathy (Gerald & Nageotte, 2009).
Penilaian klinik untuk menentukan derajat syok dapat digolongkan berdasarkan tabel
berikut ini:
Tabel 2.1 Penilaian Klinis Untuk Menentukan Derajat Syok
Volume Tekanan Darah
Gejala dan Tanda Derajat Syok
Kehilangan Darah (Sistolik)
500-1.000 mL Palpitasi,
Normal Terkompensasi
(10-15%) Trakikardia,
Pusing
Lemah,
1000-1500 mL Penurunan ringan
Trakikardia, Ringan
(15-25%) (80-100 mmHg)
Berkeringat
1500-2000 Ml Penurunan sedang Gelisah, Pucat,
Sedang
(25-35%) (70-80 mmHg) Oliguria
Pinsan, Hipoksia,
2000-3000 Ml Penurunan tajam
Anuria Berat
(35-50%) (50-70 mmHg)
Sumber: Nugroho (2012)
e. Pencegahan Perdarahan Postpartum
Berdasarkan Prawirohardjo (2009) pencegahan terhadap perdarahan postpartum
yang dapat dilakukan yaitu persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki
kejadian keadaan umum dan mengatasi penyakit yang timbul pada masa
kehamilan, sehingga pada saat hamil dan persalinan ibu dalam keadaan optimal,
mengenal faktor predisposisi perdarahan postpartum seperti multiparitas,
makrosomia, gemelli, hidramnion, riwayat perdarahan postpartum sebelumnya
dan kehamilan risiko tinggi lainya yang timbul saat persalinan, persalinan harus
selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama, kehamilan risiko tinggi
agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan, kehamilan risiko rendah agar
melahirkan di tenaga kesehatan terlatih, menguasai langkah-langkah pertolongan
pertama menghadapi perdarahan postpartum dan mengadakan rujukan
sebagaimana mestinya.
Penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi
dan tingkat keparahan perdarahan postpartum. penangan aktif kala III yaitu
dengan pemberian uterotonika segera setelah bayi dilahirkan, penjepitan dan
pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat dan penarikan tali pusat dengan
benar. Setiap komponen dalam manajemen aktif kala III mempunyai peran
10
tinggi mempunyai resiko perdarahan postpartum yang lebih besar akibat atonia
uteri, uteri inversi dan sisi konsepsi yang tertinggal dalam uterus. Hal ini terjadi
karena tonus kontraksi uterus yang lebih rendah dan tidak cukup kuat. Kalau
terjadinya atoni uteri, juga berkemungkinan adanya bekuan darah dalam uterus.
Ini menyebabkan miometrium gagal berkontraksi secara menyeluruh untuk
memampatkan pembuluh darah yang robek sehingga mencegah perdarahan
yang lanjut (Marshall et al, 2017; Maupin et al, 2012; Kemenkes, 2013).
c. Antenatal Care
Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan
keadaan mental dan fisik ibu hamil sehingga dapat mampu menghadapi
persalinan, nifas, menyusui dan kembalinya sistem reproduksi secara wajar.
Pelayanan Antenatal care untuk mencegah adanya komplikasi obstetri bila
mungkin dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta
ditangani secara memadai (Depkes RI, 2013; Prawirohardjo, 2009).
Antenatal care mempunyai peran yang sangat penting untuk menurun
kan angka kematian ibu dan perinatal. tujuan dilakukan antenatal care ini untuk
mengetahui perkembangan ibu dan bayi, sehingga kesehatan yang optimal dapat
dicapai dalam menghadapi persalinan, nifas dan laktasi, serta ibu bisa
mengetahui tentang kehamilanya, kebutuhan nutrisi yang baik dikonsumsi pada
saat hamil, mengenali tanda bahaya apa saja yang bisa terjadi pada maasa
kehamilan dan persalinan, mengetahui apa saja yang dipersiapkan pada saat
menjelang persalinan, dan mengetahui pentingnya memberikan ASI eksklusif
pada bayi. jadwal antenatal care dilakukan 4 kali selama kehamilan, yaitu pada
kehamilan trimester pertama (<14 minggu) satu kali kunjungan, trimester kedua
(14-28 minggu) satukali dan pada kehamilan trimester tiga (28-36 minggu
sampai lahir) dua kali kunjungan. Berdasarkan Sulistyawati (2009) pelayanan
antenatal, disesuaikan dengan standart pelayanan antenatal yang terdiri dari:
1) Kunjungan Pertama
Kunjungan baru ibu hamil adalah kontak ibu hamil pertama kali dengan
petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan.
14
2) Kunjungan Kedua
Kunjungan yang kedua pada ibu hamil, dilakukan pemeriksaan terutama
untuk menilai risiko kehamilan, laju pertumbuhan janin dan kelainan atau
cacat bawaan. Pemeriksaanya meliputi:
a) Anamnesa (keluhan dan perkembangan yang dirasakan).
b) Pemeriksan fisik dan obstetri.
c) Pemeriksaan dengan USG (Ultrasonografi), biometri janin (besar dan
usia kehamilan), aktifitas janin, kelainan atau cacat bawaan, cairan
ketuban dan letak plasenta serta keadaan paling sentral.
d) Penilaian risiko kehamilan.
e) KIE (perawatan payudara dan senam hamil).
f) Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid).
3) Kunjungan Ketiga
Kunjungan ketiga dilakukan pemeriksan pada ibu hamil terutama untuk
menilai risiko kehamilan dan pemeriksaan laboratorium ulang.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a) Anamnesa (keluhan yang ibu rasakan).
b) Pengamatan kartu gerak janin (bila ada).
c) Pemeriksaan fisik dan obstetri.
d) Penilaian risiko kehamilan.
e) Pemeriksaan laboratorium ulang: Hb, Ht, gula darah.
f) KIE (senam hamil, perawatan payudara, gizi).
g) Pemberian imunisasi TT II.
4) Kunjungan Keempat
Kunjungan keempat adalah kontak ibu hamil yang keempat atau lebih
dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan,
dengan pemeriksaan yang akan dilakukan:
a) Anamnesa (Keluhan yang ibu rasakan).
b) Pemeriksaan fisik dan obstetri.
c) Penilaian risiko kehamilan.
15
belum, hasil akhir yang terjadi, komplikasi muncul atau tidak dan intervensi
dilakukan atau tidak. Wanita yang pernah mengalami komplikasi pada
kehamilan atau persalinan sebelumnya akan lebih rentan terjadi risiko pada
kehamilan dan persalinan berikutnya (Nyflot et al, 2017).
Riwayat buruk pada persalinan sebelumnya kemungkinan besar dapat
menimbulkan komplikasi pada kehamilan dan persalinan selanjutnya, seperti
persalinan dengan retensio plasenta, perdarahan postpartum dan seksio sesaria.
Ibu yang memiliki riwayat persalinan dengan seksio sesaria sebelumya pasti
memiliki jaringan perut. Jaringan perut merupakan kontraindikasi untuk
melahirkan karena dapat terjadi rupture uteri. Ibu yang memiliki riwayat seksio
sesaria sebelumnya meningkatkan terjadinya ruptur uteri, plasenta previa,
perdarahan postpartum. Ibu yang memiliki riwayat perdarahan postpartum akan
lebih rentan terjadi perdarahan pada persalinan selanjutnya dibandingkan dengan
ibu yang tidak memiliki riwayat perdarahan postpartum, dikarenakan fungsi
uterus mengalami penurunan setelah mengalami perdarahan. (Prawirohardjo,
2009; Sheldon et al, 2013).
f. Anemia
Anemia didefinisikan sebagai kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) yang
berada dibawah normal. Anemia dapat disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi
selama kehamilan. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi sehingga hanya
memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolism besi yang
normal. Selanjutnya akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun
sampai dibawah 11 gr/dl. Dalam kehamilan anemia digolongkan sebagai berikut
anemia defisiensi zat besi yang biasanya berbentuk normositik dan hipokromik
serta keadaan tersebut paling banyak dijumpai pada kehamilan, anemia
megaloblastik anemia ini biasanya berbentuk makrosistik, penyebabnya adalah
kekurangan asam folat, anemia hipoplastik disebabkan oleh hipofungsi sumsum
tulang dalam bentuk sel-sel darah merah baru, anemia hemolitik disebabkan oleh
17
penghancuran atau pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari
pembuatanya. (Waryana, 2010; Leveno et al, 2009).
Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi
yang bersal dari makanan yang dimakan setiap hari dan diperlukan untuk
pembentukan hemoglobin. Pada masa kehamilan kebutuhan ibu akan zat besi
rata-rata mendekati 1000 mg. Wanita hamil membutuhkan gizi lebih banyak
daripada wanita tidak hamil, dalam Trimester III, pada saat ini janin mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Penyebab anemia juga dapat
ditemukan penurunan kadar hemoglobin selama kehamilan, yang dijumpai pada
wanita sehat yang tidak mengalami defisiensi zat besi atau folat. hal ini
disebabkan oleh ekspansi volume plasma yang lebih besar daripada peningkatan
massa hemoglobin dan volume sel darah merah yang terjadi pada kehamilan
normal. Kadar hemoglobin pada ibu hamil dapat digolongkan menjadi 3 yaitu,
pada trimester satu Hb<11 g/dL disebut anemia, pada trimester dua Hb <10,5
g/dL disebut anemia, pada trimester tiga Hb 11 g/dL disebut anemia.
pemeriksaan kadar Hemoglobin dalam darah dilakukan minimal dua kali selama
kehamilan yaitu pada trimester satu dan trimester dua (Leveno et al, 2009;
Masukume et al, 2015; Waryana, 2010).
Wanita yang mengalami anemia pada masa kehamilan dapat mengalami
komplikasi, dikarenakan kadar darah dalam tubuh yang berkurang, sehingga
mengakibatkan kurangnya oksigen yang di transfer ke sel tubuh atau otak dan
uterus. Jumlah oksigen yang berkurang menyebabkan otot-otot uterus tidak
berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang menyebabkan
perdarahan postpartum (Fadel et al, 2016; Prawirohardjo, 2009).
g. Pendidikan
Berdasarkan Undang-Undang pada pasal 1 angka 1 pendidikan adalah usaha
sadar dan terencanan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak, mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
18
sehat belief model juga dapat diartikan sebagai sebuah konstruk teoritis mengenai
kepercayaan individu dalam berperilaku sehat. Health belief model adalah suatu
model yang digunakan untuk menggambarkan kepercayaan individu terhadap
perilaku hidup sehat, sehingga individu akan melakukan perilaku sehat, perilaku
sehat tersebut dapat berupa perilaku pencegahan maupun penggunaan fasilitas
kesehatan. Health belief model sering digunakan untuk memprediksi perilaku
kesehatan preventif dan juga respon perilaku untuk pengobatan pasien dengan
penyakit akut dan kronis. Health belief model digunakan sebagai prediksi berbagai
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan.
Teori HBM merupakan teori yang berfokus bahwa keyakinan atau presepsi
seseorang adalah pendukung utama seseorang dalam berprilaku sehat. Kepercayaan
tersebut antara lain yakni keyakinan atau presepsi seorang bahwa dia rentan atau
memiliki risiko tinggi terhadap penyakit atau masalah kesehatan, keyakinan
seseorang terhadap keparahan atau akibat yang mungkin akan dirasakan karena
penyakit atau masalah kesehatan, keyakinan bahwa pengobatan atau perilaku yang
dilakukan akan memiliki dampak positif dan memiliki efektifitas yang tinggi dan
keyakinan bahwa setiap perilaku yang akan dilakukan memiliki hambatan dan
tantangan. Pada model HBM ini juga disebutkan faktor lain yang mempengaruhi
perilaku sehat seperti karakteristik demografi dan dukungan lingkungan atau dari
luar individu. Setelah tahun 1998, faktor self efficacy menjadi bagian dari HBM
(Martin et al, 2010).
a. Efikasi Diri (Self Efficacy)
Efikasi diri adalah kepercayaan pada kemampuan sendiri untuk melakukan
sesuatu (Bandura, 1977). Sesuai model HBM, individu memiliki atau tidak
memiliki kepercayaaan diri dalam mengubah. individu tidak percaya bahwa
mereka dapat berhasil melakukan perubahan perilaku, maka mereka tidak akan
dapat melakukanya.
Konsep self efficacy sebenarnya adalah inti dari teori social cognitive
yang dikemukakan oleh Albert Bandura yang menekankan peran belajar
observasional, pengalaman social, dan determinisme timbal balik dalam
20
Pendidikan Ibu
Usia
Anemia Tablet Fe
Polihidramnion 2. Status Gizi
Persalinan lama
Atonia Uteri Stress
Penanganan Kala III
Paritas
Perdarahan Riwayat Obstetri
1. Koagulasi Postpartum
2. Trauma Jalan Lahir
3. Inversio Uteri Riwayat atonia uteri
4. Retensio Plasenta
Riwayat Abortus
Riwayat Perdarahan
Antepartum
Riwayat Perdarahan
Postpartum
Keterangan:
--------------------- : Tidak Diteliti
_______________ : Diteliti
Keterangan :
sudah melemah yang dapat menimbulkan atonia uteri yang menyebabkan perdarahan
postpartum (Marshall et al, 2017; Cavazos-Rehg et al, 2015). Faktor risiko yang
menyebabkan atonia uteri adalah polihidramnion, persalinan lama, malnutrisi,
penanganan kala III, paritas tinggi, anemia, riwayat obstetri. faktor langsung yang
mempengaruhi perdarahan postpartum adalah gangguan koagulasi, trauma jalan lahir,
inversio uteri, retensio plasenta (Edhi et al, 2013; Mavrides et al, 2016).
2.3 Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan riwayat obstetri.
Ibu yang memiliki riwayat obstetri sebelumnya memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami perdarahan postpartum dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki
riwayat obstetri sebelumnya.
2. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan usia ibu. ibu
melahirkan <20 tahun dan >35 tahun memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami perdarahan postpartum dibandingkan dengan usia ibu melahirkan
pada umur 20-35 tahun.
3. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan paritas. ibu yang
melahirkan lebih dari 4 kali lebih besar memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami perdarahan postpartum dibandingkan dengan ibu yang melahirkan 2-3
anak.
4. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengan anemia. Ibu yang
mengalami anemia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami perdarahan
postpartum dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami anemia
5. Ada hubungan antara kejadian perdarahan postpartum dengam jarak kehamilan
secara tidak langsung melalui anemia. Ibu yang melahirkan dengan jarak
kehamilan kurang dari dua tahun memiliki risiko lebih besar dibandingkan ibu
yang melahirkan dengan jarak kehamilan lebih dari 2 tahun.
25